Anda di halaman 1dari 30

Presentasi Kasus

REHABILITASI MEDIK

SEORANG PRIA, 53 TAHUN, BEKAS TB DENGAN GAGAL NAFAS TIPE II


DAN COR PULMONALE CHRONICUM

Oleh :
Winda Oktavia Wicahyani
G 0003200

Pembimbing :

DR. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI

SURAKARTA

2009

1
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Agama : Islam
Pekerjaan : pekerja perhutanan
Alamat : Slarong 2/3, Ngemplak, Kartosuro, Surakarta
Status Perkawinan : Kawin
Tanggal Masuk : 13 November 2009
Tanggal Periksa : 17 November 2009
No CM : 89 93 28

B. Keluhan Utama
Sesak nafas

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 3
bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan hilang timbul
terutama setelah pasien kecapaian. Biasanya sesak nafas berkurang jika
pasien beristirahat. Namun sejak 12 hari sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluh sesak nafas semakin memberat, terus menerus hanya sedikit
berkurang dengan istirahat. Sesak nafas tidak berkurang dengan perubahan
posisi, sesak dirasakan semakin memberat ketika berjalan, batuk (+), dahak
(-), demam (-), berat badan turun (-), keringat pada malam hari (-).
Sebelumnya pada tahun 1996 pasien mengeluh batuk > 2 minggu
berdahak, dahak warna kuning kental kadang kehijauan, berat badan
menurun (+), nafsu makan turun (+), keringat dingin pada malam hari (+),
sesak nafas (+). Kemudian pasien mondok di RSDM dan dinyatakan sakit

2
tuberkulosis, dan diobati rutin selama 6 bulan, setelah itu pasien dinyatakan
sembuh.
Tahun 2006 pasien mengalami keluhan serupa yaitu batuk >2 minggu
berdahak dahak warna kuning kehijauan, berat badan menurun (+), nafsu
makan turun (+), keringat dingin pada malam hari (+), dan disartai dengan
sesak nafas (+). Kemudian pasien mondok lagi di RSDM diberi pengobatan
6 bulan dan dinyatakan sembuh.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat minum OAT : (+) 2 kali tahun 1996 dan 2006
Riwayat batuk lama : (+)
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : (+)

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat merokok : (+), sebanyak ½ sampai 1 bungkus per
hari
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : disangkal

3
Pasien makan 3 kali sehari, sebanyak ½ porsi, dengan nasi, lauk pauk (tahu,
tempe, telur,ikan) dan sayur. Pasien jarang makan buah dan minum susu.
Pasien minum air putih sebanyak 5-7 gelas perhari.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang pria yang sudah menikah. Saat ini pasien mondok di
RS Dr Muwardi dengan menggunakan fasilitas ASKES.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, compos mentis E4V5M6, gizi kesan cukup.

B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x / menit, isi cukup, irama teratur, simetris
Respirasi : 30x / menit
Suhu : 36,7º C per aksiler

C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)

D. Kepala
Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris

E. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (+/+),
pupil isokor (3mm/3mm)

F. Hidung
Nafas cuping hidung (+), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

4
G. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (+), lidah kotor (-)

I. Leher
Simetris, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak membesar

J. Thorax
a. Retraksi (+) intercostalis, bentuk barrel chest,
simetris
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri, SIC melebar
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, SIC melebar
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBK (+/+), wheezing (-/-), ekspirasi
memanjang (+)

K. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal

5
L. Ektremitas
Oedem Akral dingin
- - - -
- - - -

M. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Pria, tampak sesuai umur, perawatan diri
cukup
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif
4. Pembicaraan : Normal
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata
cukup
Afek dan Mood
Afek : Appropiate
Mood : Eutimik
Gangguan Persepsi
Halusinasi : (-)
Ilusi : (-)
Proses Pikir
Bentuk : realistik
Isi : waham (-)
Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
Daya konsentrasi : baik
Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
Daya Ingat : Jangka panjang : baik

6
Jangka pendek : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : Baik
N. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Nervus Cranialis : dalam batas normal
Fungsi Sensorik
- Rasa Eksteroseptik : suhu, nyeri, dan raba dalam batas normal
- Rasa Propioseptik : getar, posisi, dan tekan dalam batas normal
- Rasa Kortikal : stereognosis, barognosis dalam batas normal
Fungsi Motorik dan Reflek
Kekuatan Tonus R.Fisiologis R.patologis
5 5 N N +2 +2 - -
5 5 N N +2 +2 - -

O. Range of Motion

NECK
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0 - 70º 0 - 70º
Ekstensi 0 - 40º 0 - 40º
Lateral bending kanan 0 - 60º 0 - 60º
Lateral bending kiri 0 - 60º 0 - 60º
Rotasi kanan 0 - 90º 0 - 90º
Rotasi kiri 0 - 90º 0 - 90º

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Superior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Ektensi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
Abduksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180º
Shoulder
Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75º
Eksternal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Elbow Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º
Ekstensi 0º 0º 0º 0º

7
Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º
Wrist
Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Radius deviasi 0-20º 0-20º 0-20º 0-20º
Finger MCP I Fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
PIP II-V fleksi 0-100º 0-100º 0-100º 0-100º
MCP I Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Ekstensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Trunk Right Lateral Bending 0-35º 0-35º 0-35º 0-35º
Left Lateral Bending 0-35º 0-35º 0-35º 0-35º

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º
Ektensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Abduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º
Hip
Adduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º
Eksorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Endorotasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º
Knee
Ekstensi 0º 0º 0º 0º
Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Ankle
Eversi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
Inversi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º

P. Manual Muscle Testing (MMT)


NECK
Fleksor M. Sternocleidomastoideum 5
Ekstensor M. Sternocleidomastoideum 5

TRUNK
Fleksor M. Rectus Abdominis 5
Thoracic group 5
Ektensor
Lumbal group 5
Rotator M. Obliquus Eksternus Abdominis 5
Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris 5

8
Ektremitas Superior Dekstra Sinistra
M. Deltoideus anterior 5 5
Fleksor
M. Bisepss anterior 5 5
M. Deltoideu 5 5
Ekstensor
M. Teres Mayor 5 5
M. Deltoideus 5 5
Abduktor
M. Biseps 5 5
Shoulder
M. Latissimus dorsi 5 5
Adduktor
M. Pectoralis mayor 5 5
M. Latissimus dorsi 5 5
Internal Rotasi
M. Pectoralis mayor 5 5
Eksternal M. Teres mayor 5 5
Rotasi M. Infra supinatus 5 5
M. Biseps 5 5
Fleksor
M. Brachilais 5 5
Elbow Eksternsor M. Triseps 5 5
Supinator M. Supinatus 5 5
Pronator M. Pronator teres 5 5
Fleksor M. Fleksor carpi radialis 5 5
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5
Wrist
Abduktor M. Ekstensor carpi radialis 5 5
Adduktor M. Ekstensor carpi ulnaris 5 5
Fleksor M. Fleksor digitorum 5 5
Finger
Ekstensor M. Ekstensor digitorum 5 5

Ektremitas Inferior Dekstra Sinistra


Hip Fleksor M. Psoas mayor 5 5
Ekstensor M. Gluteus maksimus 5 5
Abduktor M. Gluteus medius 5 5
Adduktor M. Adduktor longus 5 5
Knee Fleksor Hamstring muscle 5 5
Ekstensor Quadriceps femoris 5 5
Ankle Fleksor M. Tibialis 5 5
Ekstensor M. Soleus 5 5

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah
Hb : 13 g/dL
Hct : 35 %
RBC : 4.73 106 / UL

9
WBC : 6.9 103 /UL
PLT : 417 103 /UL
GDS : 98 mg/dL
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 4,0 mmol/L
Chlorida : 106 mmol/L
AGD tgl 13 November 2009
pH : 7, 28
pCO2 : 72 mmHg
pO2 : 82 mmHg
BE : 4,2 mmol/L
HCO3 : 33,8 mmol/L
SO2 : 92 %
Kesimpulan : asidosis respiratorik tidak sempurna, gagal nafas tipe II

B. Rontgen thorak PA

 Pada paru tampak gambaran


emfisematous, tampak gambaran cavitas
pada apex paru kiri, tampak infiltrate
pada kedua lapang paru.
 CTR < 50 %

C. Elektrokardigrafi
Sinus ritme HR 107X/ menit, T inverted di lead II, III, AVF, P pulmonal di
lead II, deviasi axis ke kanan, S persisten di V6
Kesimpulan : CPC compensata

10
IV. ASSESMENT
 Bekas TB
 Gagal nafas tipe II akut
 CPC kompensata

V. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis :
 Bekas TB
 Gagal nafas tipe II akut
 CPC kompensata

Problem Rehabilitasi Medik


1. Speech Terapi : (-)
2. Okupasi Terapi : keterbatasan melakukan
kegiatan sehari-hari karena
sesak nafas
3. Sosiomedik : terkadang membutuhkan
bantuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari
4. Ortesa-protesa : (-)
5. Psikologi :-
6. Fisioterapi : sesak napas, retensi sputum

VI. PENATALAKSANAAN
 Terapi Medikamentosa
1.O2, 2-3 L / menit
2. Infus RL 20 tpm
3. drip 2/3 amp aminofilin dalam RL
4. Injeksi ceftriaxon 1 gram/12 jam
5. OBH syr 3 x CI

11
6. ambroxol 3 x 30 mg
7. Nebu Berotec : Atrofen : NaCl 0,9% = 16 : 16 tetes : 1cc  per 6 jam

 Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi :
chest physical therapy:
- breathing control
- deep breathing
- latihan batuk
- chest expansion exercise
- postural drainage
2. Speech Terapi : (-)
3. Okupasi Terapi : latihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik : memberi edukasi kepada pasien dan keluarga
mengenai penyakit pasien
5. Ortesa-protesa : (-)
6. Psikologi : (-)

VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, dan HANDICAP


A. Impairment : bekas TB, gagal nafas tipe II, CPC kompensata
B. Disabilitas : sesak napas, batuk
C. Handicap : keterbatasan aktivitas sehari-hari karena mudah sesak

VIII. PLANNING
Planning Diagnostik : spirometri  bila stabil
Planning Terapi : tidak ada
Planning Edukasi :
- Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi.

12
Evaluasi AGD

IX. GOAL
A. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
B. Minimalisasi impairment, disabilitas, dan handicap pada pasien
C. Mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk yang dapat
memperburuk keadaan penderita (seperti gagal nafas, infeksi
berulang, gagal jantung kanan)
D. Mengatasi masalah psikologis yang timbul akibat penyakit yang
diderita pasien

X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia et bonam
Ad sanam : dubia et malam
Ad fungsionam : dubia et malam

13
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
Insidensi Tuberkulosis (TB) dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade
terakhir ini di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya
banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial
ekonomi menengah ke bawah. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi
penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi,
angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama.
Di Indonesia TB merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan
dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India
dan China dalam jumlah penderita TB di dunia. Jumlah penderita TB paru dari tahun
ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita
baru TB paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru yang
menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TB di
Indonesia. Mengingat besarnya masalah TB serta luasnya masalah semoga tulisan ini
dapat bermanfaat.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosis. TB terutama menyerang paru-paru sebagai tempat
infeksi primer. Selain itu, TB dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan
selaput otak. TB menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat.
Pada sedikit kasus, TB juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini,
bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis.
Etiologi
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun.

14
Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada
disekitarnya, terutama yang kontak erat.
TB merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TB dapat
menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3
penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M. tuberkulosis. Kabar baiknya adalah orang
yang terinfeksi M. tuberkulosis tidak selalu menderita penyakit TB. Dalam hal ini,
imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak
bermanifestasi menjadi penyakit TB.
Manifestasi Klinis
Penderita TB akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk
berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak
napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan
produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala Umum :
· Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih
Gejala lain yang sering dijumpai :
· Dahak bercampur darah
· Batuk darah
· Sesak nafas dan rasa nyeri dada
· Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang
enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan,
demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TB.
Oleh sebab itu orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai
seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita
TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfibris),
badan kurus atau berat badan menurun.

15
Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikular melemah.
Pemeriksaan penunjang
- Tuberculin skin testing
Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tween-stabilized
liquid PPD pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dalam wkatu 48 –
72 jama, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran tes Mantoux
ini sebesar 5mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus :
1. Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV
2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TB yang infeksius
3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran
proses penyembuhan TB yang lama, yang sebelumnya tidak mendpatkan
terapo OAT yang adekuat
4. Individu yang menggunakan Narkoba dan status HIV-ny tidak diketahui
Sedangkan ukuran 10mm uji tuberculin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus
seperti :
1. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kecuali penderita HIV
2. Individu yang menggunakan Narkoba (jika status HIV-ny negative)
3. Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi denganpendapatan yang
rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang beresiko tinggi
4. Penderita yang lama mondokdirumah sakit
5. Anak kecil yang berusi kurang dari 4 tahun
Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai,karena uji ini haya menunjukkan ada
tidaknya antibodi anti TB pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80%
penduduk indosia sudah pernah terpapar intigen TB, walaupun tidak bermanifestasi,
sehingga akan banyak memberikan false positif.
- Pemeriksaan radiologis
1. Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian
perifer paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus

16
2. Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran :
a) Nekrosis
b) Cavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik)
c) Fibrosis dan retraksi region hilus
d) Bronchopneumonia
e) Infiltrate interstitial
f) Pola milier
g) Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut
3. TB pleurisy, memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi secara
massif
4. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali
pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak
hanya melihat apakah penyakit tersebut dalam proses progesi atau regresi.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke
kiri. Jumlah limfosit masih dibwah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih
tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan
anemia ringan dengan gambaran normokron dan normositer, gama globulin
meningkat dan kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya kuman
BA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif adalah bila
sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.
Klasifikasi penyakit dan tipe penderita
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita TB memerlukan “definisi
kasus” yang memberikan batasan baku dari setiap klasifikasi dan tipe penderita.
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus-yaitu
1. Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru

17
2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung : BTA positif atau BTA
negative
3. Riwayat pengobatan sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati
4. Tingkat keparahan penyakit : penyakit ringan atau berat
a. KLASIFIKASI
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Tuberkulosis Paru BTA positif
2. Tuberkulosis Paru BTA negative
B. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
selain jaringan paru,, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput
jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
alat kelamin dan lain-lain.
Berdasarkan tingkat keparahannya, TB Ekstra Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat
Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif
dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.
b. TIPE PENDERITA
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita, yaitu :
1. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2. Kambuh (relaps)

18
Adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB dan
etlah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
3. Pindahan (transfer in)
Adalah penderita TB yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (FORM TB 09)
4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out)
Adalah penderita TB yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih.
5. Gagal
- Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih.
- Adalah penderita BTA negative, rontgen positif yang menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
6. Lain-lain
Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas.
Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (adalah penderita yang
masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori
2)
Pengobatan tuberkulosis
a) Isoniasid ( H )
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang
berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kk BB,sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b) Rifampisin ( R )
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi –dormant ( persister )
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
mengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
c) Pirasinamid ( Z )

19
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg
BB.
d) Streptomisin ( S )
Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang
sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk
berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
e) Etambulol ( E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg
BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg/BB.

Prinsip Pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan
sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang
digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan
berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). uNtuk menjamin kepatuhan
penderita menelan obot , pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung
(DOT=Direcly Observed Treatment) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
OATterutama rifampisin . Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun
waktu 2 minggu sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan

20
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum
dalam jangka waktu yang lebih lama. Pengawasan ketat dalam tahap intensif
sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

GAGAL NAFAS
Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk
keluar paru. Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena
kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami
hipoventilasi dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang
normal. Hiperkapnia adalah proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak
adekuat (hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan
hipoksemia.
Hipoksemia:
Beberapa mekanisme yang menyebabkan hipoksemia dapat bekerja secara sendiri
atau bersama-sama :
1. Tekanan partial O2 yang dihirup (PIO2) menurun. Terjadi pada tempat yang
tinggi (high altitude) sebagai respons menurunnya tekanan barometer,
inhalasi gas toksik atau dekat api kebakaran yang mengkonsumsi O2.
2. Hipoventilasi. Hipoventilasi akan menyebabkan PAO2 dan PaO2 menurun.
Bila pertukaran gas intrapulmonal tidak terganggu, penurunan PaO2 sesuai
dengan menurunnya PAO2.
3. Gangguan Difusi. Akibat pemisahan fisik gas dan darah (pada penyakit paru
interstisial) atau menurunnya waktu transit eritrosit sewaktu melalui kapiler.
4. Ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi/perfusi (V/Q) regional. Keadaan ini
selalu menyebabkan keadaan hipoksemia yang berarti dalam klinik. Unit paru
yang ventilasinya jelek ketimbang perfusinya menyebabkan desaturasi, yang
efeknya sebagian tergantung kadar O2 darah vena. Kadar O2 vena yang
menurun menyebabkan keadaan hipoksemia menjadi lebih jelek. Penyebab
terbanyak adalah keadaan yang menyebabkan ventilasi paru menurun atau

21
obstruksi saluran nafas, atelektasis, konsolidasi, udema kardiogenik atau
nonkardiogenik). Pemberian O2 dapat memperbaiki keadaan hipoksemia
apabila penyebabnya adalah gangguan ketidakseimbangan V/Q, hipoventilasi
atau gangguan difusi oleh karena PAO2 meningkat, walaupun pada daerah
yang ventilasinya jelek. Apabila penderita mendapat O2 100%, hanya daerah
yang samasekali tidak mendapat ventilasi (shunt) yang menyebabkan
hipoksemia.
5. Shunt. Pada shunt terjadi darah vena sistemik langsung masuk kedalam
sirkulasi arterial. Shunt dapat terjadi intrakardiak yaitu pada penyakit jantung
congenital sianotik right-to-left atau di dalam paru darah melalui jalur
vaskuler abnormal (arterivena fistula). Penyebab paling sering adalah
penyakit paru yang menghasilkan ketidakseimbangan V/Q, dengan ventilasi
regionalnya hampir atau samasekali tidak ada.
6. Pencampuran (admixture) darah vena desaturasi dengan darah arterial
(SVO2). Keadaan ini akan menurunkan PAO2 pada penderita dengan penyakit
paru dan menyebabkan gangguan di pertukaran gas intrapulmonal. Campuran
saturasi O2 vena langsung dipengaruhi oleh setiap imbalans antara konsumsi
O2 dan penyampaian O2. Keadaan anemia yang tidak dapat dikonsumsi oleh
peningkatan output jantung atau output jantung yang insufisien untuk
kebutuhan metabolisme, dapat menyebabkan penurunan SVO2 dan PaO2.
Hiperkapnia.
Beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan hiperkapnia adalah:
a. Drive respiratori yang insufisien, defek ventilatori pump, beban kerja yang
sedemikian besar sehingga terjadi kecapaian pada otot pernafasan dan
penyakit intrinsik paru dengan ketidakseimbangan V/Q yang berat. Keadaan
hiperkapnia hampir selalu merupakan indikasi adanya insufisiensi atau gagal
nafas.
PaCO2 = k X VCO2 / VA
Meningkatnya VCO2 dapat disebabkan oleh febris, kejang, agitasi atau faktor
lainnya. Keadaan ini biasanya terkompensasi dengan meningkatnya VA
secara cepat. Hiperkapnia terjadi hanya apabila VA meningkatnya sedikit.
b. Hipoventilasi.

22
Hipoventilasi merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain
meningkatnya PaCO2 juga terdapat asidosis respirasi yasng sebanding dengan
kemampuan bufer jaringan dan ginjal. Menurunnya VA, pertama dapat
disebabkan oleh karena menurunnya faktor minute ventilation (VE) yang
sering disebut sebagai hipoventilasi global atau kedua, karena meningkatnya
dead space (VD). Penyebab hipoventilasi global adalah overdosis obat yang
menekan pusat pernafasan.
c. Dead space (VD).
Terjadi apabila daerah paru mengalami ventilasi dengan baik, tetapi
perfusinya kurang, atau pada daerah yang perfusinya baik tetapi mendapat
ventilasi dengan gas yang mengandung banyak CO2 Dead space kurang
mampu untuk eliminasi CO2. Dead space yang meningkat akan menyebabkan
hiperkapnia.

Penyebab Gagal Nafas.


Gagal nafas (yang menyebabkan hipoksemia dan atau hiperkapnia), dapat
juga disebabkan karena obstruksi saluran nafas, disfungsi parenkim paru dan
ventilatory pump failure. Supaya pernafasan menjadi efektif, perlu tekanan
intrapleura yang negatif, dan keadaan ini dihasilkan oleh kerja otot nafas dengan iga.
Kegagalan ventilatory pump dapat disebabkan oleh disfungsi pusat nafas, disfungsi
otot nafas atau kelainan struktur dinding dada. Anatomi saluran nafas dan parenkim
parunya mungkin normal. Kifosis dan flail chest adalah contoh kelainan perubahan
struktur dinding dada yang menyebabkan kontraksi otot nafas dan pembuatan
tekanan pleura menjadi inefisien.
Hipoventilasi juga dapat terjadi apabila otot inspirasi diafragma dan iga
dinding toraks berkontraksi secara asinkron (pada paralisis diafragma, kuadriplegia,
stroke akut). Sebagai penyebab utama disfungsi pump pernafasan adalah kekuatan
otot yang menurun. Ketahanan serabut otot ditentukan oleh keseimbangan antara
suplai nutrisi dengan kebutuhannya. Otot pernafasan yang kekurangan nutrisi
bekerjanya menjadi inefisien dan lelah. Hiperinflasi akut yang berat juga mengurangi
efisiensi pump pernafasan walaupun kekuatan masing-masing serabut otot tetap
normal.

23
Gejala Klinis Gagal Nafas.
Gejala klinis dari gagal nafas adalah nonspesifik dan mungkin minimal,
walaupun terjadi hipoksemia, hiperkarbia dan asidemia yang berat. Tanda utama dari
kecapaian pernafasan adalah penggunaan otot bantu nafas, takipnea, takikardia,
menurunnya tidal volume, pola nafas ireguler atau terengah-engah (gasping) dan
gerakan abdomen yang paradoksal.
Hipoksemia akut dapat menyebabkan berbagai masalah termasuk aritmia
jantung dan koma. Terdapat gangguan kesadaran berupa konfusi. PaO2 rendah yang
kronis dapat ditoleransi oleh penderita yang mempunyai cadangan kerja jantung yang
adekuat. Hipoksia alveolar (PAO2 60 mmHg) dapat menyebabkan vaso konstriksi
arteriolar paru dan meningkatnya resistensi vaskuler paru dalam beberapa minggu
sampai berbulan-bulan, menyebabkan hipertensi pulmonal, hipertrofi jantung kanan
(kor pulmonale) dan pada akhirnya gagal jantung kanan.
Hiperkapnia dapat menyebabkan asidemia. Menurunnya pH otak yang akut
meningkatkan drive ventilasi. Dengan berjalannya waktu, kapasitas bufer di otak
meningkat, dan akhirnya terjadi penumpulan terhadap rangsangan turunnya pH di
otak dengan akibatnya drive tersebut akan menurun. Efek hiperkapnia akut kurang
dapat ditoleransi daripada yang kronis, yaitu berupa gangguan sensorium dan
gangguan personalia yang ringan, nyeri kepala, sampai konfusi dan narkosis.
Hiperkapnia juga menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan
tekanan intrakranial. Asidemia yang terjadi bila hebat (pH 7,3) menyebabkan
vasokonstriksi arteriolar paru, dilatasi vaskuler sistemik, kontraktilitas miokard
menurun, hiperkalemia, hipotensi dan kepekaan jantung meningkat sehingga dapat
terjadi aritmia yang mengancam nyawa.

Diagnosis Gagal Nafas.


Analisa gas darah merupakan sarana utama untuk diagnosis gagal nafas.
Pemeriksaan tersebut perlu seringkali diulang untuk monitoring jalannya penyakit
dan pengobatan. Fungsi neuromuskular dapat dievaluasi dengan mengamati pola
pernafasan dan uji fungsi paru. Drive pernafasan dapat dilihat dari pengamatan

24
kecepatan pernafasan (30/menit), penggunaan otot bantu nafas, gerakan abdomen
paradoksal. Penghitungan fraksi dead space dan produksi CO2 dapat membantu
penanganan gagal nafas.

Terapi Gagal Nafas.


Pemberian O2 yang adekuat dengan meningkatkan fraksi O2 akan
memperbaiki PaO2, sampai sekitar 60-80 mmHg cukup untuk oksigenasi jaringan
dan pencegahan hipertensi pulmonal akibat hipoksemia yang terjadi. Pemberiannya
dengan FiO2 40% menggunakan kanul nasal atau masker. Pemberian O2 yang
berlebihan akan memperberat keadaan hiperkapnia. Menurunkan kebutuhan oksigen
dengan memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis dan lain-lain.
Usahakan hemoglobin sekitar 10-12 g/dl. Dapat digunakan tekanan positif seperti
CPAP, BiPAP dan PEEP.
Perbaiki elektrolit, balans pH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenik.
Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan, bronkospasme, secret
trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi. Kortikosteroid jangan digunakan secara
rutin.
Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan
volume paru yang ekuivalen dengan 5-12 cm H2O PEEP. Posisi prone baik untu
penderita ARDS. Drainase sekret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan
pemberian mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yang dihirup, perkusi,
vibrasi dada dan latihan batuk yang efektif.
Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi.
Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme.
Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjadi asidemia, hipoksemia dan
disfungsi sirkulasi yang progresif.

25
COR PULMONALE CHRONICUM
Cor Pulmonale Chronicum (CPC) adalah perubahan struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan jantung sebagai akibat dari gangguan paru kronis. Perubahan yang
terjadi berupa hipertrofi ventrikel kanan atau dilatasi atau keduanya sebagai akibat
dari adanya hipertensi pulmoner.
Dilatasi adalah peregangan dari ventrikel, sebagai hasil cepat dari
peningkatan tekanan pada tempat yang elastis. Hipertrofi ventrikel adalah respon
adaptif dari peningkatan tekanan dalam jangka waktu lama. Setiap sel otot
berkembang membesar dan mengalami perubahan morfologis yang khas agar dapat
mencukupi peningkatan kekuatan kontraksi yang diperlukan untuk menggerakkan
darah melawan tahanan yang lebih besar.
Untuk dapat diklasifikasikan sebagai CPC penyebab utama harus berasal dari
system pernafasan. Dua penyebab utama terjadinya perubahan vaskuler adalah
adanya kerusakan jaringan (misalnya penyakit, jejas hipoksia, bahan kimia dan lain-
lain), dan vasokonstriksi paru hipoksia kronis. RVH yang disebabkan karena kelainan
sistemik tidak bisa diklasifikasikan sebagai CPC.
Dilatasi ventrikel kanan atau hipertrofi dalam CPC adalah efek kompensasi
langsung dari vasokonstriksi pulmoner kronis dan hipertensi arteri pulmoner yang
menyebabkan peningkatan kerja dan beban ventrikel kanan. Saat ventrikel kanan
tidak dapat mengkompensasi dilatasi dan hipertrofi yang terjadi, maka terjadilah
gagal jantung kanan.

Patofisiologi hipertensi arteri pulmonal


Hipertensi pulmoner didefinisikan sebagai rata-rata tekanan arteri pulmoner
yang > 20 mmHg saat istirahant, atau 30 mmHg dengan latihan. Peningkatan tekanan
arteri pulmoner dan resistensi pembuluh darah pulmoner dapat berkembang pada
kelainan parenkim, jalan nafas atau pembuluh darah pulmoner dan hasilnya adalah
control yang abnormal dari ventilasi.
Ada beberapa mekanisme penyebab terjadinya hipertensi pulmonal dan CPC
a. Vasokonstriksi pulmonal:

26
Vasokonstriksi pulmonal pada saat terjadinya hipoksia pada arteri kecil dan
arteriol merupakan mekanisme pertahanan diri yang muncul secara akut
untuk mempertahankan perfusi-ventilasi local. Vasokonstriksi pulmoner local
muncul pada daerah yang mengalami hipoksia dan menyebabkan penghentian
aliran darah ke area hipoksik dan mengarahkannya ke daerah yang
mempunyai ventilasi yang adekuat, sehingga meningkatkan fungsi perfusi-
ventilasi dari paru secara keseluruhan. Meskipun berguna namun pada
vasokonstriksi kronis dapat menyebabkan penyempitan arteri pulmoner.
Hipoksia kronis menginduksi “muskularisasi” dari arteri pulmoner, dengan
otot polos berproliferasi secara longitudinal diantara tunika intima dari arteri
pulmoner kecil. Sehingga menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler
pulmoner dan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner.
b. Perubahan anatomis dari vaskularisasi
Oklusi atau penyempitan arteri pulmoner yang berukuran sedang sampai
besar adalah dasar dari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler pulmoner
pada beberapa gangguan misalnya penekanan mediastinum atau hilus oleh
tumor metastatik atau fibrosis, arteritis nonspesifik, tumor paru primer,
penyakit tromboemboli kronis dari pembuluh utama, dan infeksi (tuberkulosis
atau histoplasmosis)
c. Peningkatan viskositas darah
d. Idiopatik atau hipertensi pulmonal primer

27
Etiologi
a. Penyakit parenkim paru
- PPOK
- Kistik fibrosis
- Kehilangan jaringan paru akibat trauma atau pembedahan
- Pneumoconiasis stadium akhir
- Sarcoidosis
b. Gangguan vaskuler paru
- Hipertensi pulmonal primer
- Anemia sel sabit
- Skistosomiasis
- Oklusi vena pulmoner
- Tromboemboli pulmoner kronis
c. Kelainan dinding dada dan neuromuskuler
- kifoskoliosis
- Muscular dystrophy
- Myasthenia gravis
- Poliomyelitis
- Gullain-Barre syndrome
d. Gangguan control ventilasi
- Sindrom sleep apnea
- Hipoventilasi primer sentral

Gejala dan tanda


Gejala CPC muncul secara bertahap dalam jangka waktu lama. Pada pasien
dengan PPOK gejala dapat tertutupi oleh adanya hiperinflasi dari paru. Kebanyakan
pasien awalnya memiliki gejala sesak nafas, yang semakin memberat ketika terjadi
gagal jantung kanan. Nyeri dada mungkin muncul dan sulit dibedakan dengan angina
pectoris. Pada pasien dengan PPOK berat sering terjadi orthopneu ynag berhubungan
dengan efek dari hiperinflasi paru pada venous return jantung kanan. Semakin
memburuknya kerja ventrikel kanan mengakibatkan pembengkakan dan rasa penuh
karena kongesti vena hepar dan oedem pada extremitas bawah. Oedem perifer dapat
juga disebabkan oleh penyebab lain misalnya hipoalbuminemia dan tidak selalu
muncul pada pasien dengan hipertensi pulmoner. Oedem jarang muncul jika pCO2
normal dan tidak selalu muncul pada peningkatan pCO2. Gelombang sistolik pada
parasternal kiri dapat menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kanan, dan bising
regurgutasi tricuspid dapat menunjukkkan adanya dilatasi ventrikel kanan.terdapat

28
abnormalitas dinding dada, misalnya barrelchest. Terdapat ronkhi dan wheezing pada
paru.
Gambaran EKG :
- Hipertrofi ventrikel kanan (HV kanan)
- Abnormalitas atrium kanan
- “Slow progession of R” pada lead prekordial (terutama pada PPOK)
- Kadang aritmia ventrikuler / supraventrikuler
Foto thoraks :
- Kelainan pada paru, pleura, atau dinding dada
- Pembesaran ventrikel kanan
- Pelebaran vena cava superior
- Pelebaran trunkus pulmonalis pada daerah hilus
Pemeriksaan laboratorium :
a. Analisa gas darah
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Asidosis respiratorik
b. Polisitemia
c. Faal paru
- Kelainan restriktif
- Obstruktif berat

Terapi
Terapi penyakit paru
a. Bronkodilator
b. Mukolitik & ekspektoran
c. Anti Biotik (AB) bila ada infeksi
d. O2 dosis rendah (1-2 L/menit)
e. Koreksi asidosis
Terapi gagal jantung
a. Diuretik
- Efektif bila CPC yang disebabkan PPOK
- Bila >> metabolik alkalosis
b. Digitalis
- Hati-hati mudah intoksikasi
- Terutama pada gagal jantung kongestif
c. Vasodilator pulmonal
d. Phlebotomi

29
30

Anda mungkin juga menyukai