Anda di halaman 1dari 3

Judul : Tan Malaka: Pahlawan Besar Yang Dilupakan Sejarah.

Penulis : Masykur Arif Rahman

Editor : Hanifah Fitriani

Penerbit : Palapa-Diva Press

Tahun Terbit : Pertama, November, 2013

Jumlah Halaman : 298 halaman

ISBN : 978-602-279-083-9

Peresensi : Muhammad Rasyid Ridho, Pustakawan-Pendiri Klub Pecinta Buku


Booklicious.

Sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 53 Tahun 1963, Tan Malaka diberi
penghargaan oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penghargaan ini
diberikan dikarenakan Tan Malaka memiliki jasa-jasa sebagai pemimpin Indonesia di masa
hidupnya, karena terdorong oleh rasa cinta tanah air dan bangsa. Yakni dengan memimpin suatu
kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di bumi Indonesia (halaman 290).

Namun, generasi saat ini banyak sekali yang tidak tahu siapa itu Tan Malaka. Karena memang,
nama Tan Malaka tidak pernah disebut dalam buku diktat pelajaran sejarah di sekolah. Bersebab
Tan Malaka salah satu aktivis PKI, maka oleh rezim Orde Baru namanya dihapus dalam
pelajaran sejarah meskipun tetap sebagai pahlawan kemerdekaan Indonesia. Nah, mungkin inilah
yang menjadi penyebab kenapa Masykur Arif Rahman menulis buku ini yang berjudul Tan
Malaka: Pahlawan Besar Yang Dilupakan Sejarah.

Selama ini sang revolusioner ini terkenal dengan nama Tan Malaka saja. Sebenarnya, Tan
Malaka memiliki nama kecil yaitu Ibrahim. Pada usia sekitar 16 tahun, melalui upacara adat,
Ibrahim diberi gelar dengan nama Datuk Tan Malaka. Gelar Datuk Tan Malaka merupakan gelar
semibangsawan yang didapatkan dari garis keturunan sang ibu. Kata datuk memiliki arti
pemimpin, orang yang dituakan, penghulu, atau kepala adat. Kalau gurauan bersama teman-
temannya di Haarlem, Belanda. Tan Malaka memberikan arti gelar itu sebagai Pangeran dari
Malaka. Gelar tersebut mengangkatnya menjadi pemimpin di antara kaumnya.

Tan Malaka lahir pada tahun 1897, tempat kelahirannya sekarang dikenal sebagai Nagari Pandan
Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya, bernama H.M. Rasad, seorang
pegawai pertanian, dan ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desanya.
Tan Malaka tidak memiliki saudara kandung perempuan. Tetapi, dia memiliki adik laki-laki yang
bernama Kamaruddin.

Seperti yang dikatakan Tan Malaka, hal ini menyebabkan ibunya sedih, karena tidak memiliki
anak perempuan. Karena dalam adat matrineal, anak perempuanlah yang nantinya akan mewarisi
seluruh harta kekayaan orang tuanya. Setelah anak laki-laki menikah, maka dia akan tingga di
rumah istrinya. Sedangkan anak perempuan tetap di rumah orang tuanya (halaman 17).

Tan Malaka lahir dari keluarga yang merupakan tokoh agama setempat. Maka pendidikan agama
memang juga diutamakan pada dirinya oleh orang tuanya. Namun, Tan Malaka lebih sering tidak
ikut mengaji karena belajar ilmu umum dan bermain. Sepertinya hal inilah yang mendasari
akhirnya, Tan Malaka berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah guru.

Di Belanda Tan Malaka banyak membaca buku-buku tentang filsafat, revolusi, sosialis-komunis
seperti Also Sprach Zarathustra dan Der Wille Zur Macht karya Friedrich Nietszche, Het
Kapital karya Marx-Engels dan lainnya. Dengan tekun dia melahap buku-buku bertema tersebut
sehingga apa yang dia baca menjadi landasan pikiran dan hidup. Selain itu dia juga aktif dalam
perkumpulan seperti Himpunan Hindia yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantoro yang banyak
mengadakan rapat-rapat tentang kemerdekaan Indonesia.

Sehingga ketika dia kembali ke Indonesia pada November 1919 jiwa revolusionernya pun
semakin menggebu. Apalagi melihat keadaaan rakyat di Deli, Sumatera Utara yang
memprihatinkan Tan Malaka pun terenyuh. Dia menyanggupi tawaran Direktur Perusahaan
Senembah, Dr. C. W. Janssen untuk menjadi guru.

Dia membuat sekolah teladan yang membuatnya tidak hanya akrab dengan anak-anak di sana
namun juga dengan para orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ataupun tidak.
Dia banyak berdiskusi dengan para buruh tersebut agar penderitaannya lebih ringan. Hingga
akhirnya menimbulkan kecurigaan dari pemerintah Belanda di sana dan membuat Tan Malaka
mengundurkan diri dari guru dan ingin ke Jawa dengan tujuan bekerja sebagai guru maupun
sebagai upaya bisa masuk dalam bidang politik (halaman 71).

Di Jawa Tan Malaka mengikuti kongres Sarekat Islam dan Tjokroaminoto menawarinya untuk
bergabung dengan itu dia akan mendapatkan peluang yang besar. Setelah bergabung Tan Malaka
berada di SI Semarang dan membuat sekolah di sana agar semakin banyak rakyat yang sadar
akan butuhnya revolusi. Namun, lagi-lagi upayanya di hadang oleh Belanda dengan akan
menutup sekolah yang dia dirikan.

Dalam perjuangannya Tan Malaka memang memilih berjuang dengan PKI karena dia cocok
dengan cita-cita revolusioner PKI. Namun, dia tidak mau ada perpecahan dengan SI karena beda
ideologi, karena menurut dia perpecahan itu akan menyulitkan revolusi. Padahal baik SI maupun
PKI menginginkan revolusi.

Dalam memperjuang kemerdekaan Indonesia Tan Malaka pernah sampai harus diasingkan. Dia
diasingkan ke Belanda. Namun, dalam pengasingan dia malah mendapat banyak kesempatan
bertemu dengan teman-teman seideologinya yang lain Negara. Yang menguatkan kembali jiwa
revolusionernya.

Namun, sayang dalam proklamasi kemerdekaan Tan Malaka tidak menjadi orang penting karena
tidak diberitahu akan adanya peristiwa penting tersebut. Dalam sejarahnya, Tan Malaka pernah
menjadi musuh politik Orde Lama yang berbeda dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kemerdekaan Orde Lama dengan perundingan yang malah banyak memberikan kerugian,
sedangkan Tan Malaka ingin dengan revolusi. Sehingga Tan Malaka seakan dibungkam
perjuangannya. Bahkan, dia sendiri tidak setuju dengan pemberontakan pada 30 September.

Melihat perjuangan Tan Malaka, memang dia adalah komunis namun tetap nasionalis.
Perjuangannya tidak mengikutik keinginan komunis internasional, namun berdasarkan apa yang
dibutuhkan dalam perjuangan Indonesia. Pengakuan sebagai pahlawan memang seharusnya tidak
harus ditutupi, namun ideologi komunis internasional yang beda dengan Tan Malaka bisa jadi
harus diwaspadai. Yah, bangsa yang besar menghargai perjuangan para pahlawannya. Kita
seharusnya pun menghargai perjuangan Tan Malaka untuk kemerdekaan Indonesia.

1. Kelebihan Buku

Kelebihan dari buku ini terletak pada coverbuku ini sendiri yaitu cover- nya yang berwarna merah
yang memberikan kepastian tentang sebuah keberanian. Serta ditambahi oleh foto Tan Malaka
yang menambah kesan bahwa ialah penulis yang sebenarnya. Penulis buku ini sendiri, Tan Malaka,
memiliki wawasan luas yang mampu memberikan motivasi serta informasi tentang Indonesia dan
revolusinya.

Adapun kelebihan lainnya yaitu adanya sebuah ikhtisar riwayat bangsa dan pengaruh dari aspek
keyakinan, sosial dan politik serat menceritakan keadaan rakyat Indonesia secara sistematis di
masa pra kemerdekaan namun juga mampu di implementasikan pasca kemerdekaan. Buku ini juga
mampu memberikan referensi yang lebih baik bagi kaum proletar pada saat ini serta membuat para
pembaca untuk berpikir sebelum masa kemerdekaan dan menjadikan para pembaca seakan-akan
terbawa pada zaman itu serta mampu menjadi motivasi bagi para pemuda untuk tetap terus
bergerak menegakkan keadilan dan kemakmuran serta turut andil demi kesejahteraan bersama.

2. Kekurangan Buku

Kekurangan dari buku Aksi Massa ini yakni memiliki kata-kata yang sulit dimengerti untuk
pembaca muda pada masa kini apalagi karena menceritakan tentang Indonesia di masa pra
kemerdekaan di mana masih banyak orang yang belum mengerti situasi pada saat itu. Selain itu,
buku ini juga memiliki kertas yang bisa dikatakan kurang bagus, belum lagi ada tulisan yang
kurang jelas sehingga membuat para pembaca malas dan enggan untuk membacanya.

Penulis buku ini juga tak menjelaskan contoh dari putch yang di jelaskan secara mendetail,
contohnya seperti apa putch itu dimasa pra kemerdekaan, atau kejadian putch itu berada di daerah
mana dan implementasinya seperti apa.

Anda mungkin juga menyukai