Anda di halaman 1dari 15

Diet dalam dermatologi

Bagian I. Dermatitis atopik, jerawat, dan kanker kulit nonmelanoma


Tara Bronsnick, MD, Era Caterina Murzaku, BS, and Babar K. Rao, MD
New Brunswick, New Jersey

Pasien biasanya bertanya mengenai modifikasi makanan sebagai cara untuk mencegah atau
mengelola penyakit kulit. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini seringkali menantang, mengingat
bukti yang luas dan saling bertentangan yang ada mengenai hal ini. Artikel ini merangkum bukti-
bukti terbaru yang memungkinkan dokter untuk menjawab pertanyaan pasien berdasarkan hal
itu. Bagian I termasuk dermatitis atopik, jerawat, dan kanker kulit nonmelanoma. Peran
suplemen makanan, eliminasi makanan, alergi makanan, makanan untuk ibu hamil dan menyusui
dalam perkembangan dan / atau pencegahan dermatitis atopik telah diringkas. Dijelaskan
mengenai mekanisme dermatoendokrinologis sebagai efek terhadap glikemik indeks/load dan
susu pada jerawat, serta bukti klinis terkait modifikasi diet. Pada bagian akhir, dilaporkan bukti
dan rekomendasi untuk pembatasan atau suplementasi makanan untuk pencegahan kanker kulit
nonmelanoma, termasuk lemak, vitamin A, C, D, dan E, dan selenium.

Kata kunci : jerawat; dermatitis atopic; karsinoma sel basal; diet; kanker kulit nonmelanoma;
nutrisi; karsinoma sel squamousa

Peran makanan dalam dermatologi sering menjadi sumber pertanyaan bagi pasien dan
masih meragukan di kalangan dokter. Pada artikel bagian pertama ini kami mendiskusikan
mengenai efek makanan pada dermatitis atopic, jerawat, dan kanker kulit nonmelanoma.

DERMATITIS ATOPIK

Poin utama :

 Suplementasi probiotik prenatal diikuti dengan postnatal dapat mengurangi risiko


dermatitis atopic

 Suplementasi prebiotik postnatal mengurangi risiko dermatitis atopic


 Eliminasi makanan hanya tepat dilakukan pada pasien dengan alergi makanan yang sudah
dibuktikan dengan uji makanan oral (oral food challenge)

 Menghindari makanan alergen pada ibu hamil tidak mencegah dermatitis atopic

 Pemberian ASI eksklusif dan suplementasi formula terhidrolisis dapat mencegah


dermatitis atopic pada bayi dengan risiko tinggi

 Untuk bayi normal, pemerian ASI eksklusif tidak dapat mencegah dermatitis atopic

Tujuh tinjauan terbaru dari Cochrane dan beberapa pedoman dari para professional telah
menyelidiki mengenai peran makanan pada dermatitis atopic. 1-10 Beberapa literatur fokus pada
suplementasi makanan, eliminasi makanan, alergi makanan, serta makanan pada ibu hamil dan
menyusui.

SUPLEMENTASI MAKANAN

Sebuah tinjauan dari Cochrane tahun 2012 menganalisis tentang pemberian suplemen
makanan pada pasien dengan dermatitis atopic. Sebelas uji coba kontrol secara acak (RCT)
dengan 596 partisipan dimasukkan kedalam analisis, yang ditujukan pada minyak ikan, zink
sulfat, selenium, vitamin D, vitamin E, piridoksin, sea buckthorn seed oil, minyak rami, minyak
bunga matahari, dan asam docosahexaenoic. Studi yang dikaji berkualitas rendah dan terlalu
kecil untuk memberikan bukti konklusif mengenai manfaat suplemen makanan pada dermatitis
atopik.

VITAMIN D

Studi intervensi terbaru menyelidiki dampak suplementasi vitamin D pada pasien dengan
DA. Dalam 1 percobaan secara acak, suplementasi vitamin D 1600 IU setiap hari selama 2 bulan
secara signifikan meningkatkan skor dermatitis atopik (SCORAD) dan tingkat keparahan 3-item
skor dibandingkan dengan placebo. Demikian pula dalam sebuah studi cross-sectional,
suplementasi dengan 2000 IU setiap hari selama 3 bulan pada pasien dengan kadar serum
vitamin D rendah secara signifikan meningkatkan SCORAD. Sebaliknya, dalam percobaan lain,
suplementasi dengan 4000 IU setiap hari selama 2 bulan tidak berdampak signifikan pada area
eksim dan indeks keparahan.13
MINYAK PRIMROSE DAN BORAGE

Evening primrose oil (EPO) dan borage oil (BO) adalah sumber asam gamma-linolenat,
yang merupakan asam lemak antiinflamasi yang dianggap kurang pada pasien dengan AD. 3
Sebuah tinjauan Cochrane tahun 2013 menganalisis 27 studi dengan 1596 peserta yang diselidiki
asupan oral EPO atau BO sebagai pengobatan untuk AD. Secara bersama-sama, tidak ada
perbaikan signifikan dalam AD setelah pemberian suoplemen EPO atau BO jangka pendek.3

PREBIOTIK DAN PROBIOTIK

Komposisi bakteri usus terbukti mempengaruhi kepekaan saluran cerna terhadap


makanan dan patogenesis AD. Prebiotik dan probiotik mengubah mikroflora usus dan
mengurangi peradangan usus. Prebiotik adalah komponen makanan yang tidak bisa dicerna,
biasanya berupa oligosakarida, dan probiotik adalah mikroorganisme hidup.4-6 Tinjauan Cochrane
2013 yang menganalisis 4 studi termasuk 1428 bayi mengungkapkan adanya penurunan risiko
yang signifikan terhdap dermatitis alergi setelah suplementasi prebiotic pada bayi. 4 Ulasan
Cochrane tentang probiotik menghasilkan hasil yang bertentangan.5,6 Satu dari 12 percobaan
dengan 781 anak tidak ditemukan perbedaan signifikan antara gejala atau keparahan DA setelah
pemberian suplemen probiotik.6 Hasil lain pada 6 studi dengan 2080 bayi mengidentifikasi
adanya perbaikan yang signifikan pada DA dengan suplementasi probiotik pada bayi berisiko
tinggi.

Tambahan yang mendukung adanya peran proteksi pada probiotik berasal dari 2
metaanalisis terhadap suplementasi ibu selama kehamilan. Pada sebuah metaanalisis tahun 2012,
dari 7 percobaan mengungkapkan penurunan risiko risiko DA yang signifikan pada anak usia 2-7
tahun setelah pemberian lactobacilli prenatal. 14 Temuan ini didukung oleh metaanalisis dari 16
percobaan yang menemukan bahwa pemberian probiotik prenatal diikuti postnatal merupakan
proteksi terhadap DA pada bayi normal ataupun bayi dengan risiko tinggi.15

ELIMINASI MAKANAN DAN ALERGI MAKANAN

Pasien sering melaporkan makanan sebagai faktor yang memperburuk AD dan


mengeliminasi makanan yang mereka anggap berpengaruh. Sedangkan alergi makanan yang
dimediasi imunoglobulin E (IgE) e dilaporkan mencapai 40% dari anak-anak dengan DA
moderate, kontribusi alergi terhadap DA masih dipertanyakan.16

Ulasan Cochrane tahun 2008 menilai tentang eliminasi makanan untuk pengobatan AD. 2
Data dari 9 percobaan ditinjau: 6 studi mengeliminasi telur dan susu, 1 studi diet dengan
makanan sedikit, dan 2 studi diet unsur. Tidak ada manfaat yang signifikan pada diet ini untuk
pasien DA yang tidak memiliki alergi spesifik terhadap makanan.2 Sebaliknya, diet bebas telur
meningkatkan keparahan DA pada pasien dengan serum IgE spesifik positif terhadap telur. 2.
Kurangnya manfaat dari eliminasi diet pada pasien yang tidak memiliki alergi spesifik mungkin
berkaitan dengan kurangnya alergi terhadap makanan yang dieliminasi pada pasien ini.2

Dua guideline professional membuat rekomendasi untuk diagnosis dan manajemen alergi
makanan pada pasien AD.9, 10
Diagnosis alergi makanan yang dimediasi IgE bergantung pada
kombinasi riwayat medis, uji tusukan kulit, pengujian IgE serum, dan uji makanan oral. 9,10,16
Sejarah, tusukan kulit tes, dan serum IgE spesifik alergen tidak diagnostik karena keterbatasan
nilai prediktif positif untuk klinis alergi. 9,10,16-19 Standar kriteria diagnostik adalah double-blind,
uji makanan dengan plasebo, yang sering tidak praktis dalam praktik klinis, dan lebih tepat
diganti dengan single-blind atau uji makanan terbuka.9,10 Uji didahului dengan menyisihkan
makanan yang dicurigai selama 2 hingga 8 minggu dan dikelola dalam pengaturan medis yang
diawasi dan memungkinkan untuk pengobatan reaksi hipersensitivitas9 . Jika uji tidak
menimbulkan gejala, berarti alergi makanan terhadap makanan tersebut tidak ada. Alergi
makanan dikonfirmasi jika uji tersebut menimbulkan gejala yang berkorelasi dengan riwayat
medis, cek darah, dan hasil uji tusuk kulit.9

Untuk pasien dengan DA dan alergi makanan yang terbukti, eliminasi makanan adalah
hal yang tepat karena dapat mengurangi keparahan DA..9,10,16 Konsultasi dengan ahli gizi
diindikasikan untuk mencegah defisiensi nutrisi dan hambatan ertumbuhan.20 Selain itu, karena
alergi makanan sering sembuh secara spontan, pasien harus dinilai ulang secara teratur untuk
menghindari eliminasi yang tidak perlu.21 Untuk pasien tanpa alergi makanan yang terbukti,
eliminasi makanan tidak diperlukan untuk tatalaksana DA, karena tidak ada bukti yang
menyatakan manfaat dari hal tersebut. Selain itu, diet ini dapat menyebabkan defisiensi nutrisi,
defisit pertumbuhan, dan reaksi anafilaksis pada paparan makanan yang sebelumnya dapat
ditoleransi.2,9,10,16,20,21
DIET IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Ulasan Cochrane 2012 menganalisis 5 percobaan dengan 952 peserta tidak menemukan
efek proteksi yang signifikan terhadap antigen dari diet selama kehamilan, laktasi, atau keduanya
untuk pencegahan DA pada bayi hingga usia 18 bulan .7 Selain itu, penghindaran antigen pada ibu
selama kehamilan berkaitan dengan penurunan berat badan gestational berat lahir serta
meningkatkan risiko kelahiran prematur.7 Dalam 1 studi crossover dari 17 wanita menyusui,
penghindaran antigen berkaitan dengan suatu penurunan keparahan DA yang tidak signifikan
pada bayi.7

Pada 2008, American Academy of Pediatrics merangkum bukti untuk nutrisi ibu dan bayi
dalam konteks DA.8 Sejalan dengan tinjauan dari Cochrane, mereka melaporkan bahwa
pembatasan makanan pada ibu hamil dan menyusui tidak mempengaruhi perkembangan DA. ASI
eksklusif selama 4 bulan pada bayi berisiko tinggi dilaporkan bersifat protektif terhadap DA.8
Sebuah metaanalisis dari 18 studi prospektif dan studi dari German Infant Nutritional
Intervention menemukan adanya penurunan insidensi DA pada bayi berisiko tinggi yang disusui
ASI dibandingkan dengan yang minum susu sapi.22-24 Efek proteksi ini juga terdapat pada
formula terhidrolisis.8, Sebaliknya, tidak ada efek signifikan dari ASI eksklusif pada DA diamati
pada bayi di populasi umum.22-27

Kesimpulan

Tidak ada bukti yang cukup untuk menyarankan manfaat dari suplementasi dengan
vitamin D, EPO, BO, minyak ikan, zink sulfat, selenium, vitamin E, piridoksin, sea buckthorn
seed oil, minyak rami, minyak bunga matahari, dan asam docosahexaenoic untuk DA. Bukti
menunjukkan bahwa suplementasi prebiotik pada bayi dan prenatal diikuti oleh suplementasi
probiotik pascanatal mengurangi risiko DA. Eliminasi makanan hanya sesuai untuk pasien yang
memiliki alergi makanan yang dibuktikan dengan oral food challenge. Penghindaran makanan
allergen pada ibu selama kehamilan atau menyusui tidak mencegah AD. ASI eksklusif selama 4
bulan atau menyusui dengan tambahan formula terhidrolisis adalah pelindung terhadap DA pada
bayi berisiko tinggi. Untuk bayi normal, menyusui tidak mempengaruhi insidensi DA. Tabel I
merangkum semua rekomendasi dengan menyediakan bukti terkait.
Tabel I. Modifikasi diet untuk pasien dermatitis atopic beserta rekomendasi dan tingkatan terkait
bukti yang ada

Tingkatan bukti berdasarkan Journal of the American Academy of Dermatology guidelines. Level IA mencakup bukti dari
metaanalisis pada uji coba terkontrol secara acak (RCT); level IB mencakup bukti pada ≥1 RCT; level IIA mencakup bukti dari
≥1 studi terkontrol tanpa pengacakan; level IIB mencakup bukti pada ≥1 jenis studi eksperimental; level III mencakup bukti dari
studi deskriptif non eksperimental, seperti studi komparatif, korelasi, dan kasus kontrol; level IV meliputi bukti dari laporan ahli
atau pendapat serta pengalaman klinis, atau keduanya.
ACNE

Poin utama :

 Beberapa uji coba terkontrol secara acak dengan bukti biokimia dan histopatologis
mendukung manfaat diet dengan glikemik index/load yang rendah pada pasien jerawat.

 Sementara penelitian observasional menunjukkan bahwa sering mengkonsumsi susu


memberikan risiko yang tinggi terhadap jerawat.

Banyak pasien percaya bahwa makanan berkontribusi pada terjadinya jerawat. 28-33 Hubungan
antara diet dan jerawat telah muncul sebagai topik hangat, dengan 10 ulasan dalam 10 tahun
terakhir.34-46 Literatur membahas mengenai banyak makanan, termasuk asam lemak, coklat, gula,
probiotik, dan multivitamin, tetapi hanya 2 yang paling umum ditujukan — indeks glikemik dan
susu — akan dibahas di sini.

GLIKEMIK INDEKS/LOAD

Makanan para penghuni pulau Kitavan di Papua Nugini terbuat dari tumbuhan dan hewan
yang diproses secara minimal tanpa adanya karbohidrat.47 Jerawat tidak ada di antara populasi
ini, menunjukkan bahwa glikemik load yang rendah pada makanan kemudian tidak adanya
hiperinsulinemia dengan kaskade endokrin yang terkait mungkin bertanggung jawab.47

Glycemic index (GI) adalah sistem numerik yang mengukur kenaikan glukosa darah yang
dipicu oleh suatu karbohidrat. Glycemic load (GL) mengatur kandungan karbohidrat berdasarkan
GI dan ukuran porsinya.48 Mekanisme dermatoendokrinologis yang mendasari hubungan antara
GI / GL dan jerawat telah dijelaskan dengan baik.39,44,48,49 Secara singkat, diet tinggi GI / GL
menyebabkan hiperinsulinemia, yang memicu suatu sinyal untuk menghasilkan peningkatan
insulin dan aktivitas insulin-like growth factor 1 (IGF-1) serta menurunkan aktivitas IGF-binding
protein 3 (IGFBP-3). Penurunan IGFBP-3 secara efektif meningkatkan bioavailabilitas IGF-1,
meningkatkan pengaktifannya. IGF-1 dikenal untuk merangsang factor utama patogenesis
jerawat, termasuk proliferasi keratinosit, proliferasi sebosit, dan lipogenesis.39,44,48,49 Insulin dan
IGF-1 meningkatkan sintesis androgen gonad dan adrenal, menurunkan sintesis hepatik dari sex
hormone binding globulin (SHBG), dan menghilangkan reseptor androgen, dengan demikian
secara langsung mengaktifkan dan meningkatkan bioavaibilitas androgen. Androgen
meningkatkan produksi sebum dan berkontribusi terhadap patogenesis jerawat.48-51 Akhirnya,
IGFBP-3 adalah faktor proapoptosis yang kuat pada keratinosit dan korneosit.44

Smith et al52-55 menerbitkan 4 studi intervensi yang meneliti efek diet GI / GL rendah
dibandingkan diet GI / GL tinggi pada jerawat. Dalam 2 RCT, kelompok GI / GL rendah
mengalami penurunan jumlah jerawat yang signifikan dan indeks androgen bebas serta
peningkatan yang signifikan dalam sensitivitas insulin dan IGFBP dibandingkan dengan
kelompok GI / GL tinggi.52,53 Namun, kedua penelitian itu dibatasi oleh ketidakmampuan untuk
mengisolasi efek diet rendah GI / GL dengan penurunan berat badan. Penelitian selanjutnya
tidak menemukan perbedaan dalam aliran sebum, tetapi terdapat suatu peningkatan rasio lemak
jenuh terhadap lemak tak jenuh dalam trigliserida di permukaan kulit pada GI / GL yang
rendah.54 Perubahan trigliserida permukaan kulit berkorelasi dengan total lesi yang terhitung,
menunjukkan bahwa rendahnya GI/GL berpengaruh pada jerawat melalui lipogenesis sebasea. 54
Akhirnya, dalam studi kecil nonrandom, kelompok GI / GL rendah mengalami peningkatan yang
signifikan dalam sensitivitas insulin dan IGFBP-3, sedangkan kelompok dengan GI / GL yang
tinggi mengalami peningkatan signifikan dalam hal indeks androgen bebas dan penurunan
SHBG.55 Studi intervensi ini memberikan bukti bahwa diet rendah GI / GL dapat meningkatkan
munculnya jerawat. Namun, penurunan berat badan merupakan faktor perancu.

RCT baru-baru ini mendukung temuan Smith et al52-55 dan memberikan dukungan
histopatologis untuk manfaat diet rendah GI / GL pada jerawat. 56 Diet rendah GI/GL
menyebabkan penurunan jumlah jerawat yang signifikan. Pemeriksaan histopatologis
mengungkapkan berkurangnya ukuran kelenjar sebaceous dan penurunan ekspresi regulasi sterol
elemen binding protein-1, a regulator sintesis lipid, dan interleukin-8, serta sitokin inflamasi
pada diet rendah GI / GL.56

Studi observasi juga menunjukkan suatu hubungan antara glikemik load dan jerawat.
Sebuah studi kasus kontrol mengungkapkan suatu perbandingan signifikan mengenai tingginya
glikemik load antara pasien jerawat dengan kontrol berupa pasien yang sehat, legkap dengan
analisis multivariat untuk penghitungan indeks masa tubuh.57 Di antara 2258 pasien yang
mengokonsumsi makanan south beach, yang menekankan makanan rendah GI, 37 86,7%
melaporkan perbaikan jerawat dengan diet dan 91% 56 melaporkan kemampuan untuk
mengurangi dosis atau jumlah obat jerawat. 58 Studi kasus kontrol berbasis komunitas
menemukan bahwa pasien mengkonsumsi makanan Mediterania, makanan rendah GI lainnya,
lebih kecil kemungkinannya berjerawat.59 Akhirnya, suatu studi cross-sectional mengidentifikasi
diet GI yang lebih tinggi di antara peserta dengan jerawat sedang hingga parah dibandingkan
dengan mereka yang tidak atau berjerawat ringan.33

Dua studi tidak mendukung hubungan antara GI / GL dengan jerawat. Suatu percobaan
nonrandomized yang menguji efek diet tinggi GI/GL dibandingkan dengan a diet rendah GI / GL
pada pasien jerawat tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam keparahan jerawat, sensitivitas
insulin, indeks androgen bebas, SHBG, IGF-1, atau IGFBP-3 antar kelompok. 60 Suatu studi
propektif juga mengungkapkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada GI / GL, glukosa
serum, sensitivitas insulin, atau IGF-1 pada pasien jerawat dibandingkan dengan kontrol.61

SUSU

Mirip dengan karbohidrat GI tinggi, konsumsi susu secara signifikan meningkatkan kadar
insulin dan IGF-1 dan menurunkan kadar IGFBP-3 .49 Susu juga mengandung bovine IGF-1, yang
identik dengan IGF-1 manusia dan berikatan pada reseptor dengan afinitas yang sama
dengannya.62 Peningkatan insulin dan pensinyalan IGF-1 memicu comedogenesis, lipogenesis
sebaceous, peradangan folikel, dan stimulasi androgenik.63 Susu juga memiliki prekursor
dihidrotestosteron, termasuk progesteron yang berasal dari plasenta, 5a-pregnanedione, 5a-
androstanedione, dan banyak faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan.64

65-67
Dalam 3 serangkaian studi, Abedamowo et al menyelidiki hubungan antara jerawat
dan konsumsi susu, Dalam studi kohort retrospektif pada 47.355 wanita, menggunakan data dari
Nurses 'Health Studi II, riwayat diri yang dilaporkan pada pasien dengan diagnosa jerawat berat
65
positif berhuubungan dengan total frekuensi mengkonsumsi susu dan susu skim. Demikian
pula pada studi kohort prospektif yang meliputi 6094 perempuan dengan jerawat yang dilaporkan
sendiri, positif berkaitan dengan total konsumsi susu rendah lemak, dan konsumsi susu skim. 66
Dalam sebuah studi pada 4273 anak laki-laki, jerawat yang dilaporkan sendiri berhubungan
positif dengan asupan susu skim saja. 67 Selain itu, 2 kasus studi kontrol dan 1 studi cross-
sectional mengidentifikasi peningkatan risiko jerawat dengan konsumsi susu yang lebih
sering.33,57,68 Akhirnya, serangkaian kasus baru-baru ini melaporkan jerawat pada 5 pasien pria
yang dipercepat dengan suplementasi protein whey.69 Protein whey terdiri dari 20% protein
dalam susu sapi dan dianggap sebagai komponen insulinotropic. 49 Pasien-pasien ini mengalami
perbaikan jerawat mereka setelah penghentian suplementasi protein whey.69

Kesimpulan

Saat ini, terdapat mekanisme biokimia dan mekanisme fisiologis yang menjelakan
dengan baik mengenai hubungan antara GI/GL dan konsumsi susu dengan jerawat. Beberapa uji
coba telah menunjukkan manfaat diet rendah GI/GL pada pengobatan jerawat, jadi diet ini bias
direkomendasikan pada pasien. . Tabel II merangkum rekomendasi bersama dengan tingkat bukti
terkait.

Tabel II. Modifikasi diet untuk pasien jerawat beserta rekomendasi dan tingkatan terkait bukti
yang ada

Tingkatan bukti berdasarkan Journal of the American Academy of Dermatology guidelines. Level IA mencakup bukti dari metaanalisis pada uji
coba terkontrol secara acak (RCT); level IB mencakup bukti pada ≥1 RCT; level IIA mencakup bukti dari ≥1 studi terkontrol tanpa pengacakan;
level IIB mencakup bukti pada ≥1 jenis studi eksperimental; level III mencakup bukti dari studi deskriptif non eksperimental, seperti studi
komparatif, korelasi, dan kasus kontrol; level IV meliputi bukti dari laporan ahli atau pendapat serta pengalaman klinis, atau keduanya.

KANKER KULIT NONMELANOMA

Poin utama :

 Suatu uji coba secara acak menemukan tidak ada efek signifikan dari makanan rendah
lemak terhadap kaker kulit nonmelanoma; oleh karena itu, membatasi makanan berlemak
tidak perlu direkomendasikan untuk pencegahan kanker kulit nonmelanoma.

 Penambahan selenium bias meningkatkan risiko karsinoma sel skuamosa dan kanker kulit
nonmelanoma, maka harus dihindari.
 Efek penambahan retinol dan retinoid pada kanker kulit nonmelanoma berbeda-beda
tergantung faktor risiko, komorbid, dan tipe kanker.

LEMAK

Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa asupan makanan berlemak secara signifikan
mempengaruhi terjadinya Non Melanoma Skin Cancer (NMSC).70 Lemak makanan yang lebih
tinggi mengurangi interval waktu antara paparan ultraviolet (UV) dan onset tumor serta
meningkatkan jumlah tumor pada tikus.71

Dalam percobaan pada 115 pasien dengan riwayat kanker kulit kelompok diet rendah
lemak timbul lebih sedikit aktinik keratosis (AKs) dan NMSC dibandigkan kelompok kontrol.71-
73
Satu studi kasus kontrol menemukan hubungan langsung antara konsumsi makanan berlemak
dan NMSC, 74 sedangkan yang lain melaporkan hal sebaliknya.75 Sepuluh studi, termasuk 1 RCT
76 76-81
besar dengan 48.835 peserta, 5 studi kohort, 4 studi kasus kontrol,82-85 dan satu
metaanalysis86 tidak mengidentifikasi adanya keterkaitan yang signifikan antara konsumsi
makanan rendah lemak dengan terjaidnya NMSC.

VITAMIN A

Vitamin A dan turunannya, b-karoten dan retinol, penting untuk proliferasi dan
diferensiasi sel epitel, memiliki sifat antioksidan, dan melindungi terhadap tumor pada kulit
tikus.87-89 Dengan demikian, mereka dikatakan memainkan peran dalam NMSC.

Studi pada manusia yang menyelidiki hubungan antara vitamin A dan NMSC
memberikan hasil yang saling bertentangan. Satu studi kasus kontrol mengungkapkan hasil kadar
serum b-karoten dan vitamin A yang lebih rendah pada kasus dengan NMSC dbandingkan
dengan kontrol, dan kebalikan hubungan yang signifikan antara asupan makanan b-karoten
dengan NMSC.90 Demikian pula studi kasus kontrol lain menemukan bahwa konsumsi vitamin A
dikaitkan dengan penurunan risiko karsinoma sel basal (BCC) . 91 Selain itu, sebuah studi kohort
menemukan rerata konsentrasi serum retinol lebih rendah pada pasien NMSC dibandingkan
dengan kontrol.92 Namun, dua studi melaporkan hubungan positif antara konsumsi makanan
derivat vitamin A dan BCC93 serta kadar retinol serum yang lebih tinggi pada kasus BCC
dibandingkan dengan kontrol.94 Banyak studi, termasuk 6 kasus kontrol83-85,95-97 dan 8studi kohort,
74,77,79,81,98-101
tidak dapat mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara asupan makanan
derivat vitamin A, kadar retinol plasma atau serum, dengan NMSC.

Berbagai studi intervensi telah mengevaluasi efek retinol, isotretinoin, atau b-karoten
terhadap insisdensi NMSC. Tiga RCT tidak menemukan adanya perbedaan signifikan kejadian
NMSC antara intervensi dan kelompok kontrol setelah suplementasi b-karoten.102-104 Hasil
penelitian untuk retinol dan retinoid sintetis lebih bervariasi. Satu RCT mengungkapkan tidak
ada perbedaan waktu yang signifikan untuk NMSC pertama atau total jumlah tumor pada
penggunaan retinol versus kontrol pasien berisiko tinggi. 105 Sebaliknya, pada pasien dengan
risiko sedang, suplementasi retinol oral secara signifikan menurunkan munculnya squamous cell
carcinoma (SCC), tetapi tidak mempengaruhi risiko BCC.106 Demikian pula pemberian
isotretinoin 10 mg pada RCT secara rutin tidak mempengaruhi perkembangan BCC. 107 Studi
sederhana untuk isotretinoin pada pasien dengan xeroderma pigmentosum108,109 dan acitrecin
pada pasien transplantasi ginjal110 mengidentifikasi adanya penurunan insidensi NMSC yang
signifikan secara statistik pada kelompok yang mendapatkan pengobatan tersebut. Studi ini
memberi kesan adanya pengaruh retinol dan retinoid sintetis pada NMSC bisa jadi dipengaruhi
oleh faktor risiko pasien secara individual dan komorbid.

VITAMIN D

Vitamin D diperoleh secara eksogen melalui makanan dan secara endogen melalui
sintesis kalsitriol yang disebabkan oleh UV. Studi in vitro pada BCC 111 dan SCC112-114 garis sel
mengungkapkan adanya perbedaan bentuk dari efek komponen utama vitamin D. Hilangnya
reseptor vitamin D meningkatkan kerentanan terhadap karsinogenesis yang disebabkan oleh sinar
UV pada tikus.115 Vitamin D meningkatkan perbaikan enzim nukleotida, berpotensi melindungi
terhadap NMSC.116.117

Meskipun ada bukti dari hewan dan studi in vitro, studi pada manusia saling
bertentangan. Satu studi kasus kontrol menemukan hubungan terbalik antara kadar vitamin D
dan risiko NMSC.118 Sebaliknya, 3 studi mengidentifikasi hubungan positif yang signifikan
antara kadar vitamin D plasma dan risiko NMSC. 119-121 Paparan matahari dapat mengacaukan
hasil ini, karena radiasi sinar UV secara bersamaan meningkatkan serum vitamin D dan
menstimulasi mutasi DNA yang penting dalam pertumbuhan kanker kulit. Tiga studi tidak
menemukan hubungan antara diet vitamin D dan risiko BCC.74,77,85

VITAMIN E

Aplikasi a-tokoferol topikal yang merupkan bentuk terbanyak dari vitamin E alami,
menghambat sinar ultraviolet B (UVB) yang menyebabkan kerusakan DNA dan karsinogenesis
pada tikus.122-124 Uji coba pada manusia menghasilkan data yang saling bertentangan. Tiga studi
kasus kontrol melaporkan efek perlindungan oleh vitamin E pada perkembangan NMSC.85,91.125
Kadar penurunan plasma kadar a-tokoferol ditemukan pada pasien dengan BCC dibandingkan
dengan kontrol.125 Hubungan terbalik antara asupan makanan kaya vitamin E85 dan
suplementasinya91 serta perkembangan BCC selanjutnya diamati. Sebaliknya, 2 penelitian kohort
menemukan hubungan positif antara diet dan tambahan vitamin E dengan perkembangan BCC,
93,99
sementara yang lain tidak dapat mengidentifikasi keterkaitan antara penambahan vitamin E
atau kadar serum dengan NMSC.74,77,81,84,94-96,98.101 Selain itu, studi double-blind dengan
penggunaan placebo tidak menemukan perbedaan klinis atau histologis pada respons terhadap
UVB setelah penambahan a-tocopherol (400 IU ) oral setiap hari selama 6 bulan .126

VITAMIN C

Studi in vitro pada bentuk sel keratinosit manusia menunjukkan bahwa asam askorbat,
yang merupakan bentuk tetapl vitamin C, menurunkan sitotoksisitas yang disebabkan oleh UVB
berupa radikal bebas dan meningkatkan aktivitas antioksidan dari a-tokoferol.127.128 Pemberian
vitamin C secara signifikan menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein yang disebabkan oleh
UV pada sel BCC dan SCC di tikus.129-131 Sifat fotoprotektif vitamin C topikal telah ditunjukkan
di kulit babi.132

Pada manusia, penelitian tentang vitamin C dan NMSC tidak konsisten. Hubungan
terbalik antara konsumsi makanan yang mengandung vitamin C,90 suplementasi vitamin C,91 dan
kadar plasma asam askorbat125 dengan NMSC telah diidentifikasi dalam 3 studi kasus kontrol.
Hasil yang bertentangan diperoleh dalam 2 studi kohort yang mengidentiikasi hubungan positif
93,99
antara BCC dan asupan vitamin C pada makanan atau suplemen Selain itu, 3 studi kasus
kontrol8--85dan 5 studi kohort74,77,79,81,98 gagal mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara
vitamin C dan NMSC.
SELENIUM

Selenium melindungi terhadap sitotoksisitas yang disebabkan oleh UVB pada keratinosit
manusia dan karsinogenesis pada tikus.133-135 Penelitian menemukan adanya peran proteksi
selenium terhadap NMSC. Dalam sebuah studi kasus kontrol, rata-rata kadar selenium plasma
secara signifikan lebih rendah di antara kasus NMSC dibandingkan pada kontrol.136 Demikian
pula sebuah penelitian kohort menemukan adanya hubungan terbalik antara konsentrasi selenium
serum dengan kelanjutan NMSC.100 Selanjutnya, dalam sebuah studi pada 8 wanita yang diobati
dengan L-selenomethionine topikal selama 2 minggu, ditemukan peningkatan yang signfikan
pada eritema minimal setelah dilakukan penyinaran UV, menunjukkan kemungkinan efek
fotoprotektif selenium topikal.137

Satu-satunya percobaan yang telah menyelidiki dampak suplemen selenium oral pada
NMSC tidak menemukan hubungan yang signifikan dengan risiko BCC, tetapi meningkatkkan
risiko SCC dan total NMSC.138 Studi lain tidak menemukan hubungan yang signifikan antara
makanan84,85 atau selenium plasma,95 dengan NMSC.

Kesimpulan

Kesimpulannya, meski ada bukti laboratorium yang mengusulkan hubungan antara faktor
makanan dan NMSC, studi pada manusia telah bertentangan dan tidak meyakinkan. Studi
observasi menyediakan hasil yang bertentangan dan seringkali tidak mengungkapkan suatu
hubungan yang signifikan antara faktor makanan dan NMSC. Percobaan besar pad pasien yang
mengikuti diet rendah lemak (n = 48.835) tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam
NMSC; Oleh karena itu, pembatasan makanan berlemak seharusnya tidak direkomendasikan
untuk pencegahan NMSC. Berdasarkan uji coba, suplementasi selenium mungkin meningkatkan
risiko SCC dan total NMSC dan harus dihindari. Studi intervensi menunjukkan bahwa pengaruh
suplementasi retinol dan retinoid terhadap NMSC bervariasi berdasarkan faktor risiko,
komorbiditas, dan jenis kanker kulit. Tabel III merangkum rekomendasi bersama dengan
tingkatan terkait bukti.
Tabel III. Modifikasi diet untuk pasien dengan kanker kulit nonmelanoma beserta rekomendasi
dan tingkatan terkait bukti yang ada

Tingkatan bukti berdasarkan Journal of the American Academy of Dermatology guidelines. Level IA mencakup bukti
dari metaanalisis pada uji coba terkontrol secara acak (RCT); level IB mencakup bukti pada ≥1 RCT; level IIA mencakup bukti
dari ≥1 studi terkontrol tanpa pengacakan; level IIB mencakup bukti pada ≥1 jenis studi eksperimental; level III mencakup bukti
dari studi deskriptif non eksperimental, seperti studi komparatif, korelasi, dan kasus kontrol; level IV meliputi bukti dari laporan
ahli atau pendapat serta pengalaman klinis, atau keduanya

Anda mungkin juga menyukai