Anda di halaman 1dari 83

EPISTEMOLOGI: FILSAFAT PENGETAHUAN |

Agustus 3, 2011
PENGANTAR
artikel di bawah ini merupakan kumpulan artikel dari internet.

FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

I. ANTARAN
Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu . Filsafat
merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada
sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi
dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang
secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap
selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing
mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu
baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan
baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu
pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan
patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang.
Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah mengantarkan dalam
berbagai fase kehidupan . Sejak zaman kuno, pertengahan dan modern sekarang ini telah
melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam dengan berbagai variasinya. Proses
perkembangan dari berbagai fase kehidupan primitip–klasik dan kuno menuju manusia
modern telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan pada masing-masing
zaman. Disinilah pemikiran filosofis telah mengantarkan umat manusia dari mitologi oriented
pada satu arah menuju pola pikir ilmiah ariented, perubahan dari pola pikir mitosentris ke
logosentris dalam berbagai segmentasi kehidupan.
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan
saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia. Namun setelah adanya demitologisasi oleh
para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532
SM), Heraklitos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya,
maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah kemegahanya diikuti oleh proses
demitologisasi menuju gerakan logosentrisme . Demitologisasi tersebut disebabkan oleh arus
besar gerakan rasionalisme , empirisme dan positivisme yang dipelopori oleh para pakar dan
pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan kehidupan manusia pada tataran era
modernitas yang berbasis pada pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah
filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat umum. Filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Permasalahan yang akan kita
jelajahi dalam penulisan makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan
Filsafat Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”. Disini dipaparkan deskripsi
awal tentang sejumlah kajian yang menyangkut tentang subbab-subbab yakni : Pengertian
Filsafat, Definisi filsafat ilmu, Obyek material dan formal filsafat ilmu, Lingkup filsafat ilmu
dan subsatnsi permasalahan problem – problem filsafat ilmu
II. Pengertian Filsafat
Problem identifikasi untuk memberikan pengertian dalam khazanah intelektual seringkali
melahirkan perdebatan-perdebatan yang cukup rumit dan melelahkan. Hampir dalam setiap
diskusi berbagai ilmu seringkali terdapat penjelasan – penjelasan pengertian yang tidak
jarang memunculkan pengertian-pengertian yang beragam. Keberagaman pengertian ini
disebabkan berbagai arah sudut pandang dan focus yang berbeda-beda diantara para pakar
dalam memberikan identifikasi . Dan ini merupakan sebuah kemakluman sebab kajian ilmu
adalah kajian abstraksi konseptual maka sangat dimungkinkan masing-masing subyek (para
pemikir ) memiliki perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses
menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan. Peradigma tersebut akan menjadi acuan
bagi pemikir untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi pembentuk
dari konsepnya tersebut. Termasuk dalam persoalan ini adalah apakah yang dimaksud dengan
filsafat? Berbagai jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai literatur.

Arti bahasa
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab,
yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini
merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.) dan
sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi juga dikenal di
Indonesia dalam maknanya yang cukup luas dan sering digunakan oleh semua kalangan..
Ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti cinta dalam arti yang
luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu.
Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang
mendalam. Dengan mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan
sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
Seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa
dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa
“filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis , mendeteksi problem secara radikal, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses kerja ilmiah.
Berkaitan dengan konsep filsafat Harun Nasution tanpa keraguan memberikan satu penegasan
bahwa filsafat dalam khazanah islam menggunakan rujukan kata yakni falsafah . Istilah
filsafat berasal dari bahasa arab oleh karena orang arab lebih dulu datang dan sekaligus
mempengaruhi bahasa Indonesia dibanding dengan bahasa- bahasa lain ke tanah air
Indonesia. Oleh karenanya konsistensi yang patut dibangun adalah penyebutan filsafat
dengan kata falsafat.
Pada sisi yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim juga sering menggunakan kalimat
padanan Hikmah sehingga ilmu filsafat dipadankan dengan ilmu hikmah. Hikmah digunakan
sebagai bentuk ungkapan untuk menyebut makna kearifan, kebijaksanaan. sehingga dalam
berbagai literature kitab-kitab klasik dikatakan bahwa orang yang ahli kearifan disebut
Hukama’. Seringkali pula ketika dikaji dalam berbagai literature kitab-kitab pesantren
muncul ungkapan-ungkapan dalam sebuah tema dengan konsep yang dalam bahasa arabnya
misalnya kalimat ‘wa qala min ba’di al hukama….” . dan juga sejajar dengan kata al-hakim
yang mengandung arti bijaksana. Misalnya ayat yang berbunyi
Artinya: mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana [al baqarah 2: 32].”
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.(An Nahl:125)

Dalam terjemahan Depag ditafsiri bahwa Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang
dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil . Sementara Al Jurjani –sebagaimana
dikutip oleh Amsal Bakhtiar—memberikan penjelasan tentang hikmah, yaitu ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia.
Perkataan filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah philosophy yang juga berarti filsafat
yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Unsur pembentuk kata ini adalah kata
philos dan sophos. Philos maknanya gemar atau cinta dan sophos artinya bijaksana atau arif
(wise). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta
kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti
kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam
memutuskan soal-soal praktis yang bertumpu pangkal pada konsep-konsep aktivitas –
aktivitas awal yang disebut pseudoilmiah dalam kajian ilmu.
Secara lughowi (semantic) filsafat berarti cinta kebijaksanaan dam kebenaran. Maksud
sebenarnya adalah pengetahuan tentang ada dari kenyataan-kenyataan yang paling umum dan
kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika,
etika, estetika dan teori pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam hakekatnya
memang merupakan problem falsafi yang kaya dengan banyak konsep dan pengertian.

Arti istilah
Sejumlah literatur mengungkapkan, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan
philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih
terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras
menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya
hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Kemudian, orang yang oleh para penulis sejarah
filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang
Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani.
Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurut sejarah kelahirannya istilah filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh
Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang
untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak
menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya
kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih
lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks. Sekalipun bertanya tentang seluruh
realitas, filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam,
tentang tuhan (akhirat), tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, dsb..
Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk: Pertama, filsafat tentang pengetahuan;
obyek materialnya,: pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran, epistemologi; logika; dan
kritik ilmu-ilmu; Kedua, filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan, obyek materialnya:
eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat), metafisika umum (ontologi); metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia); kosmologi (tentang alam semesta); teologi (tentang tuhan);
Ketiga filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan: obyek material :
kebaikan dan keindahan,etika; dan estetika; Keempat . sejarah filsafat; menyangkut dimensi
ruang dan waktu dalam sebuah kajian .
Jika dikelompokkan secara kerakterisitik cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada
banyak aliran filsafat. Ciri pemikiran filsafat mengacu pada tiga konsep pokok yakni
persoalan filsafat bercorak sangat umum, persoalan filsafat tidak bersifat empiris, dan
menyangkut masalah-masalah asasi. Kemudian Kattsoff menyatakan karakteristik filsafat
dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1) Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuknya yang sistematis.
3) Filsafat menghasilkan sesuatu yang runtut.
4) Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5) Filsafat bersifat komprehensif.
Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada secara
kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip

III. Definisi Filsafat Ilmu


Rosenberg menulis “ Philosophy deals with two sets of questions: First, the questions that
science – physical, biological, social, behavioral –. Second, the questions about why the
sciences cannot answer the first lot of questions”. Dikatakan bahwa filsafat dibagi dalam dua
buah pertanyaan utama, pertanyaan pertama adalah persoalan tentang ilmu (fisika,biologi,
social dan budaya) dan yang kedua adalah persoalan tentang duduk perkara ilmu yang itu
tidak terjawab pada persoalan yang pertama. Dari narasi ini ada dua buah konsep filsafat
yang senantiasa dipertanyakan yakni tentang apa dan bagaimana. Apa itu ilmu dan
bagaimana ilmu itu disusun dan dikembangkan. Ini hal sangat mendasar dalam kajian dan
diskusi ilmiah dan ilmu pengetahuan pada umumnya.yang satu terjawab oleh filsafat dan
yang kedua dijawab oleh kajian filsafat ilmu.
Beberapa penjelasan mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakanlah hal-hal
misalnya : Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan,
atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka? Teori pengetahuan menjadi inti diskusi, apa
hakekat pengetahuan, apa unsur-unsur pembentuk pengetahuan, bagaimana menyusun dan
mengelompokkan pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan, dan juga apa saja yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan. Disinilah filsafat ilmu memfokuskan kajian dan telaahnya.
Yakni pada sebuah kerangka konseptual yang menyangkut sebuah system pengetahuan yang
di dalamnya terdapat hubungan relasional antara, pengetahu /yang mengetahui (the Knower)
dan yang terketahui /yang diketahui (the known) dan juga antara pengamat (the observer)
dengan yang diamati (the observed).
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku
maupun karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang
pengetahuan integrative yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat
ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti
perkembangan zaman dan keadaan. Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk mencari
pengetahuan baru. I
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat
ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah
suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan
terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature
of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the
general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan
telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan
intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations
between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika
interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two
sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers
them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may
be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun
teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan
bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang
dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya
sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate
the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic,
practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba
pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan
perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika).
Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat ilmu itu
mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
4) sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah
Selanjutnya John Losee dalam bukunya yang berjudul,A Historical Introduction to the
Philosophy of Science, Fourth edition, mengungkapkan bahwa : The philosopher of science
seeks answers to such questions as:
• What characteristics distinguish scientific inquiry from other types of investigation?
• What procedures should scientists follow in investigating nature?
• What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct?
• What is the cognitive status of scientific laws and principles?

Dari ungkapan tersebut terdapat sebuah konsep bahwa tugas dari pemikir filsafat ilmu itu
untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan persoalan yang menyangkut: pertama, apa
yang menjadi perbedaaan ilmiah karakteristik type masing – masing ilmu ntara satu ilmu
dengan ilmu lainnya melalu penelitian. Kedua Prosedur apa yang harus dilakukan secara
ilmiah dalam melakukan penelitian atas kenyataan yang terjadi di alam?, Ketiga apa yang
mestinya dilakukan dalam mendapatkan penjelasan ilmiah untuk melakukan penelitian dan
eksperimen itu ? Dan keempat apakah teori itu dapat diambil sebagai konsep dan prinsip-
prinsip ilmiah?.
Sehingga sketsa filsafat ilmu dapat di gambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Level Disciplin Subject-matter
2 Philosophy of Science Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation
1 Science Explanation of Facts
0 Facts

Dengan memperhatikan tabel diatas secara jelas ditampilkan bahwa filsafat ilmu menempati
level ke-2 sedangkan ilmu (science) pada level pertama dan semuanya pada satu pangkal
pokok yakni fakta (kenyataan) menjadi basis utama bangunan segala disiplin ilmu. Kalau
ilmu itu menjelaskan Fakta sementara filsafat ilmu itu subyek materinya adalah menganalisa
prosedur-prosedur logis dari ilmu (Analysis of the Procedures and Logic of Scientific
Explanation).

IV. Lingkup Filsafat Ilmu


Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan
telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau
dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan
yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis).

Sedangkan di dalam introduction-nya Stathis Psillos and martin Curd menjelaskan bahwa
filsafat ilmu secara umum menjawab pertanyaan – pertanyaan yang meliputi :
• apa tujuan dari ilmu dan apa itu metode ? jelasnya apakah ilmu itu bagaimana membedakan
ilmu dengan yang bukan ilmu (non science) dan juga pseudoscience?
• bagaimana teori ilmiah dan hubungannya dengan dunia secara luas ? bagaiman konsep
teoritik itu dapat lebih bermakna dan bermanfaat kemudian dapat dihubungkan dengan
penelitian dan observasi ilmiah?
• apa saja yang membangun struktur teori dan konsep-konsep seperti misalnya
causation(sebab-akibat dan illat), eksplanasi (penjelasan), konfirmasi, teori, eksperimen,
model, reduksi dan sejumlah probabilitas-probalitasnya?.
• apa saja aturan – aturan dalam pengembangan ilmu? Apa fungsi eksperimen ? apakah ada
kegunaan dan memiliki nilai (yang mencakup kegunaan epistemic atau pragmatis) dalam
kebijakan dan bagaimana semua itu dihubungkan dengan kehidupan social, budaya dan
factor-faktor gender?
Dari paparan ini dipertegas bahwa filsafat ilmu itu memiliki lingkup pembahasan yang
meliputi: cakupan pembahasan landasan ontologis ilmu, pembahasan mengenai landasan
epistemologi ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis dari sebuah ilmu.

V. Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu


Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang
di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu.
Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode
ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian
khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia
yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat.
Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis
bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”.
Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya.
Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”),
“obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan
dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek
material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama)
menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap
gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek
menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu
. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu
lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat
ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu
bagi manusia.

VI Problema Filsafat Ilmu


Problem filsafat Ilmu dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan
pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Untuk Telaah tentang problema substansi Filsafat Ilmu, yaitu substansi yang berkenaan
dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika
inferensi.
Permasalahan atau problema filsafat ilmu mancakup ; pertama Problem ontologi ilmu;
perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu pada landasan ontologis (‘apa
yang terjadi’ – eksistensi suatu entitas) Kedua, Problem epistemologi; adalah bahasan tentang
asal muasal, sifat alami, batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir, validitas, reliabilitas
sampai soal kebenaran (bagaimana ilmu diturunkan – metoda untuk menghasilkan kebenaran)
Ketiga, Problem aksiologi; implikasi etis, aspek estetis, pemaparan serta penafsiran mengenai
peranan (manfaat) ilmu dalam peradaban manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan
penelaahan ilmu

VII. Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu


Cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan
meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari gejala ilmu
pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian , kebenaran, dan obyektifitas.
Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala – gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah
intuisi para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan
kekhasannya masing-masing disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi dari filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu
kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat
lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan
itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami
berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk
membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua
fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif
antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan
berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu
adalah
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga
ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)

VII. KESIMPULAN
1. Hakekat Filsafat
• Secara bahasa Philo/philia/philare yang artinya cinta, ingin, senang dan kata Sophia/sophos
yang artinya ilmu, kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi idzofahnya menjadi
filsafat/falsafah/filosofi yang artinya mencintai kebijaksanan pengetahuan dan kenginan yang
kuat akan ilmu pengetahuan. Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala
sesuatu yang ada secara kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip
2. Hakikat Filsafat Ilmu
a. Pengertian Filsafat Ilmu
• merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya
mengenai metoda, konsep- konsep, dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam
kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.
• filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science
of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. Dalam menyelesaikan kajiannya pada
konsep ontologis. ,secara epistemologis dan tinjauan ilmu secara aksiologis.
b. Karakteristik filsafat ilmu
• Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
• Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari berbagai sudut pandang dengan
sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah, sitematis berpangkal pada metode
ilmiah , analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah dan sikap konsisten dalam
membangun teori serta tindakan ilmiah
3. Objek filsafat ilmu
• Objek material filsafat ilmu adalah ilmu dengan segala gejalanya manusia untuk tahu.
• Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dengan berbagai gejala dan upaya pendekatannya.

4. Lingkup dan problema substansi filsafat ilmu


• Cakupannya pembahasan tentang problema substansi landasan ontologis ilmu, epistemologi
ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis dari sebuah ilmu.
5. Manfaat mempelajari filsafat ilmu
• Semakin kritis dalam sikap ilmiah dan aktivitas ilmu/keilmuan
• Menambah pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan
tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
• Memecahkan masalah dan menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
yang dihadapi.
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga
ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT :


SUATU PENGANTAR KEARAH FILSAFAT ILMU

1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos

Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah
sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina
(sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran
dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat
India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak
periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada
tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada
masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan
hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian.

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani
Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai
mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala
sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa
“air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché
adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara”
yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah
Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa
segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-
menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru
sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).

Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari
“bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan
Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang
“filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui
berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.

Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche),
itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang
mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu
metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan
kausalitasnya (sebab-akibat).

Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi).
Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif
dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian
(verifikasi) melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi
prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara
rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia.
Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah).
Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari
ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui
observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.

Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru
dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi
pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan
para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat
Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah
proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh
karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah
dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi
sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah.
Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi,
antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.

Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan
dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak
dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa
“ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi
mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi,
artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis)
dari materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan

2. Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama

Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini
dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah
Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik
Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik
Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius
dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain
Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430).
Ajaran-ajaran dari para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini
ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia.
Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat
yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama.

Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles.
Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi
maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-
1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia
(Aristoteles) disebut sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas
karya Aristoteles dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles
dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir
pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya
disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan
dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku
dan bersifat internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman
dengan akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat
sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan yang
satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.

Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif
terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan
Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika
mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari
(Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori
geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh
Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari otoritas Gereja.
Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.

3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan

Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman “Renesanse”, periode
sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527),
Th. Hobbes (1588-1679), Th. More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan
yang sangat bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah “antroposentrisme”nya. Artinya
pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno, atau Tuhan
sebagaimana dalam Abad Pertengahan.

Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-
kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R. Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677)
dan G. Leibniz (1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya
kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.

Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi,
renesanse dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah
“dewasa”. Periode sejarah perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman
Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada
jaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu
pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia (Lt. “empeira”,
“pengalaman”). Para empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley
(1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman
Immanuel Kant (1724-1804)

Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah peranan filsuf Jerman Immanuel Kant, yang
dapat dianggap sebagai inspirator dan sekaligus sebagai peletak dasar fondasi ilmu, yakni
dengan “mendamaikan” pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme
versus kaum empirisme. Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal terbit tahun
1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason), memberi arah
baru mengenai filsafat pengetahuan.

Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada
dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum
rasionalisme maupun empirisme, yang salah apabila masing-masing dari keduanya
mengkalim secara ekstrim pendapatnya dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata
lain memang pengetahuan dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan
(sensory system) manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin
tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant, empirisme mengandung
kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman
kesan-kesan (impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan
hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia)
dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana
pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan
bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri
4. Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu Yang Otonom
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan
memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan
mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh
belas dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak
bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu.
Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak spekulasi
filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara laian: positivisme, marxisme,
eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.

Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah
positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran
manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3)
Positif-ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan
menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara
ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan
pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak
spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu
dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami,
karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”,
sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh
ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang berkembang sesudahnya.

Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas


munculah aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan “Postmodernisme”.
Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault.
Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog
(ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur
ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori,
logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam
bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak
dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan
research). Demikian pula hal ada dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain
berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat atau
implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan dalam filsafat ilmu. Setidak-tidaknya
hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu (Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis
bagi ilmu /sain dengan mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode
ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari ilmu /sain dan
penerapannya dapat memberikan umpan-balik bagi Filsafat Ilmu sebagai bahan refleksi kritis
dalam pokok bahasannya (survey of sciences) sebagaimana yang dikemukakan oleh
Whitehead dalam bukunya Science and the Modern World (dalam Hamersma, 1981:48)
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya
yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama
sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan
atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat
tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya
terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu
pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu
generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya
berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa
(nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita
sepakati dan anut bersama.

Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai
kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada
setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi
utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values)
yang memberi warna dan menjadi “semangat zaman” (zeitgeist) yang dianut oleh setiap
individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada
gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui
kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.

Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20
perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud
lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa,
kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk
kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985:
2266).

Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada
maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan,
tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada
pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial
atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-
gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan
sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)

Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu
pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang
lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab
itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat
pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada
pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.

Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau “tradisional” yang
umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir
besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau
sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985:
2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat
ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta
segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru
dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan
pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)

Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara
pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai
representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan
nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal);
masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun
negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan
menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau
kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat
dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang
orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan
sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah
yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.

Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-
cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin.
Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan
sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi,
sosiologi, dan politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu
terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan.
Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis
“simbiose mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.

Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman
pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari
sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda
abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia
merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.

Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk


Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang
secara temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan
pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan
perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga
pendidikan (pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan
umum, khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan
di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai
kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya
pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.

FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu,
yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat
berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat
menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat
disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat
menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan
validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam
penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan
model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
A. Konsep dan pernyataan ilmiah
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori
ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu
menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati
alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
1. Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada
bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman
yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari
pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode
empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan
eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat
dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang
bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
2. Falsifiabilitas
Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah
konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919-20 dan
kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini adalah,
sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk
membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau
fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar.
A. Pengertian Filsafat Ilmu
B. Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian
filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh
Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah
suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan
terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in
the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan
telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan
intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations
between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika
interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two
sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers
them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may
be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun
teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan
bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang
dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya
sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate
the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic,
practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba
pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan
perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan
telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau
dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan
yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu
kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat
lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan
itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi
(1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan
landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan
membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa
filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya
mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation
yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
C.Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian,
yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3)
konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya.
• Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang
sensual satu dengan sensual lainnya.
• Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini.
Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan
fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan
sistem nilai.
• Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan
skema rasional, dan
• Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri
dengan obyektif.
• Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta
ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek
kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi
terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi
fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis.
Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari
bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional,
kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S.
Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam
ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif,
kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya
satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain
dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik
berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau
pun pada dataran transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan
sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan
arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini,
yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan
apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang
mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan
dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan
praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari
yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila
proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai
dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa
proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari
kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya.
Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan
mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut
atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat,
atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi
dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk
mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi
antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya
dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum
ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan
kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren
antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran
koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan
kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan
realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral
transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan
baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu,
yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu
logika induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2)
meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi
bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu
tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik
dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil
memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah
human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi
tidak merusak lingkungan.
http://getuk.wordpress.com/2006/11/16/ruang-lingkup-filsafat-ilmu

PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang
memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan
di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke
dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences),
dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala
pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya
menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-
pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya
barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa
pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora
itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala
pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka
ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan
dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak
kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat.
Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja.
Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam
memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-
perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi
pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur
Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural
studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai
macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah
geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan
Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan
berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam
fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer,
pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih
warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak
dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum
pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk
menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-
pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut?
Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan
bagaimana caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang
memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri
apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab
pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan
dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode
dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek
(sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya
jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan
metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita.
Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera
penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu
benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara;
indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah)
yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit)
yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur.
Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama,
atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut
empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris.
Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera
adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi
adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam
banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya
pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda
yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu
lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah,
sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala,
yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa
memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun
tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap
esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui
hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di
rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide
yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu,
penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu
antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal.
Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal
adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan
pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela
pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada
yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi
muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses
penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa
kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia
datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main
catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja
secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya
kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika
seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi
berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu
kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara
maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional
dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut
Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan
langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya
bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami
sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian
sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman
eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat
konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal,
satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang
mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius,
berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman
menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber
lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal.
Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme
dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan
langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama.
Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam
pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang
bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan
rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan
kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi
filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme
(iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah
perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir
yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif
umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk
memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih
sahih daripada rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-
322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel
Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun
pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah
deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik
kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme
adalah:
- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)
Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:
- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh
pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar karena
kenyataannya demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan
fakta (bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan
sebelumnya bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini,
logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis.
Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi. Jika
ada dua teori keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang
diambil adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok jika diukur
dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya misalnya “Tuhan ada”,
adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk menopang nilai-nilai hidup
manusia dan menjadikannya teratur), lepas dari apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta
atau tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau tidak.
***
Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita
akan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam pengetahuan
yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains.
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena
ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam
kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac
Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie
Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi
menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral
Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak
kedokteran yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof
yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam
merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana
diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam
kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga
ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu
saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari
segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan
oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan
(metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat
telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam
beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998)
membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas apa
yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk),
estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas perihal hakikat
keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat bagian ini bercabang-cabang lagi
menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya
filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah.
Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya
pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber
pengetahuan filsafat adalah rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin
memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke
titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional atau
tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah memeroleh pengetahuan dari
ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama
yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang
tampaknya tidak rasional.
Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang
sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal
katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof
tidak akan berhenti pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke
baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih terdapat kontradiksi-kontradiksi,
kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam kenyataannya tidak ada seorang filosof pun
yang filsafatnya bebas dari kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil
sampai pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut mendekati
Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran
hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya sebagai
sumber nilai yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai
oleh kaum agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik;
materialisme, komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi semacam padanan
agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya agama formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama
dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas
Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun
jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari
agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya.
Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita
memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan
adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah
menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya
kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau
tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan
dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat
memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat,
seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia
tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama
adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia.
Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan
makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu
terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba
perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut
beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan
ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan
diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu
sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas jumlahnya
dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains dibedakan satu sama
lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang
sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan
dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam
(natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-
benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia,
astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap
cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Ilmu kimia saja, menurut
Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak
sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena
benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial
sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi
metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme,
kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi,
koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus
empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang
jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan
bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa
postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
• Menemukan dan merumuskan masalah
• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa
bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh
penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar).
Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl
Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan
1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori
itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung
gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam,
berarti pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama
sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa
besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap
sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu
sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah
sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction
(meramal, memerkirakan), dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori.
Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari
perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol
segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan
agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud untuk
netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains
dapat mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya teori evolusi
Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat
mencemaskan bagi kaum agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu
dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang budaya,
bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu
sains bisa menghasilkan beragam aliran dan perspektif. []
Referensi pokok:
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung:
Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Catatan:
Tulisan ini pada awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan penulis ketika sering diundang
mengisi materi Filsafat Ilmu di Latihan Kader 1 (Basic Training) HMI.
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/

BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI

“Aku datang – entah dari mana,


aku ini – entah siapa,
aku pergi – entah kemana,
aku akan mati – entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).

1. Manusia bertanya

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya,
manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:

“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi
sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut
menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu
kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk
mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut,
akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita,
darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” — Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili
Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.

Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh
taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!


KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan
lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? — Namun Engkau telah membuatnya
hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah
kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”

2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia
menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik
segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang
disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan
cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren
(“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
(realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk
mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).

Al-Kindi (801 – 873 M) : “Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang
merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi
manusia … Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan
kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran”.

Unsur “rasional” (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam
upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan “secara mendasar” pengembaraan manusia di
dunianya menuju akhirat. Disebut “secara mendasar” karena upaya itu dimaksudkan menuju
kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan
sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari (“obyek material”), yaitu “manusia di
dunia dalam mengembara menuju akhirat”. Itulah scientia rerum per causas ultimas —
pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis “semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah
satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga,
karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga
dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa
harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-
kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup”. Mengingat berfilsafat
adalah berfikir tentang hidup, dan “berfikir” = “to think” (Inggeris) = “denken” (Jerman),
maka – menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam “berfikir” sebenarnya kita “berterimakasih”
= “to thank” (Inggeris) = “danken” (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala
anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata “hikmat” bahasa Inggerisnya adalah “wisdom”,
dengan akar kata “wise” atau “wissen” (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam
bahasa Norwegia itulah “viten”, yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta
“vidya” yang diindonesiakan menjadi “widya”. Kata itu dekat dengan kata “widi” dalam
“Hyang Widi” = Tuhan. Kata “vidya” pun dekat dengan kata Yunani “idea”, yang
dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf
sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere =
menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu
pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama – fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir,
akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu
“materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik
daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal
budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang
disebut “fisika” (“physos” = alam).

Aras abstraksi kedua – matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan
diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi
yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi
dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan,
ilmu).

Aras abstraksi ketiga – teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-”abstrahere” dari
semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas
pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran
pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau
“filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka
dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu
pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai
bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi
pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

3. Manusia berteologi

Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia
dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala
kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui
pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya
dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini
Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah
dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.

Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya,
terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna
kata “sama” itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang
terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana
kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan
yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari,
dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika
pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.

Catatan.
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan
koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi
hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal (“‘aql”) dan kata ilmu (“‘ilm”) telah digunakan
dalam teks Al Qur’an. Kedekatan kata ‘ilm dengan kata sifat ‘alim kata ulama kiranya juga
dapat dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, “Al-Qur’an berbicara tentang akal
dan ilmu pengetahuan”, Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan,
bahwa kata “ilmu” itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak
sama dengan makna kata “ilmu” dalam teks dan konteks Al-Qur’an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai
pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan
hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia
meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan “dari atas” nyata
pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada
manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas “sapaan” Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena
ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya:
“aku tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama
dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (akal
menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan
iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

4. Obyek material dan obyek formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia
yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu
manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang
alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi – filsafat ketuhanan; kata “akhirat”
dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi,
kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan
tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat
tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian
khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia
yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat.
Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis
bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”.
Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya.
Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”),
“obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan
dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek
material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama)
menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap
gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

5. Cabang-cabang filsafat

5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat “filsafat tentang”
sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian,
bahasa, hukum, agama, sejarah, … Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:

1. filsafat tentang pengetahuan:


obyek material : pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum (ontologi);
metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.

5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.
Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam
pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal


dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika (“logikos”) “berhubungan
dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Disini bahasa dimengerti sebagai cara
bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan
cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus
dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait
dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu.
Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode
dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.

5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat:
eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, … dan sebaginya.

5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional)
tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia,
hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris,
yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar
tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et
Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang
pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap “takut-dan-taqwa”, wedi-lan-asih
ing Panjenengane.

Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu
pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara
filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan
kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara
jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.

Catatan lain.

1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar
sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah
peribahasa: “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu”. Tahukah saudara akan
kadar keimanan saya?

2. Sekaligus juga patut ditanyakan “dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah
“hati” itu (misalnya dalam kata “sakit hati” jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang
pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata “sakit hati” karena liver anda
membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat
dalam kata “batin”, “kalbu”, “berhati-hatilah”, “jantung hati”, “jatuh hati”, “hati nurani”, dan
“suara hati”.

3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering
ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna
terkait dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan
terpilah-pilah (“clearly and distinctly”), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan
miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan
kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam
hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan
jelas dan terpilah-pilah tersebut.

6. Refleksi rasional dan refleksi imani

Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang
menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan
dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah
naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama).
Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu
tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel — bagaimana dalam perjalanan sejarah
sebagai “bangsa terpilih”, mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan
keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi
dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi).
Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.

Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus
dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang
disebut “negara Israel”.

Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato
dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi
(faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi).
Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima
sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena
merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan
nasib dan sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal
pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan
kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.

Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu,
berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit
bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat
dikatakan mengatasi setiap ilmu.

Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina
berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah
pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud “ilmu kedokteran alternatif” tusuk
jarum), dan dalam karya-karya sastra “kaliber dunia” dari anak benua India. Karya-karya
sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena
diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman
hidup sehari-hari.

Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari
epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber
segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi
Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk “mokhsa”,
pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya
sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada
masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-
”dharma yuddha”, perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang
tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah “a man of action” (“karma yogin”), dan Gita mendorong
seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi “mokhsa” melalui “perjuangan”
yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh
lain membuat komentar yang kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya,
pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal
murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.

Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok.
Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi
manusia yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-
kelompok manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya
dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk
membuat sejarah bagi masa depan.

Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah
sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: “Manunggaling
Kawula Gusti” (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh
PT Gramedia.

Pengertian Epistemologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos
(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis
pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas
dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya,
macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh
manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah
dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan
pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.

Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep,
meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan
konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis,
guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini
berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya,
seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika
dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar
tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip
belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi,
pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-
pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung
dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman
terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan
epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang
dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.

epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori
(pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna
pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang
mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965,
dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).

Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan,
P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan
dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta
secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.

Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup
membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan
berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari
pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga
menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya
melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.
Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.
Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini
sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan
pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2082651-pengertian-
epistemologi/#ixzz1TvrB2vrp

ARTI EPISTEMOLOGI

Epistemologi adalah teori pengetahuan


1. Salah satu cabang filsafat yang mempermasalahkan hakikat pengetahuan, sumber-
sumbernya, syarat-syarat memperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian pengetahuan
serta hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam pengetahuan.
2. Cabang filsafat yang khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh
dan mendasar tentang pengetahuan.
3. Suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman
manusia dalam interaksinya dengan diri, dan lingkungan sekitarnya.
4. Suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif (menilai), normatif (tentukan tolak ukur) dan
kritis (mempertanyakan dan menguji)
PEMBAHASAN DALAM EPISTEMOLOGI
1. Membahas tentang sumber-sumber pengetahaun
2. Membahas tentang apa yang kelihatan versus hakikatnya
3. Membahas tentang ke-valid-an pengetahuan.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105449-filsafat-
ilmu/#ixzz1TvryqDYS

Berbagai Pengertian Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang
dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan. (Robert
Ackermann)

Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta
menetapkan nilai dan usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. (Lewis White Beck)

Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai
sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya,
serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. (Cornelius
Benjamin)

Filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan
mengenai landasan-landasan ilmu. (May Brodbeck)

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2090480-pengertian-filsafat-
ilmu/#ixzz1TvtDWHFf

PERBANDINGAN FILSAFAT PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU


PENGETAHUAN
1. Filsafat Pengetahuan, adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman
yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya. (Spontan)
2. Sedangkan
3. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah
dibakukan secara sistematis. (Sistematis dan Reflektif)
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
1. Bahasa, merupakan salah satu hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan pada
manusia. Bahasa Tertulis dan Tidak Tertulis.
2. Kebutuhan hidup manusia, memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup
merupakan suatu bagian dari cara berada manusia. Pengetahuan merupakan suatu alat,
strategi dan kebijakan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105451-perbandingan-filsafat-
pengetahuan-dan-filsafat/#ixzz1TvskBjnT

Epistemologi Ilmu

Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen komponen yang menjadi tiang penyangga
bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1. Ontologi (hakikat apa
yang dikaji) Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara
ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk
konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat
ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah,
yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada”.
Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda
yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke¬yakinannya mengenai apa dan
bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya. 2. Epistemologi
(filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan,
validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan
perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan
yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi,
merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga
dikenal model model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
positivisme, feno¬menologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana
menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi
pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan teori
intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan diperca-ya.
Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja
yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan,
cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang
sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah
bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan
induktif sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan
yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis
(atau ju-ga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran
pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan
lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut
bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan
maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus
benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu
di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum
tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya
ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang. 3. Aksiologi ilmu (nilai kegunaan
ilmu) Meliputi nilai nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap
kebenaran atau ke¬nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai
kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian
maupun di dalam menerapkan ilmu.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786495-epistemologi-
ilmu/#ixzz1TvsATtEd
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan tertentu secara
rasional, disamping itu Filsafat Ilmu Pengetahuan : Cabang filsafat yang mempelajari teori
pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis
keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Untuk memperoleh kebenaran,
perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur
kebenaran ilmu pengetahuan adalah sbb. :
Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai
pemegang peranan utama
Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati adalah kegunaannya
untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105457-filsafat-ilmu-pengetahuan-
mempelajari-esensi/#ixzz1TvsvurkY

Apa itu ilmu pengetahuan ? Apa beda ilmu dengan pengetahuan ?


Karena ilmu pengetahuan melahirkan keyakinan filosofis yaitu yang disebut sebagai asumsi,
postulat, aksioma.
Filsafat ilmu adalah hal yang mendasari atau makna yang terkandung dalam sebuah ilmu.
Pemahaman akan filsafat ilmu disebut epistemologis. Filsafat adalah suatu wacana atau
argumentasi mengenai segala hal yang bersifat universal yang dilakukan secara reflektif
hingga sampai pada akar masalah yaitu suatu konsekuensi radikal, terakhir, dan sistematis
guna mencapai suatu hakikat permasalahan.
Bagian yang dibicarakan dalam filsafat ilmu mengenai ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Craig (2005) melihat epistemologi adalah inti dari permasalahan filsafat mengenai hakikat,
sumber, batas-batas ilmu pengetahuan. Artinya bahwa pengetahuan adalah keyakinan akan
kebenaran, tetapi bukan semata-mata keyakinan yang benar. Misalnya keyakinan yang benar
berdasarkan terkaan, tidak termasuk pengetahuan.

Bagian utama permasalahan filsafat adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang ada, yaitu :
1. Masalah logika formal yang mendasari wacana ilmu pengetahuan.
2. Epistemologi mencari hubungan antara kebenaran dengan luasnya pengetahuan.
3. Berbeda, sama, serta hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
4. Klasifikasi ilmu pengetahuan
5. Masalah metodologi
6. Kesatuan ilmu pengetahuan
7. Pengembangan ilmu pengetahuan.
Epistemologis merupakan proses menyusun pendapat mengenai sesuatu hal yang
berhubungan dengan mengetahui,
Sumber : Pengantar Filsafat, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. PT. Refika Aditama,
2006.

http://kelascmpd.blog.com/2009/12/28/epistemologi-filsafat-ilmu/

BEBERAPA PENGERTIAN PENGETAHUAN (KNOWLADGE)

• Knowledge is relation between object and subject (James K. Feibleman)


• Adapun pengethaun itu ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.
Satu kesatuan dalam mana obyek itu dipandang oleh subyek sebagai diketahui (M.J.
Langeveld)
• Menurut epistemologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari berkontaknya dua
macam besaran, yaitu a. benda atau yang diperiksa, diselidiki, dan akhirnya diketahui
(obyek), b.manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan, penyelidikan,dan akhirnya
mengetahui (mengenal) benda atau hal tadi (Ensiklopedi Indonesia)
• Pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita
yang lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu,
sebaliknya subyek yang mengetahui dipengaruhi (Max Scheler 1874-1928)

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2090466-pengertian-pengetahuan-
knowladge/#ixzz1TvtL6pAo

FUNGSI ILMU PENGETAHUAN

Drs R.B.S. FUDYARTANTA, dosen psikologi universitas gajah mada


menyebutkan 4 tujuan ilmu pengetahuan
(1) Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan memaparkan suatu
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari
(2) Fungsi pengembangan, menemukan hasil ilmu yang baru
(3) Fungsi prediksi, meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi
sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
(4) Fungsi Kontrol, mengendalikan peristiwa yang tidak dikehendaki.
V. AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
J.I.G.M DROST S.J Dalam karangannya Agama dan ilmu pengetahuan alam
menulis :”ilmu pengetahuan alam adala ilmu tentang semesta alam sejauh berada dalam
waktu dan ruang, tetapi ruang dan waktu baru ada pada waktu alam ada. Maka titik dan
saat terjadinya terletak di luar sudut pandangan ilmu pengetahuan alam.
Prof Harsojo memperingatkan : tetapi perlu diingatkan bahwa ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan
rahasia alam semesta yang melindungi amanusi. Ilmuwan besar biasanya diganggu
dengan perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak. Bahwa
yang diketahui itu masih meragukan

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2114500-fungsi-ilmu-
pengetahuan/#ixzz1TvrqD31y

EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI

Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada


seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976),
pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu
sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan
Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan
tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan
tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari
pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam
(Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al
Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu
keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor
penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi
kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi
kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin
menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru
menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga
semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat
Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh
beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga
meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga,
dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang
sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi teman akrab
umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui
pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu
memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan
bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran
dunia Islam.

Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang
pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang
diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-
Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-
jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru
dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang
diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang
hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .

Sekilas tentang Epistemologi

Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara
sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai
ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber
pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua,
sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial
(hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang
benar dan yang salah dapat dibedakan.

Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut.
Pertama, idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori
atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-
347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil
pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang
selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat
dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan
kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak
berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang
tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai “alam ide”, suatu
alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966).
Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga
lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia
ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas,
sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.

Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti
penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold
H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme
ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi
Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman
empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).

Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang
paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio
tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka
empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti
eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan
perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari
sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih
merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil
pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).

Epistemologi Filsafat Al-Ghazali

Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai
biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam
‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena
serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya
terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya
jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.

Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang


memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-
Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya
Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional,
bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan
terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang
diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab,
Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian
metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada
kesalahan struktur argumentasi para filosof.

Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan
kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati
bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa
pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang
memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun
Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul
kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :

Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang
mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang
terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu
terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa
kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat
aku bimbang terhadap pengetahuanku”. (Al-Ghazali, 1961).

Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh
Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia
tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).

Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang
meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan
pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa
Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk
pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa
diantar keduanya.

Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :

“Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat
dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu.
Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata
ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya
kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar
daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat
indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan
bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).

Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih
bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan
yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-
ubah.

Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang
sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan
pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-
akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa
pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi.” (Al-Ghazali,1961).

Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu,
akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini
didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat
pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia
tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama
dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman
dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
“Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis
(pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga;
atau

bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang
baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu
juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang
sama.” (Al-Ghazali, 1961). “……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima
kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur
alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam
batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu
yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu
yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).

Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki
yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama
pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya
kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang
masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.

Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni
dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga
tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun
tidak pernah terdengar oleh telinga.

“……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati,
sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan
kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir
kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah
peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian
langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).

Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan
puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan
mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf
ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini
dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya
kenabian).

Catatan Akhir

Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma
rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis
hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis
kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul
rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.

Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan
beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan
rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru
dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science)
yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional
di Barat dewasa ini.

Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri,
khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut
lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme
yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim.
Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak
berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang
seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis
dalam memecahkan masalah.

http://www.goodreads.com/story/show/12243-epistemologi-filsafat-al-ghozali

Epistemologi Islam
Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa
yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah
melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal
(intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan
akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya
suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu
hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang
pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-
masing.” Dll.
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui,
apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema
pembahasan epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, episçmç yang bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori.
Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan
antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan
epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka
epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas
pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan
dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya.
Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran
yang bernama sofisme (‫)السوفسطائية‬. Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran
kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi
kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi
menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya, mudah
diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua teori sains diragukan, semua aqidah
dan kaidah agama dicurigai. Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal
seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles.
Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak
benar bagi siapapun. Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.
Sofisme klasik ini kemudian berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan
nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan
membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang
qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan
mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis
menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran,
sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-
masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis
menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi
paham pluralisme agama.
Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari
sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran
itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.
Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:
Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa.
Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme
dari musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang
yang ragu.
Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu
melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada,
yakni wahyu.
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu
pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:
‫طلب العلم فريضة على كل مسلم‬
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.
Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-
mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu
ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan
palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah),
lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia
bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak
ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang
zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin
berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda
dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi`ah dan
dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristotels saja mengakui adanya kebenaran
yang bersifat umum, maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an
dan sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah
dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio,
dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham
rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut
logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris.
Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari
metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia
sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis
pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi
andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau
ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan
disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni
paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat
“terukur”. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur
dengan timbangan.
Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja
menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-
liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang disebut intuisi.
Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun,
agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang
terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan
ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi
pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada
agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu
iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam
disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia
telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus pada
ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini
terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan
memuncak pada Mulla Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati
bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran
pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang
membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam
aliran semacam itu hampir tidak ditemukan.
Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi
sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi
hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian
seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi
hati.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan
ini. Dari tiga yang pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera
pada indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati.
Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di atas, Ibn Taimiyyah juga
memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm
tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain
sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya,
yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat
kedudukannya ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya berupa
lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus
benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal).
Menurut al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera
yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam
hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang
yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt
disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak
menyebutkannya al-Ghazali kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak
mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof
melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua
dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah hâkim dari
diri manusia sendiri, bukan dari luar.
Adapun al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi sumber
pengetahuan ini ke dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu
hâssat al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq (indera
mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera merasa dan
meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis yang keenam adalah
sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung tanpa melalui indera-indera
yang disebutkan tadi.” Al-Baqillani kemudian menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang
diperoleh lewat (1) intuisi, seperti seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat akal,
seperti memahami omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang mutawâtir, seperti tentang
kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk tentunya khabar-khabar keagamaan, karena
sifatnya yang sama sebagai khabar.
Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para ulama terhadap
sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang
logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik
itu yang revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan
knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris,
sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep
mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan
kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu,
sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan,
pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis di atas, istilah pengetahuan
(knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad
modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris
dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.
Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan
modern. Karena di Islam tidak pernah terjadi tarik-ulur yang dahsyat antara akal dan iman,
atau antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance
yang ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa
agama. Karena dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera, ketiganya
berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah
pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal
dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang
nonfisik.
Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan
Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan
dunia Islam (Islamic worldview):
Pengetahuan dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-’ilm, al-ma’rifah dan al-
syu’ûr (kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting,
karena ia merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan
adalah al-’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui; tetapi
Dia tidak pernah disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang
ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah
mustahil. al-Attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak
terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang
bisa didefinisikan. Lagi pula, al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu
diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya.
Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya
sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan
terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas
hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari
Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian
ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa
dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam
jiwa pencari ilmu; kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu
bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Yazdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Hal itu
disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata
(badîhî). Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan,
lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya.
Frase atau tuturan yang lazim dipakai dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi
pengetahuan atau ilmu hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan
yang ada dalam ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya.
Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti: “penangkapan
bentuk (shûrah atau form) sesuatu dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam
maujud nonmaterial lainnya”, atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.
Yazdi pun kemudian menjelaskan tentang ilmu ini sebagaimana halnya al-Attas. Cuma istilah
yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung dari Allah swt
Yazdi menamakannya al-’ilm al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational
knowledge, knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat usaha
manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan atau perolehan,
acquired knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam
karyanya tentang perbandingan epistemologi antara al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-
ma’rifah baina al-Qur`ân wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir
Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan
bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh
masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi
titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Uraian keempat ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam
mencakup dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan
kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Dalam hal
ini, mutlak disimak firman Allah swt berikut ini:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-’Alaq [96] : 1-5)
Secara jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra`,
juga bisa diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
Klasifikasi Pengetahuan, Bukan Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak.
Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak
dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang
sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah
pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan),
bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada syar’iyyah dan
ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah yang berasal dari Nabi
saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung,
dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti
ilmu bahasa.
Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama. Cuma
penamaannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyyah
adalah yang berurusan dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang
tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya.
Sementara syaikh al-’Utsaimin membahasakannya dengan ilmu syar’î dan nazarî. Ilmu syar’î
adalah fiqh (pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu
nazarî adalah ilmu shinâ’ah (perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan,
umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Qur`an menjelaskan
bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat
diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib,
meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini
dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an inilah maka
kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm yang mengungkap ‘âlam
syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang
mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar
pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis
kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika
agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern.
Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah
“kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga,
ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak
pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang
jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof Muslim di abad
pertengahan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.

http://pemikiranislam.net/2010/04/epistemologi-islam/

Epistemologi Menurut Perspektif Islam : Beberapa Isu Pilihan untuk Diskusi

Osman Bakar, PhD

1. Mana-mana epistemologi – teori ilmu – semestinya berkemampuan menghubungkaitkan


dengan jelas antara dua perkara, iaitu obiek yang dikethui dan subjek yang mengetahui.Yang
membedakan sesuatu epistemology dengan epistemology yang lain adalah tanggapan
terhadap ruanglingkup realitas objek dan ruanglingkup realitas subjek yang dapat diterima
sebagai meyakinkan. Aliran utama epistemology modern umpamanya yang sebenarnya
merupakan ciptaan pemikiran Barat didapati berbeda dengan epistemologi Islam pada
umumnya dari segi tanggapan terhadap kedua dua ruanglingkup ini. Di Barat terdapat
sebilangan ilmuwan dan pemikir yang berpegang pada epistemologi yang hampir serupa
dengan epistemologi Islam. Tetapi mereka ini merupakan golongan minoritas.

2. Adalah jelas bahawa konsep realitas sangat mempengaruhi epistemologi. Bagi ajoritas
ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat modern, yang diakui sebagai ealitas adalah
terbatas kepada apa yang dapat disaksikan oleh pancaindera atau yang apat disahkan oleh
metode empiris. Yang tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan metode ini disangsikan
eksistensinya atau pun ditolak sarna sekali. ‘Metode ilmiah dijadikan penentu tunggal
eksistensi sesuatu. Isunya, konsep pembuktian kebenaran terbatas kepada penggunasuaian
metode ilmiah tetapi makna dan pengertiani lmiah itu sendiri disempitkan kepada
pengetahuan empiris. Tegasnya, ruanglingkup realitas objek menurut aliran pemikiran ini
adalah terbatas kepada alam fisik.

3. Seperti mana terjadi penyempitan realitas objek yang dapat diketahui oleh manusia epada
realitas fisik maka demikian juga terjadinya pengecilan wilayah realitas subyek ang
mengetahui kepada diri yang sekadar memiliki fakultas pancaindera dan fakultas
akal yang hanya pandai berfikir secara logika tentang data-data empiris sahaja. Dengan ata
lain, diri manusia yang ingin menjadi subyek yang mengetahui mempunyai tahap esadaran
yang rendah. Di kalangan ilmuwan modem bukan sedikit yang berpendapat
bahawa akal pikiran manusia itu sendiri adalah konsekuensi proses evolusi yang bersifat
fisik. Maksudnya, akal manusia disamakan sahaja dengan otak. Maka ia dilihat sebagai
produk proses fisik yang dapat dipahami dengan hanya perlu merujuk kepada realitas alam
materi. Apabila manusia seperti ini merujuk kepada dirinya sebagai “aku” maka kesadaran
“aku”nya itu sekadar kesadaran yang dimiliki oleh ego empirisnya.Ternyata bahawa
epistemologi yang dimiliki oleh aliran utama pemikiran ilmiah di Barat moden adalah
didasarkan kepada hubungan antara objek dan subyek pada tahap kesadaran manusia yang
paling rendah.

4. Berbeda kedudukannya dengan konsep realitas dalam pemikiran Islam. Menurut l-Qur’an
realitas objek yang dapat diketahui mencakupi seluruh alam semesta dan enciptanya yakni
Allah s.w.t. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat irarkis. Maksudnya, ia
memiliki berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Selain alam isik wujud alam bukan fisik
yang juga dapat diketahui oleh manusia. Alam semesta atau kosmos yang diperlihatkan oleh
al-Qur’an terbahagi secara kasarnya kepada tiga tingkat wujud dengan sifat realitas masing-
masing. Realitas tingkat terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat
teratas adalah realitas spiritual. Dalam al-Qur’an realitas ini merujuk kepada dunia malaikat
yang menurut hadis adalah dicipta daripada cahaya. Realitas tingkat tengah adalah realitas
psikis atau animistik yang juga disebut sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan keagamaan
di dalam al-Qur’an realitas ini merujuk kepada dunia jinn yang dicipta daripada api yang
bukan fisik.

5. Juga menurut al-Qur’an, realitas subyek yang dapat diketahui mencakupi seluruh apa ang
disebut oleh Sayyidina Ali r.a. sebagai alam kecil (al- ‘alam al-saghir). Di Barat ia ikenali
dengan istilah microcosm. Alam ini merujuk kepada alam diri manusia yang juga terbahagi
kepada beberapa tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. AI-Qur’an menegaskan:
“Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia enyempurnakannya dan
meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan Dia enjadikan bagi kamu (fakultas)
pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (32:7-9). Fakultas
pengetahuan manusia meliputi pancainderanya, fakultas-fakultas batin (internal) seperti
fakultas pengingatan dan daya khayal, fakultas rasional dan spiritualnya, yakni akal dan hati
(qalb). Fakultas-fakultas yang membentuk realitas subyek inilah yang memungkinkan
manusia mengetahui realitas alam semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam suatu
hirarkis.

6. Epistemologi Islam menegaskan bahawa setiap disiplin ilmu atau sains dicirikan oleh mpat
perkara berikut: [1] ada mauduk (“subject matter”) yang diberi definisi yang jelas; 2] ada
premis-premis( muqadammat) yang diandaikan benar tetapi kebenarannya tidak isa
dibuktikan dalam ilmu tersebut; kebenaran premis-premis disiplin ilmu itu perlu ibuktikan
dalam displin ilmu yang dikira lebih tinggi kedudukannya dari segi tahap ebenaran yang
dibicarakan; [3] ada metode (tariqah) yang khusus baginya; [4] ada bjektif-objektif (ahdaf)
khusus bagi disiplin berkenaan.

Dibentangkan pada: Diskusi Pakar “Krisis Epistemologi di Perguruan Tinggi” FUF UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta Indonesia, 23 Mei 2008.

http://i-epistemology.net/osman-bakar/32-epistemologi-menurut-perspektif-islam–beberapa-
isu-pilihan-untuk-diskusi.html

Zainal Abidin Bagir


Center for Religious and Cross-cultural Studies
Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia

1. “Islam Yes, Sains Islam No”?


Banyak Muslim kini tak lagi alergi dengan ajakan lama Nurcholish Madjid, “Islam Yes,
Partai Islam No”, karena politik nyatanya memang tak perlu dipandang sebagai sesuatu yang
sakral. Urusan pengaturan negara dan politik adalah urusan manajemen, yang mesti ditangani
manajer profesional, secara (seharusnya) rasional—lebih-lebih dalam konteks masyarakat
yang pluralistik. Tujuan-tujuan universal Islam bisa dicapai tanpa harus membentuk institusi-
institusi dengan embel-embel Islam—yang justru kerap menjadi sumber penyalahgunaan.
Bagaimana dengan institusi sains? [1] Perlukah slogan semacam itu: “Islam Yes, Sains Islam
No”? Analogi ini ditarik karena ada kesamaan penting antara negara dan sains: keduanya
adalah institusi sosial (publik) yang hidup dalam komunitas pluralistik. Di akhir makalah ini,
saya akan kembali ke analogi ini.
Gagasan “sains Islam” sudah berada di percaturan intelektual Islam selama lebih dari 20
tahun, di berbagai belahan dunia Muslim, termasuk Indonesia. Gagasan ini jugalah yang
rupanya sebagiannya mengilhami diadakannya seminar ini pada hari ini. Dalam proposal
seminar ini, dinyatakan bahwa salah satu tujuan penciptaan epistemologi Islam adalah untuk
“membangun sains yang berdaya guna bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan.” Sains
Barat modern didasarkan pada epistemologi Barat, maka epistemologi Islam—yang
keberadaannya sulit dipungkiri—sudah sewajarnyalah mampu melahirkan sains yang Islami.
Di sini, epistemologi dianggap sebagai dasar sains; epistemologi memiliki prioritas (yaitu,
keterdahuluan) baik secara konseptual maupun temporal. Namun sejarah sains, baik di Barat
mapun Islam, saya kira menunjukkan bahwa kaitan epistemologi dengan sains tak serapi itu.
Kaitan yang rapi hanya muncul dalam rekonstruksi rasional atas sejarah, yang tak mesti
mewakili gerak sejarah yang sebenarnya. Nyatanya, sains kerap memiliki dinamikanya
sendiri. Sains berkembang bukan karena epistemologi yang baik, tapi justru epistemologi
kerap dipaksa menyesuaikan diri dengan temuan-temuan—dan kegagalan-kegagalan—sains.
Dengan begitu, anggapan bahwa perumusan epistemologi Islam akan otomatis menghasilkan
jenis model sains alternatif yang berbeda pula menjadi patut dipertanyakan. “Jenis sains yang
berbeda” ini disebut oleh banyak Muslim sebagai “sains Islam” ( Islamic science ). Dalam
makalah ini saya tak akan membahas kaitan epistemologi dengan sains, tapi langsung
beranjak dari problematik gagasan “sains Islam”.
Apa itu “sains Islam”? Definisi awal dan paling mudah yang bisa diberikan untuk “sains
Islam” adalah bahwa ia adalah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau
manifestasi ajaran-ajaran/nilai-nilai Islam dalam sistem sains. Definisi ini jelas amat luas
cakupannya, namun justru karena itu saya kira akan disepakati oleh para penganjur sains
Islam seperti dalam kelompok yang dipelopori oleh Seyyed Hossein Nasr, Isma’il Faruqi,
maupun Ziaduddin Sardar. Tanpa menafikan perbedaan-perbedaan yang terkadang cukup
radikal, bisa saya katakan bahwa gagasan sains Islam tercakup dalam definisi ini. Perbedaan
di antara mereka terutama menyangkut pemahaman mereka atas sains dan Islam, dan strategi
pembentukannya. Di luar itu, dapat dikatakan bahwa gagasan mereka tercakup dalam definisi
ini.
2. Netralitas religius sains
Salah satu premis terpenting penganjur sains Islam adalah bahwa sains itu tak bebas nilai,
karena memiliki asumsi-asumsi metafisis yang mendahului aktifitas sains, sehingga sistem
nilai-nilai tertentu (termasuk di dalamnya nilai-nilai religius) bisa mewarnai aktifitas dan
hasil (teori-teori) sains. Namun argumen-argumen untuk premis ini seringkali didasarkan
pada gambaran usang dan tak akurat tentang sejarah dan filsafat sains, dan kadang-kadang
bahkan ditampilkan dalam semacam teori konspirasi.
Di antaranya, yang kerap disebut adalah kisah standar tentang pembentukan pandangan dunia
mekanis, yang diajukan secara substantif pertama kali oleh Descartes, lalu diturunkan
menjadi alat analisis yang digunakan Boyle sebagai dasar sainsnya, dan konon dijadikan
basis kosmologi oleh Newton. Pandangan dunia mekanis inilah yang kemudian menjadi basis
sekularisasi peradaban modern, hingga berujung pada peminggiran agama. Namun kisah ini
terlalu sederhana.
Seperti terungkap dalam kajian-kajian sejarah sains, kuatnya keberagamaan ketiga tokoh itu
tak dapat dipungkiri. Tuhan menempati posisi yang sentral dan esensial dalam sistem yang
dibangun ketiga ilmuwan modern awal itu. Yang tampak nyata dalam pemikiran mereka
adalah ketegangan yang nyata antara keinginan menampilkan sistem yang naturalistik tapi
tetap memberikan tempat yang sentral untuk Tuhan. Ketegangan yang serupa tampak pula
dalam sistem-sistem yang dibangun oleh ilmuwan dan filosof Muslim beberapa abad
sebelumnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Bahwa kemudian sains berkembang ke arah
yang menjauh dari semangat religius mereka adalah persoalan lain. Yang jelas, sulit menuduh
mereka sebagai agen-agen sekularisme dan marjinalisasi agama.
Argumen lain untuk menunjukkan tak bebas nilainya sains merupakan analisis filosofis
struktur sains. Dari sisi ini, sesungguhnya tak sulit diterima bahwa sains itu tak bebas-nilai,
bahwa teori-teori sains itu lahir dari proses dimana nilai-nilai atau asumsi metafisis tertentu,
dan bukan hanya data-data empiris, juga terlibat. Pertanyaannya adalah: apakah kaum
beragama, khususnya Islam, perlu keberatan dengan nilai-nilai tersebut? Yang menjadi
keberatan kita sesungguhnya bukanlah adanya nilai-nilai per se , tapi nilai-nilai yang
memecah-belah komunitas sains. Yaitu, nilai-nilai yang mungkin tak bisa diterima Muslim
atau Kristen, atau juga ateis, sehingga menjadikan mereka tak bisa terlibat dalam komunitas
sains tersebut.
Apakah sains memiliki nilai-nilai semacam itu? Menurut saya, tidak. Jika pun ada, biasanya
itu akan dikoreksi dalam perkembangan selanjutnya. Misalnya, keyakinan akan keteraturan
alam; bahwa alam ini teratur, peristiwa-peristiwa alam terjadi karena adanya hukum-hukum
yang pasti. Ini menjadi basis induksi, karena tanpanya kita tak bisa menyimpulkan bahwa
eksperimen yang kita lakukan hari ini akan memberikan hasil yang sama jika dilakukan
besok. Seorang Muslim atau Kristen bisa saja mengutip ayat-ayat dalam kitab sucinya untuk
menunjukkan bahwa keyakinan seperti itu ada dalam agama mereka, tapi seorang ilmuwan
tak perlu menjadi Muslim atau Kristen untuk memiliki keyakinan seperti itu. Ini lebih
merupakan “keimanan operasional-pragmatis”, yang dipegang secara tentatif untuk tujuan
pragmatis merumuskan teori. (Dengan menyatakan ini, saya tak ingin mengingkari bahwa
dalam sejarahnya, bisa jadi konteks teistik yang menjadi habitat perkembangan sains itulah
yang memungkinkan sains berkembang, seperti diajukan banyak sejarawan sains.)
Bagaimana dengan materialisme, yang konon juga mendasari sains? Materialisme ini pun
saya kira hanya merupakan keimanan operasional-pragmatis, yang sifatnya tentatif. Kalaupun
seorang materialis meyakini bahwa yang ada hanyalah materi, pertanyaan lanjutannya adalah:
apa itu materi? Nyatanya, yang disebut materi dalam sains berubah-ubah. Kalau materi
didefinisikan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan dapat diindera, maka elektron mesti
dianggap tak ada. Elektron yang tak bisa dilihat langsung dianggap sebagai materi hanya
karena jejak-jejaknya bisa ditemukan di laboratorium. Elektron sendiri awalnya diajukan
sebagai entitas teoretis (yaitu: fiktif), namun kini ilmuwan menerima keberadaannya tanpa
ragu-ragu. Bagaimana dengan quark? Adakah quark? Ada banyak pertanyaan-pertanyaan lain
yang bisa diajukan. Namun ringkasnya, kandungan materialisme berubah terus, menuruti
perkembangan sains. Ia bukanlah doktrin yang kaku, berhadap-hadapan secara langsung
dengan agama, tapi berevolusi terus.
Saya percaya, asumsi-asumsi metafisis lain bisa ditunjukkan memiliki karakter serupa. Di sisi
lain, dalam sejarah sains dan filsafat modern, kita bisa memberikan banyak contoh asumsi
metafisis yang direvisi atau bahkan dibuang, untuk mengakomodasi sains. Contohnya,
keyakinan Kant bahwa sistem geometri Euklid adalah sesuatu yang “given”; syarat mutlak
bagi pengalaman empiris, yang tanpanya kita tak dapat mengalami alam di luar diri kita.
Namun ketika ditunjukkan bahwa ada sistem geometri non-Euklidian yang justru digunakan
dalam perumusan teori relatifitas umum Einstein, asumsi itu pun gugur.
Contoh lain adalah perdebatan mengenai karakter ruang antara penganut substantivalisme dan
relasionalisme. Dalam sistem Newton ruang dipahami bersifat substantivalis. Dalam
perdebatan Newton dengan Leibniz, kedua alternatif ini ramai dibincangkan. Lalu teori
relatifitas umum Einstein dianggap menggugurkan substantivalisme. Namun, nyatanya,
sampai kini perdebatan itu tak kunjung berakhir, karena teori Einstein itu bisa ditampilkan
dengan latar belakang pandangan substantivalisme maupun relasionalisme. Ini contoh
pandangan yang bisa memecah-belah. Namun yang kita lihat, ilmuwan tak perlu memiliki
komitmen terhadap salah satu dari dua pandangan tentang ruang ini. Teori relatifitas umum
bisa diterima kelompok substantivalis maupun relasionalis.
Dalam sejarah sains dalam Islam, ada contoh mirip. Ketika sekelompok astronom Muslim
memutuskan untuk membuang asumsi metafisis Ptolemy bahwa bumi tak bergerak dan
merupakan pusat alam semesta, mereka mampu mengajukan sistem astronomi yang lebih
akurat, mirip dengan yang kelak diajukan Copernicus. Pertimbangan para astronom Muslim
itu bukanlah pertimbangan metafisis tapi semata-mata pertimbangan matematis dan empiris.
Menurut sejarawan sains Jamil Ragep, salah satu sumbangan terbesar Muslim terletak pada
upaya mereka untuk membebaskan astronomi dari filsafat, atau dari asumsi-asumsi metafisis
yang tak jelas dasar empirisnya.
Secara umum, gerakan sains sesungguhnya bisa dipahami sebagai gerakan ke arah
objektifitas yang lebih tinggi, dengan sebisa mungkin membebaskan sains dari asumsi-asumsi
metafisis yang tak diperlukan. Yang ingin saya simpulkan sampai di sini: jika suatu asumsi
metafisis diperlukan, ia harus bisa diterima seluruh anggota komunitas sains; dan jika ia
memecah belah, maka ia tak diperlukan dalam perumusan teori-teori sains. Sekali lagi, ini
karena sifat publik sains yang mementingkan kesepakatan. [2]
Kesimpulan berikutnya: Sains tidak bebas nilai, tapi netral secara religius ( religiously-neutral
), karena nilai-nilai yang terlibat di dalamnya bukanlah nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya, tapi lebih berfungsi sebagai asumsi operasional yang dianut secara tentatif.
Dengan demikian, urgensi untuk mengajukan “sains Islam” sebagai jawaban atas kelemahan-
kelemahan yang dipersepsi ada dalam sains modern (yaitu ketaksesuaiannya dengan agama,
atau Islam khususnya) hilang dengan sendirinya.
3. Ambiguitas sains
Sebagai ilustrasi dari kesimpulan ini, saya ingin membahas pandangan Mehdi Golshani,
fisikawan Iran (yang sempat popular di sini berkat bukunya Filsafat Sains menurut al-Qur’an
). Dalam tulisannya “How to Make Sense of Islamic Science” yang diterbitkan belum lama
ini ( American Journal of Islamic Social Sciences , v. 17, no. 3, 2002), ia membela gagasan
sains Islam, namun mengkritik beberapa versinya. Menurutnya, sains Islam bukanlah usulan
untuk melakukan aktifitas sains (eksperimentasi, observasi, teorisasi) dengan cara yang baru,
atau “secara Islami”. Namun ia meyakini adanya apa yang disebut “presuposisi metafisis”
sains yang dapat didasarkan atau menentang pandangan dunia religius; ruang untuk
presuposisi itulah yang baginya mesti diisi dengan premis-premis Islami.
Ada beberapa contoh spesifik yang diajukannya, yang menurut saya justru mendukung
kesimpulan di atas bahwa sains itu religiously-neutral . Misalnya, penjelasan untuk prinsip
antropik (bahwa hukum-hukum fisika beroperasi sedemikian hingga kehidupan bisa muncul
di semesta ini). Dua alternatif penjelasan untuk prinsip ini: ada amat banyak alam semesta,
sehingga tak mengherankan jika salah satunya kebetulan memiliki syarat-syarat yang
memungkinkan adanya kehidupan; atau, penjelasan lain, hanya ada satu alam semesta, tempat
kita hidup ini, yang sengaja dirancang oleh suatu pencipta (yang amat dekat dengan teisme,
karena si pencipta itu bisa segera diidentifikasi dengan Tuhan). Ilmuwan ateis seperti Peter
Atkins cenderung kepada tafsiran banyak-alam ( many-worlds interpretation ), yang
logikanya mirip dengan evolusi makhluk hidup melalui seleksi alam. Namun penjelasan
pertama ini pun, seperti ditunjukkan Golshani sendiri, bisa diberikan tafsir teistik:
“kewujudan banyak alam dengan konstanta yang amat berbeda sejalan dengan teisme: Tuhan
mungkin saja menciptakan banyak alam dengan karakteristik-karakteristik yang berbeda”.
Contoh lain Golshani adalah teori evolusi Darwin. Tafsir yang amat populer, seperti diajukan
Richard Dawkins atau Daniel Dennett, adalah bahwa teori ini telah menghilangkan keperluan
merujuk kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Namun sebagaimana Dawkins bisa
memberi tafsiran ateistik terhadap teori evolusi, ilmuwan Arthur Peacocke yang beragama
Kristen dapat pula memanfaatkan teori yang sama untuk mendukung panenteismenya, yang
menekankan kontinuitas tanpa henti dalam aktifitas penciptaan Tuhan (melalui evolusi).
Filosof Muslim Iqbal juga memiliki pandangan yang mirip tentang aktifitas tanpa henti
Tuhan yang terwujud dalam evolusi ini.
Maka contoh-contoh Golshani semuanya sesungguhnya justru menunjukkan ambiguitas
sains: ia bisa diberi tafsiran ateistik, bisa pula diberi tafsiran religius. Dengan kata lain, sains
itu religiously-neutral. Secara umum, kita bisa menemukan dalam setiap teori ilmiah yang
fundamental, yang mungkin memiliki implikasi religius, ambiguitas semacam itu. Lalu mana
yang benar dari berbagai penafsiran itu? Sampai di sini sains sendiri tak bisa menjawabnya.
Persis sebagaimana mekanika kuantum bisa ditafsirkan sebagai mendukung determinisme
(dalam tafsir David Bohm), ia juga bisa dianggap menghancurkannya (penafsiran
Kopenhagen), dan secara prinsipil observasi empiris semata tak dapat memutuskan tafsiran
mana yang benar. Ketakmampuan sains berpihak pada salah satu dari banyak alternatif, bagi
saya, justru menunjukkan bahwa ia bebas-nilai, sejauh menyangkut kepercayaan agama.
Karena itu, cukup mengherankan kalau Golshani kemudian membela gagasan “sains Islam”.
Pelajaran yang bisa ditarik di sini adalah pentingnya pembedaan antara teori-teori sains
dengan tafsiran filosofisnya. Ini perlu ditegaskan karena beberapa hal. Pertama, di kalangan
penganjur maupun penentang gagasan “sains Islam” keduanya kerap jumbuh, sehingga
memunculkan gambaran yang keliru tentang sains. Termasuk di dalamnya adalah kesan
bahwa sains modern (yaitu satu-satunya jenis sains yang diajarkan di universitas-universitas
Indonesia) sifatnya tak Islami. Kalau saja gagasan ini tersebar luas, tak akan mengherankan
jika ini menimbulkan problem psikologis yang serius di kalangan pelajar Muslim.
Dalam hal ini, salah satu tantangan terhadap umat Islam dalam bidang sains bukanlah dari
(teori-teori atau kandungan) sains itu sendiri, tapi dari tafsiran filosofisnya. Khususnya, ini
berkaitan dengan pemahaman yang keliru bahwa sains itu secara inheren bersifat sekular-anti
agama (sehingga perlu di-desekularisasi) atau bahwa sains modern itu tidak Islami (sehingga
perlu diislamisasikan). Maraknya tafsiran ateistik dari ilmuwan seperti Dawkins dan Dennett
atau Peter Atkins tak menunjukkan perlunya kita “memerangi” sains. Upaya-upaya
menciptakan sains alternatif justru mengesankan bahwa seolah-olah tafsiran ateistik tersebut
adalah satu-satunya tafsiran yang sah, yang identik dengan sains itu sendiri. Religiusitas
ilmuwan-ilmuwan seperti Einstein, Schrodinger, Bohm yang begitu kentara lalu menjadi
sekadar “sempalan”. Padahal penulis sejarah lain di masa depan bisa saja memandang
kecenderungan religius ini, yang tak pernah hilang dalam setiap periode sejarah sains, justru
sebagai mainstream .
Lebih jauh, jika memang tafsiran ateistik itu yang merupakan ”musuh” kita, sesungguhnya
kita punya sekutu penting yang bisa hilang kalau kita melulu berbicara soal “sains Islam”.
Yaitu umat-umat beragama lain yang memiliki keprihatinan yang sama, dan yang, dalam
beberapa hal, sudah maju cukup jauh dalam diskursus sains dan agama. Dalam konteks ini,
saya melihat gagasan “sains Islam” lebih sebagai upaya penegasan identitas yang tak terlalu
perlu. Penegasan identitas adalah proyek ideologis untuk menarik garis yang tegas antara
“kita” dan kelompok-kelompok lain—bukan proyek pemberdayaan.
Sejalan dengan aspirasi objektifitas yang disinggung di atas, kalaupun sains dianggap tak
objektif karena mengandung ideologi tertentu (positifisme, naturalisme, dan sebagainya),
yang kita perlukan adalah de-ideologisasi sains. Sains perlu dibebaskan dari segala
ideologi—baik ideologi religius ataupun yang anti-religius. Dalam menjalankan upaya ini
kita bisa dengan mudah mendapatkan banyak kawan beragam dari kelompok-kelompok lain
4. De-ideologisasi sains dan objektifikasi Islam
Untuk mengakhiri makalah ini, saya ingin mengajukan gagasan Kuntowijoyo tentang
objektifikasi Islam, yang diajukannya sebagai jalan tengah dalam perdebatan antara Islam dan
sekularisme politik. ( Selamat Tinggal Mitos, Selamat datang Realitas , Mizan, Juli 2002)
Saya melihat, tak hanya dalam politik, dalam sains pun gagasan Kunto itu dapat
diberlakukan.
Seperti disinggung di awal makalah ini, analogi negara dengan sains bisa ditarik, karena
keduanya memiliki satu karakteristik penting yang sama: keduanya adalah upaya publik.
Dalam pemahaman pasca-positifis, sains dipahami terutama sebagai aktifitas sosial. Sains
disebut objektif bukan karena ia merepresentasikan objek sebagaimana adanya ( noumena ),
namun karena ilmuwan yang satu bersepakat atas hasil-hasil observasi yang dilakukan
ilmuwan lain. Data-data empiris adalah sesuatu yang sifatnya publik, karena itu bisa
diverifikasi bersama-sama. Kesepakatan komunitas ini jelas tak identik dengan kebenaran,
dan karena itulah teori-teori sains bisa jatuh bangun. Jatuh bangunnya teori-teori sains itu
merupakan bukti bahwa sistem ini, dengan segala ketaksempurnaannya, bisa bekerja cukup
baik.
Dalam tulisan-tulisannya sejak beberapa tahun silam, Kuntowijoyo kerap berbicara tentang
peralihan dari periode ideologi ke periode ilmu. Aspirasi negara atau partai Islam adalah
indikasi umat Islam berada dalam periode ideologi. Gagasan Nurcholish “Islam Yes, Partai
Islam No” 30 tahun yang silam adalah upaya transisi ke periode ilmu (yang tak sepenuhnya
berhasil). Peralihan ke periode ilmu, menurut Kunto, ditandai dengan upaya objektifikasi,
yang mengandung tiga hal: (a) artikulasi politik dikemukakan melalui kategori-kategori
objektif; (b) pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif;
dan (c) tak lagi berpikir kawan-lawan, tapi perhatian ditujukan pada permasalahan bersama.
Seperti saya singgung di atas, aspirasi “sains Islam” pun tampaknya juga lebih merupakan
proyek ideologis. Bagaimana menerapkan gagasan Kunto dalam konteks ini? Point (a): Di
atas saya telah menyebutkan bahwa sains tak bebas-nilai, tapi nilai-nilai yang dianutnya
adalah nilai-nilai yang disepakati bersama, yang tak memecah belah komunitas sains. Karena
itu, nilai-nilai apapun, termasuk nilai-nilai Islam, jika ia ingin dimasukkan sebagai bagian
sains, mesti tampil sebagai sesuatu yang objektif, yang bisa disepakati bersama, dan sebagai
sesuatu yang memang diperlukan. Caranya adalah dengan menampilkannya sebagai sesuatu
yang rasional, yang sumber justifikasinya bukan hanya berasal dari wahyu atau kitab suci
secara langsung. Karena komunitas sains adalah suatu komunitas sosial, meyakinkan
anggota-anggota lain dalam komunitas dilakukan melalui komunikasi rasional. Membawa
label-label Islam dalam komunitas pluralistik (ateis, Kristen, Yahudi, Islam, dan sebagainya)
seperti itu tak akan efektif. Komunitas pluralistik inilah yang keberadaannya harus diakui
dalam point (b) di atas.
Sebagai penjelasan point (c), Kunto menyarankan untuk, “melepaskan diri dari pikiran ‘kita
versus mereka’”. Penempelan label-label eksklusif seperti “Islami” memang akan mengarah
pada identifikasi ‘kita versus mereka’, dan kerap justru melupakan kita dari persoalan yang
sesungguhnya. Khususnya di saat umat Islam tertinggal amat jauh dalam perkembangan
sains, eksklusifitas “sains Islam” sungguh tak menguntungkan.
Sesungguhnya, karena keragaman Muslim dan keragaman epistemologi Islam, seperti saya
singgung di awal makalah ini, perlu diingatkan bahwa di antara sesama Muslim pun, ada
keragaman luar biasa dalam memahami Islam. “Sains Islam” suatu kelompok Muslim bisa
berbeda jauh dengan “sains Islam” kelompok Muslim lain. Sementara label Islam tak
menjamin kebenarannya (atau kesetiaannya terhdap ajaran Islam yang sesungguhnya), jalan
komunikasi satu-satunya adalah melalui objektifikasi, melalui percakapan dalam kategori-
kategori objektif, yang bisa disepakati bersama.
Dengan demikian, kembali ke gagasan Kunto, kalau kita perlu slogan, bisa dikatakan yang
diperlukan adalah objektifisasi atau rasionalisasi Islam, bukan “Islamisasi sains”. Namun
slogan tak perlu, karena ia biasanya lebih efektif sebagai sarana provokasi, dan sekaligus
lebih mudah memancing kesalahpahaman. Yang penting adalah inti ajakan itu: Bahwa yang
diperlukan Muslim saat ini bukanlah menempatkan diri di luar komunitas sains dunia (seraya
mengritiknya habis-habisan), tapi masuk ke dalam komunitas itu. [3]
Sebagaimana saat ini tampaknya sudah disadari banyak Muslim bahwa keislaman kita tak
kurang kaaffah tanpa memiliki negara Islam, demikian pula, keislaman kita tak kurang
kaaffah tanpa memiliki sains Islam. “Islam adalah rahmat bagi alam semesta” mesti dipahami
sebagai prinsip universalitas Islam: Bahwa ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dan dirasakan
manfaatnya untuk semua orang. Objektifikasi adalah jalan ke arah itu.

[1] Sebagai disclaimer awal, perlu dikemukakan di sini bahwa ketika “sains” disebut dalam
makalah ini, yang terutama dimaksudkan adalah ilmu-ilmu alam. Argumen-argumen yang
diajukan di sini sampai tingkat tertentu berlaku pula untuk ilmu-ilmu sosial, namun ada
perbedaan-perbedaan penting di antara keduanya, yang tak akan dibahas di sini. Pendeknya,
ketika “sains” disebut, yang mesti dibayangkan adalah ilmu-ilmu alam. Untuk keperluan
menunjukkan tak bebas nilainya ilmu-ilmu, ilmu alam biasanya dianggap sebagai kasus yang
lebih sulit ketimbang ilmu sosial, sehingga jika bisa ditunjukkan bahwa ilmu-ilmu alam pun,
khususnya fisika, tak bebas nilai, apalagi ilmu-ilmu sosial, di mana keterlibatan subjek
pengamat dengan objeknya lebih intens.
[2] Kasus adanya beberpa penafsiran atas mekanika kuantum merupakan ilustrasi lain untuk
kesimpulan ini. Mekanika kuantum diterima fisikawan tanpa mensyaratkan komitmen kepada
salah satu penafsirannya.
[3] Dalam konteks ini, amat menarik mencatat pernyataan Munawar Ahmad Anees, yang
sempat dikenal sebagai pengajur sains Islam bersama Ziauddin Sardar. Dalam kolomnya di
Civilization belum lama ini (February/March 2000), ia menyebut bahwa dilihat dengan lebih
teliti, upaya-upaya Islamisasi dan penciptaan sains Islami “tampak setengah matang dan
parokial ( cliquish) .” Selanjutnya: “Isyarat jelas untuk kondisi yang patut disesalkan ini
[lemahnya gerakan ilmiah Muslim] adalah absennya negara-negara Muslim dalam salah satu
upaya ilmiah terbesar umat manusia sepanjang sejarah, Projek Genome Manusia.”

http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/makalah_untuk_seminar_epistemologi_islam.htm

© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights

0901P-EPISTEMOLOGI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN PADA


UNIVERSITAS ISLAM: Epistemologi Islam dan Proyek Reformasi Kurikulum1

Dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan hari Sabtu, tanggal 7 Pebruari 2009, di
Universitas
Muhammadiyah Makassar oleh Professor Dr. Omar Hasan Kasule Sr. MB ChB (MUK),
(MPH) Harvard,
DrPH(Harvard) Professor Epidemiologi dan Kedokteran Islam Universitas Brunei
Darussalam dan Profesor
Tamu Epidemiologi Universitas Malaya. EM omarkasule@yahoo.com WEB:
http://omarkasule.tripod.com
ABSTRAK
Makalah ini berdasarkan tesis bahwa reformasi epistemologis sangat penting untuk
pendidikan yang bermutu. Makalah ini dimulai dengan meringkas konsep dasar dan
paradigma epistemologi Islam dan metodologi penelitian. Selanjutnya membahas krisis
terkini menyangkut pengetahuan dan pendidikan umat, yaitu rendahnya motivasi belajar,
serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Solusi dari krisis
pendidikan akan diawali dengan perbaikan epistemologis dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Perbaikan epistemologis didefinisikan sebagai identifikasi bias-bias paradigma
dasar dan metodologi penelitian yang mencerminkan cara pandang dunia yang tidak tauhid.
Hal ini diikuti pula dengan pembentukan kembali konsep dasar epistemologis dan paradigma
dari berbagai disiplin ilmu dari paradigma tauhid yang bercirikan objektivitas, istiqamat al
ma’arifat, dan penyeragaman, ‘aalamiyyat al ma’arifat dari pengetahuan. Makalah ini
mendeskripsikan dengan jelas pendekatan-pendekatan penting dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Kesimpulan makalah ini adalah bahwa kualitas belajar dan penelitian akan
tercapai setelah ada perbaikan epistemologis, yang dapat mendorong peserta didik dan
pengajar untuk mengejar pengetahuan dalam bingkai tauhid yang membentuk cara pandang
terhadap dunia dan nilai-nilai dalam diri mereka.
KONSEP EPISTEMOLOGIS DASAR
Apakah yang Dimaksud dengan Epistemologi Islam ?. nadhariyat al ma’arifat al islamiyyat
Epistemologi adalah ilmu pengetahuan, ‘ilm al ‘ilm. Mempelajari asal-usul, hakikat dan
metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan. Epistemologi
Islam, nadhariyyat ma’rifiyyat Islamiyyat, didasarkan pada paradigma tauhid. Parameter
tetapnya adalah dari wahyu, wahy. Parameter tidak tetapnya disesuaikan oleh keadaan
waktutempat
yang bervariasi. Sumbernya adalah wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah), observasi dan
percobaan empiris, serta alasan kemanusiaan. Sekarang ini, tantangan utamanya adalah
meraih obyektivitas, al istiqamat, yaitu tetap pada jalan kebenaran dan tidak dapat
digoyahkan oleh tingkah laku dan hawa nafsu. Istiqamat hanya datang setelah iman, seperti
sabda Rasulullah qul amantu bi al laahi thumma istaqim’.
1.2 Hakikat Ilmu Pengetahuan, tabi’at al ma’arifat al insaniyyat
Istilah Al Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay,
dhann, yaqeen, tadhkirat, shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah
1 Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka
Trihastuti, Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang,
cp : 081318681994, e‐mail : yusibnuyassin@yahoo.com
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
2
untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, shakk, dhann, dan ghalabat al dhann.
Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen.
Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, and taqwah. Al Qur’an menegaskan
dasar pengetahuan yang nyata, hujjiyat al burhan. Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan
kalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat
terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan adalah milik
umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk
hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi
abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relatif, nisbiyat
al haqiqat. Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan
pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik.
1.3 Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan, masadir al ma’arifat:
Wahyu, wahy, kesimpulan, akal, dan pengamatan empiric dari alam semesta, kaun, adalah
sumber-sumber umum dari pengetahuan yang diterima oleh orang-orang beriman. Dalam
pengertian kuantitas, yang pertama adalah pengetahuan empiric, ‘ilm tajriibi. Dalam
pengertian kualitas, yang pertama adalah ilmu yang diwahyukan ilmu dan wahyu,. Ada
hubungan erat dan ketergantungan antara wahyu, pengamatan empiris, dan kesimpulan. Akal
dibutuhkan untuk memahami wahyu dan mencapai kesimpulan dari pengamatan empiris.
Wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang
tidak kasat mata. Akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan.
1.4 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan, tasnif al marifat
Pengetahuan bisa diwariskan atau dipelajari. Bisa aqli atau naqli. Bisa berupa pengetahuan
yang terlihat, ‘ilm al syahadat, dan pengetahuan yang tidak terlihat, ‘ilm al ghaib. Yang tidak
terlihat bisa mutlak, ghaib mutlaq, atau relative, ghaib nisbi. Mempelajari ilmu pengetahuan
bisa berupa kewajiban individu, fard ‘ain, sedangkan yang lain adalah kewajinban kolektif,
fard kifayat. Pengetahuan bisa sangat berguna, ‘ilmu nafiu, menjadi dasar, atau diaplikasikan.
Ada banyak disiplin ilmu yang berbeda. Disiplin-disiplin tersebut terus berubah seiring
dengan pengembangan pemahaman dan ilmu pengetahuan. Sebuah disiplin didefinisikan dan
dibatasi oleh metodologinya.
1.5 Keterbatasan Pengetahuan Manusia, mahdudiyat al marifat al bashariyyat
Al Qur’an dalam banyak ayat telah mengingatkan manusia bahwa pengetahuan mereka dalam
semua lingkungan dan disiplin ilmu sangat terbatas. Akal manusia bisa dengan mudah
diperdaya. Kecerdasan manusia memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan
persepsipersepsi
sensorik yang benar. Manusia tidak bisa mengetahui hal-hal tak kasat mata, ghaib.
Manusia bisa berfungsi dalam waktu yang terbatas. Masa lalu dan masa depan diyakini tidak
dapat diketahui. Manusia menjalankan fungsi dalam kecepatan yang terbatas baik pada level
konseptual maupun sensorik. Ide-ide tidak dapat dikeluarkan dan diproses jika mereka
dihasilkan terlalu lambat atau terlalu cepat. Manusia tidak mampu memvisualisasikan
peristiwa-peristiwa yang sangat lambat atau terlalu cepat. Peristiwa yang sangat lambat
seperti revolusi bumi atau rotasi bumi tidak dapat dirasakan kejadiannya. Memori manusia
sangat terbatas. Pengetahuan yang dipelajari bisa saja hilang atau mungkin lenyap secara
keseluruhan. Manusia akan menjadi sangat berpengetahuan jika mereka mempunyai memori
yang sempurna.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
3
2.0 METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN, manhaj al ma’arifat
2.1 Konsep-Konsep
Metodologi dimulai dengan penamaan Adam dan pengklasifikasian semua benda yang diikuti
oleh penemuan hasil percobaan-percobaan dan investigasi metodologis sistematis terkini.
Terinspirasi oleh Al Qur’an, umat Muslim mengembangkan metodologi empiris ilmiah yang
menyebabkan timbulnya reformasi Eropa, Renaissance, serta revolusi ilmiah dan teknologi
yang dimulai pada awal abad 16. Francis Bacon (1561-1626), orang Eropa yang pertama kali
menulis secara sistematis tentang metodologi empiris yang diinspirasi oleh kaum Muslim di
Eropa pada masanya. Orang-orang Eropa meniru metodologi empiris tanpa konteks
ketauhidan, menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan nantinya memaksakan hasil
tiruan buruk berupa ilmu pengetahuan sekuler kepada umat Islam di seluruh dunia. Ahli
Muslim kuno telah menunjukkan bahwa wahyu, akal dan pengalaman sangatlah tepat dan
telah menggunakan peralatan metodologis dari Al Qur’an untuk mengoreksi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani sebelum menyebarkannya ke Eropa. Mereka
mengganti logika deduktif Aristoteles dan definisinya dengan sebuah logika induktif Islam
yang diinspirasi oleh Al Qur’an.
2.2 Metodologi dari Al Qur’an, manhaj qur’ani
Al Qur’an menyediakan prinsip-prinsip umum yang membimbing dan bukan pengganti
penelitian empiris. Kitab ini menggabungkan pengamatan empiris; membebaskan pikiran dari
keragu-raguan, taklid buta, ketergantungan intelektual, dan hawa nafsu. Paradigma tauhidnya
menjadi dasar dari hubungan sebab akibat (kausalitas), rasionalitas, perintah, prediksi,
penemuan, obyektivitas, dan hukum alam. Hukum bisa diketahui melalui wahyu, pengamatan
empiris dan eksperimen. Para ahli Qur’an mengajarkan metodologi induktif, pengamatan
empiris, nadhar & tabassur; interpretasi, tadabbur, tafakkur, i’itibaar & tafaquhu; dan
pengetahuan yang terbukti, bayyinat & burhan. Al Qur’an melarang asal ikut-ikutan, taqliid,
prasangka, , dhann; dan keinginan pribadi, hawa nafsu. Konsep Al Qur’an dari istiqomat
menghasilkan kepercayaan dan pengetahuan yang tidak bias. Konsep Al Qur’an dari istikhlaf,
taskhir, dan isti’imar adalah dasar dari teknologi. Konsep dari ‘ilm nafei menggarisbawahi
perintah untuk mengubah pengetahuan dasar menjadi teknologi yang bermanfaat.
2.3 Metodologi dari Sains Islam Klasik
Ilmu pengetahuan klasik beserta konsepnya dapat diaplikasikan ke dalam IPTEK. Tafsir ilmu
dan tafsir mawdhu’e interpretasi data paralel pada penelitian empiris. ‘Ilm al nasakh
menjelaskan bagaimana data-data baru memperbaharui teori-teori yang lama tanpa
membuatnya tidak berguna sama sekali. ‘Ilm al rijaal dapat menguatkan keyakinan para
peneliti. ‘Ilm naqd al hadith menanamkan perilaku ‘membaca kritis’ literatur sains. Qiyaas
adalah analogi alasan-alasan. Istihbaab aplikasi berkelanjutan dari sebuah hipotesis atau
hukum ilmu pengetahuan sampai menemukan bukti. Istihsan dapat dibandingkan dengan
intuisi ilmiah. Istislah adalah penggunaan kepentingan umum untuk membuat keputusan atas
banyak pilihan, contohnya teknologi pengobatan. Ijma adalah kesepakatan yang ditetapkan
oleh para ilmuwan empiris. Maqasid as syari’ah adalah alat konsep untuk menyeimbangakan
penggunaan S&T. Qawaid as syari’ah adalah aksioma yang menyederhanakan operasi logika
kompleks dengan membangun aksioma tanpa melewati derivasi detail.
2.4 Kritik Islami Mengenai Metode Empiris, naqd al manhaj al tajribi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
4
Dengan alat metodologis berupa Al Qur’an dan Sains Islam klasik, umat Muslim
mengembangkan sebuah metodologi empiris dan induktif baru dalam bentuk qiyaas usuuli
dan juga mengawali metode empiris dengan eksperimen dan pengamatan sistematis, seperti
yang dicontohkan oleh hasil kerja Ibn Hazm tentang mata. Mereka mengkritik metodologi
Yunani Kuno adalah metodologi yang abstrak, hipotetis, meremehkan pengetahuan mudah,
dan berdasarkan logika deduktif. Mereka menerima metode ilmiah Eropa dari pembentukan
dan pengujian hipotesis, tetapi menolak asumsi filosofisnya: materialisme, pragmatisme,
atheisme, penolakan wahyu sebagai sumber pengetahuan, kekurangseimbangan, penolakan
dualitas raga dan jiwa, kurangnya manfaat manusia, kurangnya penyatuan paradigma seperti
tauhid, dan menjadi Euro-centric (condong ke Eropa) dan tidak menyeluruh. Orang-orang
Eropa menyatakan metodologinya akan lebih terbuka, akurat, tepat, objektif, dan netral
secara moral, tetapi hanya sebatas pengamatan dan tidak dipraktekkan. Dengan angkuhnya,
hal tersebut dianggap sebagai kemungkinan absolut dan pengetahuan empiris yang relative
berdasar pada kelemahan pengamatan dan interpretasi manusia.
3.0 KRISIS PENGETAHUAN dan PENDIDIKAN, azmat al ma’arifat wa al ta’aliim
3.1 Manifestasi Krisis
Ada anggapan pemisahan antara uluum al diin dan uluum al dunia . Perhatian terhadap
terhadap beasiswa sangatlah kecil. Kekayaan dan kekuasaan dianggap lebih penting dari
beasiswa. Ada banyak hal yang dilalaikan oleh sains empiris. Terdapat dikotomi dalam
sistem pendidikan: Islam Tradisional vs. Eropa, ulum al diin vs ulum al dunia. Integrasi dari
2 sistem itu sangat sulit atau bahkan telah gagal karena bersifat mekanis bukan konseptual.
Proses sekulerisasi dalam pendidikan telah menggeser dimensi moral dari pendidikan dan
merusak tujuan pendidikan Islami untuk mencipatakan individu yang utuh dan sempurna,
insan kaamil. Kegagalan otak Negara-negara Islam telah bercampur aduk menjadi krisis
pendidikan.
3.2 Ketidakberdayaan Umat karena Krisis Ilmu Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual adalah wujud nyata yang paling
signifikan dari keterbelakangan ummat. Krisis intelektual ummat diperparah oleh peniruan
dan penggunaan ide-ide serta konsep asing yang disusun secara buruk. Rasulullah
memperingatkan umat tentang fenomena lubang kadal (lizard-hole) di mana ummat nantinya
akan mengikuti / mengekor musuhnya tanpa bertanya, bagai kadal menuju lubangnya.
Contoh-contoh wujud ketidakberdayaan ummat adalah berupa kemiskinan, kelemahan
politik, ketergantungan ekonomi, kelemahan militer, ketergantungan pada iptek, dan
pengikisan identitas keIslaman dalam gaya hidup.
3..3 Latar Belakang Sejarah
Generasi Rasulullah saw adalah generasi yang terbaik. Guru terbaik bertemu dengan murid
terbaik dan menghasilkan kesempurnaan. Para Shahabat memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang luar biasa. Benih dari krisis yang sedang terjadi akhir-akhir ini muncul
sejak akhir khilafat rashidat. Serangan sosial dan politik meruntuhkan khilafat rashidat dan
prinsip-prinsip ideal yang merepresentasikannya dihentikan atau bahkan diganti. Kenudian,
ajaran ulama dan opini pemimpin yang melanjutkan perjuangan kebenaran prinsip-prinsip
Islam dibatasi dan dipenjara. Stagnansi intelektual mulai muncul. Proses sekularisasi Negara
Muslim mengalami kemajuan. Kelalaian dan buta huruf yang tersebar luas menjadi hal biasa.
Banyak ide dan fakta dari kaum non-Muslim tanpa bukti yang bisa dipercaya telah
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
5
menemukan jalan mereka merasuki warisan intelektual dan agama ummat, hingga
menciptakan krisis intelektual yang semakin bertambah parah.
4.0 LANGKAH AWAL MENUJU REFORMASI EPISTEMOLOGIS
4.1 Pengetahuan, sebuah Syarat Wajib untuk tajdid
Reformasi dan kebangkitan ummat akan terjadi melalui reformasi pendidikan dan
pengetahuan. Tajdid adalah sebuah fenomena penyelamatan ummat sekaligus menjadi tanda
sehat dan dinamisnya ummat ini. Hal tersebut merupakan karakteristik dasar ummat masa
reformasi/kebangkitan yang menggeser masa kemunduran ke zaman jahiliyah. Tajdid
mensyaratkan pengetahuan, ide-ide dan tindakan yang dirumuskan dengan persamaan
matematika berikut ini: tajdid = ide + tindakan. Tindakan tanpa pengetahuan dan akal yang
dibimbing tidak akan membawa perubahan yang baik. Gagasan tanpa tindakan tidak akan
merubah apapun. Tajdid mensyaratkan dan diikuti oleh sebuah reformasi ilmu pengetahuan
untuk menyediakan gagasan dan motivasi untuk membangun. Semua reformasi sosial yang
sukses dimulai dengan perubahan ilmu pengetahuan. Masyarakat ideal tidak bisa diciptakan
tanpa ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan harus benar, relevan, dan bermanfaat.
Sejarah pergerakan kebangkitan Muslim yang sukses selalu dipimpin oleh para akademisi.
4.2 Sebuah Strategi Pengetahuan Baru, nahwa istratijiyyat ma’arifiyyat jadiidat
Umat Muslim merupakan aset ekonomi dan politik yang mempunyai potensi besar namun
belum terealisasi. Perkembangan tajdid modern memiliki banyak kelebihan, tetapi juga
mempunyai kekurangan dasar yang harus diperbaiki. Krisis pengetahuan dan intelektual
masih menjadi sebuah penghalang. Pergerakan reformasi yang tidak diarahkan oleh
pengetahuan dan pemahaman yang benar akan lenyap dan gagal atau disingkirkan dari jalan
mereka. Perubahan sosial menuntut adanya perubahan perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku dari sebuah massa kritis dalam populasi. Perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku ditentukan oleh dasar pengetahuan. Visi dari strategi pengetahuan adalah
seorang manusia yang kokoh mengenal Sang Penciptanya, memahami kedudukannya,
perannya, haknya, dan kewajibannya dalam tata alam semesta (cosmic order). Misi dari
strategi pengetahuan adalah transformasi konseptual sistem pendidikan dari TK hingga
pendidikan pasca sarjana yang mencerminkan tauhid, nilai moral yang positif, obyektivitas,
universalitas, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
4.3 Menuju ke Arah Metodologi Islam, nahwa manhajiyyat ‘ilmiyyat islamiyyat
Tauhid yang universal, objektif, dan metodologi yang jelas harus menggantikan Eropa-sentris
dan konteks filosofi yang bias/semu, bukan metode praktis experimental. Aturan-aturan dari
ilmu tauhid adalah: persatuan pengetahuan, menyeluruh; hubungan sebab akibat adalah dasar
dari tindakan manusia, pengetahuan manusia yang terbatas, investigasi hubungan sebab
akibat yang didasarkan pada hukum alam yang konstan dan sesuai, harmoni antara yang
terlihat dan tidak terlihat, 3 sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan pengamatan empiris);
khilafat; akuntabilitas moral; makhluk dan ciptaanNya mempunyai tujuan, kebenaran adalah
mutlak dan relatif, keinginan bebas manusia adalah dasar dari akuntabilitas, dan tawakal.
5.0 REFORMASI EPISTEMOLOGI : KONSEP & PRAKTEK
5.1 Konsep Reformasi:
Reformasi pengetahuan adalah sebuah proses pemilihan kembali kumpulan pengetahuan
manusia agar sesuai dengan kepercayaan dasar dari ‘aqidat al tauhid. Proses reformasi bukan
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
6
untuk penemuan kembali roda pengetahuan, tetapi untuk perubahan, perbaikan, dan
reorientasi. Hal ini bersifat evolutif, bukan revolutif; serta bersifat korektif dan reformatif.
Ini adalah langkah awal dalam sistem pendidikan sebagai awal untuk memperbaiki
masyarakat.
5.2 Sejarah reformasi
Abad 2-3 H menjadi saksi kegagalan usaha transfer pengetahuan. Pengetahuan ilmiah Yunani
disalurkan kepada kamu Muslim bersamaan dengan filosofi Yunani dan pemikiran yang
menyebabkan kebingungan dalam aqidah. Ilmu Yunani lebih bergantung pada deduksi
filosofikal dari pada induksi yang berdasarkan eksperimen. Hal ini tidak menguatkan tarbiyat
ilmiah dari Al Qur’an yang menegaskan observasi akan hakikat sebagai dasar untuk
mengambil kesimpulan. Pergerakan reformasi pengetahuan yang terbaru pada akhir abad 14
H bertujuan pada pendirian sebuah sitem pendidikan yang berdasarkan tauhid.
5.3 Reformasi Disiplin ilmu:
Reformasi harus mulai dengan menata ulang epistemology, metodologi, dan kumpulan
pengetahuan dari setiap disiplin ilmu. Harus pro-aktif, akademik, metodologis, obyektif dan
praktis. Visinya adalah pengetahuan yang objektif, umum dan bermanfaat dalam konteks
interaksi manusia yang harmonis dengan llingkungan fisik, sosial, dan spiritual. Misi
praktisnya adalah transformasi paradigma, metodologis, dan penggunaan disiplin ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan tauhid. Tujuan langsungnya adalah: (a) perbaikan
paradigma disiplin ilmu yang ada untuk merubah mereka dari sebatas ritual sempit menjadi
bertujuan luas (obyektivitas universal) , (b) rekonstruksi paradigma yang menggunakan
pedoman yang objektif dan universal, (c) Klasifikasi kembali disiplin untuk mencerminkan
nilai tauhid yang universal, (d) perbaikan metodologi penelitian agar menjadi objektif,
bermanfaat, dan mudah dipahami (e) pertumbuhan pengetahuan dengan penelitian, dan (f)
menanamkan aplikasi pengetahuan yang benar secara moral. Al Qur’an memberikan prinsip
umum yang membangun objektivitas dan melawanan metodologi penelitian yang tidak jelas.
Hal ini menciptakan cara pandang dunia yang memperkuat penelitian untuk memperpanjang
batas pengetahuan dan pemanfaatannya bagi seluruh alam semesta. Ilmuwan didorong untuk
bekerja dengan parameter Al Qur’an untuk memperluas batas pengetahuan melalui
penelitian, dasar, aplikasi.
5.4 Kesalahpahaman Mengenai Proses Reformasi
Reformasi telah salah dipahami sebagai bentuk penolakan dari sekumpulan pengetahuan dan
disiplin manusia yang sudah ada. Kesalahpahaman ini sebagai wujud sempitnya pengetahuan
kaum Muslim. Anggapan salah tersebut dikarenakan buku-buku teks yang ada ditulis kembali
dengan tema Islami tanpa pemikiran yang mendalam tentang paradigma dan metodologi. Hal
ini juga memenjarakan reformasi spiritual para pelajar, para akademik, dan peneliti.
Pendekatan luar berikut ini telah dicoba untuk reformasi dan gagal: Menyisipkan ayat Al
Qur’an dan Al hadist dalam tulisan orang-orang Eropa dan sebaliknya, pencarian fakta ilmiah
dari Al Qur’an, pencarian bukti Al Qur’an dari fakta ilmiah, memperlihatkan mukjizat Al
Qur’an, pencarian hubungan antara konsep Islam dan Eropa, penggunaan Islam dalam
terminologi / istilah-istilah Eropa, dan penambahan gagasan untuk kumpulan ilmu
pengetahuan Eropa.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
7
5.5 Langkah-langkah Praktis / Tugas dari Proses Reformasi:
Langkah pertama adalah sebuah membuat pondasi yang baik dalam ilmu Islam metodologis
usul al fiqh, ‘uluum al Qur’an, ulum al hadith, dan ‘uluum al llughat. Diikuti dengan
membaca Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman perubahan dimensi ruang dan waktu.
Diikuti dengan klarifikasi masalah-masalah epistemologi dasar dan hubungan-hubungan:
wahyu dan akal, gaib dan shahada, ilmu dan iman. Diikuti oleh sebuah kritik Islami dari
paradigma dasar, asumsi-asumsi dasar, dan konsep dasar dari berbagai disiplin ilmu yang
menggunakan kriteria metodologi dan epistemologi Islami. Penilaian Islami atas buku-buku
teks dan materi pengajaran yang sudah ada, kemudian berusaha mengidentifikasi
pahampaham
yang menyimpang dari pengertian dasar tauhid dan metodologi Islami.
Hasil awal dari proses reformasi adalah pengenalan Islam dalam disiplin ilmu, muqaddimat
al ‘uluum, pembangunan prinsip-prinsip dasar Islam dan paradigma yang menentukan dan
mengatur metodologi, isi, dan pengajaran disiplin ilmu. Hal ini berhubungan dengan
‘Introduction to History’ milik Ibn Khaldun, muqaddimat mempresentasikan penyamaan dan
konsep metodologis dalam peristiwa bersejarah. Publikasi dan penilaian buku-buku teks baru
dan pengajaran material lainnya adalah sebuah langkah yang penting dalam reformasi,
dengan menyerahkannya di tangan para pengajar dan pelajar yang telah mengaalami
reformasi. Pengembangan pengetahuan dasar yang teraplikasi dalam IPTEK akan menjadi
tahap terakhir dari proses reformasi, karena pada akhirnya yang jelas-jelas membawa
perubahan dalam masyarakat adalah IPTEK.
6.0 REFORMASI DALAM DISIPLIN-DISIPLIN KHUSUS
6.1 Apa yang Dibutuhkan?
6.1.1 Definisi dan klasifikasi
6.1.2 Pengembangan bersejarah
6.1.3 Metode penelitian
6.1.4 Kritik Epistemologis Islami atas konsep dasar dan paradigma
6.1.5 Pengenalan Epistemologis Islami pada disiplin ilmu
6.2 Reformasi Seni, islaah al funuun
6.2.1 Seni berbahasa.
6.2.2 Fine arts
6.2.3 Musik
6.2.4 Drama
6.2.5 Kerajinan Tangan
6.3 Reformasi Ilmu Pengetahuan yang Menyangkut Kehidupan
6.3.1 Penelitian organisme: biologi, zoologi, botani, ekologi, taksonomi, mikrobiologi, dan
parasitologi
6.3.2 Penelitian struktur: anatomi, histologi, dan embriologi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
8
6.3.3 Penelitian fungsi: biokimia, biofisika, fisiologi, dan pharmacologi
6.3.5 Penelitian penyakit dan pengobatanya: pathologi, farmasi, pediatrics, pengobatan
dalam, psikiatri, dan ilmu bedah
6.4 Reformasi Ilmu Fisik
6.4.1 Ilmu Matematika
6.4.2 Fisika
6.4.3 Kimia
6.4.4 Astronomi
6.4.5 Ilmu Bumi
6.4.6 Arkeologi
6.4.7 Geografi
6.4..8 Kependudukan
6.4.9 Anthropologi Fisik
6.4.10 Mesin
6.4.11 Arsitektur
6.5 Reformasi Ilmu Sosial, islaah al ‘uluum al ijtima’iyyat
6.5.1 Ekonomi
6.5.2 Ilmu Politik
6.5.3 Hukum
6.5.4 Sosiologi
6.5.5 Psikologi
6.5.6 Antropologi Budaya
6.5.7 Sejarah
6.9 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Keuangan
6.9.1 Perbankan
6.9.2 Keuangan
6.9.3 Akuntansi
6.9.4 Administrasi Bisnis
6.9.5 Manajemen
6.10 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Kepentingan Umum
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
9
6.10.1 Administrasi Publik
6.10..2 Hubungan Internasional
6.10.3 Hukum
6.11 DISIPLIN ISLAM KLASIK
6.1.1 Mungkin tampak mengejutkan bahwa beberapa ilmu Islam klasik yang didasarkan pada
wahyu juga membutuhkan analisis epistemologis. Bentuk ilmu ini di masa mereka telah
dipengaruhi oleh paradigma eksternal dan filosofi yang telah masuk perlahan-lahan ke dalam
mereka dan menciptakan bias-bias epistemologi yang membutuhkan perbaikan. Selain
biasbias
itu, kita perlu melakukan formulasi ulang dimensi ruang dan waktu dalam ilmu-ilmu ini
dengan memisahkan komponen tetap (konstan) yang tidak berubah dari komponen tidak tetap
(variabel) sebagaimana membuat formulasi bagaimana komponen tidak tetap (variabel) dapat
menyesuaikan perubahan waktu dan faktor tempat.
6.1.2 Pertimbangan faktor ruang dan waktu dibutuhkan dalam uluum al Qur;an dan‘uluum al
hadiith. Fiqh dan usul al fiqh memiliki masalah sama yang timbul dari pemahaman harfiah
syari’at yang sempit dan perbedaan fiqih telah memecah belah umat pada masa lalu ke dalam
banyak masalah. Jika penyebabnya adalah fiqih, solusinya akan bisa ditemukan dalam fiqih.
Kita perlu meninjau kembali masyarakat dari general bird eye view yang menggunakan
tujuan-tujuan hukum yang lebih tinggi, maqasid as syari’ah, setelah itu kita akan mampu
membuat banyak kemajuan.
BAB I
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS

1. FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN


Sebelum Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian Kualitatif,
akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dengan
Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua metode Penelitian baik kuantitatif
maupun kualitatif digunakan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science).
Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah dan
perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah akan
mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya. Berikut ini
akan disinggung sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah
upaya memperoleh pengetahuan yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti.
Apabila ilmu pengetahuan mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau
eksperimen, kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat
universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau
dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur yang hakiki, sehingga
dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan
Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah, maka filsafat
sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping membuka dan memperdalam
pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya
dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian
saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, karena filsafat mencari apa
yang hakikat. Apabila ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk
menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu
pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya datanya mendetail dan akurat
tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, karena yang
dicari adalah hakekatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan
antara Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya
Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi, sehingga kebenaran yang dicapai
bersifat relatif. Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap kebenaran agama, karena
merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf terkenal
Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat
diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi
oleh ruang dan waktu. Hal ini menjadi dasar bagi Epistomologi. Eksistensi Tuhan bukan
merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar jangkauan indera. Bahan kajian
Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan indera. Kajian Epistomologi adalah
fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan objek kajian Metafisika. Epistomologi
meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan
Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini mempersoalkan nilai (values), dan disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai apa yang
digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai
keutamaan atau kebaikan dan Estetika atau nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya,
manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”,
misalnya permasalahan tentang apakah jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu
ada atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah,
tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi yaitu
struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan Metafisika yaitu
hal-hal yang berada di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:

Selanjutnya akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu Pengetahuan,
karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu
pengetahuan dapat ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu
pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul
faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham
yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini
misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme
menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene
Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme
menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham
empirisme dan rasionalisme.

2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.


Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas
pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap
dengan panca indera disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu
adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja tetapi harus lebih dari sekedar yang
dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah
hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu adalah
di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1) ide kosmologis
yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak dapat kita jangkau dengan panca indera, 2)
ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak dapat kita tangkap dengan
panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca indera kita adalah manifestasinya
misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu
tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui
adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi yang tajam.
Namun demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi
sebenarnya garis demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek
itu salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah
berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah
suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada
korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang
diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan
kenyataan atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak
boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang satu dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi
dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran
Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran
pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema
berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal Ilmu-ilmu Empiris Induktif Ilmu-ilmu Terapan
Deduktif:
Logika
Matematika Alam
unorganik:
karang, batu, air. Hayati:
Kehidupan Sosial:
Manusia ber masyarakat Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh kontradiksi satu sama lain
Ukuran kebenaran Korespondensi

kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.


Pragmatis

apa yang bermanfaat itu benar.


Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah


Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu
pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu
Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya
menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori
dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi
teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap
proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis,
hukum dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam
bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan
konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam
menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang
didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat
deskriptif.
2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian
tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak
menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah pernyataan
dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut
sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment)
yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan
karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi
pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan
seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah
berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori
Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh:
Ini gunting.
2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini
terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh:
”Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut
secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa
menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2
(dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya
disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat
menjelaskan fenomena disebut teori.

2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai
dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum
menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang
menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus
menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum
digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu
pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara
ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).

3) Objektif atau intersubjektif


Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu
pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif)
tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu
pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.

Cara Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah


Cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut
Siklus Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6: Siklus Empiris


Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen, yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis,
yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.

Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:


a. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah)
oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut
diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat
digunakan untuk pemecahan masalah.
b. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis
diperlukan metode deduksi logis.
c. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi.
Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai
landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-
dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan
penyusunan skala.
d. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment),
penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna
mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
e. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil
pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila
hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
f. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan
untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi
ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru
apabila hipotesis tidak terbukti.

2. BEDA ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN


a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan
(knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak
menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin
mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan
dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau
hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas
hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui
hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu
ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat
ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat
menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian
kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas
hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan
dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.

b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan mempelajari hal tersebut
kita dapat mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung
terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode
perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4
sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari
persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi
mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya
penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak
bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam
persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau
dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi
rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia
dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis
rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia
adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia
dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan
dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan
ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian
dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur ontologis
terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi:
menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna
dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan. Perubahan
terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.

Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan”
adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2)
pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang
hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat
sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-
prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau
hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu
pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
(teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode.
Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada
dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan
universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-
fakta.

b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)


Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan
total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada
awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam
bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles
adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang
nampak atau apa yang berada di balik fenomena).

Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat
pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi
elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi
suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model
yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba
penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan
matematis dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu
pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-
prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak
berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah
dapat dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal,
yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang
pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan
hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan
merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu
hasilnya kabur, karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang
pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-
hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan.
Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu
pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga
dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu
pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta saja, tetapi merupakan hasil
konstruksi oleh rasio.

Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal
pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori
dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan
empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari
pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya
berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan
atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975).
Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada
objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman
saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles
yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan
Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup
untuk menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.

c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan


Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang
bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode
eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan
definisi ini tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan
hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan
empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum
berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa,
sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui
pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil
pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak
memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan
logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya
merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat
dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan
bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan
kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara
kritis oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal.
Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka konseptual yang
telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah dilakukan penelitian atau percobaan terhadap
kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini
berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang
bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi
dasar munculnya kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan
hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat
dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang
berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk
menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat
didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan
dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk
percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini
adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan
penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna
manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga
penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan
dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami
sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai
pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di atas
menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga menghasilkan
penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung
tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya? Seperti yang
dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan pada penerapannya yaitu
dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu
yang menjadi penekanan ilmu pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab,
ilmu pengetahuan itu akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak
berorientasi pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan
percobaan baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan
merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya
untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang
menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah
sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk
memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu
pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan
percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan
perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal sehat yang
menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B.
dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu
pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti lebih
lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu
pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang
mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan sebab-
akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan
uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan
pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang
berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku
umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam
penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang
telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak
memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang terjalin. Di
samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common
sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik
sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi
sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan
logis dari proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu
pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu
dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat
diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan
penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung
pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep
yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan alam (sains),
metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan
verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga menggunakan metode pengamatan,
wawancara, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara
mendapatkan pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.

Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu
pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi
tempat pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam
bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan
tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak
bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.

d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan


a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu
diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada
Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk
diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal,
dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu
pengetahuan tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.

Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode
Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya
dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah.
Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan P.,
1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik dan objektif,
sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah.
Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka
teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil
penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya.
Jadi peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari
waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak
pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan
bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan
dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang penting dari
metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan
penginterpretasian hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil
penelitian yang dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan
ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode ilmiah
penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang
berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode
induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka penelitian,
penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun
deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam
metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu
pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan
kumpulan pengetahuan atau kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini
disebabkan karena fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta
tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku
serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode
ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai
mahluk sosial dan budaya sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional
antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan
untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil
penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam
membuat kesimpulan atas data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir,
mutlak, dan merupakan kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya
memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori
yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode
penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah,
pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).

b) Metode Penelitian Ilmiah


Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua
golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan
pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu
bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-
fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan
memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.

Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat
kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya,
dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat
diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan
penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang
menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga
dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang
mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama
dalam sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka
seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat
memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang
sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya
(Suparlan P., 1997).
EPISTEMOLOGI ILMU
oleh: anin Pengarang : Elvira Syamsir

Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1. Ontologi (hakikat apa yang dikaji)
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran dalam
bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara ontologis, objek dibahas dari
keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata
(universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada”. Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya
apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan
objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang
membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang
sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya
mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya. 2.
Epistemologi (filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia
merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam
menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal
budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari
pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model-model epistemologik
seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan sebagainya.
Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model
epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori koherensi,
korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan
antara benar dan diperca-ya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman
secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan
dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan
yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah
yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah
bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan
induktif sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian
yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten
dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri) dapat diuji,
apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian
artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan
tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin
membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk
membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin
saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita
yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami
penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang. 3. Aksiologi
ilmu (nilai kegunaan ilmu) Meliputi nilai-nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian
makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-
nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian
maupun di dalam menerapkan ilmu.

Diterbitkan di: 18 Maret, 2008

ONTOLOGI PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan membahas tentang filsafat pendidikan, yang titik tekannya pada
aspek ontologi, yang menjadi salah satu landasan filosofis dalam memahami lebih jauh
mengenai ruang lingkup pendidikan yang telah akrab dengan umat manusia, sejak awal mula
peradaban manusia sampai dengan berakhirnya peradaban tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka bahasan tentang filsafat pendidikan, tidak bisa kita pisahkan
dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat.
Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya
filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan
ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan
(Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya
kebudayaan dan peradaban manusia.
Sekalipun demikian, mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan tentang filsafat
kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya, tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf
berbeda-beda tergantung dari periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern
yang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang
harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani kuno. Jika kita beranggapan bahwa
bagian paling berharga dari kontribusi Yunani adalah ditemukannya akal budi sebagai sebuah
instrumen baru, maka kita dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno
dan modern, dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai diuji
dengan kritis.
Selanjutnya, secara garis besar, objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang
mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang disebut objek material filsafat. Kalau demikian,
apakah yang membedakan antara objek filsafat dan objek ilmu pengetahuan lainnya? Objek
filsafat yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun mempunyai
objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu
pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk menentukan objek penelitiannya, dan sampai saat
ini, belum ada pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek material). Oleh karena itu,
kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, memiliki objek
yang sama.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu
pengetahuan, paling sedikit kita akan mempertanyakan 3 hal, pertama, apa hakikat
gejala/objek itu (landasan ontologis). Kedua, bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan
gejala/objek itu (landasan epistemologis). Ketiga, apa manfaat gejala/objek itu (landasan
aksiologis).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala
sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu,
ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan
tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada
dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles.
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales merupakan orang
pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku
saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai
kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-
substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada
pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang
mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan
sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima
dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan
Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan
kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud
(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh
pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah
teori tentang wujud.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan
bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monoism yang terpecah menajdi
idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan
kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi
kebenaran yang kita cari.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang hakikat keberadaan
pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan
eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan
tujuannya. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan
dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa
manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi, bagaimana halnya dengan keberadaan manusia
tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya pendidikan begitu sentral di dalam eksistensi
manusia di muka bumi ini. Sehingga dapat diasumsikan bahwa adanya pendidikan dapat
memberikan pengetahuan yang cerah tentang asal-mula manusia dan tujuan hidup manusia.
2. Objek dan Metode dalam Ontologi
2.1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di
ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya “De Anima”. Dalam tafsiran-tafsiran
para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat
khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi
ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi
metafisik.
3. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai
dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian
muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain:
1. Filsafat Materialisme.
2. Filsafat Idealisme.
3. Filsafat Dualisme.
4. Filsafat Skeptisisme.
5. Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok permasalahan yang
menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-Salah), (b) etika
(Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut
Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum
dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal,
terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan
politik – menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat
yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idea-
nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang
dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato
mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang
berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam,
putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham,
gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua
manapun di dunia ini.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang
dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini meripakan
pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak
terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan
pendekatan secara kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami
secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya
antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai
dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian
muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:
A. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a) Monoisme
b) Dualisme.
c) Pluralisme.
B. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
a) Spiritualisme.
b) Materialisme.
C. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a) Mekanisme.
b) Teleologi.
c) Vitalisme.
d) Organisisme.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang filsafat
metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan
sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai istilah
metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian
tentang sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.
4. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan
tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala
kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis,
antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang
spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
َ‫سبِح بِ َح ْمدِك‬
َ ‫الد َما َء َونَحْ ن ن‬ ِ ‫َوإِذْ قَا َل َربُّكَ ِل ْل َم ََلئِ َك ِة إِنِي َجا ِع ٌل فِي ْاْل َ ْر‬
ِ ‫ض َخ ِليفَةً قَالوا أَتَجْ عَل فِي َها َم ْن ي ْفسِد فِي َها َويَ ْس ِفك‬
َ
َ‫(ونقَدِس لَكَ قَا َل ِإنِي أ ْعلَم َما ََل تَ ْعلَمون‬30)
َ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam
dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu
tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam
pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta
didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan
nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan
pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas
dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik
harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap
individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam
anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu
menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan
di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan
fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi
anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik,
tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta
didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang
benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran
pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara
melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu,
bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah,
sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu
berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan
diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan
sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga
muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut
ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini
menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri
adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan
bermanfaat bagi seluruh alam.
5. Pendidikan dan Kaitannya Dengan Aspek-Aspek Lain
5.1. Pendidikan dan Manusia
Manusia, siapa pun, sebagai apa pun, di mana dan kapan pun berada, berhak atas pendidikan.
Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya sebagai individu
yang yang menjadi bagian Integral dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang
penting dan perlu untuk diproses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia
dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa
pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam
kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan
dengan hal itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala
potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
5.2. Pendidikan dan Filsafat
Filsafat secara etimologis berarti ‘cinta kearifan’. Mencintai kearifan berarti mendambakan
kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku adil. Kehidupan yang berkeadilan adalah
kehidupan yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan. Kehidupan demikian adalah
kehidupan dinamis; kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan ke arah masa
depan yang lebih baik.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebut, pendidikan muncul dan memulai sesuatu. Manusia
mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan
kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan
pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal-mula, eksistensi
dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan kehidupan adalah landasan
dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu
bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.
5.3. Pendidikan dan Sejarah
Ada satu lagi persoalan khas manusia, yakni sejarah. Maksudnya, sejarah adalah suatu
rentetan kejadian yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat manusia. Rentetan
kejadian tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun berlangsung dalam kesengajaan. Ciri
khas objek sejarah adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju perkembangan
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, sejarah bisa dikatakan sebagai suatu sistem
rentetan kejadian yang bersumber dari kesadaran, dengan objek khusus yaitu kesadaran
tentang perlunya perubahan-perubahan demi perkembangan dan kemajuan bagi kehidupan
masyarakat manusia.
Untuk itu, berdasarkan sejarahnya, manusia selalu mengubah dan mengembangkan sistem
pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah mengideakan masa mendatang yang lebih
baik dan maju. Sementara itu, pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan
mengembangkan sistem pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan yang
relevan dengan kehidupan yang diideakan sejarah itu.
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di atas, maka pada akhir makalah ini kami akan
menyimpulkan segala macam-ragam pandangan dan tulisan yang telah kami rangkai tersebut.
Adapun kesimpulannya adalah sebagai berikut.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting
rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya. Pembahasan pendidikan selalu terkait
dengan hakikat keberadaan manusia. Dari pembahasan panjang lebar itu, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya,
tanpa pendidikan, mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan
mengembangkan kehidupannya. Jadi, ontologi pendidikan sepenuhnya mutlak berakar dari
dalam diri dan keberadaan manusia.
Dari pembahasan tentang pendidikan secara ontologis, dapat diperoleh pengetahuan tentang
bagaimana menata hubungan pendidikan dengan asal-mula dan tujuan kehidupan, serta
hubungan pendidikan dengan filsafat, sejarah, dan iptek dalam eksistensi kehidupan.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa
menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan
fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari
waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami
perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan
manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah
terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak
bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi
saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia
dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis,
sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hawton, Hector, Filsafat yang Menghibur, Terj. Supriyanto Abdullah, Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2003.
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Penerbit
Tiara Wacana Yogya, 2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Suprihatiningrum, Jamil dkk., Makalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu, Prodi
Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2008.
Diposkan oleh Untari Puji Astuti di 1/07/2013 09:45:00 PM

Anda mungkin juga menyukai