Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH GEL

Disusun oleh :
Atini Solawati
1906338560
Magister Herbal Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia

DEFINISI GEL

Bentuk-bentuk sediaan topikal ada beberapa macam antara lain krim, gel, salep dan pasta
(Lachman dkk., 2008). Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan
(Anonim, 2014). Definisi lain gel adalah suatu sistem semipadat dimana pergerakan dari medium
pendispersi terbatas oleh jalinan tiga dimensi dari partikel atau molekul dari fase terdispersi
(Gennaro, 2001). Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya
dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh
jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989).

Sediaan gel mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki viskositas dan daya lekat tinggi
sehingga tidak mudah mengalir pada permukaan kulit, memiliki sifat tiksotropi sehingga mudah
merata bila dioles, tidak meninggalkan bekas, hanya berupa lapisan tipis seperti film saat
pemakaian, mudah tercucikan dengan air, dan memberikan sensasi dingin setelah digunakan,
mampu berpenetrasi lebih jauh dari krim, sangat baik dipakai untuk area berambut dan lebih
disukai secara kosmetika, gel segera mencair jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu
lapisan dan absorpsinya pada kulit lebih baik daripada krim (Sharma, 2008).

Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam
tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahanbahan sintetis dan semisintetis seperti
metil selulosa, hidroksi etil selulosa, karboksi metil selulosa, dan karbopol yang merupakan
polimer vinil sintetis dengan gugus karboksil yang terionisasi. Gel dibuat dengan proses peleburan,
atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman
dkk., 2008). Bahan pembentuk gel untuk farmasi dan kosmetik idealnya harus bersifat inert, aman
dan tidak bereaksi dengan bahan-bahan lain dalam formula, tidak menunjukkan perubahan
viskositas yang berarti pada penyimpanan normal (Zats & Gregory, 1996).
Konsistensi gel disebabkan oleh bahan pembentuk gel yang pada umumnya akan membentuk
struktur tiga dimensi setelah mengabsorpsi air. Gel dapat mengembang, mengabsorpsi larutan
dengan peningkatan volume. Pengembangan dapat terlihat sebagai tahap awal dari disperse
dimana fase luar terpenetrasi kedalam matriks gel dan menyebabkan adanya interaksi antara
pembentuk gel dan solven, sehingga gel merupakan interaksi antara unit-unit pada fase koloidal
dari senyawa organik maupun anorganik yang membentuk structural viscosity yang tidak memisah
dari fase luar. Karakteristik gel yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penggunaan gel. Gel
topikal tidak boleh terlalu liat, konsentrasi bahan pembentuk gel yang terlalu tinggi atau
penggunaan bahan pembentuk gel dengan berat molekul yang terlalu besar dapat mengakibatkan
sediaan sulit dioleskan dan didispersikan (Zats & Gregory, 1996).

SIFAT DAN KARAKTERISTIK GEL

Sifat dan karakteristik gel (Zats & Gregory, 1996), meliputi :

1. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi larutan
sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan berpenetrasi diantara matriks gel dan
terjadi interaksi antara pelarut dengan gel. Pengembangan kurang sempurna bila terjadi
ikatan silang antar polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan
komponen gel berkurang.

2. Sineresis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan yang terjerat
akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan
yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi
berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya
gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks
berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat
terjadi pada hidrogel maupun organogel.
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur
tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer
separti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin membentuk larutan yang kental.
Pada peningkatan suhu larutan tersebut membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau
pemisahan fase yang disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation.

4. Efek elektrolit
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel hidrofilik dimana ion
berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang ada dan koloid
digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil
akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah
pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah
konsentrasi ion kalsium yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari
alginat sebagai kalsium alginat yang tidak larut.

5. Elastisitas dan rigiditas


Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa, selama
transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas dengan peningkatan
konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi
dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari
komponen pembentuk gel.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi memberikan
sifat aliran pseudoplastis yang khas dan menunjukkan jalan aliran non–Newton yang
dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan peningkatan laju aliran.

Dalam pembuatan gel, pemilihan basis dapat mempengaruhi karakter gel yang terbentuk
(Liebermen, 1998). Basis gel dibedakan menjadi basis gel hidrofobik dan basis gel hidrofilik. Gel
dengan basis hidrofilik yang bersifat memperlambat pengeringan merupakan bahan yang cocok
untuk penggunaan topikal karena mampu bertahan lama pada permukaan kulit (Bakker dkk.,
1990). Sistem koloid pada gel hidrofilik juga lebih mudah dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih
besar dibanding hidrofobik (Ansel, 1989). Dasar gel hidrofobik terdiri dari fase anorganik.
Interaksi yang terjadi antara dasar gel hidrofobik dengan fase pendispersinya hanya sedikit. Bahan
hidrofobik tidak menyebar dengan spontan (Ansel, 1989).

PENGGOLONGAN GEL

Penggolongan gel dibagi berdasarkan :

A. Berdasarkan sifat fasa a. Gel anorganik, contoh : bentonit magma.


koloid (Lieberman, 1998) b. Gel organik, pembentuk gel berupa polimer.

B. Berdasarkan sifat pelarut a. Hidrogel (pelarut air)


(Lieberman,1998) Hidrogel pada umumnya terbentuk oleh molekul polimer
hidrofilik yang saling sambung silang melalui ikatan kimia
atau gaya kohesi seperti interaksi ionik, ikatan hidrogen
atau interaksi hidrofobik. Hidrogel mempunyai
biokompatibilitas yang tinggi sebab hidrogel mempunyai
tegangan permukaan yang rendah dengan cairan biologi dan
jaringan sehingga meminimalkan kekuatan adsorbsi protein
dan adhesi sel, hidrogel menstimulasi sifat hidrodinamik
dari gel biologikal, sel dan jaringan dengan berbagai cara,
hidrogel bersifat lunak, elastis sehingga meminimalkan
iritasi karena friksi pada jaringan sekitarnya. Kekurangan
hidrogel yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan
yang rendah setelah mengembang. Contoh : bentonit
magma, gelatin.
b. Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)
Contoh : plastibase (suatu polietilen dengan BM rendah
yang terlarut dalam minyak mineral dan didinginkan secara
shock cooled) dan dispersi logam stearat dalam minyak.
c. Xerogel
Gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang
rendah diketahui sebagai xerogel. Kondisi ini dapat
dikembalikan pada keadaan semula dengan penambahan
agen yang mengimbibisi, dan mengembangkan matriks gel.
Contoh : gelatin kering, tragakan ribbons, acacia tears,
selulosa kering dan polystyrene.

C Berdasarkan karakteristik a. Gel hidrofilik, memiliki basis yang umumnya terdiri dari
cairan gel (gel hidrofilik molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan
dan gel hidrofobik) dengan fase pendispersi. Sistem koloid hidrofilik lebih
mudah dibuat dan memiliki kestabilann yang lebih besar
dibanding hidrofobik. Gel hidrofilik umumnya
mengandung komponen bahan pengembang, air, penahan
lembab dan pengawet (Ansel dkk., 1999). Karakteristik gel
jenis ini mempunyai aliran tiksotropik, tidak lengket,
mudah menyebar, mudah dibersihkan, kompatibel dengan
beberapa eksipien dan larut dalam air (Rowe dkk., 2009).

b. Gel hidrofobik, memiliki basis yang umumnya


mengandung parafin cair dan polietilen atau minyak lemak
dengan bahan pembentuk gel koloidal silika atau
aluminium atau zink sabun (Lieberman, 1998). Gel ini
tersusun dari partikelpartikel anorganik, bila ditambahkan
ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interaksi antara
basis gel dan fase pendispersi. Basis gel hidrofobik tidak
secara spontan menyebar (Ansel dkk., 1999).

D. Berdasarkan jumlah a. Gel fase tunggal merupakan gel yang terdiri dari
fasenya (gel fase tunggal makromolekul organik yang tersebar merata dalam suatu
dan gel fase ganda) cairan sampai tidak terlihat adanya ikatan makromolekul
yang terdispersi dengan cairan (Lieberman dkk., 1998). Gel
fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
misalnya karbomer atau dari gom alam, misalnya tragakan
(Anonim, 2014).

b. Gel fase ganda merupakan massa gel yang terdiri dari


kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda sehingga
gel ini digolongkan sebagai gel fase ganda atau gel dengan
sistem dua fase yang sering disebut magma (Ansel dkk.,
1999). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase
terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang
dinyatakan sebagai magma, misalnya magma bentonit. Baik
gel maupun magma dapat bersifat tiksotropik, membentuk
semipadat jika dibiarkan dan menjadi cair pada
pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu sebelum
digunakan untuk menjamin homogenitas (Anonim, 2014).

BAHAN PEMBUATAN GEL

1. Zat Aktif Menurut Dirjen POM (2006), bahan (zat) aktif adalah tiap bahan atau
campuran bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan
farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat aktif
obat tersebut. Dalam arti lain, bahan (zat) aktif adalah bahan yang
ditujukan untuk menciptakan khasiat farmakologi atau efek langsung
lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau
pencegahan penyakit, atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi
tubuh.
2. Basis Gel Menurut Martin et al., (2008) bahan pembentuk gel (gelling agent)
(Gelling Agent) dikelompokkan sebagai berikut :
a) Protein, misal : Kolagen dan Gelatin
b) Polisakarida, misal : Agar, Alginat, Guar gum, Starch, Pektin,
Tragakan 5
c) Polimer semisintetik, contoh: Metil selulosa, CMC, HPMC, HPC
d) Polimer sintetik, contoh: Carbomer, Polyvinyl alcohol,
Polyacrilamide
e) Bahan anorganik, contoh: Aluminium hidroksida, Laponite,
Bentonit
3. Bahan pengawet Pengawet ditambahkan pada sediaan semipadat untuk mencegah
perusakan, kontaminasi, dan pembusukan oleh bakteri atau fungi
karena basis semipadat merupakan substrat mikroorganisme. Sifat-
sifat pengawet harus efektif pada konsentrasi rendah, larut pada
konsentrasi yang diperlukan, tidak toksik, dan tidak mengiritasi.
Contoh bahan pengawet yang digunakan: senyawa ammonium
quarterner (cetiltrimetil amonium bromida), formaldehid, asam sorbit/
kalium sorbat, asam benzoat/ natrium benzoat, paraben, dan alkohol
(Sulaiman & Kuswahyuning, 2008)
4. Humektan Humektan berfungsi untuk memudahkan aplikasi sediaan pada kulit,
melembutkan kulit/ melunakkan dan mencegah rool effect. Contoh:
gliserin propilen glikol, polietilen glikol BM rendah, dan sorbitol
(Sulaiman & Kuswahyuning, 2008).
5. Bahan pengental Bahan pengental digunakan dalam sediaan semipadat agar diperoleh
struktur yang lebih kental (meningkatkan viskositas) sehingga
diharapkan lebih baik daya lekatnya. Contoh: agar, selulosa, tragakan,
pektin, natrium alginat, metil selulosa, HPMC, CMC, HPC, karbopol
(Gibson, 2001).
6. Antioksidan Antioksidan ditambahkan ke dalam sediaan semipadat bila
diperkirakan terjadi kerusakan basis karena terjadinya oksidasi.
Contoh antioksidan yang sering ditambahkan: Butylated droxyanisole
(BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT), Propyl gallate, dan
Nordihydroguaiaretic acid (NCGA) (Sulaiman & Kuswahyuning,
2008).
CONTOH SEDIAAN GEL

Chlorhexidine Gel
Nama Bahan Skala (mg/g) Fungsi
Chlorhexidine diacetate 20.00 ZatAktif (Antimikroba, antiseptic)
1,2 Propylene glycol 300.00 Pelarut, antimikroba, desinfektan,
pharma humektan, plasricizer, stabilizing agent
Lutrol F 127 220.00 Thickening agent dan pembentuk gel
Air 460.00 Pelarut

Prosedur pembuatan
1. Larutkan chlorhexidine diacetate dengan propylene glycol pada suhu lebih dari 70oC
2. Aduk dengan seksama dan perlahan tambahkan Lutrol F 127 dan air.
3. Jaga temperaturnya hingga udara keluar
4. Gel jernih tidak berwarna akan terbentuk.

Fluconazole Gel

Nama Bahan Skala (%) Fungsi


Fluconazole 1 Zat aktif
HPMC 1,5 Gelling agent
Glycerin 10 Surfaktan
Propylene Glycol 20 Surfaktan
Methyl Paraben 0.03 Pengawet
Propyl Paraben 0.01 Pengawet
Purified water ad 100 Pengencer / pelarut

Prosedur pembuatan
1. Fluconazole dilarutkan dalam campuran hangat propilenglikol dan gliserin sebagai
moistening agent.
2. HPMC (polimer selulosa) disiapkan dengan cara mendispersikan jumlah polimer pada
sejumlah air hangat dengan pengandukan konstan menggunakan magnetic stirrer pada
kecepatan yang sesuai.

3. Campuran (1) dan (2) kemudian dicampurkan.

4. Kemudian, metil paraben dan propil paraben sebagai pengawet ditambahkan perlahan
dengan pengadukan kontinyu hingga membentuk formulasi gel.

5. Sediaan gel yang telah siap ditempatkan pada wadah kaca tertutup, dan ditutupi
alumunium. Sediaan disimpan pada tempat yang gelap dan sejuk

Hand sanitizer gel

Nama Bahan Skala (%) Fungsi


Triklosan 1 Zat aktif
Alkohol 70% 60 Pelarut
Carbomer 940 0.5 Gelling agent
TEA 2 gtt Zat tambahan
Metilparaben 0.2 Pengawet
Gliserin 1 Emollient
Aquades ad 100 ml Pelarut

Prosedur pembuatan
1. Carbomer 940 ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian ditaburkan diatas aquades sebanyak
20 ml.

2. Carbomer 940 yang sudah ditaburkan diaduk cepat di dalam mortir sampai terbentuk masa
gel dan ditambah TEA sebanyak dua tetes.

3. Metil paraben ditimbang sebanyak 0,2 g. Alkohol 70% diukur sebanyak 5 ml. Metil
paraben dilarutkan dalam alkohol 70% sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam campuran
(2), diaduk hingga homogen.
4. Alkohol diukur sebanyak 55 ml. Triklosan ditimbang 1 g. Triklosan dilarutkan ke dalam
alkohol 70% 55 ml dan diaduk hingga larut.

5. Triklosan yang telah larut dicampurkan ke dalam campuran (3), dicampur hingga
homogen.

6. Aquades ditambahkan hingga 100 ml.

Aloe Vera Gel

Nama Bahan Skala (mg/g) Fungsi


Aloe vera extract 4 ZatAktif
Propylene Glycol 50 Antiseptik
Preservative q.s Bahan tambahan
Water 763 Pelarut
Chromophore RH 40 11 Emulsifying Agent
Perfume q.s Bahan tambahan
Lutrol F 127 200 Gelling Agent

Prosedur pembuatan
1. Siapkan larutan dari bahan urutan 1-4 dan bahan-bahan 5-6 di wadah yang terpisah.
Kemudian tambahkan bahan 5-6 ke larutan 1-4
2. Dinginkan campuran pada suhu <10C (atau panaskan pada suhu 70 – 80 C), dan larutkan
pada bahan 7.
3. Pertahankan suhu hingga larutan terbebas dari gelembung udara dan tampilannya jernih
4. Simpan di tempat penyimpanan pada Viskositas kira-kira 60 pascals, pH sekitar 5,5 (20 –
25 C)
5. Campurkan selama 2 menit, kemudian simpan di wadah yang bersih
UJI KUALITAS

Kontrol kualitas sediaan gel, meliputi :

a. Organoleptis
Pemeriksaan organoleptis bertujuan untuk mendeskripsikan sediaan gel yang meliputi
bentuk, warna, bau, dan kejernihan. Pengamatan dilakukan secara makroskopis (Paye dkk.,
2001).

b. Homogenitas
Pengujian homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sediaan gel yang dihasilkan
sudah tercampurkan dengan homogen dan merata. Pengujian homogenitas dapat dilakukan
dengan cara visual (Paye dkk., 2001). Homogenitas gel diamati di atas kaca objek dengan
adanya bantuan cahaya. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat bagian-
bagian yang tidak tercampurkan dengan baik. Gel yang bersifat stabil akan dapat
menunjukkan susunan yang homogen. Homogenitas sediaan gel ditunjukkan dengan
tercampurnya bahan-bahan yang digunakan dalam formula gel, baik bahan aktif maupun
bahan tambahan secara merata. Cara pengujian homogenitas yaitu dengan meletakkan gel
pada object glass kemudian meratakannya untuk melihat adanya partikel-partikel kecil
yang tidak terdispersi sempurna.

c. Daya sebar
Pengujian daya sebar bertujuan untuk mengetahui kemampuan penyebaran sediaan gel
yang dihasilkan pada tempat aplikasi. Daya sebar yang baik adalah jika gel mudah
digunakan dengan mengoleskan tanpa memerlukan penekanan berlebih. Daya sebar
berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Kemampuan menyebar yang baik di kulit
sangat diharapkan pada sediaan topikal. Diameter daya sebar sediaan semipadat berkisar
antara 5-7 cm (Garg dkk., 2002). Sejumlah zat tertentu diletakkan di atas kaca yang
berskala kemudian bagian atasnya diberi kaca yang sama, ditingkatkan bebannya, dan di
beri rentang waktu 1-2 menit. Kemudian diameter penyebaran diukur pada setiap
penambahan beban, saat sediaan berhenti menyebar (dengan waktu tertentu secara teratur).
d. Daya lekat
Pengujian daya lekat bertujuan untuk mengetahui waktu retensi atau kemampuan melekat
sediaan gel yang dihasilkan pada saat penggunaan di tempat aplikasi. Daya lekat
merupakan kemampuan sediaan untuk menempel pada lapisan epidermis. Tidak terdapat
persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan semipadat. Semakin besar kemampuan
gel untuk melekat, maka akan semakin baik penghantaran obatnya

e. Viskositas
Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya pada saat proses
produksi, proses pengemasan, serta sifat-sifat penting pada saat pemakaian, seperti daya
sebar, konsisitensi atau bentuk, dan kelembaban. Selain itu, viskositas juga dapat
mempengaruhi stabilitas fisik dan bioavailabilitasnya (Paye dkk., 2001). Semakin tinggi
viskositas, maka daya lekat akan semakin besar, sedangkan daya sebarnya akan semakin
kecil. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan penambahan polimer (Donovan &
Flanagan, 1996).

f. pH
Pemeriksaan pH bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman dari sediaan gel yang
dihasilkan. Pengamatan nilai pH dilakukan segera setelah sediaan selesai dibuat. Sebaiknya
besar nilai pH sama dengan nilai pH kulit atau tempat pemakaian untuk menghindari
terjadinya iritasi. pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5-6,5 (Draelos & Lauren,
2006).

g. Uji Stabilitas
Formulasi sediaan yang mengandung kadar air tinggi harus disimpan pada temperatur suhu
ruangan ataupun suhu dingin selama 14 hari.
KEMASAN GEL

Pemilihan kemasan sediaan gel didasarkan pada:

1. Viskositas sediaan gel


2. Keefektifan cara penggunaan
3. Tujuan penggunaan gel
4. Pemilihan penggunaan pengawet pada sediaan
5. Wadah yang bersifat kedap udara untuk mencegah penguapan
6. Estetika
7. Harga kemasan

Contoh kemasan gel

Botol berbahan kaca


• Kemasan keras
• Untuk penggunaan yang bisa langsung
dituang pada bagian tubuh
• Viskositas gel tidak terlalu tinggi
• Pemakaiannya dengan cara diguncang-
guncangkan hingga gel keluar dari kemasan.
• estetika lebih baik

Botol berbahan plastic


• Digunakan untuk gel yang pemakaiannya
banyak dalam satu kali pemakaian.
• Dapat ditekan
• Untuk gel dengan viskositas tidak terlalu
rendah
• Biaya lebih murah
Botol dengan pompa
• Memudahkan pemakaian
• Kemasan ringan dan tahan benturan
• Menghindari kontaminasi lingkungan ke
dalam kemasan
• Untuk gel dengan viskositas tidak tinggi
• Biasanya dalam volume yang agak besar

Tube berbahan plastic


• Kemasan praktis
• Harga kemasan menjadi murah
• Gel yang tersisa dalam kemasan lebih banyak
dibanding tube logam
• Dapat digunakan baik untuk gel yang
viskositasnya tinggi maupun rendah
• Mempunyai sifat khas dapat menyerap
kembali sehingga mencegah produk
mengalir keluar.
• Fleksibel sehingga memudahkan pemakaian
gel

Tube berbahan logam


• Dapat ditekan
• Gel yang sudah keluar dari kemasan tidak
dapat masuk kembali
• Tidak banyak gel yang tertinggal dalam
kemasan
• Dapat digunakan baik untuk gel yang
viskositasnya tinggi maupun rendah
• Mudah dibawa
• Dapat melindungi sediaan dari oksidasi dan
mencegah mengeringnya sediaan
• Jumlah pemakaian dapat dikontrol

Pot berbahan plastik dan kaca


• Digunakan untuk gel yang penggunaannya
banyak dalam sekali pemakaian.
• Digunakan untuk gel yang memiliki
viskositas tinggi
• Kemasan kuat dan keras
• Pot kaca :
o tahan terhadap panas
o estetika lebih baik sehingga akan
meningkatkan harga jual. Namun
kekurangannya adalah lebih berat dan kurang
praktis

Kemasan dengan aplikator


• Digunakan untuk gel yang masuk ke dalam
lubang tubuh
• Aplikatornya yang elastis dan lembut
membuat aman dan nyaman ketika sediaan
gel dimasukkan ke dalam tubuh
• Aplikator harus steril karena akan
dimasukkan ke dalam tubuh
ATURAN ETIKET DAN BROSUR

Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat dan cara pemakaiannya pada etiket, brosur atau
kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman.

Pada setiap brosur atau kemasan obat selalu dicantumkan:


• Nama obat
• Komposisi
• Indikasi
• Informasi cara kerja obat
• Aturan pakai
• Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas)
• Perhatian
• Nama produsen
• Nomor batch/lot
• Nomor registrasi
Nomor registrasi dicantumkan sebagai tanda ijin edar absah yang diberikan oleh pemerintah pada
setiap kemasan obat.
• Tanggal kadaluarsa

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi
panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan
memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2014, Farmakope Indonesia, Edisi V, 47, 163, 399, 856, 1070, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700, Jakarta, UI Press.

Ditjen POM. (2006). Metode Analisis PPOM. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Donovan, M.D. dan Flanagan, D.R., 1996, Bioavailability of Disperse Dosage Forms, dalam
Libermann, H.A., Lachman, L., Schwartz, J.B., Pharmaceutical Dosage Forms: Disperse
System, 2 nd Ed., 2, 316, Marcell Dekker Inc., New York

Draelos, Z.D. & Lauren, A.T., 2006, Cosmetic Formulation of Skin Care Products, 326, Taylor
and Francis Group, New York.

Garg, A., Deepika, A., Sanjay, G. & Anil, K.S., 2002, Spreading of Semisolid Formulations An
Update, 90, Pharmaceutical Technology, USA.

Gennaro, A.R., 2001, Remington : The Science and Practica of Pharmacy, 20th Ed., Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia.

Gibson, M., 2001, Pharmaceutical Preformulation and Formulation, 546-550, CRC Press, United
States of America.

Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri Farmasi Edisi III,
1119-1120, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Lieberman, H. A., Rieger, M. M. & Banker, G. S., 1998, Pharmaceutical Dosage Form Disperse
System, Volume 2, Second Edition, 1091-1120, Marcel Dekker, New York.

Martin, A., Swarbrick, J. & Cammarata, A., 2008, Farmasi Fisik, Edisi Ketiga, Penerbit UI Press,
Jakarta.

Paye, M., Andre, O.B. & Howard, I.M., 2001, Handbook of Cosmetic Science and Technology,
220-226, Marcell Dekker Inc., New York.

Sharma, S., 2008, Topical Drug Delivery System : A Review, Pharmaceut. Rev., 6 : 1-29.
Sulaiman, T. N. S. & Kuswahyuning, R., 2008, Teknologi dan Formulasi Sediaan Semipadat, 33;
54-57; 81; 97-101; 110-112; 137-143, Pustaka Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Zats, J.I. & Gregory, P.K., 1996, Gel, dalam Lieberman, H.A., Rieger, M.M. & Banker, G.S.,
(Eds.), Pharmaceutical Dosage Forms : Disperse Systems, 2, 400-403, 412-414, 449-504,
Marcell Dekker Inc., New York.

Anda mungkin juga menyukai