Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang
berumur 60 tahun atau lebih. Secara global pada tahun 2013 proporsi dari
populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun adalah 11,7% dari total
populasi dunia dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat seiring
dengan peningkatan usia harapan hidup. Data WHO menunjukan pada tahun
2000 usia harapan hiup orang didunia adalah 66 tahun, pada tahun 2012 naik
menjadi 70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi 71 tahun. Jumlah proporsi
lansia di Indonesia juga bertambah setiap tahunnya. Data WHO pada tahun
2009 menunjukan lansia berjumlah 7,49% dari total populasi, tahun 2011
menjadi 7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi lansia sebesar 8,1%
dari total populasi (WHO, 2015).
Fenomena terjadinya peningkatan jumlah penduduk lansia disebabkan
oleh perbaikan status kesehatan akibat kemajuan teknologi dan penelitian-
penelitian kedokteran, perbaikan status gizi, peningkatan usia harapan hidup,
pergeseran gaya hidup dan peningkatan pendapatan perkapita. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya transisi epidemiologi dari penyakit infeksi menuju
penyakit degeneratif yang salah satunya adalah penyakit sistem
kardiovaskular (Fatmah, 2010).
Tekanan darah adalah kekuatan yang diperlukan agar darah dapat mengalir
didalam pembuluh darah dan beredar mencapai semua jaringan tubuh
manusia. Kelancaran peredaran darah keseluruh tubuh sangat penting karena
darah berfungsi sebagai media pengangkut oksigen dan zat-zat lain yang
diperlukan dalam pertumbuhan sel-sel tubuh. Selain itu darah juga berguna
mengangkut sisa metabolisme yang tidak dibutuhkan lagi dari jaringan tubuh.
Tekanan darah dibedakan antara tekanan darah sitolik dan tekanan darah
diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan pada waktu jantung
berkontraksi sedangakan tekanan diastolik adalah tekanan pada saat jantung
mengendor kembali (Gunawan, 2009). Tekanan darah biasanya digambarkan
sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik. Dengan nilai normal
berkisar dari 100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg (Smeltzer dan Bare, 2009).
Seiring pertambahan usia akan terjadi penurunan elastisitas dari dinding
aorta. Pada lansia umumnya juga akan terjadi penurunan ukuran dari organ-
organ tubuh tetapi tidak pada jantung. Jantung pada lansia umumnya akan
membesar. Hal ini nantinya akan berhubungan kelainan pada sistem
kardiovaskuler yang akan menyebabkan gangguan pada tekanan darah seperti
hipertensi (Fatmah, 2010).
Berdasarkan Chobanian dkk (2009), hipertensi atau tekanan darah tinggi
adalah tekanan darah sitolik yang melebihi 140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik yang lebih dari 90 mmHg. Dari tahun ketahun didapatkan
peningkatan prevalensi penderita hipertensi seiring dengan meningkatnya usia
harapan hidup, jumlah populasi obesitas dan kesadaran masyarakat akan
penyakit ini (Mohani, 2014). Berdasarkan latar belakang tersebut kelompok
tertarik untuk menyusun makalah “Asuhan Kerperawatan Kelompok Khusus
: Usia Lanjut dengan Hipertensi”.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan Asuhan Keperawatan Kelompok Khusus : Lansia dengan
Hipertensi.
2. Tujuan Khusus
1) Melakukan Pengkajian Keperawatan Kelompok Khusus : Lansia
dengan Hipertensi.
2) Menentukan Diagnosa Keperawatan Kelompok Khusus : Lansia
dengan Hipertensi.
3) Menentukan Rencana Keperawatan Kelompok Khusus : Lansia
dengan Hipertensi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kelompok Khusus Usia Lanjut


1. Pengertian
Lansia merupakan tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya
kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual
(Efendi, 2009). Menurut WHO, batasan umur lanjut usia dibedakan
menjadi empat antara lain usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok
usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun,
lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very
old), di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Undang-undang nomor 13
tahun 1998, lanjut usia merupakan seseorang yang mencapai usia 60
tahun ke atas.

2. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia, yaitu :
1) Pralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2) Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3) Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih.
4) Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan
yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI,2009).
5) Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2009).

3. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya
(Nugroho,2009). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan.
2) Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman.
3) Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah.
4) Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5) Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal,
pasif, dan acuh tak acuh.
Sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannya yang dinilai
berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, para
lansia dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia mandiri
sepenuhnya, lansia mandiri dengan bantuan langsung dengan bantuan
badan social, lansia di panti wreda, lansia yang dirawat di rumah sakit,
dan lansia dengan gangguan mental.

4. Perubahan Fisiologis Pada Penuaan


Penuaan didirikan dengan kehilangan banyak sel tubuh dan penurunan
metabolisme di sel lainnya. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi
tubuh dan perubahan komposisi tubuh. Daftar berikut akan membantu
anda mengenali perubahan bertahap pada fungsi tubuh yang normal
meyertai penuaan sehingga dapat menyesuaikan teknik pengkajian
berdasarkan hal tersebut. Khususnya pada system kardiouaskuler. Sistem
tubuh Perubahan terkait usia
1) Nutrisi
a. Kebutuhan protein, vitamin, dan mineral biasanya tidak berubah.
b. Kehilangan kalsium dan nitrogen (pada pasien yang tidak dapat
ambulasi).
c. Penurunan absorpsi kalsium dan vitamin B1 dan B2 akibat
menurunkan selera makan).
d. Penurunan mobilitas usus dan peristaltis usus besar.
e. Gigi hancur akibat penipisan enamel gigi.
f. Penurunan kekuatan menggigit.
g. Penurunan refleks menelan.
2) Kulit
a. Lambatnya penyembuhan luka akibat penurunan laju penggantian
sel.
b. Penurunan elastisitas kulit (dapat terlihat hampir transparan).
c. Bintik-bintik coklat pada kulit akibat prolinerasi melanosit
ledakalisasi.
d. Membran mukosa kering dan penurunan keluaran kelenjar
keringat (seiring dengan penuruna kelenjar keringat yang aktif).
3) Rambut
a. Penurunan pigmen, yang menyebabkan rambut berwarna abu-abu
atau putih.
b. Penipisan seiring dengan penurunan jumlah melanosit.
c. Rambut pubik rontok akibat perubahan hormona.
d. Rambut wajah meningkat pada wanita pascamenopause dan
menurun pada pria.
4) Mata dan penglihatan
a. Konjungtiva menipis dan kuning, kemungkinan penguekulus
(bantalan lemak).
b. Penurunan produksi air mata akibat kehilangan jaringan lemak
dalam apparatus lakrimal.
c. Komea rata dan kehilangan kilauan.
d. Penipisan dan kekakuan sidera, pengunungan akibat deposit
lemak.
e. Gangguan penglihatan warna akibat perburukan sel kerucut
retina.
f. Penurunan reabsorpsi cairan intraokular yang menyebabkan
glaucoma.
5) Telinga dan pendengaran
a. Atrofi organ korti dan sarat auditonus (presbikusis sonsok).
b. Ketidak mampuan membedakan konsonen bernada tinggi.
c. Perubahan structural degeneratif dalam keseluruhan system
pendengaran.
6) Sistem pernapasan
a. Pembesaran hidung akibat pertumbuhan kartiliago yang terus
menerus.
b. Atrofi umum tonsil.
c. Deviasi trakea akibat perubahan di tulang belakang yang menua.
d. Penurunan kapasitas difusi.
e. Penurunan kekuatan otot inspirasi dan ekspirasi penurunan
kapasitas vital.
f. Penurunan saturasi oksigen sebesar 50 %.
g. Toleransi rendah terhadap debit oksigen.
7) Sistem kardiovaskular
a. Ukuran jantung agak mengecil.
b. Kehilangan kekuatan kontraktif dan efisiensi jantung.
c. Penurunan curah jantung sekitar 30% sampai 35% pada usia 70
tahun.
d. Penebalan katup jantung, yang menyebabkan penutupan yang
tidak sempurna (mumur sistolik).
e. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri sekitar 20 % antara
usia 30 dan 60 tahun.
f. Dilatasi dan peregangan vena.
g. Penurunan sebesar 35 % dalam aliran darah arteri koroner antara
usia 20 dan 60 tahun.
h. Perubahan elektrokardiogram peningkatan interval PR, kompleks
ORS, dan QT, penurunan amplitudokomplek ORS, pergeseran
aksis QRS ke kiri.
i. Frekuensi jantung membutuhkan waktu yang lebih lama agar
kembali normal setelah berolahraga.
j. Penurunan kekuatan dan elastisitas pembuluh darah, yang
berperan pada insufisiensi arteri dan vena.
k. Penurunan kemampuan berespon terhadap sters fisik dan
emosional.
8) Sistem GI
a. Penurunan elastisitas mukosa.
b. Penurunan sekresi GI, yang mengganggu digesti dan absomsi.
c. Penurunan hati, penurunan berat badan, kapasitas regeneratif, dan
aliran darah.
9) Sistem ginjal
a. Penurunan laju filtrasi glomerulus.
b. Penurunan aliran darah ginjal sekitar 53% sekunder akibat
penurunan curah jantung dan perubahan aterosiderotik.
c. Penurunan ukuran dan jumlah nefron yang berfungsi.
d. Penurunan ukuran dan kapasitas kandung kemih.
e. Penurunan ukuran ginjal.
f. Gangguan klirens obat.
g. Penularan kemampuan untuk berespond terhadap berbagai asupan
natrium.
10) Sistem reproduksi pria
a. Penurunan produksi testosterone, yang mengakibatkan penurunan
libio serta atrofi dan pelunakan testes.
b. Pembesaran kelenjar prostat dengan penurunan sekresi.
c. Penurunan volume dan viskositas cairan semen.
11) Sistem reproduksi wanita
a. Penurunan kadar estrogen dan progesterone (sekitar usia 50
tahun).
b. Berhentinya ovulasi, altofi, penebalan, dan penurunan ukuran
ovarium.
c. Rontoknya rambut public dan labia mayora datar.
d. Penyusutan jaringan vulva, terbatasnya introitus, dan hilangnya
elastisitas jaringan.
e. Atrofi vagina, laposan mukosa tipis dan kering, lingkungan pH
vagina lebiih basa.
f. Penyusutan uterus.
g. Atrofi serviks, kegagalan menghasilkan mucus untuk melumasi,
penebalan endometrum dan myometrium.
12) Sistem saraf
a. Perubahan degeneratif pada saraf-saraf pusat dan system saraf
perifer.
b. Transmisi saraf lebih lambar.
c. Hilangnya neuron dalam korteks serebral sebanyak 20%.
d. Refleks kornea lebih lambat.
e. Peningkatan ambang batas nyeri.
13) Sistem musculoskeletal
a. Peningkatan jaringan adipose.
b. Penurunan tinggi akibat penurunan kelengkungan tulang belakang
dan penyempitan ruang interveteora.
c. Penurunan pembentukan kolagen dan massa otot.
14) Sistem endokrin
a. Penurunan produksi progesterone.
b. Penurunan kadar aldosteron serum sebanyak 50 %.
c. Penurunan laju sekresi kortisol sebanyak 25 %

B. Konsep Hipertensi
1. Pengertian
Hipertensi di definisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastoliknya sedikitnya 90 mmHg.
Istilah tradisional tentang hipertensi “ringan” dan “sedang” gagal
menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tinggi pada penyakit
kardiovaskular (Anderson: 2009. Hlm 582).
Tekanan darah orang dewasa normal yaitu 120 mmHg ketika jantung
berdetak (sistolik) dan 80 mmHg pada saat jantung berelaksasi (diastolik).
Ketika tekanan darah sistolik sama dengan atau di atas 140 mmHg
dan/atau tekanan darah diastolik sama dengan/atau di atas 90 mm Hg,
maka tekanan darah dianggap tinggi. Semakin tinggi tekanan darah,
semakin tinggi risiko kerusakan pada jantung dan pembuluh darah pada
organ utama seperti otak dan ginjal (WHO, 2013).
Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan
menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari
separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung
dan serebrovaskuler. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas menjadi
dua yaitu :
1) Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140
mmHg dan atau tekanan distolik sama atau lebih dari 90 mmHg.
Hipertensi ini biasanya dijumpai pada usia pertengahan.
2) Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160
mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg. Hipertensi
ini biasanya dijumpai pada usia di atas 65 tahun.
(Nugroho, 2009)

2. Manifestasi Klinis Hipertensi


Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa di antaranya
sudah mempunyai faktor risiko tambahan, tetapi kebanyakan
asimptomatik. Menurut Elizabeth J. Corwin (2005), manifestasi klinis
yang timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun antara lain :
1) Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah
akibat tekanan darah intrakranium.
2) Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3) Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf.
4) Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus.
5) Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.

3. Etiologi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :
1) Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak atau
diketahui penyebabnya (terdapat pada kurang lebih 90 % dari
seluruh hipertensi).
2) Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan / sebagai
akibat dari adanya penyakit lain.
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya
perubahan-perubahan pada :

a. Elastisitas dinding aorta menurun.


b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah
menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah Hal ini terjadi karena
kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

4. Faktor Resiko Hipertensi


Faktor risiko yang dapat mempengaruhi hipertensi dibedakan menjadi dua
yaitu :
1) Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua
seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih
dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi (Yundini,
2009). Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi
lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar
50% di atas umur 60 tahun (Nurkhalida, 2009). Tekanan darah
sedikit meningkat dengan bertambahnya umur merupakan hal
yang wajar. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada
jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan
tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya
hipertensi (Staessen A Jan et al, 2009).
b. Jenis kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata
terdapat angka yang cukup bervariasi. Prevalensi di Sumatera
Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah
perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan
13,7% wanita (Yundini, 2009). Ahli lain mengatakan pria lebih
banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio
sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik (Nurkhalida,
2003). Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria dan wanita
menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya
hipertensi.
c. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang
mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat
keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi
primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat (Chunfang Qiu et al,
2009).
d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti
dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak
pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot
(berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara
alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan
menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar
30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Chunfang Qiu et al,
2009).
2) Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a. Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Selain dari
lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok
yang dihisap per hari. Merokok lebih dari satu pak rokok sehari
berisiko 2 kali lebih rentan mengalami hipertensi dari pada
mereka yang tidak merokok (Price & Wilson, 2006). Nikotin
dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, masuk ke
dalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri serta mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi
(Nurkhalida, 2009).
b. Konsumsi garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada
mekanisme timbulnya hipertensi. Garam menyebabkan
penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan di luar
sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan
tekanan darah. Seseorang yang mengkonsumsi garam 3 gram
atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah,
sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya
rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak
lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau
2400 mg/hari (Nurkhalida, 2009).
c. Konsumsi lemak jenuh
Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko aterosklerosis
yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan
konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian
dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat
menurunkan tekanan darah (Sheps, 2005).
d. Konsumsi alkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Konsumsi
alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa
10% kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol
(Khomsan, 2003). Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat
alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan
darah (Nurkhalida, 2009).
e. Kurang Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
hipertensi, karena olahraga teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Kurangnya
aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak
aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang
lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras
pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus
memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri
(Sheps, 2009).
f. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah
secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat
berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres dapat
merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon adrenalin dan
memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup
lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul
kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul
dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Gunawan, 2009).
g. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terhadap
timbulnya hipertensi. Pada obesitas tahanan perifer berkurang
atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi
dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa
sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan
tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh
darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar
pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan
frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.
Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan
air (Sheps, 2005; Yundini, 2009).
3) Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi
pada lanjut usia adalah :
a. Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat
proses menua.
b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan
bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau
penurunan kadar natrium.
c. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer sehingga resistensi
pembuluh darah perifer meningkat yang mengakibatkan
hipertensi sistolik.
d. Perubahan ateromatous yang menyebabkan disfungsi endotel
yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi
kimiawi lain yang kemudian menyebabkan reabsopsi natrium di
tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah
perifer, dan keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan
darah.
5. Patofisiologi
Beberapa faktor dapat mempengaruhi konstriksi dan relakasi
pembuluh darah yang berhubungan dengan tekanan darah. Bila seseorang
emosi, maka sebagai respon korteks adrenal mengekskresikan epinefrin
yang menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu, korteks adrenal
mengekskresi kortisol dan steroid lainnya yang bersifat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi menyebabkan
penurunan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah oleh
enzim ACE (Angiotensin Converting Enzyme) menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan
hipertensi (Rohaendi, 2009).
Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan
peningkatan usia, terjadinya penurunan elastisitas pembuluh darah, dan
kemampuan meregang pada arteri besar. Secara hemodinamik hipertensi
sistolik ditandai dengan penurunan kelenturan pembuluh darah arteri
besar, resistensi perifer yang tinggi, pengisian diastolik yang abnormal,
dan bertambahnya masa ventrikel kiri.
Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri
besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan
hipertensi sistolik dan diastolik memiliki output jantung, volume
intravaskuler, aliran darah ke ginjal dan aktivitas plasma renin yang lebih
rendah, serta terjadi resistensi perifer.
Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya
norepinephrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor
beta adrenergik sehingga terjadi penurunan fungsi relaksasi otot
pembuluh darah (Temu Ilmiah Geriatri, 2009). Lanjut usia mengalami
kerusakan struktural dan fungsional pada arteri besar yang membawa
darah dari jantung yang menyebabkan semakin parahnya pengerasan
pembuluh darah dan tingginya tekanan darah.

6. Komplikasi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak
endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi
termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan
pembuluh darah besar. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor
resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan
morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut (Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2006). Beberapa komplikasi yang bisa
terjadi akibat hipertensi antara lain :
1) Stroke
Stroke dapat terjadi akibat perdarahan di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh darah non otak yang terpajan
tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan
penebalan sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami
ateroskelosis dapat melemah dan kehilangan elastisitas sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.
2) Infark miokardium
Penyakit ini dapat terjadi apabila arteri koroner yang
aterosklerotik tidak dapat menyuplai darah yang cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran
darah melalui arteri koroner. Karena hipertensi kronik dan hipertrofi
ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan
infark. Hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-
perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi
disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan pembentukan
pembekuan darah.
3) Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat
tekanan yang tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, yaitu glomerulus.
Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit-unit fungsional
ginjal terganggu, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksia serta kematian. Dengan rusaknya membrane glomerulus,
protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid
plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada
hipertensi kronik.
4) Enselopati (kerusakan otak)
Enselopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada
kelainan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong cairan ke dalam ruang interstitium di seluruh susunan
saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma
serta kematian mendadak.

7. Pemeriksaan Penunjang
1) Hemoglobin / hematocrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (
viskositas ) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
2) BUN
Memberikan informasi tentang perfusi ginjal Glukosa Hiperglikemi
(diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh
peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
3) Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama
(penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
4) Kalsium serum
Penigkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
5) Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya
pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler).
6) Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
7) Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer (penyebab).
8) Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau
adanya diabetes.
9) Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
10) Steroid urin
Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
11) EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini
penyakit jantung hipertensi.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan asuhan keperawatan dan melakukan pengkajian
kembali baik secara teoritis maupun secara tinjauan kasus didapatkan
simpulan sebagai berikut
1. Pada pengkajian lansia mengalami gangguan tidur, stress dan mengalami
pusing kepala
2. Diagnosa yang muncul: Defisiensi kesehatan komunitas berhubungan
dengan ketidakcukupan sumber daya, Perilaku kesehatan cenderung
beresiko berhubungan dengan kurang pemahaman dan Ketidakefektifan
manajemen kesehatan keluarga berhubungan dengan kerumitan sistem
pelayanan kesehatan
Pencegahan Hipertensi Primer berupa kegiatan untuk menghentikan
(mengurangi) faktor resiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi.
Pencegahan primer dilaksanakan melalui berbagai upaya diantaranya promosi
kesehatan mengenai perilaku hidup sehat yakni, dengan diet yang sehat
dengan cara makan cukup sayur dan buah rendah garam dan lemak serta tidak
merokok. Pencegahan sekunder lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini
untuk menemukan penyakit. Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan
pengobatan secara dini.
Pencegahan tersier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari
komplikasi hipertensi serta untuk meniningkatkan kualitas hidup dan
memperpanjang lama ketahanan hidup. Pencegahan tersier difokuskan dapat
mempertahankan kualitas hidup penderita. Pencegahan tersier dilaksanakan
melalui tindak lanjut dini dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta, minum
obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol.

B. Saran
Diharapkan perawat mampu membantu para lansia untuk menjaga hidup
sehat. Agar angka hipertensi pada lansia dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E. T. & McFarlane, J.2009. Buku Ajar Keperawatan Komunitas : Teori


dan Praktek (edisi 3). Jakarta: EGC
Chobanian dkk. 2009. Statistik Penduduk Lanjut Usia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.
Chunfang Qiu. Et.al. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins dan
Coutran. Jakarta : EGC.
Darmojo, B. dan M. Hadi. 2009. Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Depkes RI. 2009. Pedoman Pengelolaan: Kegiatan Kesehatan di Kelompok Usia
Lanjut. Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Ditjen Bina. 2009. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Efendi. 2009. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2. Jakarta : EGC.
Elizabeth J. Corwin. 2009. Gerontological Nurse. 6th ed. Philadelphia: Lippinott.
Fatimah. 2010. Merawat manusia Lanjut usia. Jakarta: Trans Info media.
Gunawan. 2009. Kolesterol Dan Lemak Jahat, Kolesterol Dan Lemak Baik, Dan
Proses Terjadinya Serangan Jantung Dan Stroke. Jakarta: Gramedia
Pustaka utama.
Gunawan. 2009. Kolesterol Dan Lemak Jahat, Kolesterol Dan Lemak Baik, Dan
Proses Terjadinya Serangan Jantung Dan Stroke. Jakarta: Gramedia
Pustaka utama.
Mohani. 2009. Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nugroho, Wahjudi. 2009. Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.
Nurkhalida. 2009. Geriatri Ilmu-ilmu Usia Lanjut. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia Anderson. 2009. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Rohaendi. 2009. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.
Sheps. 2009. Keperawatan Lanjut Usia. Jogjakarta: Graha Ilmu.
Smeltzer, Suzanne C & Bare. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC
Staessen A Jan el. al. 2009. Buku Ajar Patologi Robbins. Vol.2 Ed. 7. Jakarta :
EGC.
Temu Ilmiah Geriatri. 2009. Pedoman Tatalaksana Gizi Usia Lanjut untuk tenaga
kesehatan. Jakarta: Depkes
Yundini. 2009. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai