Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral dari kesehatan.
Kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi
merupakan suatu hal yang di butuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa
adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan
hidup, dapat menerima orang lain sebagai mana adanya. Serta mempunyai
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. (Menkes, 2005)
Menurut Sekretaris Jendral Dapertemen Kesehatan (Sekjen
Depkes), H. Syafii Ahmad, kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah
kesehatan global bagi setiap negara termasuk Indonesia. Proses globalisasi
dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap
nilai-nilai sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua
orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyusuaikan dengan
berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stres tersebut. ( Diktorat
Bina Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan Medik Dapertemen
Kesehatan, 2007)
Setiap saat dapat terjadi 450 juta orang diseluruh dunia terkena
dampak permasalahan jiwa, syaraf maupun perilaku dan jumlahnya terus
meningkat. Pada study terbaru WHO di 14 negara menunjukkan bahwa
pada negara-negara berkembang, sekitar 76-85% kasus gangguan jiwa
parah tidak dapat pengobatan apapun pada tahun utama (Hardian,
2008). Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang demikian tinggi dibandingkan dengan masalah kesehatan lain yang
ada dimasyarakat.
Dari 150 juta populasi orang dewasa Indonesia, berdasarkan data
Departemen Kesehatan (Depkes), ada 1,74 juta orang mengalami
gangguan mental emosional. Sedangkan 4 % dari jumlah tersebut
terlambat berobat dan tidak tertangani akibat kurangnya layanan untuk
penyakit kejiwaan ini. Krisis ekonomi dunia yang semakin berat
mendorong jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, dan Indonesia
khususnya kian meningkat, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari juta
penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa (Nurdwiyanti, 2008).
Berdasar kan data dari medical record BPRS dari makasar provinsi
sulawesi selatan menunjukan pasien halusinasi yang dirawat pada tiga
tahun terakhir sebagai berikut: pada tahun 2006 jumlah pasien 8710
dengan halusinasi sebanyak 4340 orang (52%), tahun 2007 jumlah pasien
9245 dengan halusinasi sebanyak 4430 orang (49%), tahun 2008 ( januari-
maret) jumlah pasien 2294 dengan halusinasi sebanyak 1162 orang. Agar
perilaku kekerasan tidak terjadi pada klien halusinasi maka sangat di butuh
kan asuhan keperawatan yang berkesinambungan.
Akibat semakin kompleksnya persoalan hidup yang muncul di
tengah masyarakat, menyebabkan jumlah penderita gangguan jiwa di Riau
tiap tahunnya terus bertambah.Selama tahun 2007 ini saja di Riau telah
menerima sebanyak 8.870 pasien gangguan jiwa.
Berdasarkan dari hasil anamnesa pada bulan november 2010 pada
ruangan nuri yang mana jumlah pasien halusinasi sekitar 32 orang
(71,11%) dari 45 pasien yang ada diruangan, di merpati 33 pasien
halusinasi (75%) dari 44 pasien, di mawar ada 9 pasien halusinasi (45%)
dari 20 pasien, di hangtuah ada 2 pasien halusinasi (28,57%) dari 7 pasien,
di melati ada 22 pasien halusinasi (64,70%) dari 34 pasien.
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien halusinasi ada 2
yaitu farmakoterapi dan non farmakoterapi (Prabowo, 2014). Salah satu
non farmakoterapi yang dapat diberikan untuk pasien halusinasi yaitu
terapi musik. Musik memiliki pengaruh terhadap perubahan pada memori
sensorik, memori aktif serta memori jangka panjang pada pasien yang
mengalami skizofrenia (Pasha, Akhavan, & Gorjian, 2012).
Terapi modalitas adalah suatu proses pemulihan fungsi individu
(pasien) terhadap kebiasaan-kebiasaan fisik, mental, social, ekonomi,
termasuk pekerjaan menuju suatu kemampuan sebelumnya atau ke tingkat
yang memungkinkan pasien dapat hidup wajar ditengah-tengah keluarga
dan masyarakat. Ada 8 macam terapi modalitas, yaitu terapi individual,
terapi lingkungan, terapi biologis atau terapi somatik, terapi kognitif,
terapi keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku dan terapi seni. Salah satu
terapi seni yaitu terapi musik (Susana, 2011, hlm 3).
Terapi musik dinegara maju telah menjadi bagian dari profesi
kesehatan untuk mengatasi masalah fisik, emosi, kognitif dan sosial pada
anak-anak dan orang dewasa yang mengalami gangguan atau penyakit
tertentu (Djohan, 2006). Sedangkan di Indonesia terapi musik juga
digunakan sebagai terapi untuk gangguan kejiwaan, masalah medis, cacat
fisik, gangguan sensorik, cacat perkembangan, penyalahguanaan zat,
gangguan komunikasi, masalah interpersonal dan penuaan (Suryana,
2012).
Terapi musik dinegara maju telah menjadi bagian dari profesi
kesehatan untuk mengatasi masalah fisik, emosi, kognitif dan sosial pada
anak-anak dan orang dewasa yang mengalami gangguan atau penyakit
tertentu (Djohan, 2006). Selain itu terapi musik juga bermanfaat untuk
pasien yang terisolir dalam lembaga rehabilitasi (Djohan, 2009).
Musik terdiri dari beberapa jenis yaitu musik keroncong, musik
etnik, musik pop, musik klasik, musik blues, musik Ska, dan musik metal
(Tim KSM Radio Crast, 2010). Salah satu terapi musik yang efektif
digunakan dalam bidang kesehatan yaitu musik klasik (Suryana, 2012).
Musik klasik memiliki kejernihan dan kebeningan yang terkandung
didalam musik sehingga mampu memperbaiki konsentrasi dan persepsi
parsial (Campbell, 2002). Selain itu musik klasik Mozart juga bisa
mengurangi perilaku agresif, anti sosial, mengatur hormon yang berkaitan
dengan stres, mengubah persepsi dan mempengaruhi untuk mengenal
ruang sekitar, menimbulkan rasa aman, relaksasi, mengurangi kecemasan,
serta mengatasi depresi (Campbell, 2002)
Berdasarkan hal diatas, kami kelompok tertarik untuk mencari serta
membahas halusinasi dalam seminar kelompok yang sebagai salah satu
syarat tugas untuk menyelesaikan praktek klinik di RSJD Dr
Aminogondohutomo, Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
pengaruh terapi musik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pada
pasien halusinasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo di Ruang Citro
Anggodo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah, “Bagaimana Pengaruh Terapi Musik Klasik
Terhadap Peningkatan Kemampuan Mengontrol Halusinasi Di Ruang
Citro Anggodo Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo
Semarang”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi pengaruh terapi musik klasik pada pasien halusinasi


di ruang Citro Anggodo Rumah sakit jiwa daerah dr. Amino
gondohutomo Semarang.

2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan karakteristik pasien halusinasi di Ruang citro
anggodo.
b. Menggambarkan tingkat halusinasi sebelum terapi musik klasik.
c. Menggambarkan tingkat halusinasi sesudah terapi musik klasik
d. Menganalisis perbedaan halusinasi sebelum dan sesudah terapi
musik klasik
D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Peneliti
Mengaplikasikan jurnal dan ilmu yang di peroleh selama di pendidikan.
2. ManfaatBagiInstitusi
Hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai PengaruhTerapi
musik klasik terhadap Peningkatan Kemampuan Mengontrol
Halusinasi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep GangguanJiwa
1. PengertianGangguanJiwa
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010) adalah suatu
perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan
pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan
hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Gangguan jiwa atau
mental illenes adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya
sendiri-sendiri (Budiman, 2010).
Sedangkan menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa
adalah gangguan alam: cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor). Gangguan
jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak
normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan
mental. Keabnormalan tersebut dibagi ke dalam dua golongan yaitu
: gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa). Keabnormalan
terlihat dalam berbagai macam gejala yang terpenting diantaranya
adalah ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah,
cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria,
rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran
buruk. Gangguan Jiwa menyebabkan penderitanya tidak sanggup
menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai dirinya
untuk mencegah mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti
dirinya sendiri (Yosep, 2009). Gangguan Jiwa sesungguhnya sama
dengan gangguan jasmaniah lainnya, hanya saja gangguan jiwa
bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti rasa cemas,
takut hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa atau lebih kita
kenal sebagai gila (Budiman, 2010).
2. Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa
Menurut Stuart & Sundeen (2008) penyebab gangguan jiwa dapat
dibedakan atas :
a. Faktor Biologis/Jasmaniah
1) Keturunan
2) Jasmaniah
3) Temperamen
4) Penyakit dan cedera tubuh
b. Ansietas dan Ketakutan
Kekhawatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan
perasaan yang tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan
individu merasa terancam, ketakutan hingga terkadang
mempersepsikan dirinya terancam.
c. Faktor Psikologis
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan
keberhasilan yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan
sifatnya. Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh
tak acuh, kaku dan keras akan menimbulkan rasa cemas dan
tekanan serta memiliki kepribadian yang bersifat menolak dan
menentang terhadap lingkungan.
d. FaktorSosio-Kultural
Beberapa penyebab gangguan jiwa menurut Wahyu (2012)
yaitu :
1) Penyebab primer (primary cause) Kondisi yang secara
langsung menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, atau
kondisi yang tanpa kehadirannya suatu gangguan jiwa tidak
akan muncul.
2) Penyebab yang menyiapkan (predisposing cause)
Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk
gangguan jiwa.
3) Penyebab yang pencetus (precipatating cause) Ketegangan-
ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang langsung
dapat menyebabkan gangguan jiwa atau mencetuskan
gangguan jiwa.
4) Penyebab menguatkan (reinforcing cause) Kondisi yang
cenderung mempertahankan atau mempengaruhi tingkah
laku maladaptif yang terjadi.
5) Multiple cause Serangkaian faktor penyebab yang kompleks
serta saling mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu
gangguan jiwa jarang disebabkan oleh satu penyebab
tunggal, bukan sebagai hubungan sebab akibat, melainkan
saling mempengaruhi antara satu faktor penyebab dengan
penyebab lainnya.
e. FaktorPresipitasi
Faktor stressor presipitasi mempengaruhi dalam kejiwaan
seseorang. Sebagai faktor stimulus dimana setiap individu
mempersepsikan dirinya melawan tantangan, ancaman, atau
tuntutan untuk koping. Masalah khusus tentang konsep diri
disebabkan oleh setiap situasi dimana individu tidak mampu
menyesuaikan. Lingkungan dapat mempengaruhi konsep diri
dan komponennya. Lingkungan dan stressor yang dapat
mempengaruhi gambaran diri dan hilangnya bagian badan,
tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur
dan fungsi tubuh, proses tumbuh kembang, dan prosedur
tindakan serta pengobatan (Stuart & Sundeen, 2009).
3. KlasifikasiGangguanJiwa
Klasifikasi gangguan jiwadibagi menjadi (Stuart &
Sundeen, 2009) :
a. Gangguan Jiwa Psikotik
Gangguan jiwa psikotik yang meliputi gangguan otak
organik ditandai dengan hilangnya kemampuan menilai realita,
ditandai waham (delusi) dan halusinasi, misalnya skizofrenia
dan demensia.
1) Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai
dengan berbagai tingkat kepribadian diorganisasi yang
mengurangi kemampuan individu untuk bekerja secara
efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gejala
klinis skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri atau
cemas.
2) Demansia
Demansia diklasifikasikan sebagai gangguan medis
dan kejiwaan, demensia terkait dengan hilangnya fungsi
otak. Demensia melibatkan masalah progresif dengan
memori, perilaku, belajar, dan komunikasi yang
mengganggu fungsi sehari-hari dan kualitas hidup.
3) GangguanJiwaNeurotik
Gangguan kepribadian dan gangguan jiwa yang
lainnya merupakan suatu ekspresi dari ketegangan dan
konflik dalamjiwanya, namun umumnya penderita tidak
menyadari bahwa ada hubungan antara gejala-gejala yang
dirasakan dengan konflik emosinya. Gangguan ini tanpa
ditandai kehilangan intrapsikis atau peristiwa kehidupan
yang menyebabkan kecemasan (ansietas), dengan gejala-
gejala obsesi, fobia, dan kompulsif
4) Depresi
Depresi merupakan penyakit jiwa akibat dysphoria
(merasa sedih), tak berdaya, putus asa, mudah tersinggung,
gelisah atau kombinasi dari karakteristik ini. Penderita
depresi sering mengalami kesulitan dengan memori,
konsentrasi, atau mudah terganggu dan juga sering
mengalami delusi atau halusinasi. Ketika seseorang dalam
keadaan depresi ada penurunan signifikan dalam personal
hygiene dan mengganggu kebersihan mulut.

B. Konsep Halusinasi
1. Definisi halusinasi
Perubahan sensori halusinasi adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami perubahan terhadap stimulus yang
datang yang menimbulkan kesan menurunkan, melebih-lebihkan
bahkan mengartikan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan realitas
keadaan yang sebenarnya. Halusinasi yaitu pengalaman panca
indra tanpa ada rangsangan atau stimulus (Hawari, 2006).
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat
tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak
ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2010).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau
pengalaman persepsi yang tidak terjadi dalam realitas. Halusinasi
dapat melibatkan pancaindra dan sensasi tubuh. Halusinasi dapat
mengancam dan menakutkan bagi klien walaupun klien lebih
jarang melaporkan halusinasi sebagai pengalaman yang
menyenangkan (Videbeck, 2008).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana
klien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau
penghiduan,. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Dari beberapa pengertian halusinasi diatas dapat
disimpulkan bahwa halusinasi adalah suatu persepsi klien terhadap
stimulus dari luar tanpa adanya obyek yang nyata. Halusinasi dapat
berupa penglihatan yaitu melihat seseorang ataupun sesuatu serta
sebuah kejadian yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, halusinasi
juga dapat berupa pendengaran berupa suara dari orang yang
mungkin dikenal atau tidak dikenal yang meminta klien melakukan
sesuatu baik secara sadar ataupun tidak.
2. Rentang respon neurobiologik
Respon perilaku klien dapat diidentifikasi sepanjang rentang
respon yang berhubungan dengan fungsi neurobiologik. Perilaku
yang dapat diamati dan mungkin menunjukkan adanya halusinasi,
respon yang terjadi dapat berada dalam rentang adaptif sampai
maladaptif yang dapat digambarkan sebagai berikut disajikan
dalam tabel berikut:
Respon adaptif respon maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1.Waham


2. Persepsi akurat 2. Ilusi 2.Halusinasi
3. Emosi konsisten 3. Menarik diri 3. Sulit berespon
4. Perilaku sesuai 4. Reaksi emosi 4.Perilakudisorganisasi
5. Hubungan sosial 5. Perilaku tidak biasa 5. Isolasi sosial
Gambar 2.1. Rentang respon neurologi
(Kusumawati, 2010).
a. Respon adaptif
1) Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang
dapat diterima akal.
2) Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang
suatu peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.
3) Emosi konsisten berupa kemantapan perasaan jiwa sesuai
dengan peristiwa yang pernah dialami.
4) Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang
berkaitan dengan individu tersebut diwujudkan dalam
bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan dengan
moral.
5) Hubungan sosial dapat diketahui melalui hubungan
seseorang dengan orang lain dalam pergaulan ditengah-
tengah masyarakat (Stuart, 2007).
b. Respon transisi
1) Distorsi pikiran berupa kegagalan dalam mengabstrakan
dan mengambil kesimpulan.
2) Ilusi merupakan persepsi atau respon yang salah terhadap
stimulus sensori.
3) Menarik diri yaitu perilaku menghindar dari orang lain baik
dalam berkomunikasi ataupun berhubungan sosial dengan
orang-orang disekitarnya.
4) Reaksi Emosi berupa emosi yang diekspresikan dengan
sikap yang tidak sesuai.
5) Perilaku tidak biasa berupa perilaku aneh yang tidak enak
dipandang, membingungkan, kesukaran mengolah dan
tidak kenal orang lain (Stuart, 2007).
c. Respon maladaptif
1) Gangguan pikiran atau waham berupa keyakinan yang salah
yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini
oleh orang lain dan bertentangan dengan realita sosial.
2) Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa
persepsi yang salah terhadap rangsangan.
3) Sulit berespon berupa ketidakmampuan atau menurunnya
kemampuan untuk mengalami kesenangan, kebahagiaan,
keakraban dan kedekatan.
4) Perilaku disorganisasi berupa ketidakselarasan antara
perilaku dan gerakan yang ditimbulkan.
5) Isolasi sosial merupakan suatu keadaan kesepian yang
dialami seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang
negatif dan mengancam (Stuart, 2007).
3. Jenis – jenis halusinasi
Jenis – jenis halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Halusinasi pendengaran
Yaitu mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang
jelas ataupun yang jelas, dimana terkadang suara–suara tersebut
seperti mengajak berbicara klien dan kadang memerintahkan
klien untuk melakukan sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambar
atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa
menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidung
Membau–bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses,
parfum, atau bau yang lainnya. Ini sering terjadi pada seseorang
pasca serangan stroke, kejang, atau demensia.
d. Halusinasi pengecapan
Merasa mengecap seperti darah, urine, feses, atau yang
lainnya.
e. Halusinasi perabaan
Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau
ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
f. Halusinansi cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau
arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine. g.
Halusinasi kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri
tanpa bergerak (Kusumawati & Hartono, 2010).
4. Fase–fase terjadinya halusinasi
Terjadinya Halusinasi dimulai dari beberapa fase. Hal ini
dipengaruhi oleh intensitas keparahan dan respon individu dalam
menanggapi adanya rangsangan dari luar. Menurut (Stuart, 2007)
tahapan halusinasi ada empat tahap. Semakin berat tahap yang
diderita klien, maka akan semakin berat klien mengalami ansietas.
Berikut ini merupakan tingkat intensitas halusinasi yang dibagi
dalam empat fase.
a. Fase I : Comforting : Ansietas tingkat sedang, secara umum
halusinasi bersifat menyenangkan.
1) Karakteristik: Orang yang berhalusinasi mengalami
keadaan emosi seperti ansietas, kesepian, merasa bersalah,
dan takut serta mencoba untuk memusatkan pada
penenangan pikiran untuk mengurani ansietas, individu
mengetahui bahwa pikiran dan sensori yang dialaminya
tersebut dapat dikendalikan jika ansietasnya bisa diatasi
(Nonpsikotik).
2) Perilaku klien: a) Menyeringai atau tertawa yang tidak
sesuai. b) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan
suara. c) Gerakan mata yang cepat. d) Respons verbal yang
lamban. e) Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
b. Fase II : Complementing : Ansietas tingkat berat, Secara umum
halusinasi bersifat menjijikan.
1) Karakteristik : Pengalaman sensori yang bersifat menjijikan
dan menakutkan. Orang yang berhalusinasi mulai merasa
kehilangan kendali dan mungkin berusaha untuk
menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan,
individu mungkin merasa malu karena pengalaman
sensorinya dan menarik diri dari orang lain (Nonpsikotik).
2) Perilaku klien a) Peningkatan syaraf otonom yang
menunjukkan ansietas misalnya, peningkatan nadi,
pernafasan dan tekanan darah. b) Penyempitan kemampuan
konsentrasi. c) Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan
mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan
antara halusinasi dengan realitas.
c. Fase III : Controling : Ansietas tingkat berat, pengalaman
sensori menjadi penguasa.
1) Karakteristik : Orang yang berhalusinasi menyerah untuk
melawan pengalaman halusinasi dan membiarkan
halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat berupa
permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman sensori tersebut berakhir (Psikotik).
2) Perilaku klien a) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang
diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya. b)
Kesulitan berhubungan dengan orang lain. c) Rentang
perhatian hanya beberapa menit atau detik. d) Gejala fisik
dari ansietas berat, seperti berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
d. Fase IV : Conquering panic : Ansietas tingkat panic, Secara
umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan
delusi.
1) Karakteristik: Pengalaman sensori mungkin menakutkan
jika individu tidak mengikuti perintah. Halusinasi bisa
berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada
intervensi terapeutik (Psikotik).
2) Perilaku klien a) Perilaku menyerang seperti panik. b)
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh
orang lain. c) Kegiatan fisik yang merefleksikan isi
halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau
katatonik. d) Tidak mampu berespons terhadap petunjuk
yang kompleks. e) Tidak mampu berespons terhadap lebih
dari satu orang.
5. Etiologi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi
adalah:
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif
baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut :
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan
keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin
neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah
pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal
menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak
manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia
kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi
korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum).
Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh
otopsi (post-mortem).
2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah
satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan
dalam rentang hidup klien.
3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi
gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial
budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan
yang terisolasi disertai stres.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul
gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya
gangguan halusinasi adalah:
1) Biologis Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik
otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas
pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
2) Stres Lingkungan Ambang toleransi terhadap stres yang
berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping Perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan
berhubungan dengan respon neuro
a) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi
dan upaya untuk mengurangi ansietas, hanya mempunyai
sedikit energi yang tertinggal untuk aktivitas hidup
sehari-hari.
b) Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan
persepsi.
c) Menarik diri.
6. Manifestasi klinis
Menurut (Kusumawati, 2010), tanda dan gejala halusinasi yang
mungkin muncul yaitu: Menarik diri, Tersenyum sendiri, Duduk
terpaku, Bicara sendiri, Memandang satu arah, Menyerang, Tiba-
tiba marah, Gelisah. Berdasarkan jenis dan karakteristik halusinasi
tanda dan gejalanya sesuai. Berikut ini merupakan beberapa jenis
halusinasi dan karakteristiknya menurut (Stuart, 2007) meliputi :
a. Halusinasi pendengaran
Karakteristik : Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara
orang. Suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai
suara orang bicara mengenai klien. Jenis lain termasuk pikiran
yang dapat didengar yaitu pasien mendengar suara orang yang
sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien
dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang kadang-
kadang berbahaya.
b. Halusinasi penglihatan
Karakteristik : Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya,
gambar geometris, gambar karton atau panorama yang luas dan
kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang
menyenangkan atau sesuatu yang menakutkan seperti monster.
c. Halusinasi penciuman
Karakteristik : Membau bau-bau seperti darah, urine, feses
umumnya bau-bau yang tidak menyenangkan. Halusinasi
penciuman biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang
dan demensia.
d. Halusinasi pengecapan
Karakteristik : Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikan seperti darah, urine, atau feses.
e. Halusinasi perabaan
Karakteristik : Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
f. Halusinasi senestetik
Karakteristik : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena dan arteri, makanan dicerna, atau pembentukan
urine.
g. Halusinasi kinestetik
Karakteristik : Merasa pergerakan sementara bergerak tanpa
berdiri.
C. Konsep Terapi Musik Klasik
1. Pengertian
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan
mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme,
harmoni, timbre, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa
sehingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan
mental.
Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan
meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik
diterapkan menjadi sebuah terapi, musik dapat meningkatkan,
memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional,
sosial dan spiritual.
2. Tujuan Terapi Musik
Terapi musik secara umum bertujuan untuk :
1. Membuat hati dan perasaan seorang menjadi senang dan
terhibur
2. Membantu mngurangi beban penderitaan seseorang
3. Tempat penyaluran bakat seseorang
Tujuan terapi musik secara khusus adalah untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi yang ada pada klien, serta
memfungsikan sisa-sisa kemampuan yang ada pada klien. Dengan
demikian klien akan lebih percaya diri dan merasa bisa beraktivitas
seperti biasanya. Dengan diberikannya terpai musik diharapkan
dapat mengurangi atau menghilangkan ketegangan-ketegangan
klien pada aspek emosional, mental intelegency dan fisik motorik.
Dengan terapi musik dapat membantu perkembangan, membangun,
mendorong, menumbuhkan percaya diri, membentuk kepribadian
yang optimis, pantang menyerah, dan dapat menerima kenyataan
hidup dengan apa adanya.
3. Karakteristik Terapi Musik
Menurut Robbert (2002) dan Greer (2003) dalam Djohan
(2006), music mempengaruhi persepsi dengan cara:
a. Distraksi, yaitu pengalihan pikiran dari nyeri, musik dapat
mengalihkan konsentrasi klien pada hal-hal yang
menyenangkan,
b. Relaksasi, musik menyebabkan pernafasan menjadi lebih rileks
dan menurunkan denyut jantung, karena orang yang mengalami
nyeri denyut jantung meningkat
c. Menciptakan rasa nyaman, pasien yang berada pada ruang
perawatan dapat merasa cemas dengan lingkungan yang asing
baginya dan akan merasa lebih nyaman jika mereka mendengar
musik yang mempunyai arti bagi mereka. Musik juga dapat
menurunkan kadar hormon kortisol yang meningkat pada saat
stres. Musik juga merangsang pelepasan hormon endorfin,
hormon tubuh yang memberikan perasaan senang yang
berperan dalam penurunan nyeri (Berger, 1992 dalam Djohan
2006).
4. Keunggulan Terapi Musik
Menurut Greer (2003) dalam Djohan (2006), keunggulan terapi
musik adalah:
a. Lebih murah daripada analgesia
b. Prosedur invansif, tidak melukai pasien,
c. Tidak ada efek samping,
d. Penerapannya luas, bisa diterapkan pada pasien yang tidak bisa
diterapkan terapi secara fisik untuk menurunkan nyeri.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. DesainPenelitian
Desain penelitian menggunakan metode Quasy Experimental Design
(eksperimensemu) dengan pendekatan one group pre and posttest without
control. Pre and post test design adalah suatu cara penelitian dengan
memberikan pretest (pengamatan awal terlebih dahulu sebelum diberikan
intervensi. Setelah diberikan intervensi kemudian dilakukan post test
(pengamatan akhir). Pada penelitian ini, subjek dilakukan pengamatan terlebih
dahulu (pretest), kemudian diberikan intervensi setelah itu dilakukan
pengamatan akhir (posttest) (Hidayat, 2014). Pengukuran dilakukan sebelum
dan sesudah diberikan terapi Musik Klasik Mozart Terhadap Terhadap
Kemampuan Mengontrol Halusinasi diukur dari perbedaaan antara
pengukuran awal dan akhir dengan menggunakan kuesioner.

B. Populasi dan Sampel


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek / subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2004, dalam
Hidayat, 2014). Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh pasien halusinasi
yang dirawat di ruang srikandi pada bulan Oktober 2019 di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Sampel dalam penelitian ini
sebanyak 13 responden. Teknik pengambilan sampling penelitian ini
menggunakan Teknik total sampling yaitu dengan cara pengambilan semua
anggota populasi, dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi (Hidayat,
2014).
1. Kriteria inklusi :
a. Pasien dengan masalah utama halusinasi dan beragama islam
b. Pasien kooperatif dengan tingkat kesadaran compos mentis
c. Pasienyang tidak mendapat terapi ECT saat dilakukan intervensi
terapi dzikir.

2. Kriteria eksklusi :
a. Pasien yang menolak menjadi responden
b. Pasienhalusinasi yang tidak kooperatif

C. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan suatu definisi yang didasarkan pada
karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk dapat
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat dan tepat terhadap
suatu fenomena (Nursalam, 2013).

Variabel Definisioperasional Cara dan alatukur Hasil ukur Skala


ukur
Terapi Terapi musik Dilakukan 1 kali dalam
music menggunakan musik 1 hari dengan klien
klasik atau elemen musik oleh mendengarkan musik
Mozart seseorang terapis untuk klasik mozart dengan
meningkatkan, alunan piano memakai
memepertahankan dan headset selama 10
mengembalikann menit dalam 1 hari
kesehatan mental, fisik,
emosional dan spiritual
Kemam Upaya penderita Kuesioner kemampuan 1. Kemampuan Ordinal
puan halusinasi dalam pasien mengontrol pasien baik
mengont mengontrol serta halusinasi dengan 12 bila skor 36-
rol menyembuhkan pertanyaan 48
halusina halusinasi yang
si dialaminya dengan cara 2. Kemampuan
menghardik, upaya pasien kurang
mengalihkan bila skor < 24
halusinasinya dengan
berbicara kepada orang
lain, serta melakukan
aktivitas terjadwal dan
minum obat secara
teratur.

D. TempatPenelitian
Penelitian dilakukan di ruang Citro Anggodo RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang Provinsi Jawa Tengah.

E. Waktu Penelitian
Intervensi yang dilakukan 1 kali dalam seharidengan durasi 10 menit
selama 3 hari yaitu pada tanggal 28-30 Oktober 2019 dan Intervensi yang
diberikan adalah terapi spiritual dzikir.

F. EtikaPenelitian
Etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian. Hal ini dikarenakan keperawatan merupakan cabang
ilmu yang berhubungan langsung dengan manusia, sehingga segi etika
penelitian harus diperhatikan. Menurut Hidayat(2009), masalah etika yang
harus diperhatikan oleh seorang peneliti meliputi :
Peneliti membuat surat permohonan sebagai calon responden penelitian.
1. Lembar persetujuan (Informed concent)
Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden. Informed concent diberikan sebelum penelitian dilakukan
dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.
2. Tanpanama (Anonimity)
Anonimitya dalah tidak memberikan nama responden pada lembar alat
ukur tapi hanya menulis kode pada lembar pengumpulan data.
3. Kerahasiaan(Confidentiality)
Confidentiality adalah menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalahlainnya. Semua informasi yang
telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang dilaporkan kepada hasil riset.

G. Alat Pengumpul Data


Instrument yang digunakan pada penelitian ini menggunakan lembar
Kuesioner. Lembar kuesioner kemampuan pasien mengontrol halusinasi
terdiri dari 12 pertanyaan, dengan jawaban selalu diberi skor 4, sering
diberi skor 3, kadang-kadang diberi skor 2 dan tidakpernahdiberiskor 1.
Hasil kuesioner skor tertinggi adalah 48 dan nilai terendah adalah 12,
dapat dikatakan pasien tidak mampu mengontrol halusinasinya apabila
skor penilaian 1-24 dan pasien mampu mengontrol halusinasinya
denganskor 36-48. Uji validitas kuesioner kemampuan pasien
mengontrol halusinasi ini telah diuji oleh Ibu Jenny Marlindawani
Purba, S.Kp, MNS selaku dosen dari Departemen Jiwa Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dinyatakan lulus uji valid
dengan nilai0,945 untuk kuesioner kemampuan pasien mengontrol
halusinasi. Sedangkan Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan
uji Croncbach Alpha. Suatu
kuesioner dinyatakan telah reliabel apabila nilai α lebih besar atau sama
dengan0,70 (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas instrumen ini dengan
jumlah responden 20 orang pasien halusinasi bernilai 0,839. Dengan
demikian kuesioner ini dikatakan realibel untuk digunakan sebagai
instrumen penelitian.

H. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu pada tahap awal
peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian aplikasi
jurnal (mini riset) kepada kepala ruang. Peneliti menjumpai responden
yang sesuai dengan kriteria inklusi untuk dijadikan responden penelitian.
Setelah peneliti mendapat responden yang sesuai dengan kriteria inklusi,
maka peneliti akan menjelaskan tujuan dari penelitian kepada calon
responden tersebut, jika responden setuju untuk dilakukan penelitian maka
selanjutnya peneliti mendistribusikan kuesioner kepada responden dan
menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada responden. Peneliti akan
melakukan pemeriksaan kembali terhadap setiap kuesioner yang telah diisi
oleh responden lalu mengolah data tersebut.
Skema Alur Penelitian

Memilihrespondensesuaikriteriai
nklusi dan eksklusi

Respondenmenandatanganiinformed consent
(RespondenTerpilih)

Sebelumintervensi (pretest) Pemberianintervensi


responden mengisi terapispiritual dzikir dengan
kuesioner kemampuan istighfar dan tasbih sebanyak
mengontrol halusinasi 33 kali dengan durasi 10
dengan pendampingan menit, selama 3 hari
perawat
Setelah intervensi (posttest)
responden mengisi kuesioner
kemampuan mengontrol
halusinasi dengan
pendampingan perawat Pasien pulang/pindah
ruangan atau
mendapatkan terapi
Dokumentasi hasil
ECT
kuesioner

Drop out (DO)


Pengolahan data

Analisa data
I. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat adalah analisis data penelitian dengan menggunakan
statistik deskriptif. Analisis ini hanya menggunakan satu variabel
(Hidayat, 2014). Analisa univariat ini digunakan untuk
mendeskripsikan karakteristik responden berupa jenis kelamin, usia,
pekerjaan, pendidikan dan saturasi oksigen disajikan dalam bentuk
table distribusi frekuensi.
2. Analisis Bivariat
Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji beda 2 kelompok
berpasangan (paired sampel t test/dependent sampel t test) oleh karena
dilakukan pengukuran selama 2 kali yaitu sebelum (pretest) dan
sesudah (posttest) terhadap individu atau sampel yang sama (Rahman,
2015).Di dalam penelitian (mini riset) ini berdasarkan uji normalitas
data dengan uji shapirowilk didapatkan hasil( p>0,05 ) maka data
berdistribusi normal, sehingga analisis bivariatnya menggunakan
ujipaired sampel t test. Berdasarkan ujipaired sampel t test didapatkan
Hasil uji beda tingkat kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan
setelah intervensi didapatkan nilai p 0,00 < 0,05 maka H0 ditolak dan
Ha diterima artinya ada peningkatan kemampuan mengontrol
halusinasi sebelum dan setelah pemberian terapi musik klasik Mozart
di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden
1. Usia

Tabel4.1.
Distribusi frekuensi responden berdasarkankategori usia di ruang
Citro anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang tahun 2019 (n=13)

No Usia Frekuensi Presentase


(%)
1. Dewasa awal 4 30,8
2. Dewasa akhir 9 69,2
Total 13 100

Tabel4.2.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan rata-rata usia di ruang
Citro anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang tahun 2019 (n=13)

Variabel Frekuensi Mean Min Max StandarDeviasi


(n)

Usia 13 37,23 30 45 4,512


Responden
B
erdasarkan Tabel 4.1 dan 4.2 diketahui bahwa responden yang paling
banyak pada usia dewasa akhir yaitu sebanyak 9 orang (69,2 %),
yaitu R3, R4, R5, R6, R7, R8, R11, R12, dan R13 dengan rata-rata
berusia 37,23 tahun. Menurut Depkes (2009) usia digolongkan
menjadi masa dewasa awal 26-35 tahun, masa dewasa akhir 36-45
tahun, masa lansia awal 46-55 tahun, masa lansia akhir 56-65 tahun
dan masa manula> 65 tahun. Pada masa usia dewasa awal, individu
mampu berkomitmen dengan lawan jenis dalam jangka waktu yang
panjang (pernikahan), pada usia ini individu berada pada tahap
“intimidasi vs isolasi” dan mulai memikirkan sebuah cita-cita dan
mimpi agar dapat tercapai seperti mengelola sebuah keluarga atau
mengelola gaya hidup dan mencari pekerjaan sehingga menimbulkan
stressor yang tinggiyang bisa menyebabkan gangguan jiwa (Erikson
dalam Hurlock, 2003). Pada masa usia dewasa akhir ini individu
berada dalam puncak karirnya. Pada usia dewasa akhir ini individu
berada dalam tahap “keintiman dan generativitas” artinya mulai
memperhatikan terhadap apa yang individu hasilkan yang apabila
generativitas ini lemah maka akan menimbulkan kemunduran dan
kemiskinan yang bisa menyebabkan individu mengalami stressor
(Erikson dalam Hurlock, 2003).Hal ini diperkuat dengan teori yang
dijelaskan (Pieter dan Namora, 2010) menyatakan bahwa masa
dewasa muda-dewasa akhir mengalami masa ketegangan emosi.
Dalam usia ini individu akan mudah mengalami ketidakmampuan
dalam mengatasi masalah sehingga akan mudah menyebabkan
gangguan emosional.

2. Pendidikan

Tabel4.3.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di ruang Citro
anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang tahun 2019 (n=13)

No Pendidikan Frekuensi Presentase


(%)
1. SD 6 46,2
2. SMP 2 15,4
3. SMA 5 39,4
Total 13 100

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang paling


banyak berpendidikan SD sebanyak 6 orang (46,2 %), yaitu R5, R6,
R7, R11, R12, R13.Seseorang yang berpendidikan lebih rendah
cenderung mempunyai ilmu pengetahuan lebih sempit dan
pemikirannya kurang meluas dibandingkan dengan tingkat
pendidikan yang tinggi (Notoatmodjo, 2003). Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Witojo dan Widodo (2008) bahwa
sebagian besar pasien yang dirawat adalah berpendidikan sekolah
dasar, karena tingkat pendidikan yang rendah mengurangi respon
otak untuk berpikir. Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek
kehidupan manusia baik pikiran, perasaan maupun sikapnya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kemampuan
dasar seseorang dan kemampuan dalam management stress
(Mairusnita, 2007). Penelitian Yanuar (2011) menyatakan bahwa
proporsi kejadian gangguan jiwa mayoritas adalah berpendidikan
rendah.

3. Pekerjaan

Tabel4.4.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di ruang
Citro anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang tahun 2019 (n=13)

No Pendidikan Frekuensi Presentase


(%)
1. Swasta 4 30,8
2. Buruh 2 15,4
3. Tidak bekerja 7 53,8
Total 13 100

Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui berdasarkan penelitian bahwa


sebagian besar responden berjumlah 7 orang (53,8 %) tidak bekerja,
yaitu R2, R3, R4, R5, R6, R7, dan R11. Berdasarkan penelitian
Semiun (2006) menyatakan bahwa tidak bekerja dapat menimbulkan
stres, depresi, dan melemahnya kondisi kejiwaan seseorang sebab
orang yang tidak bekerja mengakibatkan rasa ketidakberdayaan dan
tidak optimis terhadap masa depan. Hal ini di dukung oleh penelitian
Erlina (2010) menyebutkan bahwa status bekerja dan tidak bekerja
berkaitan dengan terjadinya skizofrenia, dimana orang yang tidak
bekerja mempunyai resiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan dengan orang yang memiliki pekerjaan.Dari hasil
karakteristik responden dapat disimpulkan bahwa responden dengan
kategori usia dewasa akhir, berpendidikan SD, dan tidak bekerja
adalah R5, R6, R7, dan R11.

B. Tingkat Kemampuan Mengontrol Halusinasi Sebelum dan Setelah


Intervensi Terapi Mendengarkan Musik Klasik

Tabel4.5.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kemampuan mengontrol
halusinasi sebelum diberikan intervensi di ruang citro anggodo RSJD
Dr. Amino Gondo hutomo Semarang tahun 2019 (n=13)

No kemampuanmengontrolhalusinasi Frekuensi Presentase


(%)
1. Baik 1 7,7
2. Kurang 12 92,3
Total 13 100

Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui kemampuan responden mengontrol


halusinasi sebelum diberikan terapi musik klasik dengan kategori baik
sebanyak 1 orang (7,7%) yaitu R10, sedangkan kategori kurang sebanyak
12 orang (92,3%) yaitu R1, R2, R3, R4, R5, R6, R7, R8, R9, R11, R12,
dan R13. Berdasarkan penjelaskan diatas pasien dengan kategori kurang
lebih banyak dari pada pasien dengan kategori baik. Hal ini memberikan
gambaran bahwa masih banyak responden dengan kemampuan
mengontrol halusinasi dengan kategori kurang. Dikatakan kurang apabila
belum mampu menunjukkan manfaat mendengarkan musik klasik ketika
muncul halusinasi, tidak nyaman mendengarkan musik klasik setelah
halusinasinya muncul, tidak mampu untuk mendengarkan musik klasik
,sedangkan dikatakan baik apabila menimbulkan pengaruh positif dalam
proses mendengarkan, menunjukkan manfaat, nyaman saat mendengarkan
musik klasik, baik ketika muncul halusinasi maupun setelah munculnya
halusinasi.
Tabel4.6.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kemampuan mengontrol
halusinasi setelah intervensi di ruang citro anggodo RSJD Dr. Amino
Gondohutomo Semarang tahun 2019 (n=13)

No kemampuanmengontrolhalusinasi Frekuensi Presentase


(%)
1. Baik 11 84,6
2. Kurang 2 15,4
Total 13 100

BerdasarkanTabel4.5. diketahui bahwa kemampuan responden


mengontrol halusinasi setelah diberikan terapi mendengarkan musik
klasik dengan kategori baik sebanyak 11 orang (84,6 %), yaitu R2, R3,
R4, R6, R7, R8, R9, R10, R11, R12, dan R13.Sedangkan kategori kurang
sebanyak 2 orang (15,4 %), yaitu R1 dan R5. Pada penelitian ini ada 2
responden yang sebelum dan setelah dilakukan terapi mendengarkan
musik klasik kemampuan mengontrol halusinasi masih kurang yaitu R1
dan R5.Hal ini bisa disebabkan oleh karena saat melakukan terapi
mendengarkan musik klasik, responden masih ada hambatan sehingga
menyebabkan kurang fokus terhadap musik klasik yang didengarkan
untuk mengontrol halusinasi karena kemungkinan besar responden masih
mendengar suara-suara dari sumber lain, sehingga responden sulit untuk
berkonsentrasi. Berdasarkan analisa karakteristik responden, pada R5
mempunyai kategori usia dewasa akhir, berpendidikan SD, dan tidak
bekerja, sewaktu dilakukan intervensi pasien kooperatif, kontak mata
tidak fokus, dan kebingungan sehingga hasil sebelum dan setelah diberi
intervensi hasilnya masih kurang. Penelitian Yosep (2009) menerangkan
bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
pasien dan tak jarang akan mengontrol perilaku pasien.
Terapi mendengarkan musik klasik bisa dikatakan efektif untuk
meningkatkan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran dengan
hasil sudah dibuktikan bahwa banyak responden mengalami peningkatan
dalam kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran, tetapi banyaknya
stimulus suara lain yang datang dari banyak sumber akan sedikit
menyulitkan satu responden dalam proses terapi mendengarkan musik
klasik.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Halusinasi
,139 13 ,200* ,969 13 ,886
sebelum
Halusinasi
,131 13 ,200* ,968 13 ,871
sesudah
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction

Hasil uji normalitas data kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan


sesudah intervensi pada penelitian ini menggunakan uji shapirowilk
karena sampel < 50 responden, didapatkan hasil p >0,05 artinya data
berdistribusi normal, sehingga menggunakan uji paired sampel T-Test.

C. Uji Statistik Paired Sampel T-Test

Tabel4.7.
Uji statistik kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan setelah
intervensi di ruang citro anggodo RSJD Dr. Amino Gondohutomo
Semarang tahun 2019 (n=13)

n Mean SD Correlation Sig. (2-tailed)

Kemampuan 13 19,62 2,844 ,029 ,000


mengontrol
halusinasisebelum-
38,69 3,568
setelah

Hasil uji beda tingkat kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan


setelah intervensi didapatkan nilai mean sebelum intervensi 19,62 % dan
nilai mean setelah intervensi 38,69 %, nilai correlation 0,029 dan nilai p
0,00 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima artinya ada peningkatan
kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan setelah pemberian terapi
mendengarkan musik klasik di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
Kegiatan terapi mendengarkan musik klasik, dapat menurunkan
gejala psikiatrik, Riset yaang lain menyebutkan bahwa menurunnya
kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuhdiri di USA,
kesimpulan dari berbagai riset bahwa musik klasik mampu mencegah dan
melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi, penderitaan
,meningkatkan proses adaptasi mengontrol suara- suara yang tidak ada
wujudnya seperti halusinasi pendengaran. (Mahoney et.all, 1985 dalam
Yosep, 2007).
Terapi musik klasik adalah terapi yang dapat membuat hati
seseorang akan terasa tentram. Terdapat 3 sesi yang menjadikan pasien
halusinasi mampu menikmati musiknya, mampu lebih nyaman untuk
mendengarkan musik klasik saat halusinasinya muncul, mampu
menyampaikan perasaanya setelah mendengarkan musik klasik.

D. Keterbatasan Penelitian
1. Peneliti dalam mengambil sampel hanya berdasarkan diagnosa medis
awal saja sehingga faktor-faktor yang bisa mempengaruhi hasil seperti
lamanya dirawat, berapa kali dirawat, tingkat, adanya program injeksi
anti ancietas maupun program ECT belum dapat disingkirkan.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Mahargyantari P. Desember 2009.Studi Metaanalisis : Musik Untuk


Menurunkan Stres. Volume 36. No.2.
http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/view/45/35. 23
Oktober 2015.
Djohan. 2006. Terapi music, teori dan aplikasi. Yogjakarta : Galangpress
Halim, S. 2003. “Efek Mozart dan Terapi Musik dalam Dunia Kesehatan”.
http://www.fkui.com.

Budiman, (2010). StresTanpaDistres: SeniMengolahStres. Yogyakarta: Kanisius.


Bussing A, Foller M A, Gidley J, Heusser P. Aspects of spirituality in
adolescents. Int J Child Spiritual. 2010;15(1):25–44.
Damaiyanti, M., & Iskandar. (2012). AsuhanKeperawatan Jiwa. Bandung: PT
RefikaAditama.
DEPKES RI. (2010). Keperawatan Jiwa Teori dan TindakanKeperawatan.
Jakarta :Depkes
Erlina. (2010). Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia Pada Pasien
Rawat Jalan di RSJ Prof. HB Saanin Padang Sumatra Barat. Berita
Kedokteran Masyarakat, Vol.26, No.2, Halaman 71
Hawari, Dadang. (2006). ManajemenStres, Cemas, dan Depresi. Jakarta
:FakultasKedokteranUniversitas Indonesia.
Hidayat, A., A., A. (2014). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis
data : Contoh Aplikasi Studi Kasus (2 ed). Jakarta :SalembaMedika.
Keliat, B.A, Dkk, (2006). Proses KeperawatanKesehatan Jiwa. Edisi 2.Jakarta :
EGC
Kusumawati F & Hartono, Y, (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta
:SalembaMedika
Maramis WF. (2010). CatatanIlmuKedokteran Jiwa. Surabaya:
UniversitasAirlangga; 20010. p. 215–34.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental Jiwa 3. Yogyakarta : Kanisius.
Stuart, G. W and Sudden, S. J. (2008). BukuSakuKeperawatan Jiwa Edisi 3
Cetakan I. Alih Bahasa: AchirYani. S. Hamid. Jakarta: EGC
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. (2013). Keperawatan Jiwa (EdisiRevisi). Bandung: PT
RefikaAditama.

Anda mungkin juga menyukai