Anda di halaman 1dari 84

SKRIPSI

TANGGUNG JAWAB HUTANG ORANG YANG


MENINGGAL BAGI AHLI WARIS PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DI KECAMATAN BEKRI
LAMPUNG TENGAH

Oleh:

BELLA PERTIWI
NPM. 14116893

Jurusan: Ahwalus Syakhsiyah


Fakultas: Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


METRO LAMPUNG
1440 H / 2019 M

i
TANGGUNG JAWAB HUTANG ORANG YANG MENINGGAL
BAGI AHLI WARIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DI KECAMATAN BEKRI LAMPUNG TENGAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh
BELLA PERTIWI
NPM. 14116893

Jurusan: Ahwalus Syakhsiyah


Fakultas: Syariah

Pembimbing I : Drs. Musnad Rozin, MH


Pembimbing II : Azmi Sirajuddin, Lc, M.Hum

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


METRO LAMPUNG
1440 H / 2019 M

ii
TANGGUNG JAWAB HUTANG ORANG YANG MENINGGAL
BAGI AHLI WARIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DI KECAMATAN BEKRI LAMPUNG TENGAH

ABSTRAK
Oleh:
BELLA PERTIWI

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab
semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang di namakan kematian.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum
seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.
Peninggalan dalam hukum Islam yang di kenal di kalangan fuquha ialah
segala sesuatu yang di tinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya.
Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang di tinggalkan oleh orang yang
meninggal yang dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan
pokok hartanya seperti harta berstatus gadai, atau utang piutang yang berkaitan
dengan kewajiban pribadi yang mesti di tunaikan misalnya pembayaran kredit
atau mahar yang belum di berikan kepada istrinya.
Adapun pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana persepktif hukum
Islam tentang tanggung jawab hutang orang yang meninggal bagi ahli waris di
Kecamatan Bekri Lampung Tengah?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mendeskripsikan perseptif hukum Islam tentang tanggung jawab
hutang orang yang meninggal bagi ahli waris di Kecamatan Bekri Lampung
Tengah.
Jenis penelitian ini adalah field research, atau penelitian lapangan dan
bersifat deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah sumber data
primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara interview, dan
dokumentasi. Setelah data-data terkumpul dan dianalisis dengan cara yuridis
kualitatif yang kemudian akan di analisis untuk di tarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
hutang bagi ahli waris adalah wajib. Dengan demikian hukum kewarisan Islam
menuntut adanya pelunasan segala hutang. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk
menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi
pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan, namun
jika ahli waris berkeinginan untuk melunasi diperbolehkan, karena hutang wajib
dibayar.

iii
NOTA DINAS

Nomor :- Metro, Januari 2019


Lampiran : 6 (Enam)
Perihal : Mohon dimunaqasahkan
Saudara Bella Pertiwi

Kepada Yth. Dekan


Ahwalus Syakhsiyah
IAIN Metro
Di-
Metro

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.


Setelah kami membaca, mengadakan perbaikan dan memberikan
bimbingan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa Skripsi saudari:
Nama : Bella Pertiwi
NPM : 14116893
Jurusan : Ahwalus Syakhsiyah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : TANGGUNG JAWAB HUTANG ORANG YANG MENIGGAL
BAGI AHLI WARIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DI
KECAMATAN BEKRI LAMPUNG TENGAH

Dapat diajukan untuk dimunaqosyahkan oleh Panitia Munaqosyah IAIN Metro,


dan bersama ini kami sampaikan sebanyak 6 (eksemplar) skripsi yang dimaksud,
dengan harapan agar segera dimunaqosyahkan.
Demikian permohonan ini kami sampaikan atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Musnad Rozin, MH Azmi Sirajuddin, Lc, M.Hum


NIP. 19540507 198603 1 002 NIP. 19650627 200112 1 001

iv
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) METRO

Jl. Ki. Hajar Dewantara Kampus 15A Iringmulyo Kota Metro Lampung 34111
Telp. (0725) 41507. Fax (0725) 47296 Email : stainjusi@stainmetro.ac.id,
Website : www.stainmetro.ac.id

PERSETUJUAN

Judul Proposal : TANGGUNG JAWAB HUTANG ORANG YANG


MENIGGAL BAGI AHLI WARIS PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DI KECAMATAN BEKRI LAMPUNG TENGAH
Nama : BELLA PERTIWI
NPM : 14116893
Fakultas : Syariah
Jurusan : Ahwalus Syahksiyah (AHS)

MENYETUJUI

Untuk dimunaqosyahkan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah Jurusan


Ahwalus Syahksiyah (AHS) IAIN Metro.

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Musnad Rozin, MH Azmi Sirajuddin, Lc, M.Hum


NIP. 19540507 198603 1 002 NIP. 19650627 200112 1 001

v
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) METRO

Jln. Ki. Hajar Dewantara Kampus 15 A Iringmulyo Kota Metro Lampung 34111
Telp. (0725) 41507. Fax (0725) 47296 Email:stainjusi@stainmetro.ac.id Website:www.stainmetro.ac.id

HALAMAN PENGESAHAN

Proposal dengan judul: TANGGUNG JAWAB HUTANG ORANG YANG


MENINGGAL BAGI AHLI WARIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DI DESA
BEKRI LAMPUNG TENGAH. Disusun oleh BELLA PERTIWI NPM.
14116893, Jurusan Ahwalus Syakhsiyah telah diujikan dalam sidang Munaqosyah
Fakultas Syariah pada Hari/Tanggal Jumat/26 Oktober 2019.

TIM PEMBAHAS

1. Moderator/Ketua : Drs. Musnad Rozin, MH (............................)

2. Pembahas I : Drs. Tarmizi, M.Ag (............................)

3. Pembahas II : Azmi Siradjuddin, Lc, M.Hum (............................)

4. Sekretaris : Enny Puji Lestari, M.E.Sy (............................)

vi
ORISINALITAS PENELITIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : BELLA PERTIWI

NPM : 14116893

Jurusan : Ahwalus Syakhsiyah

Fakultas : Syariah

Menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah asli hasil penelitian saya

kecuali bagian-bagian tertentu yang dirujuk dari sumbernya dan disebutkan daftar

pustaka.

Metro, Januari 2019


Yang menyatakan

BELLA PERTIWI
NPM. 14116893

vii
MOTTO

             

   


Artinya “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya

Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah ayat 2)1

1
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Fatih, 2010), h. 68

viii
PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT, skripsi ini kupersembahkan kepada :

1. Ibu ku tersayang ANTARININGSIH, dan Ayah ku tercinta GUNAWAN

yang dengan kasih sayangnya telah mendidik, membimbing, membina,

memberikan dorongan baik moril maupun materil dan senantiasa

mendo‟akan dan menantikan keberhasilan dengan penuh kesabaran.

2. Kakakku Genta Suri Muda dan Wisnu Arief Fahreza yang selalu

memberikan dorongan semangat kepadaku selama aku menempuh studi.

3. Kekasihku Andi Dwi Santoso yang selalu mensupport dan memberi

dukungan selama saya menyusun skripsi.

4. Teman-teman The Rumpi (Trisnawati, Uca febriyani, Nur Annisa L.A,

Maryuni, Nita sugiarti, Indah dwi taufiq, Jen) Serta Teman-temanku (Fiqih

ardien nissa, Titin lestari, Siska Ayu A, Susanti, Fasiyam Tria N, dll yang

tidak bisa disebutkan satu persatu) terimakasih untuk kalian semua yang

tiada hentinya mensupport dan mendukungku dalam menyusun skripsi ini.

5. Teman-teman Ahwalus Syakhsiyyah (Angkatan 14).

6. Almamater Syari‟ah, Program Studi Ahwalus Syakhsiyah Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Metro, yang telah mendidik dan membinaku.

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas taufik dan inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu bagian dari persyaratan
untuk menyelesaikan program strata satu (S1) IAIN Metro guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum (SH).
Upaya penyelesaian skripsi ini, peneliti telah menerima banyak bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya peneliti mengucapkan terima
kasih Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag selaku Rektor IAIN Metro, Drs. Musnad Rozin,
MH selaku pembimbing I dan Azmi Sirajuddin, Lc. M.Hum selaku pembimbing
II yang telah memberikan bimbingan yang sangat berharga dalam mengarahkan
dan memberikan motivasi. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh dosen dan karyawan IAIN Metro. Tidak kalah pentingnya, rasa sayang
dan terima kasih penulis haturkan kepada ayahanda dan ibunda yang senantiasa
mendoakan dan memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
Kritik dan saran demi perbaikan Skripsi ini sangat diharapkan dan akan
diterima dengan sepenuh hati. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangna ilmu pengetahuan agama Islam.

Metro, Januari 2019


Penulis

Bella Pertiwi
NPM. 14116893

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN .................................................................... i


HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ iii
HALAMAN NOTA DINAS ........................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ vi
HALAMAN ORISINILITAS PENELITIAN .............................................. vii
HALAMAN MOTTO .................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5
D. Penelitian Relevan................................................................................ 6

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 10


A. Tanggung Jawab Hutang ...................................................................... 10
1. Pengertian Tanggung Jawab Hutang .............................................. 10
2. Faktor-faktor Penyebab Seseorang Berhutang ............................... 11
3. Jenis-jenis Hutang .......................................................................... 12
4. Dasar Hukum Hutang..................................................................... 13
B. Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris ....................... 22
1. Tanggung Jawab Hutang ............................................................... 22
2. Ahli Waris ..................................................................................... 23
3. Hutang Pewaris .............................................................................. 25

xi
4. Hak dan Kewajiban yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Pewaris ........................................................................................... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 38


A. Jenis dan Sifat Penelitian...................................................................... 38
B. Sumber Data ......................................................................................... 39
C. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 40
D. Teknik Analisa Data ............................................................................. 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 42


A. Gambaran Umum Kondisi Penelitian .................................................. 42
1. Sejarah Kecamatan Bekri Lampung Tengah.................................. 42
2. Letak Geografis Kecamatan Bekri Lampung Tengah .................... 43
3. Visi dan Misi Kecamatan Bekri Lampung Tengah ........................ 44
4. Jumlah Pendduk Kecamatan Bekri Lampung Tengah ................... 44
5. Kondisi Budaya, Pendidikan dan Profesi Masyarakat Kecamatan
Bekri Lampung Tengah ................................................................. 46
6. Infrastruktur Kecamatan Bekri Lampung Tengah ......................... 47
7. Struktur Organisasi Kecamatan Bekri Lampung Tengah .............. 49
B. Temuan Hasil Penelitian ...................................................................... 50
1. Tanggung Jawab Hutang Orang Yang Meninggal Bagi Ahli Waris
Perspektif Hukum Islam ................................................................. 50
C. Pembahasan ......................................................................................... 61

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 73


A. Kesimpulan .......................................................................................... 73
B. Saran..................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 74


LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 75
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ 80

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum

waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab

semua manusia akan menglami peristiwa hukum yang di namakan kematian.

Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum

seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-

hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.2

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal

nya seseorang, di atur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum waris sampai

saat ini baik para ahli hukum Indonesia, belum terdapat gambaran pengertian,

sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam.

Hukum waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum

merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang di karenakan atau

sebab dia menjadi ahli waris di kerenakan adanya hubungan darah / nasab dan di

kerenakan adanya perkawinan masih demikian pluralistiknya, akibatnya sampai

sekarang ini pengaturan masalah kewarisan di Indonesia masih belum terdapat

keseragaman.

Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang

yang bersifat netral kirannya sulit untuk di perbaharui dengan jalan perundang-

undangan atau kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi hukum. Hal itu di

2
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 27

1
2

sebabkan upaya ke arah membuat hukum waris yang mendapat kesulitan,

mengingat beranekaragamnya corak budaya,agama,sosial dan adat istiadat serta

sistem kekeluargaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.

Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak serta merta berarti

seluruhnya merupakan harta kekayaan yang nantinya akan dibagi kepada segenap

ahli waris. Ada suatu saat dimana pewaris meninggalkan harta peningggalan

berupa hutang. Perihal mnegenai mewaris hutang ini sangat penting untuk

diperhatikan mengingat bahwa di dalam setiap ketentuan hukum positif yang

mengatur perihal kewarisan dalam Al-Qur‟an maupun Kompilasi Hukum Islam

(KHI) selalu disebutkan bahwa bagian harta warisan akan siap untuk dibagi

kepada segenap ahli waris jika telah dikurangi dengan hutang-hutang dan wasiat.3

Seorang ahli waris dapat bersikap menerima atau menolak warisan, sikap

ini dilindungi oleh undang-undang dengan beberapa ketentuan hukum yang

mengikat atas sikap tersebut, sebab sikap yang dimikian memiliki akibat hukum

yang sangat komplek baik terhadap dirinya maupun terhadap keberadaan ahli

waris lain dan warisan yang ditinggalkan.4

Ulama mengatakan bahwa pembayaran hutang yang ditinggalkan oleh

pewaris harus lebih dahulu dilakukan lebih dahulu dari pada wasiat. Alasan

hukum yang digunakan oleh kebanyakan ulama adalah bahwa hutang merupakan

suatu kewajiban yang harus ditunaikan. Sedangkan wasiat hanyalah perbuatan

baik yang dianjurkan. Apabila bertemu kewajiban dengan anjuran maka

3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 277-208
4
Ilyas, Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris Berdasarkan Hukum Islam,
Jurnal, Hukum Islam, No. 55, Th. XIII, (Desember 2011, PP. 125-137)
3

kewajiban yang harus didahulukan. Itulah sebabnya pembayaran hutang harus

diutamakan.5

Hutang-hutang orang yang meninggal dunia dapat berupa:

1. Biaya perawatan/pengobatan yang selama sakit yang belum dibayar.

2. Biaya penguburan orang yang meninggal.

3. Biaya selamatan orang yang meninggal.

4. Biaya kebutuhan hidup sehari-hari yang dibuat oleh yang meninggal

pada waktu masih hidup, waktu sakit sampai saat meninggal.

5. Lain-lain biaya yang ada kaitannya dengan orang yang meninggal. 6

Para ahli waris yang menerima warisan dari pewaris tidak saja berhak atas

aktivitasnya saja melainkan juga mempunyai kewajiban untuk menerima

pasivanya yaitu hutang pewaris. Tidak semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban

pewaris dapat beralih kepada ahli waris.

Pengertian peninggalan dalam hukum Islam yang di kenal di kalangan

fuquha ialah segala sesuatu yang di tinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang)

atau lainnya.7 Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang di tinggalkan oleh orang

yang meninggal yang dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya

bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan

pokok hartanya seperti harta berstatus gadai, atau utang piutang yang berkaitan

dengan kewajiban pribadi yang mesti di tunaikan misalnya pembayaran kredit

atau mahar yang belum di berikan kepada istrinya.

5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 880
6
Ilyas, Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris Berdasarkan Hukum Islam,
Jurnal,
7
Lukman-Faisal, Hak Waris dari Orang Hilang menurut Hukum Waris Islam.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/3078 di akses tanggal 1 Agutus
2018
4

Jadi jika seseorang meninggal di antara hak yang harus ditunaikan sebelum

dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk para ahli

warisannya ialah melunasi hutang-hutang, baik hutang yang terkait dengan hak

Allah maupun hak manusia.

Hasil pra survey di Kecamatan Bekri Lampung tengah ada ahli waris yang

melunasi hutang keluarganya yang telah meninggal dunia. bahwa “ada satu

keluarga yang mau melunasi hutang keluarganya (adik) yang telah meninggal

yaitu hutang kepada para tetangga mulai dari kecil hingga besar, sampai

semuanya telah lunas”.8

Jadi hutang orang yang meninggal dalam penelitian ini adalah hutang

ketika semasa hidupnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dalam

kehidupan sehari-hari yaitu hutang biaya rumah tangga yang dibuat oleh yang

meninggal pada waktu masih hidup, serta hutang lain-lain biaya yang ada

kaitannya dengan orang yang meninggal .

Berdasarkan uraian di atas, maka Peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Hutang Orang yang Meninggal Bagi

Ahli Waris Persepktif Hukum Islam di Kecamatan Bekri Lampung Tengah”.

8
Hasil Pra Survey di Desa Bekri pada tanggal 31 Oktober 2018
5

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan penelitian ini

adalah: “Bagaimana tanggung jawab hutang orang yang meninggal bagi ahli waris

persepktif hukum Islam di Kecamatan Bekri Lampung Tengah?”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang

tanggung jawab hutang orang yang meninggal bagi ahli waris perseptif

hukum Islam di Kecamatan Bekri Lampung Tengah.

2. Manfaat

a. Secara teoritis

1) Sebagai sumbangan yang di harapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan dan pemikiran bermanfaat yang berkaitan

dengan perkembangan hukum Islam, khususnya hukum waris

Islam.

2) Sebagai sumbangan pemikiran tentang kajian hukum waris tentang

hal tanggung jawab hutang orang yang meningal bagi ahli waris.

b. Secara praktis

1) Memberikan masukan dan pertimbangan bagi pihak terkait dalam

melakukan pembayaran hutang orang yang meninggal bagi ahli

waris melalui prinsip hukum Islam.

2) Memberikan masukan dan pengetahuan bagi para ahli waris yang

akan memiliki tanggung jawab hutang orang yang meningal bagi

ahli waris.
6

D. Penelitian Relavan

Penelitian relevan sama halnya dengan tinjauan pustaka (prior research)

berisi tentang uraian mengenai hasil penelitian terdahulu tentang persoalan yang

akan dikaji.9 Terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan

permasalahan yang diangkat dalam pembahasan atau topik penelitian ini. Oleh

karena itu, dalam kajian pustaka lapangan ini, penulis memaparkan perkembangan

beberapa karya ilmiah terkait dengan pembahasan penulis diantaranya adalah:

1. Skripsi yang dibuat oleh Siti Nur Aisah Mahasiswi Universitas Islam Negeri

Walisongo Semarang Jurusan Ahwalus Syasiah, Tahun 2016, dengan judul:

“Analisis Hukum tentang pembagian Harta Warisan Orang Hilang (Mafqud)

menurut Hukum Islam” 10

Skripsi ini membahas tentang pembagian warisan harta kekayaan menurut

Hukum Islam dapat dilakukan apabila Pewaris telah meninggal dunia dan Ahli

Waris mendapatkan hak-haknya setelah dikurangi oleh biaya hutang-hutang

Pewaris dan bahwa batas waktu orang hilang yang dipersangkakan meninggal

adalah setelah tiga (3) kali pemanggilan pengadilan atau dalam kurun waktu

minimal empat (4) tahun tidak diketahui keberadaannya maka dapat

dinyatakan meninggal oleh hakim melalui penetapan pengadilan

9
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Edisi Revisi, (Metro: STAIN Jurai
Siwo Metro, 2011), h. 27
10
Siti Nur Aisah, Analisis Hukum tentang Pembagian Warisan Orang Hilang (Mafqud)
menurut Hukum Islam (Skripsi), digilib.uinw.suka.ac.id/889,8/html. diunduh pada tanggal 1
Agutus 2018
7

2. Skripsi Muhammad Nuh mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta

tahun 2014 dengan judul “Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang

Pewaris secara Hukum Islam ”.11

Skripsi ini membahas tentang hukum kewarisan Islam memisahkan konsep

antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan

adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda

yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud

mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan

pemberian untuk kerabat. Dalam setiap ketentuan positif dalam hukum

kewarisan Islam selalu diberi penjelasan bahwa ahli waris baru dapat

menerima harta warisan setelah dikurang dengan pembayaran hutang dan

wasiat. Hukum kewarisan Islam menuntut adanya pelunasan segala hutang

dan wasiat si pewaris sebelum harta warisan dibagikan. Para ahli waris tidak

diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi

harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah

harta peninggalan

3. Skripsi Ilyias mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2014

dengan judul “Tinjauan hukum terhadap hutang pemasungan yang dilakukan

oleh ahli waris ditinjau dari hukum Islam dan hukum adat di Indonesia”.12

11
Muhammad Nuh, Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris secara
Hukum Islam, (Skripsi), web.usms.surakarta.co.id/ diundu pada Tanggal 1 Agutus 2018
12
Ilyias, Tinjauan Hukum terhadap hutang pemasungan yang dilakukan oleh ahli waris
ditinjau dari hukum Islam dan hukum adat di Indonesia, (Skripsi), web.usms.surakarta.co.id/
diundu pada Tanggal 1 Agutus 2018
8

Skripsi ini membahas tentang kondisi permasalahan hutang yang dimiliki

orang yang dipasung oleh keluarganya, dengan alasan kegilaan dan yang

dikhawatirkan akan membuat warga sekitar terganggu, alasan lain adalah

karena keluarga malu untuk menerima bahwa salah satu keluarganya ada

yang mengalami gangguan kejiawaan karena hutang, sehingga perlu adanya

upaya-upaya untuk menghentikan pemasungan yang terjadi oleh anggota

keluarga yang disebabkan karena hutang. ataupun pemasungan yang

dilakukann karena penguasaan harta warisan yang dimiliki pewaris oleh

keluarganya.

Berdasarkan hasil analisis skripsi dari Siti Nur Aisah, Muhammad Nuh,

dan Ilyias dapat ditemukan karakter fokus kajian. Pada penulisan skripsi

pertama adalah pembagian warisan harta kekayaan menurut Hukum Islam

dapat dilakukan apabila Pewaris telah meninggal dunia dan Ahli Waris

mendapatkan hak-haknya setelah dikurangi oleh biaya hutang-hutang Pewaris

dan bahwa batas waktu orang hilang yang dipersangkutan. Selanjutnya skripsi

yang kedua menganalisis tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris

secara hukum Islam. Kemudian skripsi yang ketiga menganalisis hutang yang

dimiliki oleh orang yang dipasung oleh keluarganya karena alasan malu

dengan kondisi salah satu keluarganya mengalami gangguan kejiawaan.

Sedangkan skripsi yang penulis lakukan ini adalah tentang aspek hukum

Islam dalam tanggung jawab hutang orang yang meninggal bagi ahli waris

yang tidak mampu.


9

Di dalam Al-Qur‟an dijelaskan bahwa hutang secara hukum dapat

didasarkan pada adanya perintah dan anjuran agama supaya manusia

hidup dengan saling tolong menolong serta saling bantu membantu dalam

lapangan kebajikan tertera dalam firman Allah SWT dalam surat al-

Maidah ayat 2 Allah berfirman:

             

   


Artinya “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya

Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah ayat 2)13

13
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Fatih, 2010), h. 68
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tanggung Jawab Hutang

1. Pengertian Tanggung Jawab Hutang

Tanggung jawab adalah “kesadaran manusia akan tingkah laku atau

perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung

jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan

kewajiban”.14 Secara terminologi fiqh muamalah hutang disebut dengan

“dain” secara istilah “dain” ini juga sangat terkait dalam istilah “qard”

yang dalam bahasa indonesia terkenal dengan pinjaman.15 Hutang adalah

memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan

membayar yang sama dengan itu.16 Kata “sesuatu” pada definisi utang

tersebut mempunyai makna yang luas yaitu selain dapat berbentuk uang,

juga dapat berbentuk barang dengan ketentuan barang tersebut habis

karena pemakaian.

Utang-utang ini semuanya berkaitan erat dengan tirkah, baik utang

ini berupa utang kepada Allah swt seperti utang zakat, kaffarah, dan haji

yang wajib, maupun utang kepada anak Adam seperti utang upah, dan

sebagainya.

14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 9,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 384
15
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 137
16
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: PT Sinar Baru, 1990), h. 287 sebagaimana
dikutip oleh Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 136

10
11

2. Faktor-faktor Penyebab Seseorang Berhutang

Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk berhutang,

antara lain adalah:

a. Keadaan darurat, karena kesulitan hidup sehingga terpaksa


berhutang atau meminjam dari orang lain.
b. Kecenderungan untuk menikmati kemewahan. Misalnya adalah
ketika melihat orang lain memiliki barang-barang mewah, maka
hati pun tergoda untuk ikut memilikinya. Karena tidak
mempunyai uang maka dipaksakan juga untuk membeli barang
mewah dengan cara hutang.
c. Akibat kalah judi lalu seseorang berusaha menebus
kekalahannya dengan jalan meminjam uang untuk meneruskan
perjudiannya dengan harapan menang.17

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hutang adalah

sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang

sama dengan itu. Pendapat yang lain mengatakan bahwa faktor penyebab

seseorang untuk berhutang antara lain:

a. Kewajiban legal/kontrak (contractual liabilites)


Kewajiban legal adalah hutang yang timbul karena adanya
ketentuan formal berupa peraturan hukum untuk membayar kas
atau menyerahkan barang (jasa) keapa entitas tertentu
b. Kewajiban konstruktif (constructive liabilities)
Kewajiban konstruktf timbul karena kewajiban tersebut
sengaja diciptakan untuk tujuan/kondisi tertentu, meskipun
secara formal tidak dilakukan melalui perjanjian tertulis untuk
membayar sejumlah tertentu di masa yang akan datang.
c. Kewajiban equitable
Kewajiban equitable adalah hutang yang timbul karena adanya
kebijakan yang diambil oleh perusahaan karean alasan
moral/etika dan perlakuannya diterima oleh praktik secara
umum.18

Dengan demikian hutang merupakan kewajiban yang timbul karena

adanya janji atau kesepakatan untuk membayar di kemudian hari.

Timbulnya hutang atau kewajiban dipengaruhi oleh faktor-faktor


17
Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: CV. Diponegoro,
2002), h. 212
18
http://dexsuar.wordpress.com/2013/02/18/konsep-hutang-dan-ekuitas/
12

terjadinya hutang, seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu karena

adanya kontrak, tujuan dan kebijakan tertentu.

3. Jenis-jenis Hutang

Pada prinsipnya, hutang dapat diklasifikasi menjadi 2 (dua) jenis,

yaitu:

a. Hutang kepada Allah (Dainullah)


b. Hutang kepada sesama (Dainul-ibad). Hutang ini terbagi
menjadi 2 (dua) lagi, yaitu:
1) Dainul „ainiyah, yaitu hutang yang berpautan dengan wujud
harta peninggalan.
2) Dainul mutlaqah, adalah hutang yang tidak bersangkutan
dengan wujud harta peninggalan.19

Hutang orang yang meninggal dibagi menjadi dua macam,20 yaitu:

a) Hutang-hutang kepada Allah SWT yang menurut madzhab

Hanafiyah, tidak dituntut lagi sesudah meninggal. Mengenai hutang

kepada sesama manusia (hamba Allah swt), yang berpautan dengan

benda, menurut madzhab Abu Hanifah, Malik,dan Asy Syafi‟i adalah

diambil dari tarikah sebelum diambil tajhizmayyit, seperti hutang

menggadaikan barang. Sedangkan menurut madzhab ahmad tidak

didahulukan pembayaran hutang berpautan dengan benda atas

tajhizmayyit.

19
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris (Hukum-hukum Warisan dalam Syariat
Islam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 46
20
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 28-29
13

b) Hutang-hutang kepada sesama manusia.

Hutang ini ada yang berpautan dengan dzat harta sendiri, ada

yang berpautan dengan pribadi yang meninggal, ada hutang-hutang

yang dilakukan dimasa sehat (melengkapi hutang yang ada

keterangannya, baik yang dilakukan dalam masa sehat, ataupun masa

sakit, baik yang diakui dimasa sehat atau yang ada saksi dimasa dia

sakit.

Maka sekiranya orang yang sakit yang membawa kepada

kematiannya, mengaku ada berhutang, yang diketahui adanya hutang

itu dengan jalan penyaksian orang-orang yang mendampinginya,

seperti hutang karena dia merusakkan sesuatu diwaktu dia dalam

sakit yang membawa kematiannya itu, maka hutang yang semacam

ini dipandang hutang dalam masa sehat juga. Karena bukti adanya

hutang itu ialah penyaksian seperti ongkos dokter yang

mengobatinya, atau harga obat yang dimakannya, dan ada hutang-

hutang yang dilakukan pada masa sakit (ialah hutang yang tidak ada

jalan atau keterangan menetapkan adanya, selain dari pada pengakuan

si sakit sendiri dalam keadaaan dia sakit itu)

4. Dasar Hukum Hutang

a. Al-Qur‟an

Hutang secara hukum dapat didasarkan pada adanya perintah

dan anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling tolong

menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan.

Surat al-Maidah ayat 2 Allah berfirman:


14

             

   


Artinya “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa

dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,

Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah ayat

2)21

Dalam transaksi hutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial

yang sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan

demikian pada dasarnya pemberian hutang atau pinjaman pada

seseorang harus di dasari niat yang tulus sebagai usaha untuk

menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini berarti juga bahwa

pemberian hutang atau pinjaman pada seseorang harus didasarkan

pada pengambilan manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan

oleh agama atau jika tidak ada larangan dalam melakukannya.

Selanjutnya dalam transaksi hutang Allah pemberian rambu-

rambu agar berjalan sesuai prinsip syariah yaitu menghindari penipuan

dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya. Pengaturan tersebut yaitu

anjuran agar setiap transaksi hutang dilakukan secara tertulis.

Ketentuan ini terdapat dalam surat al baqarah ayat 282 sebagai

berikut:

          

21
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Al-Fatih, 2010), h. 68
15

            
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya”. (QS. Al-Baqarah : 282)22

Pemberian hutang pada sesama merupakan perbuatan

kebajikan maka seseorang yang memberikan pinjaman, tidak

dibolehkan mengambil keuntungan (profit) yang menjadi pertanyaan

selanjutnya, keuntungan apa yang diperoleh pemberi hutang atau

pemberi pinjaman. Tentang hal ini Allah menjawab dalam surat al

Hadid ayat 11 sebagai berikut:

            
Artinya “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman

yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan)

pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala

yang banyak. (QS. Al-Hadid : 11)23

Berdasarkan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa siapa yang

mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik

(menafkahkan hartanya di jalan Allah) maka Allah akan melipat

gandakan imbalan kepadanya dengan kelipatan yang banyak.

22
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 22
23
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 401
16

b. Hadis

Selain dasar hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an

sebagaimana di atas, pemberian hutang atau pinjaman juga didasari

Hadis Rasulullah dalam sunan al-Tirmidzi sebagai berikut:

ْ ‫ْسنِِّْو‬
ِ ‫ْسنِّافَأ َْعطَاهْ ِسنِّاخي ر ِامن‬
ْ ًَْ ُ
ِ ‫ضْرسو ُلْاهللْصلَّىْاهللْعلَي ِوْوسلَّم‬
ْ ََ َْ ُ َ ْ ُ َ َْ ‫استَْ ْقَْر‬
ْْ
َْ ‫ض‬
‫اء‬ ِ ‫ْخيارْ ُكمْأ‬
ِ ‫ال‬
َ َ‫َحاسنُ ُك ْمْق‬
َ ْ ُ َ َ َ‫َوق‬
Rosulllah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor onta
yang sudah berumur tertentu kemudian beliau mengembalikan
pinjaman tersebut dengan onta yang berumur yang lebih baik dari
yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah
mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih
baik (dari yang dipinjam).24

Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

sebagai berikut:

َّ‫ىْاهللْعلَْي ِو َْو َسل‬ َّ‫ْاهللْصل‬


ْ ‫ْع ْْن‬َ ‫س‬ َ ‫ف‬َّ ‫ْن‬
َ ‫ن‬ْ ‫ْم‬
َ ‫م‬َ َ َ ‫ال َْر ُس ْو ُل‬
َ َ‫الْق‬
َْ َ‫ْىَريْ َرَةْق‬ ْ ِ‫َع ْنْأ‬
ُ ‫َِب‬
ْ ْ‫بْيَ ْوِمْالْ ِقيَ َام ِر‬ ِ ‫ْعْيوُْ ُكربةً ِْمنْ ُكر‬
َ ْ َ ْ َ ‫ْاهلل‬
ُ ‫س‬
َ ‫ف‬
ّ ‫اْتض‬ ‫ي‬
َ ‫ُّن‬
ْ ‫ْالد‬‫ب‬ِ ‫م ْؤِم ٍنْ ُكربةً ِْمنْ ُكر‬
َ ْ َْ ُ
ْ ‫ْع ْو َنْالْ َعْد ِْد‬ ِ ِ ‫ومنْي َّسرعلَىْمع ِس ٍري َّسرْاهلل‬
َ ‫ْعلَْيو ِِْفْالدُّنْيَ َاواآلْخَرةِ َْواهلل ِِْف‬
َ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ََ
ْ )‫ْأخْي ِوْ(رواهْاملسلم‬ ِ ‫ما َكا َنْالْعد ُدفِيع‬
ِ ‫وءن‬
َ َْ َ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda
“Barang siapa menghilangkan salah satu kesusahan dunia dari seorang
mukmin, maka Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan
kelak di hari kiamat, dan barang siapa mempermudah orang miskin,
maka Allah akan memudahkannya didunia dan akherat. Dan barang
siapa menutupi (aib) orang muslim, maka Allah akan menutupi
(aibnya) didunia dan akherat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama hamba (tersebut) menolong saudaranya (HR. Muslim) 25

Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh ibnu majah sebagai

berikut:
24
M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, h. 141-142
25
https://www.suduthukum.com/2016/dasar hukum, Fiqh, Muamalah, diunduh pada
Tanggal 03 November 2018
17

ْ ‫ْم ْسلِ ٍْم‬ ِ ‫ال‬ ِ ‫تْمسعوٍدْأ ََّنْالنَِِّبْصلَّىْاهلل‬


َ َ َ‫ْعلَْيو َْو َسلَّ َمْق‬
ُ ‫ْمام ْن‬ َ ُ َ َّ
ِ
ُْ ْ َ ْ‫َع ْنْاب‬
ِ ‫ْي ْق ِرض‬
ْ )‫امضرًةْ(رواهْابنْماجة‬َّ ‫ص َدْقَدِ َه‬ َ ‫ْيْإََِّّلْ َكا َنْ َك‬
ِ ْ َ‫اْمَّرْت‬
َ ‫ض‬ ً ‫ْم ْسل ًماْقَ ْر‬
ُُ ُ
Diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud, bahwa Rasulullah SAW

bersabda “Barang siapa yang memberikan pinjaman pada seorang

muslim dua kali maka tidak lain pahalanya kecuali seperti pemberian

shodaqah satu kali”.26

Hadis di atas adalah bahwa memberi hutang kepada seseorang

di saat dia membutuhkannya itu pahalanya lebih besar dari pada

memberi sedekah, karena hutang hanya dibutuhkan oleh orang yang

dalam kesempitan. Dalam sabda Rasulullah yang lain, Ibnu Majah

juga meriwayatkan sebagai berikut:

ِ ‫الْرسو ُلْاهللِْص َّلْاهلل‬ ٍ ِ‫سْب ِنْمال‬


ْ َْ‫تْلَْي لَة‬ُ ْ‫ْعلَْيو َْو َسلَّ َم َوأَي‬
َُ َ ُْ َ َ َ‫الْق‬ َ ً‫كْق‬ َ ْ ٍ َ‫َع ْنْأَن‬
ْ ‫ضْبِثِ َما‬ ِ ِ َّ ً‫ْاْلْن ِةْم ْكتُوبا‬ ِ
ُ ‫اْوالْ َق ْر‬ َ َ‫ْالص َدقَةٌْب َع ْش ِرْأ َْمثَاِل‬ َ ْ َ َْ ‫ْعلَىْبَاب‬ ِْ ‫ي‬
َ ‫ِْب‬ َ ‫َس ِر‬
ْ‫أ‬
َْ َ‫ْق‬,‫ْالص َدقَِة‬ َّ ‫ض ُل ِْم ْن‬ ِ ْ‫نِيةَْعشرْفَ ُقل‬
ْ ‫ال‬ َ ْ‫ضْأَف‬ ِ ‫الْالْ َق ْر‬ َ ‫تْيَاج ِْْبْيْ ُل‬
ُ َ‫ْماب‬ ُ ََ َ َ
ْ ‫اج ٍةْ(رواهْابن‬ َ ‫ْح‬
ِ ِ ‫ْالسائِلْو ِعْن َدهْوالْمست ْق ِرض ََّْليست ْق ِر‬
َ ‫ضْإََّّلم ْن‬ ُ َ ْ َ ُ َ ْ ُ َ ُ َ ُ َّ ‫َن‬ َّ ‫ِِل‬
ْ )‫ماجوْوالديهقي‬
Dari Anas vin Malik, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda “ketika
saya melihat pada waktu di isra‟kan, pada pintu surga tertulis “Pahala
shadaqah sepuluh kali lipat dan pahala pemberian hutang delapan
belas kali lipat” lalu saya bertanya pada Jibril “Wahai Jibril mengapa
pahala pemberian hutang lebih besar?” ia menajwab “Karena peminta-
minta sesuatu meminta dari orang yang punya, sedangkan seseorang
yang meminjam tidak akan meminjam kecuali ia dalam keadaan
sangat membutuhkan” (HR. Ibnu Majah).27
Hadist di atas adalah bahwa dalam hal ini, Nabi SAW, ingin

memberikan sugesti agar orang tidak berat dalam memberikan

26
Ibid
27
Ibid
18

pinjaman, karena terkadang orang itu merasa keberatan bila harus

memberikan pinjaman apalagi bersedekah, bilamana ketika keadaan

ekonominya paspasan, tetapi dengan jaminan pahala yang lebih,

memberikan pinjaman akan terasa lebih ringan ketika seseorang

belum mampu memberikan sedekah.

Pahala menghutangi lebih banyak daripada pahala sedekah

pada hakikatnya tidak benar, yang sedekah lebih banyak dari pada

pahala menghutangi.

c. Pendapat Ulama

Pendapat ulama yang menyatakan bahwa pahala menghutangi

lebih banyak daripada sedekah itu didasari logika bahwa orang yang

hutang bisa dipastikan sangat membutuhkannya, sedangkan orang

yang menerima sedekah kadang termasuk orang kaya (tidak

membutuhkan). Empat pendapat para ulama sebagai berikut:

1. Imam Hanafi

Qardhu (hutang piutang) adalah sejumlah mal mitsli (harta

benda yang memiliki persamaan) kepada orang lain yang

membutuhkan untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang ia

terima. Akad seperti ini juga biasa disebut qiradh.28

Dalam akad qiradh, barang yang dihutangkan harus berupa

mitsli (memiliki persamaan), yakni suatu harta benda satuannya

memiliki persamaan harga dengan benda sejenis. Hal-hal yang

28
https://islamscientist.wordpress.com, Madzahib al-Arba‟ah juz ii h. 338, As-Syarwany
juz v h. 35-36, Hasyiyah al-Jalam juz iii, h. 254, al-Kafijuz ii, h. 91,al-Bayan juz iv h. 422, Fiqh al-
Islami juz iv h. 720-723, diunduh Tanggal 3 November 2018
19

tergolong mitsli adalah barang yang biasanya dihitung

(alma‟dudat), ditakar (al-makilat), dan yang biasa ditimbang (al-

mauzunat).

Harta benda yang tidak tergolong mitsli seperti hewan,

tanah dan lainnya atau barang-barang yang biasanya dihutang,

hanya saja besar kecilnya tidak sama, sehingga berpengaruh

terhadap harga, seperti buah-buahan lainnya. Semua benda tersebut

tidak sah untuk dihutangkan apabila terjadi akad qardhu (hutang

piutang) terhadap barang-barang itu, maka huku transaksi hutang

piutang tersebut rusak (haram), namun barang yang telah diterima

oleh muqtaridh akad hutang piutang itu hanya berlaku untuk

transaksinya, bukan pengalihan haknya.

2. Imam Maliki.

Qardu (hutang piutang) adalah memberikan sesuatu yang

berupa uang atau berupa barang yang memiliki harga kepada orang

lain dengan niat yang tulus, yang harus dikembalikan pada waktu

orang yang berhutang memiliki sejumlah harta yang ia terima.29

Berdasarkan keterangan di atas, pendapat Imam Maliki bisa

diterjemahkan sebagai berikut:

a. Harta benda yang dihutangkan, harus memiliki nilai, seperti

uang, beras, jagung, kedelai, minyak, dan lainnya. Sehingga ,

mengecualikan harta benda yang pada umumnya (urfinnas)

29
Ibid
20

tidak memiliki nilai, seperti menghutangkan korek api untuk

menyalakanrokok, lilin, kayu bakar, dan lainnya.

b. Dibarengi dengan niat yang tulus (mahdli at-tafadlul), yakni

tidak berharap keuntungkan duniawi, sehingga mengecualikan

riba, seperti seorang yang menghutangkan uang sejumlah Rp.

100.000,- berharap dikembalikan sebesar Rp. 150.000,-.

c. Hutang piutang (qardhu) bukanlah pinjam meminjam (ariyah),

karena pinjam meminjam tidak bisa dikategorikan hutang.

d. Orang yang menghutangi (muqridh) berharap pelunasan

(pengembalian hutang) dari orang yang dihutangi (mutaridh)

jika kelak memiliki sejumlah harta yang dihutang. Jadi akad

ini, mengecualikan akad hibah (pemberian) dan sedekah,

karena pihak menerima hibah tidak wajib barang yang

diterimanya.

e. Harta benda yang dikembalikan orang yang berhutang

(muqtaridh) harus sesuai (sejenis) dengan yang ia terima dari

orang yang menghutangi (muqridh). Jadi akad ini tidak

meliputi akad salam (pesan barang), karena ra‟sul mal (alat

pembayaran) tidak sama dengan barang yang dipesan (muslam

fih).

Imam Maliki berpendapat, bahwa setiap barang yang sah

untuk akad salam, maka sah pula dilakukan untuk akad hutang

piutang, baik harta yang diperdagangkan (urudl tijarah) berupa


21

hewan, benda yang diproses dengan pemanasan, ditimbang atau

dihitung.

3. Imam Syafi‟i dan Hambali30.

Imam Syafi‟i dan Hambali berpendapat, bahwa dalam qardhu

menurut istilah syara‟ adalah memberikan sesuatu kepada orang

lain yang membutuhkan, dengan berjanjian barang tersebut

dikembalikan kepada orang yang menghutangi (muqridh) ketika

telah memiliki sejumlah harta benda yang sesuai dengan yang ia

terima.

B. Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris

1. Tanggung Jawab Hutang

Sebelum membahas tentang tanggung jawab hutang terlebih dahulu

akan menjelaskan tentang pewaris. Pewaris adalah “seseorang yang

meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan

sejumlah harta yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan

surat wasiat maupun tanpa surat wasiat”.31 Dalam mempelajari

hubungan keduanya disebut dengan istilah ilmu waris “faraid”. Sementara

menurut istilah, mewarisi disebut dengan “at-tirkah”, yang bermakna

ditinggalkan.32

Menurut hukum Islam, waris “faraid” adalah masalah-masalah

pembagian harta warisan. Kata “faraid” adalah bentuk jamak dari al-

faridhah yang bermakna al-mufrudhah atau sesuatu yang diwajibkan.

30
Ibid
31
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 18
32
A.W. Munawir, Kamus AL-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Pografi, 1997), h. 133
22

Artinya pembagian harta yang telah ditentukan kadarnya setiap ahli waris.

Sebagaimana pendapat para ulama, faraid yaitu, sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiah, pendapat termasyur dari ulama Hanafiah


dalaml menta‟rifkan tirkah adalah harta benda yang
ditinggalkan si mayat yang tidak mempunyai hak orang lain.
b. Ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hambaliyah berpendapat, apa
saja yang ditinggalkan baik berupa harta benda maupun hak-
hak, baik berupa hak kebendaan maupun bukan hak kebendaan.
c. Sedangkan Malik, memberikan pengertian tirkah adalah hak-
hak yang tidak dapat dibagi seperti hak untuk menjadi wali
nikah ke dalam keumuman hak-hak.
d. Amir Syarifuddin memberikan pengertian yaitu, segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh pewaris, yang secara hukum dapat
beralih kepada ahli waris.33
Berdasarkan beberapa pendapat ulama yang telah diuraikan di atas,

dapat dipahami bahwa harta peninggalan si mayit untuk dibagikan kepada

yang berhak menerimanya dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang

lain. Oleh sebab itu setiap harta yang ditinggalkan oleh orang yang

meninggal harus diteliti secermat mungkin, sehingga tidak terdapat hak

orang lain di dalamnya seperti hutang, wasiat yang dibuat oleh si pewaris.

Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al-Qur‟an Surat

Al-Maidah ayat 107 yang berbunyi:

          

         

     


Artinya “Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa,

maka dua orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk

menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah:

“Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian


33
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqh Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 187
23

kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami

kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri”.34

2. Ahli Waris

Ahli waris juga di sebut dengan kata al-fara‟idh (faraidh) ini

adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna al-mafrudhah atau

sesuatu yang diwajibkan. Atau diartikan juga pembagian yang telah

ditentukan kadarnya.35 Sedangkan menurut bahasa, lafal faridhah

diambil dari kata al-fardhatau kewajiban.36 Ahli waris adalah “orang

yang menggantikan kedudukan pewaris atau orang yang

mendapat/menerima harta warisan”.37

Ahli waris tampil sebagai ahli waris karena:

1) Ahli waris yang tampil dalam kedudukannya sendiri (uit eigen


hoofde) atau mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meninggal
dunia, maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris.
2) Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) dalam hal
ini disebut ahli waris tidak langsung, baik pengantian dalam garis
lurus ke bawah maupun penggantian dalam garis ke samping
(zijlinie), penggantian dalam garis samping juga melibatkan
penggantian anggota-anggota keluarga yang lebih jauh.
3) Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta.38

Ahli waris mencakup 3 (tiga) unsur penting, yaitu:

1) Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.

2) Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris.

34
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemanhanya, (Jakarta: Pustaka Al-Fatih,
2009), h. 125
35
Shodiq, Kamus Istilah Agama, Memuat Berbagai Istilah Agama Bersumber dari Al-
Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: CV. Sienttarama, 1988), h. 86
36
Ibid
37
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, h. 19
38
Ibid
24

3) Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan

dengan pembagian harta waris.39

Para ahli ilmu faraidh mendefinisikan ilmu faraidh sebagai

pengetahuan yang berkaitan dengan harta peninggalan (harta pusaka),

cara menghitung pembagiannya, serta bagian masing-masing ahli

warisnya.40 Faraidh juga diartikan sebagai ilmu yang menguraikan cara

membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak

menerimanya (karena keturunan, perkawinan, walak, Islam).41 yang

dimaksud dengan Hukum Kewarisan Islam adalah:

Seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak


dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan
kepada wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw, dan dalam
istilah bahasa Arab disebut dengan Faraaid.42

Bagi umat Islam, melaksanakan syari‟at Islam merupakan suatu

keharusan, termasuk dalam hal masalah pembagian harta pusaka

sekalipun. Oleh sebab itu, dalam agama Islam, ilmu faraidh merupakan

ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi.

3. Hutang Pewaris

Berkenaan dengan utang pewaris atas harta peninggalannya

tersebut, hutang-hutang itu harus dilunasi dari harta peninggalan si mati

setelah dikeluarkan untuk membiayai perawatannya. Dan melunasi

39
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Uskam ABD, (Jakarta: PT Ictiar Baru Van
Hoeve, 2006), h. 307
40
Abdul Azis Dahlan, et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam ABD, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2006), h. 307
41
Shodiq, Kamus Istilah Agama, Memuat Berbagai Istilah Agama Bersumber dari Al-
Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: CV. Sienttarama, 1988), h. 86
42
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Almaarif, 1981), h. 32
25

hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang utama, demi untuk

membebaskan pertanggungjawabannya seseorang di akhirat nanti dan

untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan surga. Sebab,

apabila hutang-hutang tersebut tidak dilunasi, maka orang yang

meninggal tersebut akan mengalami kesulitan-kesulitan di akhirat. Hadits

riwayat Ahmad dan lain-lain menyatakan bahwa: Rasulullah saw

bersabda: “jiwa seorang Mu‟min itu tergantung kepada hutangnya hingga

hutang itu dibayar.”43

Menyelesaikan hutang pewaris adalah dengan cara diambil dari sisa

hartanya sesudah diambil sekadar mencukupi bagi tajhiznya dan tajhiz

orang yang wajib dinafkahi untuk membayar hutangnya. Dan kalau sisa

harta itu tidak mencukupi untuk membayar hutangnya, maka semua sisa

itu diambil oleh yang menghutangkannya, jika dia hanya seorang. Jika

yang menghutangkan itu 3 (tiga) orang, maka masing-masingnya

mengambil menurut prosentase hutang. Demikianlah dilakukan jika

hutang-hutang itu sama kuat, yaitu semua hutang itu dilakukan dalam

masa sehat atau semua hutang itu dilakukan dalam masa sakit. Jika hutang-

hutang itu tidak bersamaan hukumnya, ada hutang.

Apabila seseorang yang meninggal dunia mempunyai hutang

bermacam-macam, sedangkan harta peninggalannya itu tidak cukup untuk

membayar penuh tiap-tiap macam hutang tersebut, maka para fuqaha‟

menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

43
Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, h. 229
26

1. Ibnu Hazm berpendapat bahwa dainullah itu harus didahulukan

daripada dainul-ibad. Beliau beralasan bahwa perkataan dain (hutang)

dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa (4) ayat 11 itu masih umum yang

dapat mencakup dainullah dan dainul ibad, yaitu: “Setelah diambil

untuk washiyat yang diwashiyatkan atau sesudah dibayar hutangnya. 44

”Kemudian keumuman ayat tersebut dikuatkan lagi oleh sabda Nabi

Muhammad sawyang berbunyi: “...maka hutang kepada Allah itu lebih

hak untuk dibayar”.

Dengan demikian dainullah itu harus didahulukan dari pada dainul

ibad. Kemudian diantara dainul ibad yang „ainiyah dan mutlaqah,

maka dain-(ul-ibad) „ainiyahlah yang harus didahulukan.

2. Fuqaha aliran Hanafiyah, bahwa dainullah itu gugur akibat kematian

seseorang. Sebab peristiwa kematian itu menghilangkan kemampuan

bertindak dan menghilangkan tuntutan pembebanan. Oleh karena itu,

ahli waris tidak wajib untuk melunasinya, kecuali kalau mereka

bermaksud tabarru‟ atau kalau si mati mewasiatkan untuk dilunaskan

oleh ahli waris mereka. Jika si mati mewasiatkan kepada ahli waris

agar melunaskannya maka wasiat tersebut berfungsi sebagai wasiat

kepada orang yang tidak menerima pusaka (ghairu waris), yakni

pelunasannya hanya sepertiga sisa peninggalan setelah diambil untuk

biaya-biaya perawatan dan pelunasan hutang kepada sesama. Yang

demikian ini apabila si mati mempunyai ahli waris.45

44
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 47
45
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 47
27

Apabila si mati tidak mempunyai ahli waris sama sekali, maka

harus dilunasi sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Sebab, yang

mempunyai hak mencegah kelebihan wasiat itu adalah ahli waris.

Padahal di sini tidak ada pencegahnya sama sekali. Adapun Dainullah

dilahirkan daripada dainul ibad apabila kedua-duanya berkumpul pada

diri seseorang, sebab Allah swt itu adalah dzat yang sudah cukup.

Sedang manusia itu fakir, karena itu memerlukan dilunasi piutangnya.

Di antara dua macam dainul ibadya itu dainul „ainiyah dan

dainulmutlaqah, dainul‟ainiyahlah yang harus didahulukan. Hal itu

disebabkan karena dainul „ainiyah itu harus dilunaskan sebelum

dikeluarkannya biaya-biaya perawatan, hanya saja diantara macam-

macam dainul „ainiyah itu ada yang harus didahulukan daripada

macam dainul‟ainiyah yang lain. Kemudian dainul mutlaqah yang

termasuk ke dalam kriteria dainul shihah harus didahulukan daripada

dainul mutlaqah yang termasuk dalam kriteria dainul maradh. Sebab

dainul shihah itu lebih kuat, karena adanya alat pembuktian,

sedangkan pengakuan yang dilaksanakan di waktu sakit adalah lemah.

Berlainan halnya dengan hutang yang diakui sewaktu sakit dan

dikuatkan oleh suatu alat pembuktian, seperti pembelian obat untuk

mengobatinya, baik dibuktikan dengan kwitansi atau bukti-bukti yang

lain, adalah sama kuatnya dengan dainulshihah.

3. Fuqaha aliran Malikiyah,46 mendahulukan pelunasan dainul ibad

daripada dainullah. Sebab manusia memerlukan untuk dilunasi

46
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 48
28

piutangnya, sedangkan Allah swt adalah dzat yang sudah cukup,

hingga tidak perlu perlunasan. Dainul ibad ini harus dilunasi dari harta

peninggalan setelah disisihkannya biaya-biaya perawatan. Adapun

dainullah seperti pembayaran zakat fitrah, tebusan sumpah, tebusan

puasa, tebusan dzihar dan lain sebagainya dilunaskan dari seluruh harta

peninggalan setelah pelunasan dainul ibad, bila diketahui sebagai

tanggungannya, baik diwasiatkan maupun tidak. Sedang bila tidak

diketahui, tetapi diwasiatkan, maka diambilkan sepertiga dari

peninggalan saja. Dainul ibad yang „ainiyah harus didahulukan

daripada yang mutlaqah. Mereka juga sependapat dengan Fuqaha

Hanafiyah dalam mendahulukan dainul „ainiyah daripada biaya-biaya

perawatan.

4. Ulama Syafi‟iyah, mendahulukan dainullah, kemudian dainul‟ainiyah

dan yang terakhir dainul-mutlaqah. Pendapat ini didasarkan pada

hadits riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa Rasulullah saw

bersabda: “Utang kepada Allah lebih utama dilunasi.” Dalam hadits

riwayat Bukhari yang lain, Rasulullah saw juga bersabda: “Lunasilah

hak Allah, karena Dia lebih berhak untuk dilunasi”. 47

5. Ahli hukum aliran Hambaliyyah memandang sama antara dainullah

dengan dainul ibad dalam melunaskannya, karena istilah “dain” dalam

Al-Qur‟an surat An-Nisa (4) ayat 11 itu dapat mencakup pengertian

kedua-duanya. Oleh karena itu, apabila harta peninggalan sangat

terbatas, hendaklah dibagi menurut perbandingan kedua macam hutang

47
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 49
29

tersebut. Dainul ibad yang termasuk dain „ainiyah, menurut beliau

harus didahulukan pelunasannya daripada dainul ibad yang termasuk

dainul mutlaqah.

Berdasarkan pendapat dari para Fuqaha tersebut tentang hutang

manakah yang harus didahulukan pelunasannya bila harta peninggalan

jumlahnya terbatas sekali, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Ibnu hazm dan syafi‟iyah: dimulai dari dainullah, dainul „aniyah,

kemudian dainul sihhah/dainulmaradh.

2) Hanafiyah: dainul „aniyah harus didahulukan daripada tajhiz,

dainul sihhah, dainul maradh, dainullah yang

tabarru‟/diwasiatkan.

3) Malikiyah: dainul „aniyah harus didahulukan daripada tajhiz,

kemudian dainulsihhah/d maradh, dan dainullah yang ada

saksinya.

4) Hanabilah: diprosentasekan antara dainullah dan dainul ibad, dan

dainul „aniyah harus didahulukan daripada dainul-muthlaqah.

5) Hak dan Kewajiban yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan

Pewaris

Berkaitan dengan tarikah ada beberapa hak yang harus dipenuhi

secara tertib sehingga apabila hak yang pertama, atau yang kedua

menghabiskan segala tarikah, tidaklah lagi berpindah kepada hak-hak

yang lain. Hak-hak yang berkaitan dengan tarikah selain daripada hak

pusaka ada 2 (dua) hal, yaitu:


30

1) Hak-hak yang harus didahulukan sebelum para waris menerima

bahagiannya.

2) Hak-hak yang harus dikemudiankan dari pembahagian harta pusaka

apabila ada waris.48

Adapun hak-hak yang harus didahulukan dan harus dilaksanakan

secara tertibsebelum para waris menerima bagiannya adalah:

a. Hak yang pertama49

Pentajhizan mayyit yang meninggalkan harta dan pentajhizan mayyit

orang yang wajib dinafkahi oleh mayyit yang meninggalkan harta itu.

Maka hak inilah yang harus diambil dari jumlah tarikah sebelum

diambil hak-hakyang lain. Apabila orang meninggal tidak mempunyai

harta maka tajhiznya itu dipikul oleh kerabat-kerabat yang wajib

menafkahinya. Jika tidak ada yang wajib menafkahinya, atau ada

tetapi fakir, maka tajhiznya dipikul oleh Baitul Mal. Kalau Baitul Mal

tidak dapat mengeluarkan keperluan tajhiznya, maka wajiblah dipikul

oleh hartawan-hartawan Islam dan menjadi fardlu kifayahlah atas

mereka.

b. Hak yang kedua50

Hutang yang harus dibayar oleh orang yang meninggal. Untuk

keperluan membayar hutang diambil dari pada tarikah. Menurut

pendapat Jumhur Fuqaha, bahwasanya hutang-hutang pada Allah

tidaklah gugur karena matinya orang yang belum membayar

hutangnya, dan wajiblah hutang-hutang itu ditunaikan sebelum


48
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 26
49
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 27
50
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 28
31

menunaikan wasiatnya, walaupun tidak diwasiatkan untuk

membayarnya. Menurut pendapat golongan Hanafiyah, hutang-hutang

pada Allah seperti hutang zakat, kafarat, dan nazar, tidak diambil dari

tarikah. Walaupun Jumhur Fuqaha sependapat dalam menetapkan

bahwa hutang-hutang daripada Allah diambil dari tarikah dan

didahulukan atas wasiat, namun mereka berbeda pendapat dalam tertib

penunaiannya. Ada pula yang mengatakan bahwa:

1) Hutang-hutang pada Allah didahulukan atas hutang-hutang pada


sesama manusia. Demikianlah mazhab syafi‟iyah dan adludh-
dhahir.
2) Hutang-hutang pada Allah dikemudiankan dari hutang pada semua
manusia. Inilah madzhab malikiyah.
3) Hutang pada Allah dan hutang pada hamba yang tidak berpautan
dengan benda, sama derajatnya dalam menunaikannya
(membayarnya), dan dia dikemudiankan dari hutang pada sesama
hamba yang berpautan dengan benda. Inilah pendapat golongan
Hambaliyah. 51

c. Hak yang ketiga52

Hak menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh orang yang meninggal

diwaktu dia masih hidup dalam batas yang dibenarkan syara‟tanpa

perlu persetujuan para warits, yaitu tidak lebih dari sepertiga harta

peninggalan, sesudah diambil keperluan tajhiz dan keperluan

membayar hutang, baik wasiat itu, untuk warits, ataupun untuk orang

lain. Adapun yang dimaksud dengan wasiat ialah memilih sesuatu

kepada orang yang dipautkan kepada meninggalnya yang memilih itu,

tanpa ada imbalan apa-apa baik yang diwasiatkan itu merupakan

benda, ataupun berupa ma‟rifat.

d. Hak yang keempat53


51
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 28
52
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 30-31
32

Hak ini merupakan pusaka yang dimiliki oleh para warits. Apabila

masih ada sisa harta, sesudah diambil keperluan tajhiz, keperluan

membayar hutang dan washiyat, maka sisa itu menjadi hak warits

yang mereka membahaginya menurut ketentuan syara‟ sendiri.

Akan tetapi, menurut Jumhurul Fuqaha dan menurut ketentuan

yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir dalam

Pasal 4, hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan, ada 4

(empat) macam,54 yaitu sebagai berikut:

1) Biaya-biaya perawatan kematian (tajhiz), baik bagi si mati sendiri

maupun bagi keluarga yang menjadi tanggungannya.

Tajhiz ialah biaya-biaya perawatan yang diperlukan oleh orang

yang meninggal, mulai dari saat meninggalnya sampai saat

penguburannya. Biaya itu mencakup biaya-biaya untuk memandikan,

mengkafani, menghusung dan menguburkannya. Para fuqaha telah

sepakat pendiriannya bahwa biaya perawatan si mati harus

diambilkan dari harta peninggalannya menurut ukuran yang wajar,

tidak berlebih-lebihan dan tidak sangat kurang. Sebab jika berlebih-

lebihan akan mengurangi hak si mati, justru kedua-duanya sangat

dicela oleh agama. Kewajaran dalam membelanjakan harta benda

dianjurkan oleh Allah swt dalam Al-Qur‟an surat Al-Furqan (25) ayat

67, yang berbunyi

           

53
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris, h. 32
54
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Almaarif, 1981), h. 42-45
33

Artinya sebagai berikut: Dan orang-orang yang apabila

membelanjakan (hartanya) tidak berlebih-lebihan dan tidak pula

kikir, tetapi adalah (pembelanjaannya itu) ditengah-tengah antara

yang demikian. (QS. Al-Furqon : 67)55

Apabila orang yang meninggal dunia tersebut, dalam keadaan

tidak mempunyai harta peninggalan sedikitpun, maka mengenai

siapakah yang harus menanggung biaya perawatannya, para fuqaha

memiliki pendapat yang berbeda-beda, yaitu:

a. Fuqaha Aliran Malikiyah menyatakan bahwa biaya


perawatannya harus diambilkan dari Baitul Mal (kas
Perbendaharaan Negara). Karena keadaan yang semacam
itu menjadi beban kewajiban Baitul Mal.
b. Fuqaha Aliran Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah
berpendapat bahwa biaya perawatan tersebut harus dipikul
oleh keluarga-keluarga yang menjadi tanggungannya
sewaktu si pewaris masih hidup. Apabila si pewaris tidak
mempunyai kerabat, maka akan diambilkan dari Baitul
Mal, dan apabila dari Baitul Mal pun tidak memungkinkan,
maka biaya perawatannya dibebankan kepada orang-orang
Islam yang kaya, sebagai pemenuhan kewajiban Fardhu
Kifayah.56

Menurut hukum Adat, ketentuan-ketentuan mengenai biaya-

biaya perawatan bagi si mati itu sendiri adalah sejiwa dengan

ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam, yaitu harus diambilkan

lebih dahulu daripada harta peninggalan sebelum harta peninggalan

tersebut digunakan untuk melunasi hutang-hutang dan dibagikan-

bagikan kepada ahli waris. Sedangkan di dalam Burgerlijke Wetboek

(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berlaku bagi

penduduk Indonesia selain beragama Islam, pada Pasal 1149 ayat 2

55
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 365
56
Fatchur Rahman, Ilmu Waris,h. 44
34

menggolongkan biaya-biaya perawatan (penguburan si mati) ke

dalam hutang “preferent” yakni hutang yang harus didahulukan

pembayarannya sebelum hutang-hutang yang lain dilunasinya.

Kecuali biaya-biaya pensitaan barang-barang untuk dijual dimuka

umum guna melunaskan hutang-hutangnya. Biaya ini dapat

didahulukan daripada biaya perawatan.57

Berdasarkan uraian di atas, hukum Adat dan Hukum Islam

tidak menggolongkan biaya-biaya perawatan jenazah sebagai hutang

yang wajib dibayar, melainkan salah satu kewajiban yang harus

didahulukan daripada pelunasan hutang dan pelaksanaan kewajiban

lainnya. Sedangkan menurut Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata), biaya-biaya perawatan jenazah merupakan

salah satu hutang yang memiliki sifat “preferent”, yaitu didahulukan

atau diutamakan pemenuhannya daripada hutang-hutang pewaris

lainnya dengan syarat tidak ada biaya penyitaan barang untuk dijual

di muka umum. Sebab, apabila terdapat biaya penyitaan barang

untuk dijual di muka umum, maka kedudukan biaya penyitaan

barang lebih didahulukan pelunasannya daripada biaya perawatan

jenazah

2) Hutang-hutang

Utang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai

imbalan dari prestasi yang pernah diterima oleh seseorang. 58 Adapun

kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum sempat ditunaikan

57
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 45
58
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 45
35

seperti zakat, pergi haji, pembayaran kafarah, dan sebagainya, juga

disebut dengan hutang, secara jazy, bukan haqiqy, sebab kewajiban

untuk menunaikan hal-hal tersebut bukan sebagai imbalan dari suatu

prestasi yang pernah diterimanya oleh seseorang, tetapi sebagai

pemenuhan kewajiban yang dituntut sewaktuseseorang masih hidup

3) Wasiat

Wasiat adalah suatu tuntunan syari‟at untuk dilaksanakan.59

Mengenai wasiat ini, para ulama berpendapat sebagai berikut:

a. Fuqaha yang bermadzhab Hanafiyah menyatakan bahwa


washiyat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara
sukarela (tabarru‟) yang pelaksanaannya ditangguhkan
setelah adanya peristiwa kematian dari yang memberikan,
baik sesuatu itu berupa barang maupun manfaat.
b. Fuqaha Malikiyah mengartikannya ialah suatu perikatan
yang mengharuskan kepada si penerima washiyat meng-
haki sepertiga harta peninggalan si pewashiyat,
sepeninggalnya atau yang mengharuskan penggantian hak
sepertiga harta si pewashiyat kepada si penerima washiyat,
sepeninggalnya.
c. Ulama-ulama yang bermadzhab Syafi‟iyah dan Hanabilah
menta‟rifkannya ta‟rif yang hampir sama dengan
ta‟riftersebut. Sedangkan Kitab Undang-Undang Washiyat
Mesir Nomor 71 tahun 1946 menta‟rifkannya secara umum
yang dapat mencakup seluruh bentuk-bentuk dan macam-
macam washiyat, yakni mengalihkan hak memiliki harta
peninggalan, yang ditangguhkan kepada kematian
seseorang.60

Berdasarkan uraian di atas bahwa wasiat adalah suatu tuntunan

syari‟at untuk dilaksanakan sesuai dengan keyakinan masing-masing

sesuai dengan mashabnya.

59
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 50
60
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 50
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian Field Research atau disebut

dengan penelitian lapangan artinya “Penelitian yang secara intensif tentang

latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit

sosial, individu, kelompok, lembaga dan masyarakat”.61

Berdasarkan keterangan tersebut peneliti mengadakan penelitian

lapangan, di Kecamatan Bekri Lampung Tengah.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dilaksanakan ini merupakan penelitian yang

bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secara sistematis dan cermat

fakta-fakta aktual dan sifat-sifat populasi tertentu. 62

Berdasarkan keterangan tersebut bahwa penelitian ini

menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai perspektif

hukum Islam tentang tanggung jawab hutang orang yang meninggal bagi

ahli waris di Kecamatan Bekri Lampung Tengah.

61
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Edisi 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), h. 80
62
Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 2007),
h. 14

36
37

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh.63

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa sumber data diantaranya

yaitu:

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber atau subjek dari mana data dapat

diperoleh yang berupa benda, gerak atau proses sesuatu.64 Data Primer

adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau objek yang

diteliti. Data tersebut diperoleh langsung dari ahli waris yaitu Bapak

Widodo dan Bapak Sudirman. Data primer dapat dipeoleh dari lapangan

atau lokasi penelitian yang berupa hutang keluarganya yang meninggal

dunia.

2. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah merupakan data yang di dapat dari sumber

kedua yaitu dari buku-buku, dokumen atau pustaka dan lainnya.65 Dalam

hal ini data sekunder yang digunakan dalam penelitian melalui

perpustakaan mengenai pembahasaan terkait seperti dari buku-buku seperti

M. Yazid Afandi “Fiqh Muamalah dan Impelementasi dalam Lembaga

Keuangan Syariah”, Kitab Fiqih, Maman Suparman “Hukum Waris

Perdata” dan lain sebagainya.

63
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi IV,
(Jakarta: PT. RinekaCipta, 2006), h. 129
64
Nurul Zuriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, h. 77
65
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Pt Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 30
38

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan proses pengumpulan data, peneliti menggunakan

beberapa teknik. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

1. Interview

Teknik interview yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam

rangka mengumpulkan data melalui wawancara atau tatap muka langsung.

Interview yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan

adalah “suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi

yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya

jawab”.66

Metode interview yang digunakan adalah metode interview bebas

terpimpin, artinya interview berjalan dengan bebas tetapi masih dalam

bingkai persoalan penelitian. Interview dilakukan dengan ahli waris bapak

Widodo dan Bapak Sudirman menyangkut tentang hutang saudaranya

yang telah meninggal.

2. Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah “mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,

notulen rapat, agenda dan lain sebagainya”.67

66
Dja‟an Satori dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 130
67
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 135
39

Dokumentasi ini dilakukan dengan mengambil data tertulis, seperti

sejarah berdirinya Kecamatan Bekri, sarana prasarana, letak geografis,

denah dan sebagainya.

D. Teknik Analisis Data

Untuk mempermudah peneliti dalam penelitian maka perlu adanya

analisa data. Analisa data adalah proses penyederhana data ke dalam bentuk

lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan.68 Maka yang dimaksud dengan

analisa data adalah proses penyederhana data dalam bentuk yang lebih mudah

di baca dan dipahami.

Sesuai dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan penelitian

penulis, maka penelitian yang akan di gunakan adalah penelitian yuridis

kualitatif. metode kualitatif yaitu data yang di peroleh secara kualitatif untuk

mencapai kejelasan masalah yang di bahas dengan tidak menggunakan rumus.

kemudian data primer dan data sekunder yang di peroleh dari penelitian

disusun dengan teratur dan sistemastis, yang kemudian akan di analisis untuk

di tarik suatu kesimpulan.

68
Masri Singaribun, Sofyan Efendi, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Rienika Cipta,
tt), h. 188
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kondisi Penelitian

1. Sejarah Kecamatan Bekri Lampung Tengah

Kecamatan Bekri sebelumnya bernama kecamatan Gunung Sugih

Selatan yaitu pemekaran dari dari kecamatan Gunung Sugih. Dengan

adanya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 tentang pembentukan 13

kecamatan diwilayah kabupaten Lampung Tengah, maka kecamatan

Gunung Sugih Selatan berganti nama dan di Devinitifkan menjadi

kecamatan Bekri pada tanggal 09 Agustus 2001 dan diresmikan oleh

sekertaris daerah kabupaten Lampung Tengah. Kantor kecamatan Bekri

terletak dikampung Kesumadadi yang merupakan tanah hibah dari

masyarakat kampung Kesumadadi.

Adapun luas tanah kantor kecamatan Bekri secara keseluruhan

10.000 M2, dengan luas kantor kecamatan 12 X 12 M2, luas rumah

dinas 5 X 6 M2, dan gedung serbaguna kecamatan Bekri 9 X 12 M2.

Kecamatan Bekri terdiri dari delapan Kampung yaitu kampung Kedatuan,

Binjai Ngagung, Bangun Sari, Rengas, Kesumadadi, Kesuma Jaya, Sinar

Banten, dan Goras Jaya. Kecamatan Bekri diantaranya berdampingan

dengan kecamatan-kecamatan lain, seperti kecamatan Gunung

Sugih, Bumi Ratu Nuban dan Anak Tuba.69

69
Hasil Dokumentasi Sejarah Kecamatan Bekri Tahun 2014 diambil pada Tanggal 14
Desember 2018

40
41

Nama-nama kepala kampung dan sekretaris di

Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah sebagai

berikut:

Tabel 1
Data Nama Ke pala Kampung dan Se kretarsi dsi
Kecamatan Be kri Lampung Tengah

No. Kampung Kepala Kampung Sekertaris Kampung


1. Kedatuan Ahmad Jajuli Imam
2. Binjai Ngagung Suparti Suwarno
3. Bangun Sari Tulus Iklas Suparno
4. Rengas Tubi Safe i
5. Kesumadadi Sarikun K. Habibulloh
6. Kesuma Jaya Sugiono Susmanto
7. Sinar Banten Haryadi Sri Lestari
8. Goras Jaya Ediyanto Mei Eviliana
Sumber: Nama Kepala Kampung da n Sekretaris Kecamatan
Bekri Lampung Tengah Tahun 2018. 70

2. Letak Geografis Kecamatan Bakri Lampung Tengah

Secara geografis tinggi wilayah kecamatan Bekri dari permukaan

laut 53M dengan suhu maksimum 33oC dan minimum 20oc berombak.

Secara umum memiliki iklim tropis sebagaimana iklim provinsi Lampung

pada umumnya, curah hujan berkisar antara 2.264 mm sampai dengan

2.868 mm dan hari hujan antara 90 sampai dengan 176 hari/tahun.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor10 Tahun 2001 tentang

pembentukan 13 kecamatan diwilayah Kabupaten Lampung Tengah,

Kecamatan Bekri mempunyai batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gunung Sugih

Kubupaten Lampung Tengah

70
Ibid
42

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bumi Ratu Nuban

Kubupaten Lampung Tengah

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tegineneng

Kubupaten Pesawaran

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Anak Tuha

Kabupaten Lampung Tengah. 71

Secara keseluruhan luas wilayah kecamatan Bekri adalah

10.717,46 Ha, dari luas keseluruhan kecamatan Bekri tersebut 1.997,52

Ha lahan persawahan, 1.828,29 Ha lahan ladang, 5.679,69 Ha lahan

perkebunan, 1.078,30 Ha lahan perumahan, 42,65 Ha lain-lainnya.

3. Visi dan Misi Kecamatan Bekri Lampung Tengah

a. Visi

Terwujudnya Kecamatan Bekri yang aman, Sejahtrera, dan pelayanan

yang optimal

b. Misi

1) Meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat kampung

2) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam

segala bidang.72

4. Jumlah Penduduk Kecamatan Bekri

Kecamatan Bekri mempunyai jumlah penduduk untuk sementara

adalah 29.235 jiwa, yang terdiri atas 14.437 laki-laki dan 14.798

perempuan. Dari hasil sensus penduduk tersebut masih tampak, bahwa

71
Ibid
72
Ibid
43

penyebaran penduduk kecamatan Bekri masih bertumpu pada desa

Sinar Banten 5.695 jiwa, kemudian diikuti oleh desa Bangun Sari 4.956

jiwa, desa Kesuma Jaya 4.904 jiwa, desa Kesumadadi 3.645 jiwa, desa

Goras Jaya 3.499 jiwa, desa Binjai Ngagung 2.741 jiwa, desa Kedatuan

2.111 jiwa kemudian desa Rengas adalah desa dengan jumlah penduduk

terkecil yaitu 1.684 jiwa.

Berdasarkan jumlah tersebut, sebagian besar memeluk agama Islam

27.735 jiwa, kemudian menyusul berturut-turut agama Hindu 506 jiwa,

agama Katolik 430 jiwa, agama Kristen 307 jiwa, agama Budha 257 jiwa.

Masyarakat kecamatan Bekri Kabupaten Lampung Tengah mayoritas

masyarakatnya memeluk agama Islam.

Penduduk kecamatan Bekri terdiri dari dua unsur yaitu masyarakat

pribumi dan masyarakat pendatang. Penduduk pribumi yang ada

dikecamatan Bekri sebagian besar mendiamai kampung Binjai Ngagung

dan kampung Rengas, sedangkan penduduk pendatang mendiami semua

kampung yang ada di delapan kampung, kemudian penduduk

pendatang sebagian besar bersuku Jawa, Sunda, Banten, Palembang, dan

Bali.73

73
Ibid
44

5. Kondisi Budaya, Pendidikan dan Profesi Masyarakat Kecamatan

Bekri Lampung Tengah

a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Seiring berjalannya waktu Desa Gunung Sari saat ini memiliki

luas wilayah 1.63.5 ha, dengan jumlah KK 994 dan jumlah penduduk

3975 jiwa. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

Tabel 2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Belum
Tamat SLTP/ SLTA/
No. Kampung Tamat D.I/II
SD Sederajat Sederajat
SD
1. Kedatuan 41 792 481 285 2
2. Binjai Ngagung 65 1.513 896 622 9
3. Rengas 133 1.817 1.020 821 9
4. Bangun Sari 85 784 411 226 5
5. Kesumadadi 156 1.326 887 888 14
6. Kesuma Jaya 115 2.185 1.345 1.036 14
7. Sinar Banten 267 1513 1.343 1.541 21
8. Goras Jaya 229 1.933 1.030 1.014 226
Jumlah 1.091 12.434 7.423 6.433 6.433

Tabel 3
Jumlah Penduduk yang Pendidikannya di atas S1

D-IV/
No. Kampung Sarjana Strata II Strata III
Sarjana
1. Kedatuan 4 2 0 0
2. Binjai Ngagung 9 20 0 0
3. Rengas 11 24 2 0
4. Bangun Sari 2 2 0 0
5. Kesumadadi 11 11 2 0
6. Kesuma Jaya 15 15 0 0
7. Sinar Banten 32 32 0 0
8. Goras Jaya 2 18 0 0
Jumlah 97 238 4 0
Sumber: Jumlah Penduduk berdasarkan Pendidikan Tahun 2018.74

74
Ibid
45

b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4
Data Jumlah Penduduk berdasarkan Pekerjaan

No. Jenis Pekerjaan Jumlah Keterangan


1. Petani 7.145
2. Nelayan 0
3. Pengusaha 43
4. Pengrajin 30
5. Buruh 900
6. Pedagang 203
7. Pegawai Swasta 3.082
8. PNS 40
9. TNI 5
10. Polisi 3
11. Pensiunan PNS/TNI/Polisi 50
Jumlah 11.501
Sumber: Jumlah Penduduk berdasarkan Pekerjaan Tahun 201875

c. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku

Tabel 5
Data Penduduk berdasarkan Suku

No. Suku Jumlah Keterangan


1. Jawa 10.651
2. Lampung 4.904
3. Sunda 5.329
4. Banten 3.499
5. Ogan 2.741
6. Bali 2.111
Jumlah 29.235
umlah

6. Infrastruktur Kecamatan Bekri Lampung Tengah

Tabel 6
Data tentang Sekolah di Kecamatan Bekri

No Kampung PAUD TK SD SMP SMA SMK PP


.
1. Kedatuan 1 1 1 1 - - 2
2. Binjai Ngagung 1 1 2 - - - 1
3. Rengas - 1 1 - - - -
4. Bangun Sari 2 1 2 2 - - -

75
Ibid
46

5. Kesumadadi 3 1 2 2 1 - 1
6. Kesuma Jaya 2 3 3 1 - - -
7. Sinar Banten 2 2 3 2 - 1 1
8. Goras Jaya 2 2 2 - - - -
Jumlah 13 12 16 8 1 1 5
Sumber Data Sekolah di Kecamatan Bekri Tahun 201876

Tabel 7
Data Tentang tempat Kesehatan Kecamatan Bekri

No. Kampung Pus. Induk Pustu Poskesdes Posyandu Klinik


1. Kedatuan - 1 1 1 -
2. Binjai Ngagung - - 1 6 -
3. Rengas - - - 1 -
4. Bangun Sari - 1 - 3 -
5. Kesumadadi 1 - - 2 -
6. Kesuma Jaya - 1 - 5 -
7. Sinar Banten - - - 6 1
8. Goras Jaya - 1 - 4 -
Jumlah 1 4 2 25 1
Sumber Data Tempat Kesehatan di Kecamatan Bekri Tahun 2018

Tabel 8
Data tentang Tempat Ibadah Kecamatan Bekri

Rumah Ibadah
No. Kampung
Masjid Musholah Gereja Pure Vihara
1. Kedatuan 1 5 1 - 1
2. Binjai Ngagung 6 2 1 - 2
3. Rengas 6 17 - - -
4. Bangun Sari 2 5 1 - -
5. Kesumadadi 6 10 - - -
6. Kesuma Jaya 5 10 1 1 -
7. Sinar Banten 6 15 1 - -
8. Goras Jaya 5 9 - - -
Jumlah 37 75 5 1 3
Sumber Data tentang tempat Ibadah di Kecamatan Bekri Tahun 2018.77

76
Ibid
77
Ibid
47

7. Struktur Organisasi Kecamatan Bekri Lampung Tengah

Gambar 1
48

B. Temuan Hasil Penelitian

1. Perspektif Hukum Islam Tentang Tanggung Jawab Hutang Orang

yang Meninggal Bagi Ahli Waris di Kecamatan Bekri

Hutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan

perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Utang-utang ini

semuanya berkaitan erat dengan peninggalan, baik utang ini berupa utang

kepada Allah SWT seperti utang zakat, kaffarah, dan haji yang wajib,

maupun utang kepada anak Adam seperti utang upah, dan sebagainya.

Hutang merupakan kewajiban yang timbul karena adanya janji atau

kesepakatan untuk membayar di kemudian hari. Timbulnya hutang atau

kewajiban dipengaruhi oleh faktor-faktor terjadinya hutang, seperti yang

telah disebutkan di atas, yaitu karena adanya kontrak, tujuan dan

kebijakan tertentu. Pada prinsipnya, hutang dapat diklasifikasi menjadi 2

(dua) jenis, yaitu hutang kepada Allah (Dainullah) dan utang kepada

sesama (Dainul-ibad).

Hutang sesama manusia terbagi menjadi 2 (dua) yaitu dainul

„ainiyah, yaitu hutang yang berpautan dengan wujud harta peninggalan,

dan dainul mutlaqah, adalah hutang yang tidak bersangkutan dengan

wujud harta peninggalan. Dalam penelitian ini yang akan dibahas tentang

hutang kepada sesama manusia yang diwajib membayarnya adalah ahli

waris.

Di dalam Al-Qur‟an dijelaskan bahwa hutang secara hukum dapat

didasarkan pada adanya perintah dan anjuran agama supaya manusia


49

hidup dengan saling tolong menolong serta saling bantu membantu dalam

lapangan kebajikan. Surat al-Maidah ayat 2 Allah berfirman:

             

   


Artinya “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa

dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,

Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al Maidah ayat

2)

Dalam transaksi hutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial

yang sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan

demikian pada dasarnya pemberian hutang atau pinjaman pada

seseorang harus di dasari niat yang tulus sebagai usaha untuk

menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini berarti juga bahwa

pemberian hutang atau pinjaman pada seseorang harus didasarkan

pada pengambilan manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan

oleh agama atau jika tidak ada larangan dalam melakukannya.

Selanjutnya dalam transaksi hutang Allah pemberian rambu-

rambu agar berjalan sesuai prinsip syariah yaitu menghindari penipuan

dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya. Pengaturan tersebut yaitu

anjuran agar setiap transaksi hutang dilakukan secara tertulis.

Selain dasar hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an

sebagaimana di atas, pemberian hutang atau pinjaman juga didasari

Hadis Rasulullah dalam sunan al-Tirmidzi sebagai berikut:


50

ْ ‫ْسنِِّْو‬
ِ ‫ْسنِّاخي ر ِامن‬
ِ ِ ِ ‫ضْرسو ُلْاهللْصلَّىْاهلل‬
ْ ً ْ َ ُ‫ْعلَْيو َْو َسلَّ ْمْسنِّافَأ َْعطَاه‬
َُ َ ْ ُ َ َْ ‫استَْ ْقَْر‬
ْْ
ِ ‫ْخيارْ ُكمْأ‬
ِ َ َ‫وق‬
َ‫ض ْاء‬
َ َ‫َحاسنُ ُك ْمْق‬
َ ْ ُ َ ‫ال‬ َ
Rosulllah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor onta
yang sudah berumur tertentu kemudian beliau mengembalikan
pinjaman tersebut dengan onta yang berumur yang lebih baik dari
yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah
mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih
baik (dari yang dipinjam).

Hadis di atas adalah bahwa memberi hutang kepada seseorang

di saat dia membutuhkannya itu pahalanya lebih besar dari pada

memberi sedekah, karena hutang hanya dibutuhkan oleh orang yang

dalam kesempitan.

Selain dasar hukum Al-Qur‟an dan hadis juga ada beberapa

pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa pahala

menghutangi lebih banyak daripada sedekah itu didasari logika bahwa

orang yang hutang bisa dipastikan sangat membutuhkannya,

sedangkan orang yang menerima sedekah kadang termasuk orang

kaya (tidak membutuhkan). Para ulama tersebut adalah Imam Hanafi,

Imam Maliki, Imama Syafi‟i, dan Hambali.

Selanjutnya yang wajib membayar hutang orang yang

meninggal dunia itu adalah ahli waris. Ahli waris juga di sebut dengan

kata al-fara‟idh (faraidh) ini adalah bentuk jamak dari al-faridhah

yang bermakna al-mafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Atau

diartikan juga pembagian yang telah ditentukan kadarnya. Sedangkan

menurut bahasa, lafal faridhah diambil dari kata al-fardhatau

kewajiban. Ahli waris adalah orang yang menggantikan kedudukan

pewaris atau orang yang mendapat/menerima harta warisan.


51

Berkenaan dengan utang pewaris atas harta peninggalannya

tersebut, hutang-hutang itu harus dilunasi dari harta peninggalan si

mati setelah dikeluarkan untuk membiayai perawatannya. Dan

melunasi hutang-hutang itu adalah termasuk kewajiban yang utama,

demi untuk membebaskan pertanggungjawabannya seseorang di

akhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan

surga. Sebab, apabila hutang-hutang tersebut tidak dilunasi, maka

orang yang meninggal tersebut akan mengalami kesulitan-kesulitan di

akhirat.

Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan beberapa ahli

waris di Kecamatan Bekri tentang tanggung jawab hutang orang yang

meninggal bagi ahli waris. Bahwasaannya orang yang meninggal

dunia meninggalkan hutang dan itu yang wajib membayarnya adalah

ahli waris karena jika tidak dibayar maka akan menjadi kesulitan-

kesulitan bagi orang yang meninggal di akherat serta demi untuk

membebaskan pertanggungjawabannya seorang di akherat nanti dan

untuk menyingkap tabir yang membatasi dia dengan surga.

Seperti pernyataan dari Bapak Widodo yang mempunyai

keluarga yang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang kepada

beberapa tetangga di sekitar lingkungannya. “Kakak saya meninggal

dua tahun yang lalu dengan meninggalkan hutang dan itu tidak

sedikit”. (W1/AW WDD/1/15-12-2018)

Ditambahkannya lagi bahwa “hutang yang harus di bayar

adalah sebesar 10 juta, karena waktu itu kakak saya seorang pedagang
52

sehingga hutangnya begitu banyak”. (W1/AW WDD/2/15-12-2018)

“Dan saya wajib untuk membayarnya karena yang menghutangi

menagih kepada saya, walaupun sedikit tidak percaya dengan hutang

sebanyak itu, namun demi membebaskan tanggungjawab kakak saya

di akherat saya bersedia tuk membayarnya, allhamdulillah harta dari

kakak saya cukup untuk membayar hutang-hutang beliau”. (W1/AW

WDD/3/15-12-2018)

“Walaupun harta peninggalan kakak saya tidak cukup maka

saya siap untuk membayar hutangnya dengan menggunakan harta

saya”. (W1/AW WDD/4/15-12-2018)

Sama persis dengan pernyataan dari ahli waris yang lain yaitu

Bapak Sudirman bahwa “saya juga membayar hutang saudara saya

yang meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, namun saudara saya

itu tidak memiliki harta peninggalan, sehingga saya membayarnya

dengan meminjam juga kepada orang lain, demi kebaikan saudara

yang akherat, nanti dengan perlahan-lahan saya akan membayar

hutang yang saya pinjam dengan orang lain”. (W2/AW SDM/1/15-12-

2018)

“Hutang saudara itu sebenarnya tidak begitu banyak, namun

karena tidak meninggalkan harta dan saya sendiri juga tidak memiliki

harta untuk membayarnya maka saya meminjam kepada orang lain

untuk membayar hutang saudara yang meninggal dunia tersebut”.

(W2/AW SDM/2/15-12-2018)
53

Ditambahkannya lagi bahwa “membayar hutang keluarga yang

sudah meninggal dunia itu adalah wajib, namun ada juga beberapa

keluarga yang tidak peduli dengan hutang keluarganya yang telah

meninggal karena merasa yang berhutang bukan saya kok di suruh

membayarnya ya tidak mau, ungkapan seperti itu banyak sekali terjadi

terutama di Kecamatan Bekri ini”. (W2/AW SDM/3/15-12-2018)

Pernyataan di atas dibenarkan oleh Bapak Widodo bahwa

“hukum membayar hutang keluarga yang meninggal dunia itu

hukumnya wajib, demi membebaskan kesulitan-kesulitan orang yang

meninggal di akherat serta membuka takbir menuju kesurga”.

(W1/AW WDD/5/15-12-2018)

Ditambahkan lagi pernyataannya bahwa “ada beberapa orang

atau keluarga yang memang tidak mau membayar hutang salah satu

keluarganya yang meninggal dunia dikarena merasa bukan dia yang

berhutang masa disuruh untuk membayarnya, walaupun mereka tahu

bahwa membayar hutang orang yang meninggal dunia itu hukumnya

adalah wajib”. (W1/AW WDD/6/15-12-2018)

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas bahwa ahli waris

yang memiliki keluarga meninggal dunia dengan meninggalkan

hutang yang satu tidak sedikit hutangnya yang satu tidak begitu

banyak, namun para ahli waris tersebut siap untuk membayarnya,

walau ada ahli waris yang tidak mamiliki harta untuk membayarnya

namun tetap membayarnya demi membebaskan kesulitan-kesulitan

saudaranya di akherat dan menuju takbir kesurga Allah SWT.


54

Membayar hutang orang yang meninggal hukumnya adalah

wajib, walau tidak memiliki harta untuk membayarnya namun tetap

bagaimana caranya untuk membayarnya. Ada yang membayarnya

lewat meminjam hutang juga kepada orang lain dan dengan perlahan-

lahan akan membayarnya yang terpenting yang meninggal dunia itu

bisa lepas dari pertanggungjawabannya di akherat.

Jelaslah bahwa kedua responden di atas merupakan ahli waris

dari keluarga yang meninggal dunia. Pernyataan dari beberapa sumber

bahwa mereka merupakan ahli waris. Seperti pernyataan dari Bapak

Widodo bahwa “saya merupakan ahli waris dari kakak saya yang

meninggal dunia, karena saya saudara tunggal dari kakak saya, dan

kakak saya meninggal dunia dengan meninggalkan hutan yang begitu

banyak, seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya bahwa saya

wajib membayar hutang kakak saya demi kebahagiaan kakak saya di

alam kubur”. (W1/AW WDD/7/15-12-2018)

Pernyataan di atas dibenarkan oleh salah satu keluarga dari

Bapak Widodo yaitu paman dari Bapak Widodo bahwa memang benar

Bapak Widodo itu adalah saudara tunggal dari kakaknya yang

meninggal, sehingga beliau merupakan ahli waris dari hutang yang

tinggalkan olek kakaknya, dan beliau wajib untuk membayarnya

walaupun dengan pelan-pelan (mencicil) tapi itu harus wajib

dibayarnya, karena orang yang berhutang wajib membayarnya dan

yang menghutangi pun wajib untuk menagihnya”. (W3/PMN

WDD/1/16-12-2018)
55

Sama halnya dengan Bapak Sudirman bahwa beliau juga

adalah ahli waris dari saudaranya yang meninggal dunia dengan

meninggalkan hutang walaupun hanya sedikit, namun sebagai ahli

waris wajib untuk membayarnya demi keselamatan saudaranya di

akherat terutama di alam kubur”. (W2/AW SDM/4/15-12-2018)

Awalnya sedikit kaget dengan berita bahwa kakak saya

meninggalkan hutang yang begitu banyak, terjadi ketika beberapa hari

setelah kakak saya meninggal ada beberapa orang yang datang

kerumah dengan membawa bukti bahwa kakak saya memiliki hutang

dan itu tidak sedikit jumlahnya, awalnya sedikit tidak percaya, namun

mau gimana lagi hutang ya hutang dan itu wajib untuk dibayar.

(W1/AW WDD/8/15-12-2018)

Ditambahkan lagi bahwa “walaupun harta kakak saya ada dan

alhamdulillah cukup untuk membayar hutang, namun kakak saya

meninggalkan anak dan istri yang harus di penuhi kebutuhannya

sehari-hari”. (W1/AW WDD/9/15-12-2018)

Sama halnya dengan Bapak Sudirman bahwa beliau sedikit

terkejut dengan kedatangan beberapa orang yang menagih hutang

saudaranya yang meninggal dunia, dan sedikit bingung karena

saudaranya tidak meninggalkan harta untuk membayar hutang,

terpaksa saya meminjam uang kepada saudara-saudara yang lain untuk

melunasi hutang saudara saya yang telah meninggal, karena menurut

saya hutang hukumnya wajib untuk membayarnya walaupun ada

sedikit keraguan apa benar saudara saya itu memiliki hutang, karena
56

setahu saya beliau tidak begitu boros tentang keuangan, namun saya

tidak bisa berbuat apa-apa karena itu sudah terjadi. (W2/AW

SDM/5/15-12-2018)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas jelaslah bahwa para

sumber tersebut merupakan ahli waris dari saudaranya yang

meninggal dunia dan bersedia membayar hutang-hutang dari

saudaranya yang telah tiada, walaupun ada salah satu sumber yang

menyatakan bahwa tidak ada uang atau harta untuk membayar hutang

namun setelah mengadakan musyawarah keluarga akhirnya meminjam

kepada saudara-saudara yang lain untuk membayar hutang dan

melunasinya demi kebahagiaan diakherat terutama di alam kubur.

Walaupun ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan

keputusan bahwa harus membayar hutang. Seperti pernyataan dari

salah satu saudara dari Bapak Sudirman bahwa untuk makan saja kami

kurang masa harus membayar hutang orang yang sudah meninggal,

dan kenapa ketika masih hidup tidak menagih setelah meninggal

semua datang untuk menagih hutang. (W4/ADK SDM/1/16-12-2018)

Ditambahkan lagi bawah kita harus membayarnya karena yang

menghutangi tidak mau tahu karena sudah tahu bahwa kita adalah ahli

waris dari saudara yang meninggal dunia, terpaksa kami harus

musyawarah dengan seluruh keluarga untuk bagaimana mengatasi

masalah tersebut, dan akhirnya kami harus meminjam dari para

saudara-saudara untuk bisa melunasi hutan dari saudara kami yang


57

telah meninggal demi kebaikan dan kebahagiaan beliau di alam sana.

(W4/ADK SDM/2/16-12-2018)

Walaupun itu nantinya akan menguras harta kami demi

melunasi hutang saudara kami yang telah tiada namun kami siap untuk

membayarnya, walupun pasti ada konflik keluarga karena tidak semua

keluarga yang setuju dengan keputusan ini, namun demi kebaikan

semua kami harus melakukan itu. Ungkap Bapak Slamet Rijadi.

(W3/PMN WDD/2/16-12-2018)

Kalau dibilang sedih ya sedih masa saudara yang sudah

meninggal dunia meninggalkan hutang dan itu tidak sedikit, sedikit

terkejut karena jika dilihat ketika masih hidup tidak memiliki hutang

tetapi setelah tiada banyak orang lain yang datang kerumah dengan

menagih hutang dan itu tidak sedikit jumlahnya. (W1/AW

WDD/10/15-12-2018)

Walaupun harta peninggalan kakak saya tidak sedikit dan

cukup untuk melunasi hutangnya, namun tetap ada dalam keluarga

pasti ada konflik untuk membayarnya, tapi setelah musyawarah

keluarga akhirnya sepakat untuk membayarnya hingga lunas,

walaupun hartanya hampir habis. (W1/AW WDD/11/15-12-2018)

Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa

para ahli waris siap untuk membayar semua hutang-hutang saudaranya

yang telah meninggal dunia, walau ada yang dengan harta peninggalan

si orang yang meninggal itu sendiri, ada yang tidak ada dan harus
58

meminjam uang kepada seluruh saudara-saudara demi melunasi

hutang.

Bahkan ada yang sampai mau habis hartanya demi melunasi

hutang seperti yang telah diungkapkan oleh keluarga Bapak Widodo

bahwa kakaknya yang meninggal dunia meninggalkan hutang yang

tidak sedikit, tetapi meninggalkan harta juga untuk membayar hutang.

Berbeda dengan keluarga Bapak Sudirman yang meninggalkan hutang

tetapi tidak meniggalkan harta karena memang tidak memiliki harta

semasa hidupnya, ekonominya hanya pas-pasan, sehingga untuk

membayarnya harus meminjam uang kepada saudara-saudara atau

orang lain.

Berdasarkan hasil dari wawancara dengan beberapa ahli waris

dan juga keluarga ahli waris tentang tanggung jawab orang yang

meninggal bagi ahli waris di Kecamatan Bekri Kabupaten Lampung

Tengah perspektif hukum Islam dapat dipahami bahwa dalam Islam

orang yang memberi hutang kepada orang lain yang membutuhkan

adalah hukumnya sunah, tetapi menagih hukumnya wajib. Begitu pula

sebaliknya orang yang berhutang wajib hukumnya untuk

mengembalikan hutang tersebut.

Jelaslah bahwa hutang wajib untuk membayarnya dan yang

menghutangi pun wajib untuk menagihnya. Walaupun sudah

meninggal dunia, ahli waris yang wajib untuk membayarnya. Bahkan

dalam Islam pun di anjurkan untuk membayar karena itu hukumnya

adalah wajib.
59

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara di atas tentang tanggung jawab hutang

orang yang meninggal dunia bagi ahli waris dalam perspektif hukum Islam.

Hutang sesama manusia terbagi menjadi 2 (dua) yaitu dainul „ainiyah, yaitu

hutang yang berpautan dengan wujud harta peninggalan, dan dainul mutlaqah,

adalah hutang yang tidak bersangkutan dengan wujud harta peninggalan.

Ahli waris ialah sekumpulan orang atau kerabat yang ada hubungan

kekeluargaan dengan orang yang meninggal dunia dan berhak mewarisi atau

menerima harta peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang (pewaris)

antara lain:

a. Anak-anak beserta keturunan dari orang yang meninggal dunia, baik laki-

laki maupun perempuan beserta keturunannya sampai derajat tak terbatas

ke bawah.

b. Orang tua, yaitu ibu dan bapak dari orang yang meninggal dunia.

c. Saudara-saudara baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunannya

sampai derajat tidak terbatas.

d. Suami atau istri yang hidup terlama.

e. Datuk atau kakek, bila tidak ada nomor 1, 2, dan 3, tersebut diatas.

f. Keturunan dari datuk dan nenek, bila tidak ada sama sekali kelompok 1,

2, 3, dan 4.

g. Apabila tidak ada sama sekali ahli waris baik kelurga sedarah, maupun

semenda, sampai dengan derajat ke-6, maka warisan diurus oleh baitul

mal, seperti Lembaga BHP (Balai Harta Peninggalan) dalam sistem

Negara Republik Indonesia.


60

Kewajiban ahli waris setelah pewaris meninggal dunia yaitu

menjalankan wasiat dari pewaris, membayar hutang-hutang pewaris dan

melakukan pembagian dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada

ahli waris. Ahli waris terlebih dahulu menjalankan wasiat yang diberikan

oleh pewaris. Wasiat artinya pernyataan kehendak oleh seseorang

mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya sesudah dia

meninggal kelak.

Menurut arti kata-kata dan untuk pemakaian soal-soal lain diluar

kewarisan, wasiat berarti pula nasihat-nasihat atau kata-kata yang baik

yang disampaikan seseorang kepada dan untuk orang lain yang berupa

kehendak orang yang berwasiat itu untuk dikerjakan terutama nanti

sesudah meninggal dunia. Kewajiban ahli waris kedua yaitu membayar

hutang-hutang pewaris sebelum harta peninggalan itu dibagi menurut

faraidh masing-masing.

Pembayaran hutang tidak boleh mendatangkan kemudaratan

(kesempatan) kepada ahli waris. Maksudnya bahwa hutang-hutang orang

yang meninggal dunia dibayarkan oleh ahli waris sepanjang harta warisan

itu mencukupi untuk itu. Apabila harta warisan itu tidak mencukupi tidak

ada kewajiban hukum ahli waris untuk membayar hutang tersebut.

Kecuali apabila dengan pembayaran hutang itu tidak memberi

kemudaratan atau kerugian bagi para ahli waris.

Bila dipelajari susunan kalimat dalam Alqur‟an seperti disebutkan

di atas maka wasiat harus dibayar lebih dahulu dari hutang-hutang orang

meninggal dunia. Akan tetapi berdasarkan hadist Rasulullah yang


61

diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah SAW.

Menghindari kerugian atau mencegah kemudharatan lebih baik

didahulukan daripada menerima keuntungan-keuntungan dan kenikmatan.

Pembayaran hutang-hutang dianggap menghindari kerugian dan

mencegah kemudharatan, sedangkan menerima warisan dianggap

keuntungan dan menerima kenikmatan.

perspektif Hukum Islam tentang tanggung jawab hutang orang

yang meninggal dunia bagi ahli waris yaitu sebagai berikut:

a. Al-Qur‟an

Pengaturan umum hutang-hutang orang yang meninggal dunia

dapat dikaji dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11, 12, 13 dan 176. Dari

ketentuan umum tersebut dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pembagian

kewarisan itu harus dikeluarkan terlebih dahulu wasiat dan atau hutang-

hutang. Seperti dapat terlihat dalam Al-Qur‟an penggalan Surat An-Nisa

ayat 11 yaitu “Pembagian tersebut dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 11

itu adalah setelah dibayarkan lebih dahulu wasiat dan hutang-hutangmu.

Wasiat atau hutang-hutang harus dibayar terlebih dahulu sebelum

harta peninggalan itu dibagi menurut faraidh masing-masing. Namun

demikian, pembayaran wasiat maupun hutang tidak boleh menimbulkan

kemudharatan (kesempitan) kepada ahli waris. Maksudnya bahwa hutang-

hutang orang yang meninggal dunia dibayarkan oleh ahli waris sepanjang

harta warisan itu mencukupi. Apabila harta warisan itu tidak mencukupi

tidak ada kewajiban hukum ahli waris untuk membayar hutang tersebut.
62

Kecuali apabila dengan pembayaran hutang itu tidak memberi

kemudharatan bagi para ahli waris.

Seperti yang terjadi di Kecamatan Bekri Lampung Tengah bahwa

ada beberapa ahli waris yang harus membayar hutang saudaranya yang

telah meninggal dunia, seperti pernyataan dari Bapak Widodo, Bapak

Sudirman, Bapak Slamet Rijadi, Ibu Isti, yang semua itu adalah ahli waris

dari keluarga yang meninggal dunia dengan meninggalkan hutang.

Seperti keluarga Bapak Widodo dan Bapak Sudirman sebagai ahli

waris harus membayar hutang dari saudaranya yaitu kakak yang memiliki

hutang tidak sedikit sehingga Bapak Widodo wajib untuk membayarnya.

Hutang yang sebelumnya para keluarga tidak mengetahui jika kakaknya

memiliki hutang kepada orang lain, walau secara tertulis atau lisan para

keluarga tidak tahu namun para penagih menunjukan bukti tertulis bahwa

saudaranya itu memiliki hutang dengan jumlah yang tidak sedikit.

Begitu pula dengan keluarga Bapak Sudirman keluarganya yang

meninggal dunia meninggalkan hutang, para penagih mengeluarkan bukti

tertulis bahwa saudaranya memiliki hutang dan ahli waris wajib untuk

membayarnya. Keluarga Sudirman pun menyanggupi untuk membayarnya

walau dalam membayarnya lewat sedikit-sedikit (mencicil) karena ahli

waris tidak cukup memiliki harta, dan yang meninggalpun tidak memiliki

harta peninggalan.

Dalam Al-Qur‟an di jelaskan bahwa setiap transaksi hutang

dilakukan secara tertulis. Ketentuan ini terdapat dalam surat al baqarah

ayat 282 sebagai berikut:


63

          

            
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (QS. Al-Baqarah : 282)

Jelaskan bahwa ayat di atas menjelaskan bahwa hutang yang secara

tertulis sebagai bukti bahwa orang tersebut memang memiliki hutang.

Pemberian hutang pada sesama merupakan perbuatan kebajikan maka

seseorang yang memberikan pinjaman, menurut pakar hukum Islam, tidak

dibolehkan mengambil keuntungan (profit) yang menjadi pertanyaan

selanjutnya, keuntungan apa yang diperoleh pemberi hutang atau pemberi

pinjaman.

b. Hadits

Selain dasar hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an sebagaimana

di atas, pemberian hutang atau pinjaman juga didasari Hadis Rasulullah

dalam sunan al-Tirmidzi sebagai berikut:

ْ ‫ْسنِِّْو‬
ِ ‫ْسنِّاخي ر ِامن‬
ِ ِ ِ ‫ضْرسو ُلْاهللْصلَّىْاهلل‬
ْ ً ْ َ ُ‫ْعلَْيو َْو َسلَّ ْمْسنِّافَأ َْعطَاه‬
َُ َ ْ ُ َ َْ ‫استَْ ْقَْر‬
ْْ
ِ ‫ْخيارْ ُكمْأ‬
ِ َ َ‫وق‬
َ‫ض ْاء‬
َ َ‫َحاسنُ ُك ْمْق‬
َ ْ ُ َ ‫ال‬ َ
Rosulllah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor
onta yang sudah berumur tertentu kemudian beliau
mengembalikan pinjaman tersebut dengan onta yang berumur
yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata,
sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan
pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang
dipinjam).
64

Hadis di atas adalah bahwa memberi hutang kepada seseorang di

saat dia membutuhkannya itu pahalanya lebih besar dari pada memberi

sedekah, karena hutang hanya dibutuhkan oleh orang yang dalam

kesempitan.

Apabila dipelajari susunan kalimat dalam Al-qur'an maka wasiat

harus terlebih dahulu dibayar dari hutang-hutang orang meninggal dunia.

Akan tetapi berdasarkan hadist Rasulullah yang diceritakan oleh Ali bin

Abi Thalib, bahwa Rasulullah SAW. Menghindari kerugian atau

mencegah kemudharatan lebih baik didahulukan daripada menerima

keuntungan-keuntungan dan kenikmatan.

Selanjutnya beliau mengatakan menurut hadist Ali bin Abi Thalib

ra. berkata bahwa Rasulullah telah menetapkan wasiat baru boleh

dikeluarkan setelah semua hutang telah dibayarkan (HR. Tirmidzi, Ibnu

Majah dari Misykat Al-Masabih). Setelah itu sisanya berikanlah kepada

zawil faraidh zawil qarabat atau ashabah. Dalam masalah ini telah

sepakat para ahli hadist.

Di Kecamatan Bekri Lampung Tengah terjadi hutang piutang dan

ahli waris yang harus membayarnya, seperti yang terjadi di keluarga

Bapak Widodo dan Bapak Sudirman. Kelurga Widodo harus melunasi

hutang kakaknya yang tidak sedikit jumlahnya, begitu pula dengan

keluargaBapak Sudirman harus melunasi hutang saudaranya, walau cara

membayarnya harus berhutang terlebih dahulu kepada para saudara-


65

saudara, karena keluarga Sudirman tidak memiliki harta yang cukup

untuk melunasi hutang saudaranya.

Walau dalam hadis dijelaskan bahwa memberi hutang kepada

orang lain itu mendapat pahala karena sudah membantu kesusahan orang

lain, namun jika yang dipinjamkan itu telah meninggal maka ahli

warislah yang membayarnya, dan yang memberi hutang wajib

memberitahu dengan bukti yang cukup kuat ada saksi atau tertulis untuk

membuktikan bahwa orang yang telah meninggal itu memiliki hutang

dan ahli waris untuk membayarnya.

Ahli waris tidak ada kewajiban hukum untuk membayar hutang-

hutang orang yang sudah meninggal dunia. Ahli waris bertanggung

jawab secara hukum sepanjang warisan itu cukup untuk melunasi hutang-

hutang orang yang meninggal dunia, walaupun ahli waris tidak memiliki

cukup harta namun beringinan untuk membayar atau melunasi hutang

saudaranya yang meninggal demi kebaikan di akherat saudaranya

tersebut juga diperbolehkan, karena hutang hukumnya wajib di bayar dan

yang menghutanginya wajib untuk menagihnya.

c. Para Ulama

Selain dasar hukum Al-Qur‟an dan hadis juga ada beberapa

pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa pahala menghutangi

lebih banyak daripada sedekah itu didasari logika bahwa orang yang

hutang bisa dipastikan sangat membutuhkannya, sedangkan orang yang

menerima sedekah kadang termasuk orang kaya (tidak membutuhkan).


66

Para ulama tersebut adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imama Syafi‟i,

dan Hambali.

Selanjutnya yang wajib membayar hutang orang yang meninggal

dunia itu adalah ahli waris. Ahli waris juga di sebut dengan kata al-

fara‟idh (faraidh) ini adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang

bermakna al-mafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Atau diartikan

juga pembagian yang telah ditentukan kadarnya. Sedangkan menurut

bahasa, lafal faridhah diambil dari kata al-fardhatau kewajiban. Ahli

waris adalah orang yang menggantikan kedudukan pewaris atau orang

yang mendapat/menerima harta warisan.

Sesuai dengan pendapat ulama yaitu Imam Maliki bahwa Qardu

(hutang piutang) adalah memberikan sesuatu yang berupa uang atau

berupa barang yang memiliki harga kepada orang lain dengan niat yang

tulus, yang harus dikembalikan pada waktu orang yang berhutang

memiliki sejumlah harta yang ia terima.

Berdasarkan keterangan di atas, pendapat Imam Maliki bisa

diterjemahkan sebagai berikut:

f. Harta benda yang dihutangkan, harus memiliki nilai, seperti uang,

beras, jagung, kedelai, minyak, dan lainnya. Sehingga ,

mengecualikan harta benda yang pada umumnya (urfinnas) tidak

memiliki nilai, seperti menghutangkan korek api untuk

menyalakanrokok, lilin, kayu bakar, dan lainnya.

g. Dibarengi dengan niat yang tulus (mahdli at-tafadlul), yakni tidak

berharap keuntungkan duniawi, sehingga mengecualikan riba, seperti


67

seorang yang menghutangkan uang sejumlah Rp. 100.000,- berharap

dikembalikan sebesar Rp. 150.000,-.

h. Hutang piutang (qardhu) bukanlah pinjam meminjam (ariyah), karena

pinjam meminjam tidak bisa dikategorikan hutang.

i. Orang yang menghutangi (muqridh) berharap pelunasan

(pengembalian hutang) dari orang yang dihutangi (mutaridh) jika

kelak memiliki sejumlah harta yang dihutang. Jadi akad ini,

mengecualikan akad hibah (pemberian) dan sedekah, karena pihak

menerima hibah tidak wajib barang yang diterimanya.

j. Harta benda yang dikembalikan orang yang berhutang (muqtaridh)

harus sesuai (sejenis) dengan yang ia terima dari orang yang

menghutangi (muqridh). Jadi akad ini tidak meliputi akad salam

(pesan barang), karena ra‟sul mal (alat pembayaran) tidak sama

dengan barang yang dipesan (muslam fih).

Begitu pula dengan pendapat Imam Syafi‟i dan Hambali, bahwa

dalam qardhu menurut istilah syara‟ adalah memberikan sesuatu kepada

orang lain yang membutuhkan, dengan berjanjian barang tersebut

dikembalikan kepada orang yang menghutangi (muqridh) ketika telah

memiliki sejumlah harta benda yang sesuai dengan yang ia terima.

Artinya para ulama menjelaskan bahwa hutang adalah memberikan

sesuatu yang berupa uang atau berupa barang yang memiliki harga

kepada orang lain dengan niat yang tulus, yang harus dikembalikan pada

waktu orang yang berhutang memiliki sejumlah harta yang ia terima.


68

Selanjutnya hasil dari wawancara peneliti dengan para sumber atau

ahli waris orang yang meninggal seperti Bapak Widodo dan Bapak

Sudirman bahwa ahli waris yang memiliki keluarga meninggal dunia

dengan meninggalkan hutang yang satu tidak sedikit hutangnya yang satu

tidak begitu banyak, namun para ahli waris tersebut siap untuk

membayarnya, walau ada ahli waris yang tidak memiliki harta untuk

membayarnya namun tetap membayarnya demi membebaskan kesulitan-

kesulitan saudaranya di akherat dan menuju takbir kesurga Allah SWT.

Membayar hutang orang yang meninggal hukumnya adalah wajib,

ketika orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan, dan

harta itu untuk menulasi hutang tersebut, tetapi ahli waris tidak

diwajibkan untuk membayarnya jika tidak memiliki harta, namun ahli

waris jika ingin menulasi hutang orang yang meninggal dunia dengan

harta pribadi diperbolehkan, bahkan ada yang membayarnya lewat

meminjam hutang juga kepada orang lain dan dengan perlahan-lahan

akan membayarnya yang terpenting yang meninggal dunia itu bisa lepas

dari pertanggungjawabannya di akherat.

Jelaslah bahwa kedua responden di atas merupakan ahli waris dari

keluarga yang meninggal dunia. Para sumber tersebut merupakan ahli

waris dari saudaranya yang meninggal dunia dan bersedia membayar

hutang-hutang dari saudaranya yang telah tiada, walaupun ada salah satu

sumber yang menyatakan bahwa tidak ada uang atau harta untuk

membayar hutang namun setelah mengadakan musyawarah keluarga

akhirnya meminjam kepada saudara-saudara yang lain untuk membayar


69

hutang dan melunasinya demi kebahagiaan diakherat terutama di alam

kubur.

Hutang wajib untuk membayarnya dan yang menghutangi pun

wajib untuk menagihnya. Walaupun sudah meninggal dunia, ahli waris

yang wajib untuk membayarnya. Bahkan dalam Islam pun di anjurkan

untuk membayar karena itu hukumnya adalah wajib.


BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang perspektif hukum Islam tentang

tanggung jawab hutang orang yang meninggal bagi ahli waris di Kecamatan Bekri

Lampung Tengah, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab hutang bagi ahli

waris adalah wajib. Dengan demikian bahwa hukum kewarisan Islam menuntut

adanya pelunasan segala hutang. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi

kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi

pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan, namun

jika ahli waris berkeinginan untuk melunasi diperbolehkan, karena hutang wajib

dibayar.

B. Saran

Seharusnya para ahli waris tidak berkeluh kesah jika ada saudaranya yang

meninggal dunia dengan meninggalkan hutang, karena yang meninggal dunia

meninggalkan harta warisan walaupun tidak meninggalkan harta warisan tetap

para ahli waris harus menerima dan ikhlas untuk membayar hutang demi kebaikan

di akherat orang yang telah meninggal dunia.

70
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004)

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Uskam ABD, (Jakarta: PT Ictiar Baru
Van Hoeve, 2006)

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2002)

Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet. 2

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Al Fatih, 2009)

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007)

Efendi Perangin-angin, Hukum Waris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997)

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Almaarif, 1981)

Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: CV. Diponegoro,
2002)

Husain Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2011)

Hazairin, Hukum Pewarisan Bilateral Menurut Qur;an dan Hadis, (Jakarta: PT


Tinta Mas, 1982)

Ilyas, Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris Berdasarkan Hukum
Islam, Jurnal, Hukum Islam, No. 55, Th. XIII, (Desember 2011, PP. 125-
137)

J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992)

Masri Singaribun, Sofyan Efendi, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Rienika


Cipta, tt)

Muhamad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)

R. H. Soerojo Wongsowidjojo, Hukum Waris Perdata Barat (B.W), Diktat Cet. 2,


(Jakarta: 1990)
Shodiq, Kamus Istilah Agama, Memuat Berbagai Istilah Agama Bersumber dari
Al-Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: CV. Sienttarama, 1988)

71
72

Suhrawardi H Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008)

Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007)

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: PT Sinar Baru, 1990), h. 287


sebagaimana dikutip oleh Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis,
Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi


IV, (Jakarta: PT. RinekaCipta, 2006)

Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 2003)

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Edisi Revisi, (Metro: STAIN
Jurai Siwo Metro, 2011)

T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqgul Mawaris (Hukum-hukum Warisan dalam


Syariat Islam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)

Anda mungkin juga menyukai