Anda di halaman 1dari 53

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK TUMBUH KEMBANG Makassar, 17 Mei 2019

LAPORAN PBL
MODUL 4
”INKONTINENSIA URIN"

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 17

Ema Magfirah 110 2016 0156


Eka Risdayani 110 2016 0120
Eka Dewi Mulyani 110 2016 0003
Dzul Rizka Razak 110 2016 0039
Dwi Puji Astuti 110 2016 0075
Taufik Hidayat Nur 110 2016 0101
Dwi Deno Zubiranto 110 2016 0038
Dinda Pratiwi Basri 110 2016 0115
Dinda Permatasari 110 2016 0094
Habib Yasin Mahmud 110 2016 0141

Tutor : dr. Marzelina Karim

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 1

Anamnesis : Perempuan 73 tahun dibawa ke Rumah Sakit oleh keluarganya

dengan keluhan selalu mengompol. Keadaan ini dialami sudah sejak 7 bulan lalu

dimana penderita sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil,

sehingga kadang air seninya berceceran di lantai. Tidak ada keluhan sakit saat

berkemih. Menurut keluarganya sejak seminggu yang lalu penderita terdengar

batuk-batuk, banyak lendir kental dan agak sesak nafas, serta nafsu makannya

sangat berkurang, tetapi tidak demam. Penderita mempunyai 9 orang anak yang

terdiri dari 4 laki-laki dan 5 perempuan. Riwayat penyakit selama ini, sejak 13

tahun penderita mengidap dan berobat teratur penyakit kencing manis dengan obat

Glibenklamide 5 mg, tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25 mg dan

kedua lutut sering bengkak dan sakit.

Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah baring

170/70 mmHg dan duduk 150/70 mmHg, nadi 89x/menit, suhu aksiler 37,1OC,

pernapasan 23x/menit. Pada auskultasi paru-paru ditemukan adanya ronkhi basah

kasar pada bagian medial paru kanan dan kiri. Jantung, hati dan limpa kesan

dalam batas normal. Berat badan 76 kg dan tinggi badan 154 cm.

Pemeriksaan Penunjang : Pem. laboratorium kadar Hb 12,3 gr%, Leukosit

13.400 /mm3, GDS 268 mg/dl, ureum 61 mg/dl, kreatinin 1,84 mg/dl, asam urat 9

mg/dl. Analisa urin : Sedimen leukosit : 1-3/lpb, Pemeriksaan toraks foto

ditemukan adanya perselubungan homogen di daerah medial kedua paru. USG

Abdomen tidak ditemukan kelainan.

1
A. KATA SULIT

B. KATA KUNCI

 Perempuan 73 tahun

 Keluhan selalu mengompol

 Sejak 7 bulan lalu dimana penderita sama sekali tidak dapat menahan bila

ingin buang air kecil, sehingga kadang air seninya berceceran di lantai.

 Tidak ada keluhan sakit saat berkemih

 Menurut keluarganya sejak seminggu yang lalu penderita terdengar batuk-

batuk, banyak lendir kental dan agak sesak nafas

 Nafsu makannya sangat berkurang, tetapi tidak demam

 Penderita mempunyai 9 orang anak yang terdiri dari 4 laki-laki dan 5

perempuan

 Riwayat penyakit selama ini :

- Sejak 13 tahun penderita mengidap dan berobat teratur penyakit

kencing manis dengan obat Glibenklamide 5 mg

- Tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25 mg

- Kedua lutut sering bengkak dan sakit.

Pemeriksaan
Hasil Normal Interpretasi
Laboratorium

Hemoglobin 12,3 gr% 12 - 14 gr% Normal

Leukosit 13.400/mm3 3.200- Leukositosis

2
10.000/mm3

GDS 268 mg/dl <200 mg/dl Hiperglikemia

Ureum 61 mg/dl 10 - 50 mg/dl Meningkat

Kreatinin 1,84 mg/dl 0,6-0,9 mg/dl Meningkat

Sedimen
1-3/lpb 0-3/lpb Normal
Leukosit

Asam Urat 9 mg/dl 2,4 - 6 mg/dl Hiperurisemia

C. Analisis Skenario

Anamnesis

1. Identitas pasien : Perempuan, 73 tahun

2. Keluhan utama : Selalu mengompol

Mencari tahu bagaimana onset dari keluhan, frekuensi, telah

berlangsung berapa lama dan keluhan penyerta. Pada scenario, keluhan

telah dialami sejak 7 bulan yang lalu bulan lalu dimana penderita sama

sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air kecil, sehingga kadang air

seninya berceceran di lantai, tidak ada keluhan sakit saat berkemih.

Pada anamnesis, kita mencari tahu kondisi pada saat pasien selalu

mengompol dengan menanyakan beberapa pertanyaan berikut:

- Kapan terjadinya dan berapa sering?

- Apakah Ibu pemah mengalami kesulitan untuk buang air kecil karena

penurunan tekanan mulai buang air kecil?

3
- Apakah ada perubahan pada kekuatan pancaran urin?

- Berapa banyak air seni yang dikeluarkan pada setiap kali buang air

kecil?

- Apakah Ibu harus mengejan ketika buang air kecil?

- Apakah buang air kecil itu terputus-putus ataukah berhenti di tengah

sebelum tuntas?

- Apakah masih terjadi penetesan urin setelah buang air kecil selesai?

- Tanyakan tentang gejala demam atau menggigil yang menyertai,

adanya darah dalam urin atau rasa nyeri pada abdomen, pinggang,

atau bagian punggung.

- Apakah harus mengejan ketika buang air kecil, menunjukkan

berkurangap ukuran (kaliber) pancaran urin dan kekuatannya, atau

urin yang masih menetes pada saat buang air kecil sudah selesai

dilakukan. Tetapi sulit mengosongkan kandung kemihnya?

- Dapatkah pasien merasakan ketika kandung kemihnya terisi penuh?

- Apakah pasien dapat berjalan atau bergerak (memiliki mobilitas)?

- Apakah dapat bereaksi terhadap tanda-tanda akan buang air kecil dan

mampu pergi ke kamar mandi?

- Apakah riwayat penyakit sebelumnya

- Riwayat persalinan? (Pada scenario penderita mempunyai 9 orang

anak yang terdiri dari 4 laki-laki dan 5 perempuan)

- Riwayat hubungan seksual ?

3. Keluhan penyerta :

4
- Sejak seminggu yang lalu penderita terdengar batuk-batuk, banyak

lendir kental dan agak sesak nafas

- Nafsu makannya sangat berkurang, tetapi tidak demam

4. Riwayat medis umum :

a. Diabetes melitus

b. Hipertensi

c. Osteoartritis

d. Riwayat mengompol sebelumnya tidak diketahui

5. Riwayat penggunaan obat :

- Berobat teratur penyakit Diabetes melitus dengan obat Glibenklamide

5 mg (sejak 13 tahun yang lalu)

- Tekanan darah tinggi dengan obat Captopril 25 mg

6. Riwayat penyakit keluarga : tidak diketahui

7. Riwayat lingkungan : tidak diketahui

Pemeriksaan Fisis

1. Pemeriksaan tanda vital

Tekanan Darah Baring : 170/70 mmHg

Tekanan Darah Duduk : 150/70 mmHg Hipotensi Ortostatik

Nadi : 89 x/menit  Normal (60-100 x/menit)

Pernapasan : 23 x/menit  Normal (16-24 x/menit)

Suhu Aksiler : 37,1o C  Normal (36,5 o C-37,5 o C)

Berat Badan : 76 kg

Tinggi Badan : 154 cm

5
IMT : BB/TB2 = 76/(1.54)2 = 32,06 Kg/m2 Obesitas

Grade 2

2. Kulit : Menilai turgor, trauma, kepucatan  tidak

diketahui

3. Mata : Menilai visus  tidak diketahui

4. Paru : Bunyi tambahan (ronkhi basah kasar pada bagian

medial paru kanan dan kiri.

5. Hati dan limpa kesan dalam batas normal

6. Kardiovaskuler : Menilai Aritmia, bruit karotis, sensivitas sinus

karotis  dalam batas normal

7. Ekstremitas : Penyakit degeneratif, lingkup gerak sendi,

deformitas, fraktur dan masalah podiatrik ( kalus, bunion, ulserasi, sepatu

yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran atau rusak)  bengkak dan nyeri

kedua lutut

8. Neurologis : Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan,

rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi) proprioseptif,

refleks, fungsi saraf kranialis, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke

tulang kering), gejala ekstrapiramidal : tremor saat istirahat, bradikinesia,

gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan

mengobservasi cara pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Hemoglobin :12,3 g%  Normal (13-18 g%)

6
b. Leukosit :13.400/mm3  Leukositosis (3.200-10.000/mm3)

c. Gula darah sewaktu : 268 mg/dl  Hiperglikemia (≤200 mg/dl)

d. Asam urat : 9 mg/dL  Hiperurisemia (2,4-6 mg/dl)

e. Ureum : 61 mg/dL  Meningkat (10-50 mg/dl)

f. Kreatinin : 1,5 mg/dL  Meningkat (0,5 – 1,5 mg/dl)

GFR for male: (140 – age) x wt(kg) / (72 x Serum Creatinine)

GFR for female: GFR(females) = GFR(males) x 0.85

Jadi : (140-73) x 76 / (72x 1,84) = 38,43 x 0,85 = 32,67 ml/menit/I,73 m2

(CKD grade 3)

g. Sedimen leukosit : 1-3/lpb  Normal (0-3/lpb)

2. Pemeriksaan radiologi

a. Thoraks : terlihat perselubungan homogen pada medial ke dua paru.

b. USG Abdomen : tidak dietmukan kelainan

Referensi:

 Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 6.

Jakarta: EGC. 2007.

 Tallis RC.; Fillit HM. (eds): Brocklehurst’s textbook of geriatric medicine


and gerontology, ed 6, London, 2003, Churchill Livingstone.

D. Daftar Masalah

1. Menopause

2. Inkontinensia urin

3. Pneumonia

4. Multipara

7
5. Riwayat Diabetes Melitus 13 tahun lalu (Pemeriksaan lab. GDS 268

mg/dl)

6. Hipertensi Grade 2

7. Osteoartritis

8. Hipotensi ortostatik

9. Obesitas Grade 2

10. Chronic Kidney Disease

11. Hiperurisemia

12. Penurunan nafsu makan

E. Skala Prioritas

1. Inkontinensia Urin

Pada scenario, didapatkan keluhan pasien sering mengompol dimana

diketahui bahwa pasien sama sekali tidak dapat menahan bila ingin buang air

kecil, kondisi ini sudah dialami selama 7 bulan. Kondisi ini menunjukkan

bahwa pasien mengalami inkontinensia tipe urgensi dimana pada tipe ini

pasien tidak mampu menahan atau menunda untuk berkemih setelah adanya

sensasi penuh pada kandung kemih atau sensasi untuk berkemih. Sejak

seminggu yang lalu pasien mengalami batuk-batuk, pasien juga mengeluhkan

lutut sering bengkak dan sakit. Kondisi batuk pada pasien dapat

menyebabkan inkontinensia tipe stres yaitu tipe inkontinensi yang terjadi

akibat peningkatan tekanan intraabdominal seperti bersin dan batuk,

sedangkan kondisi bengkak dan sakit pada lutut dapat sebabkan terjadinya

inkontinensia tipe fungsional dimana pada tipe ini terjadi karena adanya

8
gangguan fisik, kognitif atau hambatan situasi dan lingkungan yang

menyebabkan pasien tidak mampu mencapai tiolet. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pasien mengalami inkontinensia tipe mixed atau

campuran (tipe urgensi, tipe tipe stres dan tipe Fungsional). Adapun

tatalaksana dari inkontinensia urin,yaitu:

Non farmakologis

Terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non spesifik (edukasi,

manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi tingkah laku

(latihan dasar otot panggul, latihan andung kemih, penjadwalan berkemih,

latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi; dan pemakaian kateter.

Intervensi perilaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki

risiko yang rendah dengan sedikit efek samping namun memerlukan motivasi

dan kerjasama yang baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi

pada pasien atau pengasuh pasien (caregiver). Intervensi perilaku meliputi

bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan dasar otot

panggul.

Bladder training merupakan salah stau terapi yang efektif diantara terapi

non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval

berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga

frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari ata 3-4 jam sekali. Pasien

diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diintruksikan

untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setip jam,

9
selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai setiap 2-3

jam.

Latihan otot dasar panggul merupakan tehnik yang efektif untuk

inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan

dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik.

Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar

jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini

sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional membutuhkan

keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien.

Farmakologis

Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai

efek yang baik terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stres. Obat-obat

yang dipergunakan daoat digolongkan menjadi antikolinergik, antispasmodic,

agonis adrenergik α, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik α.

Tabel 1 Terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urin

10
Referensi: Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih

Hiperaktif. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna

Publishing; 2015:3774

2. Pneumonia

Pada skenario berdasarkan hasil foto thoraks pasien terilhat perselubungan

homogen pada medial kedua paru dan pada pemfis pasien ditemukan bunyi

ronkhi basah kasar diseluruh lapangan kedua paru. Kita dapat mencurigai

bahwa pasien mengalami pneumonia. Untuk penanganan utama kita dapat

memberikan pasien terapi antibiotik empirik.

3. Hipertensi Grade 2

Non Farmakologis

– Modifikasi gaya hidup

– Berhenti merokok,

– Pengendalian berat badan,

– Mengurangi stres mental,

– Pembatasan konsumsi garam & alkohol,

– Meningkatkan aktivitas fisik

– Asupan Na untuk usia < 50 tahun 1500 mg, usia 51-70 tahun 1300 mg &

>70 tahun 1200 mg.

– JNC-7(2004 ) 2400mg Na atau 6 gr garam dapur

11
Farmakologis

Prinsip pengobatan yaitu start slow go slow. Dalam skenario dijelaskan

bahwa si pasien memiliki riwayat DM serta memiliki kadar asam urat yang

tinggi, maka pengobatan yang perlu dilakukan yaitu :

– Hipertensi yang disertai DM dapat diberikan ARB => menurunkan

resistensi insulin.

Angiotensin receptor blocker (ARB) merupakan salah satu obat anti

hipertensi yang bekerja dengan cara menurunkan tekanan darah melalui

sistem renin-angiotensin-aldosteron. ARB mampu menghambat angiotensin

II berikatan dengan reseptornya, sehingga secara langsung akan

menyebabkan vasodilatasi, penurunan produksi vasopresin, dan mengurangi

sekresi aldosteron. Ketiga efek ini secara bersama-sama akan menyebabkan

penurunan tekanan darah.

Kerjanya sangat mirip kerja inhibitor ACE, yang memblok pembentukan

angiotensin II. Namun, ARB tidak menimbulkan batuk. Obat ini efektif untuk

menurunkan tekanan darah merupakan kelompok obat yang memodulasi

sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan

reseptornya, yaitu pada reseptor AT1 secara spesifik. Semua kelompok ARB

memiliki afinitas yang kuat ribuan bahkan puluhan ribu kali lebih kuat

dibanding angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1. Akibat

penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat bekerja pada reseptor AT1,

yang secara langsung memberikan :

o efek vasodilatasi

12
o penurunan vasopressin

o penurunan aldosteron

o penurunan retensi air dan Na

o penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya hipertrofi).

o Sedangkan Angiotensin II yang terakumulasi akan bekerja di reseptor

AT2 dengan efek berupa vasodilatasi, antiproliferasi. Sehingga pada

akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik dengan efek

hambatan pada reseptor AT1.

Efek samping obat:

Udem perifer, dizzines, fatigue, abdominal pain, diare, nausea,

albuminuria, rhininis, faringitis, bronkhitis, chest pain

Kontraindikasi :

– Hipersensitivitas

– Penyakit hepar yang parah

– Stenosis arteri renal bilateral

– Wanita hamil

Interaksi obat :

– Kontraindikasi : aliskiren

– Serius-use alternative : ACEI, litium, potasium fosfat iv

– Signifikan-monitor closely : acebutolol, aspirin, atenolol, bisoprolol,

celecoxib, diklofenak, digoksin, furosemid, gentamisin

Golongan sartan atau ARB digunakan untuk menangani pasien dengan

hipertensi, terutama terhadap pasien yang intoleransi dengan terapi ACE

13
inhibitor. Keunggulan ARB dibanding ACE inhibitor adalah ARB tidak

menghambat penguraian bradikinin dan kinin lain, sehingga tidak

menimbulkan batuk atau angioedem yang dipicu bradikinin. Akhir-akhir ini,

mulai dikembangkan penggunaan ARB pada gagal jantung bila terapi

menggunakan ACE inhibitor menemui kegagalan, terutama dengan

Candesartan. Irbesartan dan losartan juga menunjukkan keuntungan pada

pasien hipertensi dengan diabetes tipe II, dan terbukti menghambat secara

bermakna progresivitas nefropati diabetik. Candesartan juga telah diuji coba

secara klinis dalam mencegah dan mengatasi migrain.

Spesifikasi penggunaan ARB berdasarkan efektivitasnya dalam menghambat

ikatan angiotensin II dan reseptornya dapat dijadikan sebagai ukuran untuk

mempertimbangkan golongan mana yang dapat dipilih. Terdapat 3 parameter

penggunaan ARB, yaitu menurut efek inhibisi dalam 24 jam, tingkat

afinitasnya terhadap reseptor AT1 dibanding AT2, dan waktu paruh obat.

– Thiazid dan loop diuretik tidak diberikan karena dapat menyebabkan

hiperurisemia.

4. Diabetes Melitus

Pasien pada skenario dapat dikatakan menderita DM tipe 2 sejak 13 tahun

yang lalu, karena pada skenario dikatakan pasien mengkonsumsi glibenclamid

5mg secara teratur tapi pada hasil pemeriksaan GDS, hasilnya menunjukkan

bahwa pasien mengalami hiperglikemi. Untuk penanganan awal kita dapat

melakukan koreksi dosis obat yang diberikan sebelumnya kemudian jika tidak

14
ada perubahan bias kita ganti obatnya. Selain itu beberapa cara penanganan

awal untuk pasien diabetes melitus :

 lifestyle modification :

 Pengaturan makan

 Latihan

 Penyuluhan

 memberikan hyperglikemik lowering agents

1. Glinid : repaglinid dan nateglinid

2. Biguanid : metformin

3. -glucosidase inhibitor : acarbose

4. Thiazolidinedione : pioglitazone

5. Dpp - 4 inhib : vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin

 Insulin

5. Penurunan nafsu makan

Asupan gizi yang dapat diberikan pada lansia antara lain :

1. Pola makan seimbang dengan variasi bahan makanan

2. Sumber karbohidrat komplek dan mengurangi refined karbohidrat

3. Sumber protein bervariasi antara protein hewani dan nabati

4. Sumber lemak terutama lemak tidak jenuh

5. Cukup vitamin, mineral, dan serat dengan mengkonsumsi sayur dan

buah

6. Cukup cairan.

15
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik

sebagai berikut:

• Karbohidrat : 60-70%

• Protein : 10-15%

• Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan

dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β

terhadap stimulus glukosa.

Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya

diperhatikan. Asupan lemak tetap diperlukan karena fungsinya sebagai

pelarut vitamin A, D, E, dan K serta sumber lemak essensial. Memasak

dengan minyak akan meningkatkan cita rasa dan aroma makanan, yang

sangat penting agar lansia menjadi bergairah untuk makan. Sumber lemak

diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak

asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber

protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan

tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Asupan serat sangat penting

seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan

mineral. Asupan air yang dianjurkan pada lansia adalah 30 ml/kgBB/hari.

16
6. Osteoarthritis

Terapi non-farmakologi

 Edukasi pasien

 Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup, terutama olahraga dan pengurangan berat

badan, merupakan komponen inti dalam pengelolaan osteoarthritis.

Penurunan berat badan mengurangi stres pada lutut atau pinggul yang

terkena. Manfaat penurunan berat badan, baik yang diperoleh melalui

olahraga teratur dan diet atau melalui intervensi bedah, dapat meluas

tidak hanya untuk meredakan gejala tetapi juga melambatnya

kehilangan tulang rawan pada sendi yang menahan berat badan

(misalnya, lutut). Selain itu, penurunan berat badan menurunkan kadar

sitokin dan adipokin inflamasi yang mungkin berperan dalam degradasi

tulang rawan.

 Terapi fisik

Terapi fisik meliputi latihan perbaikan lingkup gerak sendi, penguatan

otot- otot (quadrisep/pangkal paha) dan alat bantu gerak sendi (assistive

devices for ambulation): pakai tongkat pada sisi yang sehat.

 Terapi okupasi

Terapi okupasi meliputi proteksi sendi dan konservasi energi,

menggunakan splint dan alat bantu gerak sendi untuk aktivitas fisik

sehari-hari.

17
Terapi farmakologi

 Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan

salah satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian

obat tersebut:

- Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).

- Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS).

 Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki

risiko pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit

komorbid dengan polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat

perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau

antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:

- Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).

- Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topical

- Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan

pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent). Obat

anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus dimulai dengan dosis

analgesik rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal hanya

bila dengan dosis rendah respon kurang efektif. Pemberian OAINS

lepas bertahap (misalnya Na-Diklofenak SR75 atau SR100) agar

dipertimbangkan untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan

pasien. Penggunaan misoprostol atau proton pump inhibitor

dianjurkan pada penderita yang memiliki faktor risiko kejadian

18
perdarahan sistem gastrointestinal bagian atas atau dengan adanya

ulkus saluran pencernaan.

- Cyclooxygenase-2 inhibitor

7. Hiperurisemia

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar ureum pasien meningkat

yaitu 8,6 mg/dl normalnya 3-7 mg/dl. Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala

klinis dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, termasuk pola diet

seperti pada prinsip umum pengelolaan hiperurisemia yaitu :

 Pasien yang overweight harus melakukan modifikasi pola makan untuk

memiliki berat badan ideal.

 Hindari makanan tinggi purin seperti daging merah dan tinggi protein,

kaldu, hati, ginjal, kerang dan ekstrak ragi. Demikian pula dengan

minuman tinggi purin seperti alkohol dalam bentuk bir dan fortified wines.

 Pasien harus terhidrasi dengan baik dengan minum air >2 liter per hari.

 Latihan fisik sedang harus dimasukkan dalam upaya penanganan pasien

gout, namun latihan yang berlebihan dan berisiko trauma sendi wajib

dihindari.

Untuk terapi farmakologinya pasien dapat dberikaon obat seperti kolsikin

0,5-1 mg/hari selama 6 bulan, atau OAINS dengan dosis rendah jika pasien

intoleransi atau kontraindikasi dengan kolsikin, kortikosteroid oral dan/atau

bila dibutuhkan aspirasi sendi dilanjutkan injeksi kortikosteroid, Alopurinol.

19
8. Chronic Kidney Disease

Pada Skenario pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin

meningkat 1845 mg/dl normalnya 0,6-0,9 mg/dl. Untuk dapat memastikan

apakah pasien ini telah menderita AKI ( Acute Kidney Injury ) atau CKD

(Chronic Kidney Disease) kita dapat menentukannya dengan menghitung laju

filtrasi glomerulus atau GFR.

Rumus yang digunakan adalah rumus Kockcroft-Gault yaitu :

GFR for male: (140 – age) x wt(kg) / (72 x Serum Creatinine)

GFR for female: GFR(females) = GFR(males) x 0.85

Jadi : (140-73) x 76 / (72x 1,84) = 38,43 x 0,85 = 32,67 ml/menit/I,73 m2

(CKD grade 3)

Interpretasi : Menurut klasifikasi penyakit ginjal kronik atas derajat

kerusakan ginjal maka didapatkan kerusakan ginjal berat ( GFR 30-59

ml/menit/1,73 m2) pada pasien ini juga diketahui adanya riwayat penyakit

diabetes melitus sejak 13 tahun yang lalu serta ada riwayat hipertensi grade II

, pada pasien diabetes melitus dan hipertensi yang lama dapat menyebabkan

komplikasi berupa menurunnya kerja ginjal atau memperberat fungsi ginjal .

Maka tatalaksana yang dapat diberikan kepada pasien ini adalah observasi

dan terapi komplikasi dari CKD Grade 3 sebagai berikut :

 Hipertensi

- Terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor atau

angiotensin- receptor blocker.

20
- Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130mm Hg

sistolik dan kurang dari 80 mmHg diastolic

 Diabetes Melitus

Kontrol glikemik:

- Target untuk kontrol glikemik, daiman mereka dapat dicapai dengan

aman, seharusnya mengikuti Canadian Diabetes Association

Guideline (hemoglobin A1c<7.0%, kadar glukosa darah puasa 4-7

mmol/L).

- Kontrol glikemik seharusnya merupakan bagian dari strategi

intervention multifaktorial yang menyebutkan kontrol tekanan darah

dan risiko kardiovaskular, dan mendukung penggunaan ACE inhibitor,

angiotensin receptor blocker, statin dan asam asetilsalisilat.

Penggunaan metformin pada diabetes mellitus tipe 2:

- Metformin direkomendasi untuk kebanyakan pasien dengan tipe

diabetes 2 dengan gagal ginjal kronik stadium 1 atau 2 yang memiliki

fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir (derajat

A).

- Metformin mungkin dilanjutkan pada pasien dengan gagal ginjal

kronik stabil stadium 3 (derajat B).

- Metformin seharusnya dihentikan jika terdapat perubahan

 Pedoman gaya hidup

Bagian pedoman ini menekankan pentingnya pengobatan gaya

hidup dalam mengobati pasien dengan terganggunya fungsi renal. Karena

21
gagal ginjal kronik memiliki faktor risiko umum yang sama dengan

penyakit kardiovaskular dan diabetes, modifikasi gaya hidup yang

diarahkan pada merokok, obesitas, konsumsi alkohol, olahraga dan diet

penting dilakukan. Asupan protein diet telah menjadi fokus beberapa

penelitian. Meskipun begitu, kurang bukti yang menyakinkan bahwa

restriksi asupan protein jangka panjang (<0.70 g/kg/ hari) memperlambat

perkembangan gagal ginjal kronik . Karena itu, diet dengan protein

terkontrol (0.8 -1 g/kg/hari) direkomendasikan

 Suplemen kalsium dan vitamin D. Kedua suplemen ini diberikan untuk

mencegah kondisi tulang yang melemah dan berisiko mengalami patah

tulang.

 Obat kortikosteroid. Obat ini diberikan untuk penderita GGK karena

penyakit glomerulonefritis atau peradangan unit penyaringan dalam ginjal.

9. Obesitas Grade 2

Berdasarkan dari pemeriksaan fisis pasien, didapatkan berat badan 76 kg

dan tinggi badan 154 cm sehingga didapatkan :

IMT : BB/TB2 = 76/(1.54)2 = 32,06 Kg/m2 Obesitas Grade 2

22
Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam tatalaksana obesitas pada

lansia antara lain adalah:

1. Haruslah ditumbuhkan keyakinan pada diri penderita, alasan-alasan

apa yang mengharuskan melakukan upaya menurunkan berat

badannya. Jadi langkah pertama adalah menumbuhkan motivasi dalam

diri penderita mengapa ia harus menurunkan berat badan.

2. Penderita obesitas perlu diberikan pengetahuan dasar mengenai zat

gizi dan fungsinya, proses pembentukan dan penggunaan energi dalam

tubuh. Dengan demikian, penderita dituntun untuk mengusahakan

terjadinya keseimbangan antara pemasukan energi yang berasal dari

makanan yang dimakannya dan penggunaan energi oleh tubuh

sehingga ia mampu mengendalikan konsumsi makanan.

3. Penderita obesitas harus dibebaskan dari berbagai informasi yang

salah yang mungkin didapatnya dari tulisan-tuisan yang bernada

promosi atau yang dibuat oleh penulis yang bukan ahli yang dapat

membawa akibat buruk bagi dirinya. Karena dasar penurunan berat

badan adalah mengurangi jumlah energi yang masuk yang berasal dari

makanan dan menaikkan pengeluaran energi melalui penambahan

kegiatan fisik.

4. Mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tidak dapat di sangkal

bahwa untuk memenuhi diet secara sungguh-sungguh untuk

penurunan berat badan tidaklah mudah. Oleh karena itu, disamping

pendekatan dari sudut medis dan dietetika dalam upaya

23
penanggulangan obesitas juga dilakukan pendekatan psikologis untuk

mendorong perubahan perilaku.

5. Mengenai kepatuhan penderita terhadap diet yang harus dijalani.

6. Mengenai penyusunan diet yang diberikan harus didasarkan atas

kebiasaan dan perilaku penderita sehari-hari dalam hal makanan.

Mereka yang biasa sarapan pagi dengan roti sebagai makanan pokok,

harus diberi diet roti untuk makan pagi. Apabila penderita selalu

merasa tidak puas itu justru merupakan pendorong baginya untuk

tidak mematuhi dietnya.

10. Hipotensi ortostatik

Pada dasarnya pengobatan hipotensi ortostatik adalah dengan

melakukan terapi langsung pada kausanya. Jika penyebab hipotensi ortostatik

tidak dapat diobati, maka yang dapat dilakukan adalah mengurangi atau

menghilangkan gejalanya.Orang yang rentan sebaiknya tidak duduk atau

berdiri secara tiba-tiba, atau tidak berdiri terlalu lama.

Jika tekanan darah rendah disebabkan oleh pengumpulan darah di

tungkai, bisa digunakan stoking elastik. Jika penyebabnya adalah tirah baring

yang lama, penderita bisa mengatasi keadaan inidengan duduk tegak untuk

waktu yang lebih lama setiap harinya. Efedrin atau fenilefrin bisa membantu

mempertahankan tekanan darah.Volume darah juga dapat ditambah dengan

meningkatkan asupan garam dan jika perlu bisadiberikan hormon yang

menyebabkan tertahannya garam (misalnya fludrocortisone). Penderita yang

tidak memiliki kegagalan jantung atau tekanan darah tinggi sering dianjurkan

24
untuk menambahkan garam pada makanan mereka secara bebas atau

dianjurkan untuk memakan tablet garam. Orang tua dengan hipotensi

ortostatik sebaiknya banyak minum air dan sedikit atau jangan minum

alkohol.Jika pengobatan diatas gagal, bisa diberikan obat lainnya (propanolol,

Indometasin, dan metoclopramide).

Referensi:

 Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih

Hiperaktif. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna

Publishing; 2015:3774.

 Azis A. Inkontinensia Urin. Makassar: Tumbuh Kembang dan Geriatri;

2018.

 Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jilid III.Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm. 1335-1340.

 Hapsari P. Hipertensi in Geriatric. Tumbuh Kembang dan Geriatri; 2018

 PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes

Mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.

 Puruhita, niken et all. 2015. Buku ajar boedhi-darmojo geriatri : gizi pada

lansia. Halaman 728-730

 Carlos J Lozada. 2019. Osteoarthritis Treatment & Management.

medscape

 Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology: 4. Strategies for the care of adults

with chronic kidney disease. CMAJ 2003;168:1553-60

25
 Desky, BR. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Obesitas Lansia.

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan 2011

 Januar Raya GA Mudamakin. Risiko hipotensi ortostatik pada pasien

geriatri dengan hipertensi. MEDICINA 2018, Volume 49. Jakarta,

Indonesia.

 Katzung, Betram G.(2013).Farmakologi Dasar dan Klinik Ed.12 Vol.1,

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

 Goodfriend, T.L., Elliott, M.E., Catt, K.J., 1996, Angiotensin Receptors

and Their Antagonists, N Engl J Med, 334: 1649-1655

 Ikawati, Z., 2004, Pengantar Farmakologi Molekuler: Target aksi obat dan

mekanismenya, Edisi I, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.

26
IDENTIFIKASI MASALAH PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING

1. Jelaskan definisi dan klasifikasi dari inkontinensia urin!

2. Jelaskan faktor risiko penyebab terjadinya inkontinensia urin!

3. Apakah hubungan antara usia dengan keluhan pada skenario?

4. Apakah hubungan antara riwayat melahirkan dengan keluhan pada

skenario?

5. Apakah hubungan antara riwayat penyakit terdahulu dan obat dengan

keluhan pada skenario?

6. Jelaskan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada usia lanjut yang

menyebabkan inkontinensia urin!

7. Bagaimana pencegahan terjadinya inkontinensia urin?

8. Jelaskan perspektif islam berdasarkan scenario!

PEMBAHASAN PERTANYAAN

Sebelum membahas pertanyaan, disini akan dibahas proses diuresis normal

terlebih dahulu.

Proses fisiologi diuretik normal

Kandung kemih dapat menampung fluktuasi volume urin yang besar.

Kandung kemih terdiri atas otot polos yang dilapisi bagian dalamnya oleh suatu

jenis epitel khusus. Dahulu diperkiraakan bahwa kandung kemih adalah kantung

inert. Namun, baik epitel maupun otot polos secara aktif ikut serta dalam

kemampuan kandung kemih mengakomodasi perubahan besar dalam volume urin.

27
Luas permukaan epitel yang melapisi bagian dalaam dapat bertambah dan

berkurang oleh proses teratur daur ulang membran sewaktu kandung kemih terisi

dan mengosongkan dirinya. Sewaktu kandung kemih terisi, vesikel-vesikel

sitoplasma terbungkus membrane disisipkan melalui prosses eksositosis

kepermukaan sel kemudian vesikel-vesikel ini di tarik kedalam endositosis untuk

memperkecil luas permukaan ketika terjadi pengosongan kandung kemih. Selain

itu dinding kandung kemih yang sangat berlipat-lipat menjadi rata sewaktu

pengisian kandung kemih untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan. Karena

ginjal terus-menerus menghasilkan urin maka kandung kemih harus memiliki

kapasitas penyimmpanan yang cukup untuk meniadakan keharusan terus-menerus

membuang urin.

Otot polos kandung kemih banyak mengandung saraf parasimpatif, yang

stimulasinya mneyebabkan kontaksi kandung kemih. Jika saluran melalui uretra

keluar terbuka maka kontraksi kandung kemih akan mengosongkan urin dari

kandunng kemih. Namun, pintu keluar dari kandung kemih dijaga oleh dua

sfingter, sfingter uretra interna dan sfinter uretra eksterna.

Sfingter adalah cincing otot yang ketika berkontraksi menutup saluran melalui

suatu lubang. Sfingter uretra interna yang terdiri dari otot polos dan karenanya

tidak berada dibawah control volunteer. Sebenarnya bukan suatu otot tersendiri

tetapi merupakan bagian terakhir dari kandung kemih. Meskipun bukan sfingter

sejati namun otot ini melakukan fungsinnya yang sama seperti sfingter. Ketika

kandung kemih melemas, susunan anatomic region sfingter uretra internus

menutup pintu keluar kandung kemih.

28
Dibagian lebih bawah saluran keluar, uretra dilingkari oleh satu lapisan otot

rangka, sfingter uretra eksternus. Sfingter ini diperkuat oleh diafragma pelvis,

suatu lembaran otot rangka yang membentuk dasar panggul dan membantu

menunjang otot-otot panggul. Neuron-neuron motorik yang menyarafi sfingter

eksternus dan diafragma pelvis terus-menerus mengeluarkan sinyal dengan tingkat

sedang kecuali jika mereka dihambat sehingga otot-otot ini terus berkontraksi

secara tonik untuk mencegah keluarnya urin dari uretra. Dalam keadaan normal,,

ketika kandung kemih melemas dan terisi, baik sfingter interna maupun eksternus

menutup untuk menjaga agar urin tidak menetes. Selain itu, karena sfingter dan

diafragma pelvis adalah otot rangka dank arena nya berada di bawah control sadar

maka orang daapa secara sengaja mengontraksi keduanya untuk mencegah

pengeluaran urin meskipun kandung kemih berkontraksi dan sfingter internus

terbuka.

Refleks Berkemih

Miksi atau berkemih adalah proses pengosongan kandung kemih yang diatur

oleh dua mekanisme yaitu refleks berkemih dan control volunteer. Refleks

berkemih terpicu ketika reseptor regang didalam dinding kandung kemih

terangsang. Kandung kemih pada orang dewasa bisa menampung hingga 250

sampai 400 ml urin sebelum tegangan di dindingnya mulai cukup meningkat

untuk mengaktifkan reseptor regang. Semakin besar regangan melebihi ukuran

ini, semakin besar tingkat pengaktifan reseptor. Serat-serat aferen dari aseptor

regang membawa impuls kemedula spinalis dan akhirnya melalui antarneuron

merangsang saraf parasimpatis untuk kandung kemih dan menghambat neuron

29
motorik ke sfingter eksternus. Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih

menyebabkan organ ini berkontraksi. Tidak ada mekanisme khusus yg dibutuhkan

untuk membuka sfingter internus, perubahan bentuk kandung kemih selama

kontraksi akan secara mekanis menarik terbuka sfingter internus. Secara

bersamaan, sfingter eksternus melemas karena neuron-neuron motoriknya

dihambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urin terdorong melalui uretra oleh gaya

yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih. Refleks berkemih ini, yang

seluruhnya adalah refleks spinal, mengatur pengosongan kandung kemih pada

bayi. Segera setelah kandung kemih terisi cukup untuk memicu refleks, bayi

secara otomatis berkemih.

Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih juga menyadarkan

yang bersangkutan akan keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya kandung

kemih muncul sebelum sfingter eksternus secara refleks melemas, memberi

peringatan bahwa miksi akan segera terjadi. Akibatnya, control volunteer

berkemih, yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini, dapat

mengalahkan refleks berkemih sehingga pengosongan andung kemih dapat

berlangsung sesuai keninginan yang bersangkutan dan bukan ketika pengisian

kandung kemih pertama kali mengaktifkan reseptor regang. Jika waktu refleks

miksi tersebut dimulai kurang sesuai untuk berkemih, maka yang bersangkutan

dapat dengan sengaja mencegah pengosongan kandung kemih dengan

mengencangkan sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Impuls eksitatoriks

volunteer dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor

30
regang ke neuron-neuron motorik yang terlihat (keseimbangan relative PPE dan

PPI) sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar.

Berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena kandung kemih terus terisi

maka sinyal refleks dari reseptor regang meingkat seiring waktu. Akhirnya, sinyal

motorik refleks ke neuron motorik sfingter eksternus menjadi sedemikian

volunteer sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak terkontrol

mengosongkan isinya.

Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai, meskipun kandung kemih tidak

teregang, dengan secara sengaja melemaskan sfingter eksternus dan diafragma

pelvis. Turunnya dasar panggul memungkinkan kandung kemih turun yang secara

simultan menarik terbuka sfingter uretra internus dan meregangkan dinding

kandung kemih. Pengaktifan reseptor regang yang kemudian terjadi akan

menyebabkan kontraksi kandung kemih melalui refleks berkemih. Pengosongan

kandung kemih secara sengaja dapat dibantu oleh kontraksi dinding abdomen dan

diafragma pernapasan. Peningkatan tekanan intraabdomen yang ditimbulkannya

menekan kandung kemih kebawah untuk mempermudah pengosongan.

Referensi:

Lauralee Sherwood. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.

Hal 594-597

31
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi dari inkontinensia urin!

Jawaban :

Definisi

Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin tidak disadari dan pada waktu

yang tidak diinginkan (tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlah) yang

mengakibatkan masalah sosial dan higienisitas penderitanya. Secara klinis, IU

dibagi menjadi empat tipe, yaitu urgensi, stres, fungsional dan luber (overflow).

Inkontinensia urin (IU) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering

dijumpai pada lansia. Hal tersebut jarang disampaikan oleh pasien maupun

keluarga karena dianggap memalukan (tabu) atau wajar terjadi pada lansia

sehingga tidak perlu diobati. IU dinilai bukan sebagai penyakit, melainkan suatu

gejala yang dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, sosial, psikologi

serta dapat menurunkan kualitas hidup.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya yaitu

Transient Incontinence (sementara) dan Established / True Incontinence

(menetap):

1) Transient Incontinence

Bersifat sementara dan biasanya hanya berdurasi singkat, sampai faktor yang

menimbulkan dihilangkan. Dialami oleh hampir separuh pasien di rumah sakit

dan pada sepertiga orang tua. Secara umum dihubungkan dengan masalah medis,

faktor lingkungan, dan terapi obat. Evaluasi pada pasien terhadap faktor yang

berhubungan dengan inkontinensia urin transien mampu mengembalikan

32
kemampuan pasien menahan kencing. Penyebab umum dari Inkontinensia Urin

Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:

a) D Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik

karena pengaruh obat atau operasi, kejadian inkontinensia akan dapat

dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.

b) I Infection - infeksi saluran kemih seperti cystitis dan urethritis dapat

menyebabkan iritasi kandung kemih, sehingga timbul frekuensi, disuria dan

urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk

berkemih.

c) A Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan yang teriritasi dapat

menyebabkan timbulnya urgensi dan sangat berespon terhadap pemberian

terapi estrogen.

d) P Pharmaceuticals – karena obat-obatan, seperti terapi diuretik akan

meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.

e) P Psychological Disorder – seperti stres, anxietas, dan depresi.

f) E Excessive Urin Output – dapat karena intake cairan, diuretik, alkoholisme,

pengaruh kafein.

g) R Restricted Mobility – penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu

mobilitas untuk mencapai toilet.

h) S Stool Impaction – pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan

mengubah posisi kandung kemih dan menekan saraf.

2) Established / True Incontinence Established / True Incontinence merupakan

33
Inkontinensia urin yang bersifat menetap dan dapat diklasifikasikan

berdasarkan gejalanya menjadi:

a) Inkontinensia Tipe Urgensi

Tipe ini ditandai dengan pengeluaran urin di luar pengaturan berkemih

yang normal. Biasanya dalam jumlah yang banyak, karena

ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi penuhnya kandung

kemih diterima oleh pusat yang mengatur proses berkemih. Terdapat

gangguan pengaturan rangsang dan otot-otot detrusor kandung kemih.

Istilah lain inkontinensia tipe ini adalah over aktivitas detrusor. Gejala

klinis yang timbul adalah keinginan berkemih yang mendadak dan

terburu-buru.

b) Inkontinensia Tipe Stres

Keluarnya urin di luar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah

sedikit, akibat peningkatan tekanan intra abdominal seperti saat bersin,

tertawa, atau olahraga, jarang terdapat pada pria dan biasanya tidak

mengeluhkan adanya nokturia.

c) Inkontinensia Tipe Luapan (Overflow)

Tipe ini ditandai dengan keluarnya urin dalam jumlah sedikit, sering

berkemih dan nokturia. Tipe ini banyak dijumpai pada pria. Penyebab

umum dari inkontinensia urin tipe ini antara lain sumbatan akibat kelenjar

prostat yang membesar dan penyempitan jalan keluar urin.

d) Inkontinensia Tipe Fungsional

34
Kebocoran urin secara dini akibat ketidakmampuan subjek mencapai toilet

pada waktunya karena gangguan fisik, kognitif atau hambatan situasi dan

lingkungan. Misalnya pada orang dengan kursi roda, menderita Alzheimer,

atau arthritis membutuhkan cukup banyak waktu untuk mencapai toilet.

Namun inkontinensia tipe ini sebenarnya memiliki fungsi saluran kemih

yang normal.

e) Inkontinensia Tipe Campuran

Tipe-tipe inkontinensia dapat terjadi bersamaan. Apabila terjadi secara

bersamaan maka kondisi ini sering disebut inkontinensia urin kompleks/

campuran.

Referensi:

 Desby Juananda DF. Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti Werdha

Provinsi Riau Urinary Incontinence among Institutionalized Elderly in

Riau Province Desby. J Kesehat Melayu [Internet]. 2017;1(1):20–3.

Available from: http://jkm.fk.unri.ac.id

 Jayani LPD. Hubungan Kelebihan Berat Badan Dengan Inkontinensia

Urin Pada Wanita Di Wilayah Surakarta. 2010;210.

2. Jelaskan faktor risiko penyebab terjadinya inkontinensia urin!

Jawaban:

a. Jenis kelamin

Perempuan 10 – 40 %, pria 6.8 %. Perempuan lebih berisiko daripada laki-

laki

35
b. Lanjut Usia (68 tahun)

Menurun tahanan uretha dan muara kandung kemih dapat menyebabkan

Inkontinensia

c. Riwayat Multipara

Terjadi penurunan fungsi/ melemahnya otot-otot panggul oleh karena

proses melahirkan

d. Obesitas

Terjadi Peningkatan Tekanan Bledder akibat lemak yang menumpuk

e. Riwayat Pengobatan

- Obat DM seperti Sulfonilurea

ESO dari obat ini dapat terjadi Hipoglikemi oleh karena Peningkatan

Sekresi Insulin oleh sel beta Pankreas. Pada usia lanjut, Hipoglikemi ini

dapat menyebabkan refleks simpatik menurun dan cenderung

menyebabkan relaksasi M. Detrusor yang dapat menyebabkan

Inkontinensia.

- Obat Hipertensi

Captopril memilki efek samping batuk-batuk yang dapat menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdominal yang berisiko terjadi inkontinensia

stress

- Obat lutut bengkak dan sakit

Nsaid memilki efek menurunkan prostaglandin yang menyebabkan

kontraksi m. Detrusor terinhibisi (relaksasi m.detrusor) dan terjadi

36
peningkatan capasitas urin dan berisiko terjadi inkontinensia urin

overflow.

Referensi :

 Rejeki andayani. 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi VI.

Internal Publishing.

 Buku ajar Boedhi darmojo Geriatri (ilmu kesehatan Usia lanjut). 2015.

Edisi ke 5. Badan penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia.

3. Apakah hubungan antara usia dengan keluhan pada skenario?

Jawaban:

Ketika terjadi perubahan - perubahan pada mekanisme normal ini maka

dapat menyebabkan proses berkemih terganggu. Pada usia lanjut baik wanita atau

pria terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian

bawah. Perubahan tersebut akan berkaitan dengan menurunnya kadar hormone

estrogen pada wanita dan hormone androgen pada pria. Perubahan yang terjadi ini

berupa peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada dinding kandung kemih

yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari kandung kemih tidak efektif lagi.

Pada otot uretra dapat terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa,

atrofi mukosa dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan ini menyebabkan

tekanan penutupan uretra berkurang. Otot dasar panggul juga dapat mengalami

perubahan merupakan melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara keseluruhan

perubahan yang terjadi pada sistem urogenital bagian bawah akibat dari proses

menua sebagai faktor kontributor terjadinya Inkontinensia urin.

37
Referensi :

Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Inkontinensia urin. Dalam : Buku ajar

Geriatri kesehatan usia lanjut Ed. 5 Edit R. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2015.

Hal: 246-262

4. Apakah hubungan antara riwayat melahirkan dengan keluhan pada skenario?

Jawaban:

Inkontinensia urin lebih sering ditemukan pada wanita yang jumlah anak

banyak. Ada yang mengatakan bahwa jarak antara riwayat persalinan pertama

dengan persalinan berikutnya akan mempengaruhi resiko terjadinya inkontinensia

urin sebesar 30%. Perubahan degeneratif pada sistem persarafan otonomik dari

saluran kemih bagian bawah atau tekanan mekanik yang ditimbulkan oleh

kehamilan itu sendiri mungkin merupakan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi timbulnya inkontinensia urin. Denervasi parsial dari otot-otot

dasar panggul diperkirakan adanya kerusakan pada nervus pudendus yang

disebabkan baik oleh karena persalinan atau peregangan pada abdomen yang

terlalu lama. Kerusakan jaringan ikat pada persalinan ini dapat mempengaruhi

daya penyangga pada bagian leher kandung kencing yang dapat menyebabkan

stress inkontinensia, amat mungkin dikarenakan jaringan ikat parauretral yang

menjadi lebih kaku atau kelemahan dari fasia.

Pada wanita dengan riwayat kehamilan 3 kali atau lebih didapatkan angka

kejadian inkontinensia urin yang tinggi. Demikian pula dengan wanita yang

38
memiliki 3 anak atau lebih juga memiliki angka kejadian inkontinensia urin yang

lebih tinggi.

Referensi:

Hermie MM Tendean. Urinary Incontinence Detection In Post-Menopause Age

Using IIQ-7 And UDI-6.2015. Bagian Obstetri dan Ginekologi.Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi / RSU Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado.

5. Apakah hubungan antara riwayat penyakit terdahulu dan obat dengan keluhan

pada skenario?

Jawaban:

a. Riwayat penyakit

Saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra) memiliki dua fungsi:

menyimpan dan mengosongkan urin. Selama fase penyimpanan, saraf simpatetik

dan somatik bekerja bersama untuk menjaga uretra terkontraksi dan otot detrusor

rileks, memungkinkan urin untuk mengisi kandung kemih pada tekanan kandung

kemih rendah (kandung kemih memiliki kepatuhan tinggi selama penyimpanan).

Setelah refleks berkemih diaktifkan, aktivitas saraf simpatis dan somatik

berkurang, sehingga terjadi relaksasi pada sfingter uretra dan dasar panggul, dan

aktivitas parasimpatik meningkat melalui neurotransmisi kolinergik, yang

mengakibatkan otot detrusor berkontaksi dan terjadi pengosongan kandung

kemih.

Kegagalan menyimpan urine biasanya dapat mengakibatkan inkontinensia

urin, frekuensi kencing, dan / atau nokturia sekunder akibat kandung kemih dan /

39
atau disfungsi uretra. Kebocoran urin dapat terjadi akibat penyebab nonurologik

(inkontinensia fungsional) dan kadang-kadang dapat reversibel ketika penyebab

yang mendasari diidentifikasi dan diterapi.

Berdasarkan skenario, beberapa penyakit yang diderita pasien terdiri dari diabetes

mellitus, hipertensi, obese serta pneumonia.

Penyakit paru yang diderita pasien, pneumonia, dapat mengakibatkan

beberapa gejala seperti batuk-batuk, banyak lendeir kental, agak sesak nafas, serta

nafsu makan menurun. Hal ini dapat megakibatkan peningkatan tekanan

intraabdominal sehingga mencegah penutupan sfingter uretra seperti pada

inkontinnensia stress.

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko peningkatan inkontinensia

urin terutama pada perempuan. Tiga puluh tahun yang lalu BMI ditemukan

berhubungan positif dengan semua bentuk inkontinensia: baik urge inkontinensia

(UUI); kebocoran kemih involunter disertai dengan atau segera didahului oleh

urgensi karena kontraksi detrusor involunter; atau stres inkontinensia (SUI),

inkontinensia tidak disengaja ketika bersin atau batuk, karena peningkatan

tekanan perut tanpa kontraksi detrusor; atau inkontinensia campuran - tumpang

tindih kedua bentuk.

Mekanisme di balik hubungan antara obesitas dan UI tidak diketahui.

Namun, terdapat teori bahwa obesitas meningkatkan tekanan abdominal, yang

meningkatkan tekanan kandung kemih dan mobilitas uretra, yang mengarah ke

SUI dan memperburuk ketidakstabilan detrusor, yang merupakan penyebab utama

UUI. Peningkatan tekanan intravesika yang diciptakan oleh obesitas dapat

40
mengurangi gradien kontinens antara kandung kemih dan uretra, yang

menyebabkan tekanan statis lebih tinggi dalam kandung kemih dan dengan

demikian mengurangi besarnya peningkatan tekanan intraabdomen yang

diperlukan untuk memaksa urin melalui uretra. Hal ini dikonfirmasi oleh fakta

bahwa penelitian urodinamik telah membuktikan bahwa tekanan titik kebocoran

Valsalva lebih tinggi pada obesitas dibandingkan pada wanita dengan berat badan

normal.

Penurunan berat badan telah terbukti menjadi terapi lini pertama yang

efektif untuk obesitas terkait UI. Dalam uji klinis, pengobatan penurunan berat

badan ditemukan terkait dengan penurunan yang signifikan dalam frekuensi

episode mingguan inkontinensia. Penurunan berat badan minimal 5% ditemukan

cukup untuk mengurangi frekuensi inkontinensia (pengurangan 60% pada

kelompok yang diobati vs 15% pada kelompok kontrol) dan tingkat keparahan

(perbedaan median dalam uji pad setelah perawatan: 19 g ). Namun, ada bukti

bahwa hasil perawatan penurunan berat badan dapat menurun seiring waktu,

kemungkinan sejajar dengan penambahan berat badan. Menariknya, penurunan

berat badan 5–10% yang dicapai oleh program penurunan berat badan juga

terbukti mencegah UI pada wanita gemuk yang terkena diabetes tipe 2,

mengurangi sebesar 47% ODD untuk mengembangkan UI setelah satu tahun masa

tindak lanjut, dibandingkan dengan yang tidak diobati. pasien. Pembedahan

bariatric juga terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi dan keparahan episode

UI pada wanita gemuk yang mengalami obesitas dengan UI pre-operatif.

41
Faktor risiko yang diakui dan umum untuk inkontinensia urin pada wanita

termasuk peningkatan usia, paritas, histerektomi, kelebihan berat badan dan

estrogen oral. Namun, meskipun terdapat bukti adanya hubungan antara diabetes

dan inkontinensia, sedikit yang diketahui tentang mekanisme di mana diabetes

menyebabkan inkontinensia. Beberapa petunjuk dari studi epidemiologi

memberikan beberapa kemungkinan. Sebagai contoh, penyelidikan pada wanita

dengan diabetes tipe 2 menunjukkan bahwa komplikasi mikrovaskular lebih

meningkatkan prevalensi dan insidensi inkontinensia urin. Komplikasi fisiologis,

mikrovaskular dan neurologis diabetes mengakibatkan perubahan yang dapat

mengganggu fungsi mekanisme kontinensia, termasuk kerusakan pada persarafan

kandung kemih, perubahan fungsi otot detrusor atau disfungsi urotelial. Namun,

pada saat yang sama peningkatan inkontinensia urin pada wanita dengan

pradiabetes yang umumnya kekurangan komplikasi diabetes berat ini

menunjukkan bahwa proses yang tidak diketahui lainnya juga dapat mendasari

perkembangan inkontinensia pada wanita dengan gangguan glukosa.

b. Riwayat obat

Riwayat obat-obatan dengan inkontinensia

1. Obat antihipertensi

Salah satu efek samping dari pemakaian captopril adalah batuk. Batuk

dapat meningkatkan tekanan intraabdominal yang dapat memperparah kejadian

inkontinensia urin (tipe stress). Onset batuk pada pasien yang mengonsumsi

captopril paling cepat adalah 3 hari dan paling lama adalah 12 bulan, dan jika

berhenti mengonsumsi captopril batuk akan menghilang besoknya dan paling

42
lama 4 minggu. Sebanyak 2-4% pasien yang mengonsumsi captopril mengalami

batuk. Zat yang menyebabkan terjadinya batuk ini dicurigai bradikinin atau

prostaglandin.

2. Obat diabetes mellitus

Salah satu obat yang sering diberikan pada penderita DM yaitu

golongan sulfonylurea, dimana efek samping golongan tersebut adalah

hipoglikemia akibat kerja yang meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pancreas. Namun hipoglikemia pada orang tua tidak mudah dikenali akibat tidak

adanya reflex simpatis. Namun pada umumnya, hipoglikemia cenderung

menyebabkan relaksasi otot-otot termasuk otot detrusor. Dan hal ini dapat

menyebabkan inkontinensia urin.

Referensi:

 Chai,T, Rickey, L. Conn’s Current Therapy: Urinary Incontinence.

Hal.1057-1060. Elsevier, Inc. 2018.

 Morandi, Anita, Maffeis, Claudio. Best Practice & Research: Clinical

Endocrinology & Metabolism: Urogenital complications of obesity.

Vol.27. Issue2. Elsevier. 2013

 Phelan, S., et.al. Clinical Research in Diabetes and Urinary Incontinence:

What We Know and Need to Know. 2009.

43
6. Jelaskan perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada usia lanjut yang

menyebabkan inkontinensia urin!

Jawaban:

Proses menua baik laki-laki maupun perempuan telah diketahui

mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada system

urogenital bagian bawah. Perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar

estrogen pada perempuan dan androgen pada laki-laki. Perubahan anatomic dan

fisiologik saluran saluran urogenital bagian bawah, dapat dilihat pada Tabel. 3

pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen

sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk

trabekulasi sampai divertikel.

Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submucosa, dan menipisnya

lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan

tekanan outflow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar

prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan

timbulna eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta

berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina.

Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic floor)

mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi

kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak factor baik

fisiologis maupun patologis ( trauma, operasi, denervasi neurologic). Perubahan

fisiologis akibat proses menua pada organ dasar panggul.

44
Tabel 2. Perubahan – perubahan Fisiologik Terkait Proses Menua pada

Saluran Kemih Bawah

Perubahan Morfologi

 Trabekulasi ↗

 Fibrosis ↗

 Saraf autonom ↘

 Pembentukan Divertikula

Kandung Kemih Perubahan Fisiologi

 Kapasitas ↘

 Kemampuan menahan kencing ↘

 Kontraksi involunter ↗

 Volume residu pasca berkemih ↗

Perubahan Morfologi

 Komponen selular ↘

 Deposit kolagen ↗

Uretra
Perubahan Fisiologi

 Tekanan penutupan ↘

 Tekanan akhiran ↘

45
Hiperplasi dan membesar
Prostat

Komponen selular ↘

Vagina Mukosa atrofi

Deposit kolagen ↗

Dasar Panggul Rasio jaringan ikat – otot ↗

Otot melemah

Referensi : Adi, P.R., 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 3

Jakarta : Interna Publishing, p.3776-3777.

Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada system urogenital

bawah mengakibatkan posisi kandung kemih keluar seperti pada gambar 1.

Dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan fisiologis system urogenital

bawah dapat dipahami bahwa usia lanjut merupakan factor contributor terjadinya

inkontinensia tipe stress,urgensi dan luapan (overflow).

a b

Gambar 1 Posisi kandung kemih pada 2 situasi yang berbeda. a= Normal ; b=

prolapse akibat lemahnya otot dasar panggul

46
Referensi :

Adi, P.R., 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 3 Jakarta : Interna

Publishing, p.3776-3777.

7. Bagaimana pencegahan terjadinya inkontinensia urin?

Jawaban:

Langkah utama untuk mencegah inkontinensia urine adalah menerapkan gaya

hidup sehat. Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara:

1. Menurunkan berat badan, jika Anda memiliki berat badan berlebih.

2. Mengonsumsi makanan tinggi serat, untuk mencegah sembelit.

3. Membatasi konsumsi minuman berkafein dan beralkohol.

4. Berhenti merokok.

5. Berolahraga secara rutin.

Referensi:

Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI (Ilmu

Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

8. Jelaskan perspektif islam berdasarkan scenario!

Jawaban:

ٍّ ُ ‫سانًا ِإ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِع ْندَكَ ْال ِكبَ َر أ َ َحد ُ ُه َما أ َ ْو ِكال ُه َما فَال تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬
‫ف‬ َ ْ‫ضى َربُّكَ أَال تَ ْعبُد ُوا ِإال ِإيَّاهُ َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإح‬
َ َ‫َوق‬

‫ار َح ْم ُه َما َك َما َربَّيَانِي‬ َّ َ‫ض لَ ُه َما َجنَا َح الذُّ ِل ِمن‬


ْ ‫الرحْ َم ِة َوقُ ْل َر ِبي‬ ْ ‫( َو‬23) ‫َوال تَ ْن َه ْر ُه َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْوال ك َِري ًما‬
ْ ‫اخ ِف‬

‫يرا‬
ً ‫ص ِغ‬
َ (24)

47
Terjemahannya : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu

dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya

sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sakali-kali janganlah kamu

mengatakan kepada keduanya perkatan "ah" dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."

(Q.S. Al Isra' : 23)

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan

ucapkanlah : "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka

berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Q.S. Al Isra' : 24)

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Kee L. J. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 6.

Jakarta: EGC. 2007.

2. Tallis RC.; Fillit HM. (eds): Brocklehurst’s textbook of geriatric medicine

and gerontology, ed 6, London, 2003, Churchill Livingstone.

3. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih

Hiperaktif. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna

Publishing; 2015:3774.

4. Azis A. Inkontinensia Urin. Makassar: Tumbuh Kembang dan Geriatri;

2018.

5. Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jilid III.Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm. 1335-1340.

6. Hapsari P. Hipertensi in Geriatric. Tumbuh Kembang dan Geriatri; 2018

7. PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes

Mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.

8. Puruhita, niken et all. 2015. Buku ajar boedhi-darmojo geriatri : gizi pada

lansia. Halaman 728-730

9. Carlos J Lozada. 2019. Osteoarthritis Treatment & Management.

medscape

10. Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology: 4. Strategies for the care of adults

with chronic kidney disease. CMAJ 2003;168:1553-60

49
11. Desky, BR. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Obesitas Lansia.

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan 2011

12. Januar Raya GA Mudamakin. Risiko hipotensi ortostatik pada pasien

geriatri dengan hipertensi. MEDICINA 2018, Volume 49. Jakarta,

Indonesia.

13. Katzung, Betram G.(2013).Farmakologi Dasar dan Klinik Ed.12 Vol.1,

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

14. Lauralee Sherwood. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta :

EGC. Hal 594-597

15. Desby Juananda DF. Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti Werdha

Provinsi Riau Urinary Incontinence among Institutionalized Elderly in

Riau Province Desby. J Kesehat Melayu [Internet]. 2017;1(1):20–3.

Available from: http://jkm.fk.unri.ac.id

16. Jayani LPD. Hubungan Kelebihan Berat Badan Dengan Inkontinensia

Urin Pada Wanita Di Wilayah Surakarta. 2010;210.

17. Rejeki andayani. 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi VI.

Internal Publishing.

18. Buku ajar Boedhi darmojo Geriatri (ilmu kesehatan Usia lanjut). 2015.

Edisi ke 5. Badan penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia.

19. Martono, H, hadi, dkk. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo : GERIATRI

(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

50
20. Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Inkontinensia urin. Dalam : Buku ajar

Geriatri kesehatan usia lanjut Ed. 5 Edit R. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

2015. Hal: 246-262

21. Hermie MM Tendean. Urinary Incontinence Detection In Post-Menopause

Age Using IIQ-7 And UDI-6. 2015. Bagian Obstetri dan Ginekologi,

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi / RSU Prof. Dr. R. D.

Kandou, Manado.

22. Chai,T, Rickey, L. Conn’s Current Therapy: Urinary Incontinence.

Hal.1057-1060. Elsevier, Inc. 2018.

23. Morandi, Anita, Maffeis, Claudio. Best Practice & Research: Clinical

Endocrinology & Metabolism: Urogenital complications of obesity.

Vol.27. Issue2. Elsevier. 2013

24. Phelan, S., et.al. Clinical Research in Diabetes and Urinary Incontinence:

What We Know and Need to Know. 2009.

25. Adi, P.R., 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 3 Jakarta :

Interna Publishing, p.3776-3777.

51
52

Anda mungkin juga menyukai