TINJAUAN PUSTAKA
1
2
ginjal, penyakit ginjal, atau proses penuaan yang normal akan terjadi penurunan
jumlah nefron secara bertahap.
Dibawah ini terdapat gambar tentang anatomi fisiologi ginjal
Gambar II.1
Anatomi Ginjal
(Sumber: Smeltzer, 2012:1365)
ginjal, penyakit ginjal, atau proses penuaan yang normal akan terjadi penurunan
jumlah nefron secara bertahap. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus terdiri dari sekumpulan kapiler glomerulus yang dilalui
sejumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah. Glomerulus tersusun dari suatu
jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan beranastomosis, yang
mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg) bila dibandingkan
dengan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel- sel epitel, dan
keseluruhan glomerulus dibungkus dalam kapsula bowman. Sedangkan tubulus
merupakan tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urin dalam perjalanannya
menuju pelvis ginjal. Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen
seperti yang digambarkan diatas, tetapi tetap terdapat beberapa perbedaan,
bergantung pada seberapa dalam letak nefron pada massa ginjal. Nefron yang
memiliki glomerulus dan terletak di korteks sisi luar disebut nefon kortikal;
nefron tersebut mempunyai ansa henle pendek yang hanya sedikit menembus ke
dalam medula. Kira-kira20-30% nefron mempunyai glomerulus yang terletak di
korteks renal sebelah dalam dekat medula, dan disebut nefron jukstamedular;
nefron ini mempunyai ansa henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke
medula.
1.1.2 Fisiologi
Pada manusia, ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital
yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh. Ginjal melakukan
fungsinya yang paling penting ini dengan cara menyaring plasma dan
memisahkan zat filtrat dengan kecepatan yang bervariasi, brgantung pada
kebutuhan tubuh. Kemudian zat- zat yang dibutuhkan oleh tubuh akan
dikembalikan ke dalam darah dan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan
dikeluarka melalui urine. Selain fungsi yang telah dijelaskan, ginjal juga
mempunyai fungsi multiple yang lainnya, diantaranya yaitu mengeksresikan
produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
pengaturan tekanan arteri, pengaturan keseimbangan asam-basa, sekresi,
metabolisme, dan eksresi hormon serta untuk proses glukoneogenesis.
4
besar yang mengalir menuju pelvis renal melalui papila renal. Dari pelvis renal,
urine akan terdorong ke kandung kemih melalui saluran ureter dan dikeluarkan
melalui uretra.
2.2 Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal
ginjal kronis. Akan tetapi, apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat
mengakibatkan gagal ginjal kronik bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan di luar
ginjal (Muttaqin dan Kumalasari,2012:166).
1) Penyakit dari ginjal :
(1) Penyakit pada saringan (glomerulus)
(2) Infeksi kuman; pyelonefritis, ureteritis
(3) Batu ginjal
(4) Trauma langsung pada ginjal
(5) Keganasan pada ginjal
(6) Sumbatan; batu, tumor, penyempitan atau striktur
2) Penyakit umum di luar ginjal :
(1) Penyakit sistemik; diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
(2) Dislipidemia
(3) SLE
(4) Infeksi di badan; TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis
(5) Pre eklamsi
(6) Obat-obatan
(7) Kehilangan banyak cairan yang
2.3 Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit.Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronis mungkin minimal karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi,
reabsorbsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut.
6
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak
dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reasorbsi protein.
Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukkan jaringan
parut dan penurunan aliran darah ginjal.Pelepasan renin dapat meningkat dan
bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi.Hipertensi
mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi (karena
tuntutan untuk reasorbsi) protein plasma dan menimbulkan stress
oksidatif.Kegagalan ginjal membentuk eritropoietin dalam jumlah yang adekuat
sering kali menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia berpengaruh buruk
pada kualitas hidup.Selain itu, anemia kronis dapat menyebabkan penurunan
oksigenasi jaringan di seluruh tubuh dan mengaktifkan refleks-refleks yang
ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna memperbaiki oksigenasi.
Refleks ini mencakup aktivasi susunan saraf simpatis dan peningkatan curah
jantung.Akhirnya, perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal
ginjal mengalami gagal jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi
satu faktor risiko yang terkait dengan penyakit jantung (Corwin, 2013:729).
Menurut (Muhammad, 2012:34), perjalanan umum gagal ginjal kronis dapat
dibagi menjadi 4 stadium, yaitu sebagai berikut.
2.3.1 Stadium I (Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40%– 75%)
Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik dan laju
filtrasi glomerulus 40-50% tetapi, sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi. Pada
tahap ini penderita ini belum merasakan gejala gejala dan pemeriksaan
laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin
serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan
memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau
dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2.1.2 Stadium II (Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20% – 50%))
Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal
daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat
7
dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan
pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila
langkah- langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita
masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet.Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal.
2.3.3 Stadium III (Gagal Ginjal (faal ginjal kurang dari 10%))
Pada tahap ini laju filtrasi glomerulus 10-20% normal, BUN dan kreatinin
serum meningkat. Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan
dimana tak dapat melakukan tugas sehari - hari sebagaimana mestinya. Gejala-
gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas,
pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan
akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Oleh karena itu, penderita
tidak dapat melakukan tugas sehari-hari.
2.3.4 Stadium IV (End Stage Meal Disease (ESRD)
Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur.
Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-
10 ml/menit atau kurang.Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh.
Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari
karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang
tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia
dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal
kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
8
9
2.3.6 Komplikasi
Menurut (Corwin, 2013:730), komplikasi dari penyakit gagal ginjal kronik
adalah sebagai berikut :
1. Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan
elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan uremia.
2. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia dan
uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang secara mencolok
merangsang kecepatan pernapasan.
3. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan
pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.
4. Penurunan pembentukan eriropoietin dapat menyebabkan sindrom anemia
kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit kardiovaskular, dan
penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
5. Dapat terjadi gagal jantung kongestif.
6. Tanpa pengobatan dapat terjadi kima dan kematian.
2.3.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut:
1) Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis diperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2) Koreksi hiperkalemia
12
menghiangkan limbah dan air dengan sirkulasi darah di luar tubuh melalui filter
eksternal disebut dialyzer, yang berisi membrane semipermiabel. Darah mengalir
dalam satu arah dan dialisat mengalir di seberang. Aliran kontra saat ini darah dan
dialisat memaksimalkan gradient konsentrasi zat terlarut (misalnya kalium, fosfor
dan urea) yang tidak diinginkan yang tingi dalam darah, tetapi rendah atau tidak
dalam larutan dialisis dan penggantian konstan dialisat memastikan bahwa
konsentrasi zat terlarut yang tidak diinginkan tetap rendah dalam sisi membrane.
Larutan dialisis memiliki kadar mineral seperti kalium dan kalsium yang mirip
dengan konsentrasi alami mereka dalam darah yang sehat. Untuk yang lain,
terlarut bikarbonat, tingkat dialisis solusi adalah ditetapkan pada tingkat sedikit
lebih tinggi daripada di darah normal, untuk mendorong difusi bikarbonat di
dalam darah, untuk bertindak sebagai buffer PH untuk menetralkan asidosis
metabolik yang hadir pada pasien ini. (Pendse, 2013).
Pada dialisis peritoneal limbah dan air dikeluarkan dari darah dalam tubuh
dengan menggunakan membran peritoneal dan perioneum sebagai membrane
semipermiabel alami. Limbah dan memindahkan kelebihan air dari darah,
melintasi membran peritoneal dan ke dalam larutan dialisis khusus, yang disebut
dialisat, di rongga perut yang memiliki komposisi mirip dengan cairan darah.
Hemodialisis berlangsung 2-4 jam, ssedang dialisis peritoneal berlangsung selama
36 jam (Mary Baradero, 2011)
2.4.6 Efek Samping Dan Komplikasi
Hemodialisis sering melibatkan pemindahan cairan (melalui ultrafiltrasi),
karena sebagian besar pasien dengan gagal ginjal buang air sedikit atau tidak ada.
Efek samping yang disebabkan oleh menghilangnya terlalu banyak cairan atau
menghapus cairan terlalu cepat, termasuk tekanan darah rendah, kelelahan, sakit
dada, kram kaki, mual, dan sakit kepala.
Sejak hemodialisis membutuhkan akses ke sistem peredaran darah, pasien
yang menjalani hemodialisis dapat mengekspor sistem peredaran darah mereka
untuk mikroba yang dapat menyebabkan sepsis, infeksi yang mempengaruhi katup
jantung (endokarditis) atau infeksi yang mempengaruhi tulang (osteomyelitis).
Heparin adalah anti koagulan yang paling umum digunakan dalam
hemodialisis, karena umumnya diltoleransi dengan baik dan dapat secara cepat
15
eksternal dipisahkan dan dibuat hubungan dengan alat dialisis. Darah kemudian
dialirkan dari ujung arteri, melalui alat dialisis dan kembali ke vena. (Price, 2014)
Kateter vena femoralis dan subklavia sering dipakai pada kasus gagal ginjal
akut bila diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses vaskular lain
tidak dapat berfungsi sementara waktu pada penderita dialisis kronik. (Price,
2011).
Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis. Kateter shaldon adalah kateter
berlumen tunggal yang mmerlukan akses kedua. Jika digunakan dua kateter
shaldon, maka dapat dipasang secara bilateral. Tipe kateter yang lebih baru
memiliki lumen ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat dialisis
dan satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh penderita. Komplikasi yang
terjadi pada kateter vena femorallis adalah laserasi arteria femoralis, perdarahan,
trombosis, emboli, hematoma, dan infeksi. (Price, 2011).
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai karena pemasangannya
mudah dan komplikasinya lebih sedikit dibandingkan kateter vena femoralis.
Kateter vena subklavia dapat digunakan sampai 4 minggu, tetapi kateter vena
femoralis biasanya dibuang setelah pemakaiann 1-2 hari setelah pemasangan.
Komplikasi yabngg disebabkan oleh katerisasi vena subklavia serupa dengan
yang terdapat pada toraks, robeknya arteria subklavia, perdarahan, thrombosis,
embolus, hematoma, dan infeksi. (Price, 2011).
2.4.9 Akses Vaskular Internal (permanen)
Fistula AV diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia (2013) sebagai respon
terhadap banyaknya komplikasi yang ditimbulkan pirau Av. Fistula AV dibuat
melalui anatomosis arteri secara langsung ke vena.(biasanya arteria radialis dan
vena sefalika pergelangan tangan) pada lengan yang tidak dominan. Hubungan
dengan sistem dialisis dibuat dengan menempatkan satu jarum distal (garis arteri)
dan sebuah jarum lain diproksimal (garis vena) pada ven ayangg sudah
diarterialisasi tersebut. Umur rata-rata fistula AV adalah 4 tahun dan
komplikasinya lebih sedikit dibandingkan denga pirau AV. Masalah yang paling
utama adalah rasa nyeri pada pungsi vena, terbentuknya aneurisma, thrombosis,
kesulitan hemotasis pascadialisis, dan iskemia pada tangan (steal syndrome).
(Price, 2011).
17
Pada beberapa kasus, pembuatan fistula pada pembuluh darah pasien sendiri
tidak dimungkinkan akibat adanya penyakit, kerusakan akibat prosedur
sebelumnya, atau ukuran kecil. Pada keadaan demikian, maka suatu tandur AV
dapat dianastomosiskan antara sebuah arteri dan vena, dimana tandur ini bekerja
sebagai saluran bagi aliran darah dan tempat penusukan selama dialisis. Tandur
akan membuat tonjolan dibawah kulit dan nampaknya seperti vena yang
menonjol. Tandur AV adalah sebuah tabung prustetik yang dibuat dari bahan
biologis atau bahan sintetik. Komplikasi tandur AV akan sama dengan fistula AV
yaitu thrombosis, infeksi, aneurisma, dan iskemia tangan yang disebabkan oleh
pirau darah melalui prostesis dan jauh dari sirkulasi distal (steal syndrome).
(Price, 2011)
2.4.10 Jenis Hemodialisis
Ada tiga jenis hemodialisis :
1. Hemodialisis konvensional.
Hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali seminggu, selama sekitar 3-4 jam
untuk setiap perlakuan dimana darah pasien diambil, keluar melalui tabung
dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Tabung terhubung ke jarum dimasukkan
ke dalam fistula dialisis atau cangkok. Darah kemudiann dipompa kembali ke
dalam aliran darah pasien melalui tabung lain. Skema prosedur tekanan darah
pasien dimonitor, dan jika itu menjadi rendah atau pasien mengembangkan
tanda-tanda lain dari volume darah seperti mual, petugas dialisis dapat
mengelola cairan ekstra melalui mesin. Selama perawatan seluruh volume
darah pasien (sekitar 5000cc) bersirkulasi melalui mesin setiap 15 menit.
2. Hemodialisis harian.
Hemodialisis harian biasanya digunakan oleh pasien yang melakukan
pencucian darah sendiri di rumah. Hal ini lebih lembut ttetapi meembutuhkan
akses lenih sering. Hemodialisis harian biasanya dilakukan selama 2 jam,
enam hari seminggu.
3. Hemodialisis nocturnal.
Prosedur dialisis ini mirip dengan hemodialisis konvnsional, kecuali dilakukan
enam malan dalam seminggu dan 6-10 jam per sesi saat tidur. (TOH, 2008)
18
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
24
21
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau
mulut amonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
6) B6 (Bone)
Didapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi, demam (sepsis,
dehidrasi), petekie, fraktur tulang, jaringan lunak, dan sendi keterbatasan gerak
sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisiksecara umum sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari jaringan.
Intervensi:
1) Kaji adanya edema ekstremitas
Rasional: Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan.
2) Istirahatkan/anjurkan klien untuk tirah baring pada saat edema masih
terjadi.
Rasional: Menjaga klien dalam keadaan tirah baring selama
beberapa hari mungkin diperlukan untuk meningkatkan
dieresis yang bertujuan mengurangi edema.
3) Kaji tekanan darah.
Rasional: Sebagai ssalah satu cara untuk mengetahui peningkatan
jumlah cairan yang dapat diketahui dengan
meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui
dari meningkatnya tekanan darah.
4) Ukur intake dan output.
Rasional: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan
perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine
output.
5) Timbang berat badan.
Rasional: Perubahan tiba-tiba dari berat badan menunjukkan
gangguan keseimbangan cairan.
6) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai
dengan indikasi.
Rasional: Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard
untuk melawan efek hipoksia/iskemia
7) Kolaborasi :
(1) Berikan diet tanpa garam.
Rasional: Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan
volume plasma.
(2) Berikan diet rendah protein tinggi kalori.
Rasional: Diet rendah protein untuk menurunkan insufisiensi
renal dan retensi nitrogen yang akan meningkatkan
28
2.5.8 Dokumentasi
Dokumentasi dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan
yang dikerjakan oleh perawat setelah memberI asuhan keperawatan kepada klien.
Dokumentasi keperawatan mempunyai porsi yang besar dari catatan klinis klien
yang menginformasikan factor tertentu atau situasi yang terjadi selama asuhan
dilaksanakan. Dokumentasi dapat pula dijadikan sebagai wahana komunikasi dan
koordinasi antar profesi (interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk
mengungkap suatu fakta actual untuk dipertanggungjawabkan (Setiadi,2012: 203).
Dokumentasi keperawatan bertujuan untuk (Zaidin,2003:78) menghindari
kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan informasi dalam asuhan
keperawatan, terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama perawat
atau pihak lain melalui komunikasi tulisan, meningkatkan efisiensi dan efektifitas
tenaga keperawatan, terjaminnya kualitas asuhan keperawatan, perawat mendapat
perlindungan secara hukum, memberikan data bagi penelitian.