TESIS
TESIS
Oleh :
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalty Non
Ekslusif Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia Medan
berhak menyimpan, Mengalih media format, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (database), merawat dan mempublikasi tesis saya tanpa meminta ijin dari
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis, pencipta dan sebagai
pemilik hak cipta.
Di buat di : Medan
Pada Tanggal, Oktober 2019
Yang Menyatakan
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
anugerah-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul “Faktor Yang Memengaruhi Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru Dalam
Mengonsumsi Obat Anti Tuberkulosis Di Puskesmas Polonia Medan Tahun
2019”.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M) pada Program Studi
S2 Kesehatan Masyarakat, Institut Kesehatan Helvetia. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak,
baik dukungan moril, materil dan sumbangan pemikiran. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc., M.Kes., selaku Penasehat Yayasan
Helvetia.
2. Iman Muhammad, S.E., S.Kom.,M.M., M.Kes., selaku ketua Yayasan
Helvetia.
3. Dr. H. Ismail Effendy, M.Si., selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia.
4. Dr. dr. Hj. Arifah Devi Fitriani, M.Kes, selaku Wakil Rektor Bidang
Akademik dan Kemahasiswaan Institut Kesehatan Helvetia.
5. Teguh Suharto, S.E., M.Kes., selaku wakil Rektor II Institut Kesehatan
Helvetia
6. Dr. Asriwati, S.Kep., Ns., S.Pd., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan Institut Kesehatan Helvetia, sekaligus pembimbing II yang telah
memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
7. Dr. Anto, SKM., M.Kes., MM, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia, sekaligus Penguji II
yang telah meluangkan waktu dan memberikan pemikiran dalam
membimbing penulis selama penyusunan tesis ini.
8. Dr. Asyiah Simanjorang, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Pembimbing I yang
telah meluangkan waktu dan memberikan pemikiran dalam membimbing
penulis selama penyusunan tesis ini.
9. Dr. Mappeaty Nyorong, M.P.H. selaku Penguji I yang telah meluangkan
waktu dan memberikan pemikiran dalam membimbing penulisan selama
penyusunan tesis ini.
10. Seluruh Dosen Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat yang telah
mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
11. Teristimewa Ayahanda Sutrisno, S.Pd.I. M.Pd dan Ibunda Suprapti, SKM,
M.Kes yang selalu memberikan dukungan baik moril dan materil serta
mendoakan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
kerena itu, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Sekian
dan Terima Kasih.
I. IDENTITAS
Nama : Poppy Indah Tristiyana
Tempat/Tanggal Lahir : Lampung tanggal 27 Maret 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak Ke : Anak ke- 2 (dua) dari dua bersaudara
Alamat : Jl. Karya Kasih (Villa Karya Kasi ) No 1D
Medan.
II. IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Sutrisno, S.Pd.I. M.Pd
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Suprapti, SKM
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Purworejo RT 005, RW 002, Kecamatan
Kotagajah, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi
Lampung.
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun 2003-2004 : TK Pertiwi Kotagajah Lampung Tengah
Tahun 2004-2009 : SD 02 Kotagajah Lampung Tengah
Tahun 2009-2011 : SMP Negeri 02 Kotagajah Lampung Tengah,
Tahun 2011-2013 : SMA Negeri 01 Kotagajah
Tahun 2013-2017 : S1 Kedokteran Universitas Islam Sumatera
Utara
Tahun 2017- 2019 : Institut Kesehatan Helvetia Medan S2
Kesehatan Masyarak
ABSTRAK
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Efek Samping Obat Tuberkulosis .................................................................21
3.1 Hasil Uji Validitas Pengetahuan ...................................................................42
3.2 Hasil Uji Validitas Sikap ...............................................................................43
3.3 Hasil Uji Validitas Persepsi .........................................................................43
3.4 Hasil Uji Validitas Dukungan Keluarga .......................................................44
3.5 Hasil Uji Validitas Pengawas Minum Obat ..................................................44
3.6 Hasil Uji Rehabilitas .....................................................................................45
3.7 Aspek Pengukuran ........................................................................................46
4.1 Distribusi Karakteristik Responden ..............................................................52
4.2 Distribusi Pengetahuan Pasien Dalam Mengonsumsi Obat TB ...................54
4.3 Distribusi Sikap Pasien Dalam Mengonsumsi Obat TB ..............................54
4.4 Distribusi Persepsi Pasien DalamMengonsumsi Obat TB ..........................55
4.5 Distribusi Dukungan Keluarga Dalam Mengonsumsi Obat TB ..................55
4.6 Distribusi Pengawas Minum Obat Dalam Mengonsumsi Obat TB .............56
4.7 Distribusi Kepatuhan Mengonsumsi obat TB ..............................................56
4.8 Pengaruh Pengetahuan Pasien Dalam Mengonsumsi Obat TB ...................57
4.9 Pengaruh Sikap Pasien Dalam Mengonsumsi Obat TB ...............................58
4.10 Pengaruh Persepsi Pasien Dalam Mengonsumsi Obat TB .........................59
4.11 Pengaruh Dukungan Keluarga Dalam Mengonsumsi Obat TB .................59
4.12 Pengaruh Pengawasan Minum Obat Dalam Mengosumsi Obat TB ...........60
4.13 Seleksi Variabel yang Menjadi Kandidat Model dalan Uji Regresi Logistik
Berdasrkan Analisa Bivariat ...............................................................................61
4.14 Hasil Tahapan Pertama Analisis Regresi Logistik ......................................62
4.15 Hasil Tahapan Akhir Analisis Regresi Logistik..........................................62
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Lampiran Halaman
PENDAHULUAN
yang dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak
global kasus baru tuberkulosis sebanyak 10,4 juta kasus, setara dengan 120 kasus
per 100.000 penduduk. 5 negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
sebanyak 420.994 kasus dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun 2016
sebanyak 360.565 kasus dan 2015 330.910 kasus. Menurut jenis kelamin, jumlah
kasus pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 1,4 kali dibandingkan
3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan, hal initerjadi karena laki-laki
lebih banyak terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan
tertinggi menderita TBC per 100.000 penduduk yaitu Sulawesi Utara (238), Papua
Barat (235), DKI jakarta (222), dan Provinsi yang terendah menderita TBC per
100.000 penduduk yaitu, Bali (70), Yogyakarta (73), Riau (92). Sedangkan
Sumatera Utara menempati urutan ke enam nasional dengan jumlah TB Paru 165
tahun 2008 sampai dengan tahun 2017 cenderung mengalami penurunan. Pada
tahun 2008 sebanyak 89,5%, pada tahun 2009 sebanyak 89,2%, pada tahun 2010
sebanyak 88,1%, 2011 sebanyak 88,0%, 2012 sebanyak 84,9%, 2013 sebanyak
87,0%, 2014 sebanyak 85,1%, 2015 sebanyak 85,8%, 2016 sebanyak 85,0%, dan
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Diskes) Kota Medan tahun 2016
ditemukan jumlah kasus baru BTA + sebanyak 2.829 kasus, bila dibandingkan
dengan kasus baru BTA + yang ditemukan pada tahun 2015 sebanyak 3.111 kasus
dan tahun 2014 sebanyak 3.047 kasus, jumlah kasus Tersebut mengalami
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Diskes) Kota Medan tahun 2017,
TB berjumlah 5.386 jiwa, TB Paru BTA Positif sebanyak 2.966 kasus, adapun
BTA positif yang diobati sebanyak 2.966 kasus. Tahun 2012 TB berjumlah 5.936
jiwa, TB Paru BTA Positif sebanyak 2.286 jiwa, adapun BTA Positif yang diobati
selama 6 sampai 8 bulan yang di awasi, persediaan obat TB paru yang rutin dan
tidak terputus, dan sisitem laporan untuk evaluasi perkembangan pengobatan dan
program (7).
tidak dilakukan secara teratur, tidak sesuai dengan waktu pengobatan, dan
resistensi terhadap OAT atau yang disebut dengan Multi Drugs Resistence
dan motivasi minum obat yang rendah.), pendidikan, dan, dukungan keluarga.
pengobatan sering terjadi dan menjadi penyebab tersering gagalnya terapi inisial
tentang seberapa serius kondisi dan gejala penyakit yang diderita dan dampak
pengobatan dalam jangka waktu yang lama dan penderita TB memiliki keyakinan
menyataan bahwa tidak perlu minum obat berkali-kali, karena dengan minum 1
minum obat bahwa masih kurangnya pengetahuan dan buruknya persepsi pasien
adalah: faktor apa sajakah yang memengaruhi perilaku penderita TB Paru dalam
1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 TujuanUmum
2019.
lebih dalam.
2. Bagi Akademik
Dapat dijadikan sebagai referensi dan perbandingan bagi peneliti lain, yang
1. Bagi Penderita
paru.
paru serta dapat dijadikan dasar dalam melakukan penelitian di masa yang
akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
nilai p (0,002) < α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p < 0,05 maka dapat disimpulkan
ada pengaruh yang signifikan antara sikap mendukung pengawas menelan obat
terhadap kepatuhan minum obat). Kemudian hasil analisis diperoleh pula nilai 0R
value 1,000) dan motivasi (p value 0,037). Dengan nilai tersebut dapat
disimpulkan bahwa ketidakpatuhan memiliki hubungan yang signifikan dengan
bahwa pada hasil penelitainnya terdapat pengaruh yang kuat antara jarak tempat
tinggal pasien hingga tempat pengobatan dengan nilai p=0,097, status gizi p=1,00
Jember pada tahun 2017 didapatkan hasil adanya hubungan antara efikasi
2.2.1 Kepatuhan
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain.
menunjukkan perilaku pasien dalam mentaati atau mengikuti prosedur atau saran
dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2
bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih dari 2 bulan
menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih lama keluhan akan segera
waktu pengobatan.
4. Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya yang
harus dikeluarkan.
5. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa
teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur
(defaulting), penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus
sekali.
disarankan oleh orang yang berwenang, disini adalah dokter, perawat, dan petugas
2.2.1.2 Ketidakpatuhan
pengobatan selesai.
Faktor internal;
a. Pengetahuan,
d. Ciri-ciri individual,
e. Sikap
f. Demografi
Faktor eksternal :
b. Dukungan sosial
obat lebih sedikit dari dosis, minum obat lebih banyak dari dosis, tidak mengamati
interval dosis yang benar, tidak mengamati waktu pengobatan yang benar,
tidak mengikuti aturan, berhenti melakukan latihan rehabilitasi terhadap diet dan
jumlah yang salah dan waktu yang salah, tidak melanjutkan minum obat sampai
2.2.2 Tuberkulosis
menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh.
Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang
asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini
sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet, selnya terdiri
dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat
pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (basil tahan asam) (18).
pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tb ini terjadi
dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi
limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru,
menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Faktor- faktor yang
2. Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
Penyakit tuberkulosis paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut
4. Jenis Kelamin
Penyakit tuberkulosis paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat tuberkulosis paru, dapat
disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang
kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Setiap kali penderita tuberkulosis paru batuk maka akan
Droplet yang mengandung kuman tuberkulosis akan bertahan di udara pada suhu
kamar selama 1-2 jam tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi dan
kelembapan. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat bertahan berhari-hari
dalam saluran pernapasan dan menempel pada jalan nafas atau paru-paru.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
tidak semuanya keluar, bakteri yang tinggal justru menempel dan berkembang
pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus ghon. Dari sarang primer
akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8
kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada
penyakit paru selain tuberkulosis, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan)
paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis langsung (21).
sputum merupakan hal yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberkulosis sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan
dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah
apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
produktivitas.
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi penularan.
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien tuberkulosis BTA
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent
1. Kategori I:
2. Kategori II:
Kasus: Kambuh
1RHZE/5RHE
3. Kategori III:
4. Kategori IV:
Kasus: Kronik
Pengobatan: RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) +
1. Promotif
2. Preventif
3. Edukasi
ajukan terlebih dahulu pertanyaan untuk menjajaki pengetahuan mereka saat ini
tentang tuberkulosis. Lalu gunakan alat bantu yang tersedia seperti lembar balik
a. Penyakit tuberkulosis
Ulangi pesan yang telah disampaikan pada saat pasien datang sebagai suspek
secara tuntas bila ia menjalankan pengobatan dengan teratur dan tidak putus
boleh terputus. Putus berobat akan menyebabkan kuman yang masih tersisa
dalam tubuh menjadi kebal terhadap obat yang saat ini tersedia di Indonesia dan
pengobatan tersebut mahal harganya. Obat yang saat ini diberikan sangat
pasien. Jelaskan bahwa pasien menelan seluruh obat dengan diawasi oleh
menelan seluruh obat secara benar, teratur dan sesuai waktu yang ditentukan.
c) Kualitas obat
diperiksa kembali. Pasien perlu tahu secara jelas apa yang mungkin terjadi selama
b) Membuka jendela dan pintu agar udara dan sinar matahari masuk. Aliran
informasi yang tepat tentang tuberkulosis pada setiap kunjungan. Selama masa
d. Pasien harus menelan seluruh obat yang dianjurkan pada waktu yang telah
sampai selesai.
diatur lagi.
2.2.2.8 Komplikasi
lanjut.
gagal napas dewasa, sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.
ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya (23)
tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup. Faktor yang dapat mempengarui
proses pembentukan dan perubahan prilaku adalah faktor yang berasal dari diri,
antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi dan belajar. Prilaku
rangsangan ke respon yang dihasilkan dilaukan oleh unit dasar dari SSP yaitu
yang terjadi dalam perilaku seseorang dapat dilihat melalui persepsi. Persepsi ini
sebagainya (24).
kerangka kerja. Dan teori yang lain untuk menjelaskan penyebab perilaku
secara individu adalah Theory of Planned Behavior (TPB) dan Health Belief
intervensi (8). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
fase ini dicari faktor kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup yang
dapat digambarkan secara rinci berdasarkan data yang ada baik berasal
dari data lokal, regional maupun nasional. Pada fase ini diidentifikasi
siapa atau kelompok mana yang terkena masalah kesehatan (umur, jenis
mengembangkan program
sebagainya.
g. Fase ketujuh: fokus pada evaluasi yang diarahkan pada evaluasi proses,
dampak
h. Fase kedelapan: evaluasi yang dilakukan terhadap hasil intervensi pada fase
sebelumnya (26).
Faktor-faktor yang mendasari minat yaitu faktor dorongan dari dalam, faktor
dorongan yang bersifat sosial dan faktor yang berhubungan dengan emosional.
Faktor dari dalam dapat berupa kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani dan
kejiwaan. Timbulnya minat dari diri seseorang juga dapat didorong oleh adanya
Oleh karena itu minat merupakan aspek psikis yang dimiliki seseorang yang
menimbulkan rasa suka atau tertarik terhadap sesuatu dan mampu mempengaruhi
tindakan orang tersebut. Minat mempunyai hubungan yang erat dengan dorongan
atau terlibat pada suatu yang diminatinya. Seseorang yang berminat pada suatu
obyek maka akan cenderung merasa senang bila berkecimpung di dalam obyek
obyek. Perhatian yang diberikan tersebut dapat diwujudkan dengan rasa ingin tahu
suatu prilaku, faktor ini terdiri dari pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sikap.
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
b. Keyakinan
Keyakinan adalah pendirian bahwa suatu fenomena atau objek benar atau
perilaku.
c. Nilai
merupakan satu dari dilema dan tantangan penting bagi para penyelenggara
pendidikan kesehatan.
d. Sikap
menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi
terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat,
di dalamnya adalah :
a. Sarana
b. Prasarana
pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka semua
kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan
1. Dana merupakan bentuk yang paling mudah yang dapat digunakan untuk
menyatakan nilai ekonomi dan karena dana atau uang dapat dengan
2. Transprotasi
a. Dukungan keluarga
Menurut Johnson’s Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah yang sama atau tidak, yang terlibat dalam kehidupan yang terus
menerus, yang tinggal dala satu atap, yang mempunyai ikatan emosional dan
mempunyai kewajiban antara satu orang dengan orang yang lainnya.Keluarga dapat
menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan keputusan
b. Tokoh masyarakat
Orang yang dianggap serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar
c. Tokoh agama
dianggap oleh para tokoh agama menjadi perhatian untuk diselesaikan dan
d. Petugas kesehatan
incividu secara kgnitif menunjukan prilaku sehat maupun usaha untuk mencapai
sehat atau sembuh dari suatu penyakit, model ini didasari oleh keyakinan atau
bisa membuta diri individu tersebut sehat ataupun sembuh. Health belief model
a. Perceived Susceptibility
b. Perceivedseverity
kondisi dan gejala tehadap suatu penyakit yang dimiliki individu dan dampak
c. Perceived benefits
d. Perceived Barries
merepotkan.
e. Cues To Action
direkomendasikan.
f. Self-efficacy
Faktor Pendukung :
Dukungan keluarga
Tokoh masyarakat
Tokoh agama
Petugas Kesehatan
Gambar 2.1 Kerangka Teori Modifikasi
Green (26) dan Glanz et al (25).
1. Pengetahuan
2. Sikap Kepatuhan dalam
3. Persepsi Mengonsumsi Obat
4. Dukungan keluarga
5. Pengawasan Minum Obat
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
2.4 Hipotesis Penelitian
7. Ada pengaruh pengetahuan pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas
8. Ada pengaruh sikap pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia
9. Ada pengaruh persepsi pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas
10. Ada pengaruh dukungan keluarga dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas
11. Ada pengaruh pengawasan minum obat pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
12. Ada variabel yang paling berpengaruh dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
METODE PENELITIAN
3.1. JenisPenelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan
rancangan cross sectional study yang bertujuan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi
perilaku penderita TB Paru dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia
Medan.
penelitian adalah karena belum pernah dilakukan penelitian sejenis serta berdasarkan hasil survei
awal terlihat bahwa masih terdapat ketidakpatuhan penderita tuberkulosis Paru dalam
Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan Oktober sampai dengan November 2019.
3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh pasien Tuberkulosis Paru kategori I yang berkunjung
di Puskesmas Polonia Medan dari bulan Oktober- November tahun 2019 dengan rata-rata pasien
sebanyak 48 orang .
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan rumus total sampling, dengan
alasan bahwa jumlah populasi kurang dari 100. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu
seluruh pasien Tuberkulosis Paru kategori I yang berkunjung di Puskesmas Polonia Medan dari
1) Data primer yang akan dilakukan diperoleh dari hasil observasi dengan cara pengamatan
3) Data tersier yang diperoleh dari catatan atau dokumen-dokumen dan dari berbagai
referensi yang benar-benar valid yang berhubungan dengan penelitian seperti jurnal.
1. Data primer diperoleh dari hasil observasi dengan cara pengamatan dan pencatatan
secara langsung mengenai dampak akreditasi serta melakukan perbandingan data dengan
tentang tujuan dari penelitian serta acara pengisian kuesioner dan dinyatakan pada
2. Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi berupa data deskriptif yaitu data yang
3. Data tersier diperoleh melalui studi kepustakaan, seperti jurnal, buku –buku teks.
3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas
Sebelum instrument penelitian diberikan pada responden yang akan diteliti, maka
instrument diuji terlebih dahulu dengan melakukan uji validitas dan reliabilitas.
1. Uji Validitas
Untuk penelitian ini validitas merupakan suatu ukuran yang dilakukan untuk menentukan
derajat ketepatan dari instrumen penelitian berbentuk kuesioner. Untuk mengetahui apakah
kuesioner dapat mengukur apa yang hendak diukur (valid). Uji Validitas bertujuan untuk
mengetahui suatu ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu
alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel dan item. Sebuah tes dikatakan memiliki
validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes
tersebut dengan kriterium. Teknik yang digunakan untuk mengetahui kesejajaran adalah tehnik
korelasi product moment. Besarnya r hitung pada r tabel dengan batas signifikan 5%.
Pada penelitian ini instrument penelitian yang digunakan sebanyak 50 butir soal, dan uji
validitas akan dilakukan di Puskesmas Sentosa Baru. Kuesioner yang telah disusun terlebih
dahulu akan dilakukan ujicoba untuk mengetahui validitas dan reabilitas alat ukur.
variabel pengetahuan dinyatakan valid karena mempunyai nilai Correct Item Total Correlation
lebih besar dibandingkan r tabel atau semua butir soal mempunyai nilai > 0,444
Berdasarkan tabel 3.3 hasil uji validitas menunjukkan bahwa terdapat 10 butir soal
variabel sikap dinyatakan valid karena mempunyai nilai Correct Item Total Correlation lebih
besar dibandingkan r tabel atau semua butir soal mempunyai nilai > 0,444.
Berdasarkan tabel 3.4 hasil uji validitas menunjukkan bahwa terdapat 10 butir soal
variabel persepsi dinyatakan valid karena mempunyai nilai Correct Item Total Correlation
lebih besar dibandingkan r tabel atau semua butir soal mempunyai nilai > 0,444.
Berdasarkan tabel 3.5 hasil uji validitas menunjukkan bahwa terdapat 10 butir soal
variabel pengaruh dukungan keluarga dinyatakan valid karena mempunyai nilai Correct Item
Total Correlation lebih besar dibandingkan r tabel atau semua butir soal mempunyai nilai >
0,444.
variabel pengawasan minum obat dinyatakan valid karena mempunyai nilai Correct Item Total
Correlation lebih besar dibandingkan r tabel atau semua butir soal mempunyai nilai > 0,444.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas data berhubungan dengan masalah kepercayaan. Suatu tes dapat dikatakan
mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.
Untuk mengetahui taraf kepercayaan pada kuesioner dalam penelitian ini, maka peneliti
kuesioner dari satu kali pengukuran. Hasil uji reabilitas menggunakan Cronbach α dinyatakan
reliabel jka memiliki nilai > 0,600. Penelitian ini menggunakan butir soal sebanyak 50 butir soal,
Berdasarkan tabel 3.8 di atas menunjukkan bahwa seluruh butir soal dinyatakan reliabel.
Minum Obat.
2. Sikap yaitu pendapat atau penilaian responden terhadap hal terkait dengan kesehatan dalam
mengonsumsi obat
3. Persepsi yaitu hasil tahu seseorang yang berkaitan dengan konsumsi obat
4. Dukungan Keluarga yaitu Kerabat memberi dorngan kepada pasien selama menjalani pengobatan
baik
5. Pemberian Minum Obat yaitu orang yang bertugas mengawasi secara langsung penderita
Jenis
Nama Jumlah Cara dan alat Skala
No Value Skala
Variabel Pernyataan ukur Pengukuran
Ukur
Variabel Independen
1. Pengetahuan 10 Kuisioner Skor 6-10 a. Baik (2) Ordinal
(skor min=1, Skor 1-5 b. Kurang (1)
skor max=10)
2. Sikap 10 Kuisioner Skor 6-10 a. Positif (2) Ordinal
(skor min=1, Skor 1-5 b. Negatif (1)
skor max=10)
3. Persepsi 10 Kuisioner Skor 6-10 a. Positif (2) Ordinal
(skor min=1, Skor 1-5 b. Negatif (1)
skor max=10)
4 Dukungan 10 Kuisioner Skor 6-10 a. Positif (2) Ordinal
Keluarga (skor min=1, Skor 1-5 b. Negatif (1)
skor max=10)
5. Pengawasan 10 Kuisioner Skor 6-10 a. Aktif (2) Ordinal
Minum Obat (skor min=1, Skor 1-5 b. Tidak
skor max=10) Aktif(1)
Variabel Dependen
1. Kepatuhan 1 Kuisioner Skor 1 a. Patuh (2) Ordinal
Minum Obat (skor min=1, Skor 0 b. Tidak Patuh
skor max=0) (1)
3.6 Metode Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analisis data kembali dengan memeriksa semua
lembar checklist apakah jawaban sudah lengkap dan benar. Menurut Iman (28), data yang
1) Collecting
2) Checking
Dilakukan dengan memeriksa kelengkapan pengisian lembar checklist dengan tujuan agar
data diolah secara benar sehingga pengolahan data memberikan hasil yang valid dan
3) Coding
Pada langkah ini penulis melakukan pemberian kode pada variable-variabel yang diteliti,
4) Entering
Data entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang masih dalam bentuk
kode dimasukkan ke dalam program komputer yang digunakan peneliti yaitu SPSS.
5) Data Processing
Semua data yang telah diinput ke dalam aplikasi komputer akan diolah sesuai dengan
kebutuhan. Setelah dilakukan pengolahan data seperti yang telah diuraikan di atas, langkah
Adapun jenis-jenis dalam menganalisis data adalah pada penelitian ini sebagai berikut: (28)
1. Analisis Univariat
Analisis univariat menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel bebas
2. Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat pengaruh antara variabel dependen dengan variabel
independen. Uji yang digunakan pada analisis bivariat ini adalah uji chi square dengan
menggunakan derajat kepercayaan 95%. Uji chi square dapat digunakan untuk melihat
pengaruh. Dalam uji ini kemaknaan pengaruh dapat diketahui, pada dasarnya uji chi square
digunakan untuk melihat antara frekuensi yang diamati (observed) dengan frekuensi yang
3 Analisis Multivariat
Analisis ini digunakan untuk melihat faktor yang paling berpengaruh. Pada penelitian ini
untuk variabel independen terdapat lima variabel yang berjenis numeric/kontiniu, sedangkan
variabel dependennya berjenis kategorik. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis multivariat
yang tepat untuk menganalisa data tersebut adalah menggunakan uji regresi logistic (28).
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Puskesmas Polonia berdiri pada tanggal 1 Mei 1980, terletak di Kecamatan Medan Polonia
tepatnya di Jl Polonia Gang A Kelurahan Medan Polonia. Jarak Puskesmas dengan Dinas
Kesehatan Kota Medan Tingkat II berkisar 4,5 km, sehingga letak Puskesmas Polonia dengan
mudah dapat dicapai dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat.
1. Kelurahan Polonia
2. Kelurahan Anggrung
Pada penelitian ini analisis data univariat dilakukan untuk mendistribusikan faktor yang
Distribusi karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi : umur, jenis kelamin,
dan pekerjaan di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019. dapat dilihat pada gambar tabel di
bawah ini:
responden berumur 36-45 tahun yaitu sebanyak 24 (50,00%) responden, sedangkan responden
lainnya berumur 21-25 tahun yaitu sebanyak 3 (6,25%) responden, umur 26-35 tahun sebanyak 11
Dari 48 responden diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis laki-laki sebanyak
yaitu sebanyak 21 (43,75%) responden, tamatan SD sebanyak 2 (4,17%) tamatan SMP sebanyak 7
Dari 48 responden diketahui bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai buruh
yaitu sebanyak 23 (47,92%) responden, bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 15 (31,25%) dan
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019. dapat dilihat pada gambar tabel di bawah ini:
Tabel 4.2 Distribusi Pengetahuan Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019
Pengetahuan n %
Kurang 25 52,08
Baik 23 47,92
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, diketahui bahwa dari 48 responden, sebagian besar
4.2.1.3 Distribusi Sikap Pasien dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di Puskesmas
Polonia Medan Tahun 2019
Adapun distribusi responden sikap pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019 dapat dilihat pada gambar tabel di bawah ini:
Tabel 4.3 Distribusi Sikap Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Sikap n %
Negatif 29 60,42
Positif 19 39,58
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, diketahui bahwa dari 48 responden, sebagian besar
responden memiliki sikap negatif yaitu sebanyak 29 (60,42%) responden, sedangkan responden
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019 dapat dilihat pada gambar tabel di bawah ini:
Tabel 4.4 Distribusi Persepsi Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Persepsi n %
Negatif 29 60,42
Positif 19 39,78
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, diketahui bahwa dari 48 responden, sebagian besar
4.2.1.5 Distribusi Dukungan Keluarga Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis
di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Adapun distribusi dukungan keluarga pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis
di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019 dapat dilihat pada gambar tabel di bawah ini:
Tabel 4.5 Distribusi Dukungan Keluarga Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Dukungan Keluarga n %
Negatif 31 64,58
Positif 17 47,42
Total 48 100
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, diketahui bahwa dari 48 responden, sebagian besar
sedangkan responden lainnya mendapat dukungan keluarga positif yaitu sebanyak 17 (47,42%)
responden.
4.2.1.6 Distribusi Pengawasan Minum Obat Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Adapun distribusi pengawasan minum obat pasien dalam mengonsumsi obat anti
tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019 dapat dilihat pada gambar tabel di bawah
ini:
Tabel 4.6 Distribusi Pengawasan Minum Obat Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, diketahui bahwa dari 48 responden, sebagian besar
responden mendapat pengawan minum obat tidak aktif yaitu sebanyak 30 (62,50%) responden,
sedangkan responden lainnya mendapat pengasan minum obat yang aktif yaitu sebanyak 18
(37,50%) responden.
4.2.1.7 Distribusi Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan
Tahun 2019
Adapun distribusi kepatuhan minum obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan
responden tidak patuh minum obat yaitu sebanyak 29 (60,42%) responden, sedangkan responden
tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.8 Pengaruh Pengetahuan Pasien dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian besar
responden tersebut, ada sebanyak 20 (80%) responden memiliki pengetahuan kurang dan tidak
patuh minum obat dan sebanyak 5 (20%) responden memiliki pengetahuan kurang dan patuh
minum obat. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu
0,004 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pengetahuan pasien dalam
4.3.2 Pengaruh Sikap Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di Puskesmas
Untuk mengetahui pengaruh sikap pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.9 Pengaruh Sikap Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian besar
responden memiliki sikap negatif sebanyak 29 (100%) responden. Dari 29 (100%) responden
tersebut, ada sebanyak 26 (89,7%) responden memiliki sikap negatif dan tidak patuh minum obat
dan sebanyak 3 (29%) responden memiliki sikap negatif dan patuh minum obat. Berdasarkan
hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu 0,000 < 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
Untuk mengetahui pengaruh persepsi pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.10 Pengaruh persepsi Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Kepatuhan Minum Obat p
Persepsi Tidak Patuh Patuh Total value
n % n % n %
Negatif 22 75,9 7 24,1 29 100
0,007
Positif 7 36,8 12 63,2 19 100
Jumlah 29 60,42 19 39,58 48 100
Berdasarkan tabel 4.10 diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian besar
responden memiliki persepsi negatif sebanyak 29 (100%) responden. Dari 29 (100%) responden
tersebut, ada sebanyak 22 (75,9%) responden memiliki persepsi negatif dan tidak patuh minum
obat dan sebanyak 7 (24,1%) responden memiliki persepsi negatif dan patuh minum obat.
Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu 0,007 < 0,05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh persepsi dalam mengonsumsi obat anti
4.3.4 Pengaruh Dukungan Keluarga Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis
Untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga pasien dalam mengonsumsi obat anti
tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.11 Pengaruh Dukungan Keluarga Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Kepatuhan Minum Obat p
Dukungan
Tidak Patuh Patuh Total value
Keluarga
n % n % n %
Negatif 23 74,2 8 25,8 31 100
0,008
Positif 6 35,3 11 64,7 17 100
Jumlah 29 60,42 19 39,58 48 100
Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian besar
responden mendapat dukungan keluarga negatif sebanyak 31 (100%) responden. Dari 31 (100%)
responden tersebut, ada sebanyak 23 (74,2%) responden mendapat dukungan keluarga negatif
dan tidak patuh minum obat dan sebanyak 8 (25,8%) responden mendapat dukungan keluarga
negatif dan patuh minum obat. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p
significancy yaitu 0,008 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh dukungan
keluarga pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun
2019.
4.3.5 Pengaruh Pengawasan Minum Obat Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Untuk mengetahui pengaruh pengawasan minum obat pasien dalam mengonsumsi obat anti
tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.12 Pengaruh Pengawasan Minum Obat Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Pengawasan Kepatuhan Minum Obat p
Minum Tidak Patuh Patuh Total value
Obat n % n % n %
Tidak Aktif 26 86,7 4 13,3 30 100
0,000
Aktif 3 16,7 15 83,3 18 100
Jumlah 29 60,42 19 39,58 48 100
Berdasarkan tabel 4.11 diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian besar
responden mendapat pengawasan obat tidak aktif sebanyak 30 (100%) responden. Dari 30
(100%) responden tersebut, ada sebanyak 26 (86,7%) responden mendapat pengawasan obat
tidak aktif dan tidak patuh minum obat dan sebanyak 4 (13,3%) responden 30 (100%) dan patuh
minum obat. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu
0,000 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pengawasan minum obat pasien
dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019.
4.3 Analisis Multivariat
Analisis multavariat menyeleksi variabel yang p value < 0,25 pada uji bivariat (chi-
square) dimasukkan secara bersamaan dalam uji multivariat. Kemudian setelah tahap pertama
selesai maka variabel yang nilai p value < 0,25 akan dimasukkan dalam uji multivariat
selanjutnya yang bertujuan untuk mengetahui variable mana yang paling dominan memengaruhi
perilaku penderita TB paru dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia
Tabel 4.12 Seleksi Variabel yang Menjadi Kandidat Model Dalam Uji Regresi Logistik
Berdasarkan Analisis Bivariat
Variabel p value Seleksi
Pengetahuan 0,004 Kandidat
Sikap 0,000 Kandidat
Persepsi 0,007 Kandidat
Dukungan keluarga 0.008 Kandidat
Pengawasan minum obat 0,000 Kandidat
Berdasarkan 4.12 diatas dapat diketahui bahwa semua variabel yakni 5 (lima) variabel
menjadi kandidat model dalam uji regresi logistik dimana p value < 0,25. Hasil analisis regresi
Berdasarkan tabel 4.13 di atas dapat dilihat bahwa analisis regresi logistik dari variabel
bivariat yang dimasukkan dalam analisis regresi logistik hanya 2 (dua) variabel. Selanjutnya
kedua variabel tersebut dianalisis kembali untuk melihat variabel mana yang lebih dominanan
memengaruhi perilaku penderita TB paru dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
Puskesmas Polonia Medan tahun 2019. Hasil analisis tahap terakhir regresi logistik dapat dilihat
Berdasarkan tabel 4.14 diatas dapat dilihat bahwa analisis regresi logistik menghasilkan 1 (1)
variabel yang paling dominan memengaruhi perilaku penderita TB paru dalam mengonsumsi
obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019 dengan p value < 0,05, yaitu
variabel pengetahuan dengan signifikan 0,040 (p value <0,05), OR = 4,233 (95% CI = 1,069 –
16,771) artinya responden yang memiliki pengetahuan kurang mempunyai peluang 4,233 kali
terhadap ketidakpatuhan mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun
2019 dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan baik, dengan nilai koefisien
B yaitu 1,443 bernilai positif, maka semakin kurang pengetahuan semakin banyak pasien yang
tidak patuh mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019.
BAB V
PEMBAHASAN
yang sangat penting dalam proses pemulihan kesehatan. Dengan kurangnya pengetahuan tentang
penyakit TB paru akan melahirkan suatu perilaku yang tidak baik antara lain, kebiasaan
penderita tidak mengonsumsi obat, dan pengobatan yang tidak teratur serta berbagai faktor
lainnya. pengetahuan yang kurang akan menyebabkan tindakan dalam pencegahan penyakit TB
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap responden diketahui bahwa dari 48
responden yang diteliti, sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang sebanyak 25
(100%) responden. Dari 25 (100%) responden tersebut, ada sebanyak 20 (80%) responden
memiliki pengetahuan kurang dan tidak patuh minum obat dan sebanyak 5 (20%) responden
memiliki pengetahuan kurang dan patuh minum obat. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik
diperoleh nilai p significancy yaitu 0,004 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh pengetahuan pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gendhis dkk yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pengetahuan dengan
kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di BKPM Pati Semarang menunjukkan bahwa
sikap penderita tuberculosis paru yang termasuk dalam kategori sikap baik minum obat sebanyak
(70,8%) responden tidak tahu apa yang dimaksud dengan penyakit TB paru, sebanyak 22
(45,8%) responden tidak tahu penyakit TB paru adalah penyakit, sebanyak 23 (54,2%)
responden tidak tahu bagaimana cara penularan penyakit TB Paru, sebanyak 26 (45,8%)
responden tidak tahu berapa lama pengobatan TB paru yang Anda ketahui, sebanyak 13 (27,1%)
responden tidak tahu bagaimana cara pengobatan TB paru, sebanyak 19 (39,5%) responden tidak
tahu kapan pasien dapat menghentikan pengobatan, sebanyak 37 (77,1%) responden tidak tahu
TB paru dapat disembuhkan, sebanyak 19 (39,5%) responden tidak tahu bagaimana cara
meminum obat TB Paru, sebanyak 19 (39,5%) responden tidak tahu bahwa Obat TB paru
memiliki efek samping berupa, sebanyak 19 (39,5%) responden tidak tahu dimana penderita
harus berobat
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Malaysia bahwa terjadi
responden yang mengetahui manfaat dari pemeriksaan dahak dan foto rontgen, serta hanya 17
responden dari 171 responden yang mengetahui cara pencegahan penyakit TB Paru dengan benar
yaitu meningkatkan gizi, imunisasi BCG, dan memberikan pengobatan pencegahan, dari hasil
wawancara menggunakan kuesioner yang berisi sembilan pertanyaan tentang pengetahuan hanya
lama pengobatan berobat yaitu 154 responden (90,1%) yang dijawab dengan benar oleh para
responden, responden yang mengaku tidak tahu sama sekali tentang TB Parupun ada sehingga
Selain itu penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imelda Zuliana
di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar
yaitu 113 responden (66,1%) tidak merasakan efek samping OAT, responden yang mengalami
efek samping OAT menyatakan gejala yang dirasakan dapat menghilang dengan sendirinya.
Responden lain mengatakan bahwa tidak perlu ke dokter untuk mengobatinya karena akan hilang
dengan sendirinya sebelum 7 hari, responden dengan usia 50 tahun keatas lebih banyak
merasakan efek samping OAT sehingga mereka mengunjungi pelayanan kesehatan untuk
seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku, hal tersebut sesuai
dengan teori Notoadmojo yang mengatakan bahwa kepatuhan mempengaruhi pengetahuan. Oleh
karena itu pengetahuan merupakan aspek psikis yang dimiliki seorang pasien tuberkulosis yang
menimbulkan rasa suka atau tertarik terhadap sesuatu dan mampu mempengaruhi tindakan orang
yang erat dengan dorongan dalam diri individu yang kemudian menimbulkan keinginan untuk
berpartisipasi atau terlibat pada suatu yang diminatinya. Seseorang yang berminat pada suatu
obyek maka akan cenderung merasa senang bila berkecimpung di dalam obyek tersebut sehingga
cenderung akan memperhatikan perhatian yang besar terhadap obyek. Perhatian yang diberikan
tersebut dapat diwujudkan dengan rasa ingin tahu dan mempelajari obyek tersebut. Pengetahuan
kunjungan ulang (mempercepat proses penyembuhan, untuk mengambil obat, untuk memeriksa
sputum), akibat dari ketidakpatuhan minum obat (proses penyembuhan semakin lama, terjadinya
resistensi) (29).
Pengetahuan masyarakat yang baik tentang TB Paru bisa di lihat dari penyuluhan-
penyuluhan yang baik oleh tenaga kesehatan ataupun iklan-iklan yang tersedia dalam bentuk
media cetak, elektronik atau bahkan media sosial. Dalam hal ini perlu kerja sama yang baik
antara petugas kesehatan dengan masyarakat, karena masih banyak pemikiran masyarakat yang
masih rendah tentang TB Paru seperti, penyakit TB Paru masih dikatakan penyakit kutukan dan
tidak menular ataupun anggapan lainnya yang salah kaprah. Hal ini sesuai dengan teori perilaku
Berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh pengetahuan pasien tentang
kepatuhan minum obat . Timbulnya minat dari diri seseorang juga dapat didorong oleh adanya
pengetahuan yang baik yang mungkin saja diperoleh dari petugas kesehatan. Semakin tinggi
tingkat pengetahuan, maka semakin mempengaruhi ketaatan seseorang terhadap peraturan atau
standar yang berlaku. Pengetahuan yang baik lebih mendorong seseorang penderita untuk
minum obat secara patuh, dan sebaliknya seseorang yang pengetahuannya kurang maka kecil
Berdasarkan asumsi peneliti masalah kesehatan pada dasarnya akan dipengaruhi oleh
pengetahuan seseorang tentang masalah tersebut. Dalam hal ini, pengetahuan yang dimiliki oleh
pasien TB Paru berhubungan dengan kepatuhan berobat, semakin tinggi pengetahuan semakin
tinggi pengetahuan pasien tentang penyakitnya, maka akan semakin patuh berobat.
5.2 Pengaruh Sikap Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di Puskesmas
Polonia Medan Tahun 2019
Sikap sangat mempengaruhi kepatuhan seorang dalam minum obat anti tuberculosis
karena sikap artinya kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksaan
motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup (29).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian
besar responden memiliki sikap negatif sebanyak 29 (100%) responden. Dari 29 (100%)
responden tersebut, ada sebanyak 26 (89,7%) responden memiliki sikap negatif dan tidak patuh
minum obat dan sebanyak 3 (29%) responden memiliki sikap negatif dan patuh minum obat.
Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu 0,000 < 0,05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap pasien dalam mengonsumsi obat anti
responden menyatakan sangat setuju bahwa Penyakit TB Paru merupakan penyakit keturunan,
sebanyak 15 (31,1%) responden menyatakan sangat setuju bahwa Penyakit TB Paru dapat
disembuhkan, sebanyak 9 (18,8%) responden menyatakan sangat setuju Penyakit TB Paru dapat
menular melalui udara yaitu melalui batuk/bersin yang mengandung kuman TB Paru yang
terhirup orang lain, sebanyak 24 (50,0%) responden menyatakan sangat setuju Lama pengobatan
TB Paru selama 6 bulan, sebanyak 9 (18,8%) responden menyatakan sangat setuju cara
pengobatan TB Paru adalah minum obat setiap hari pada tahap awal dan pada tahap lanjutan 3
kali dalam seminggu, sebanyak 11 (22,9%) responden menyatakan sangat setuju Pasien TB Paru
dapat disembuhkan dengan cara minum obat secara teratur sampai benar-benar dinyatakan
sembuh oleh dokter., sebanyak 18 (37,5%) responden menyatakan sangat setuju Pada pasien TB
Paru dengan gejala ringan dapat meminum obat sesekali saja, sebanyak 11 (22,9%) responden
menyatakan sangat setuju Obat TB Paru tidak memberikan efek samping, sebanyak 14 (29,2%)
responden menyatakan sangat setuju Obat TB Paru dapat didapatkan di Puskesmas, Rumah Sakit
Umum, Rumah Sakit Paru (BP4), klinik PPTI, dokter umum atau dokter spesialis.
Sikap positif seseorang akan kepatuhan meminum obat anti tuberculosis merupakan
perilaku seorang untuk melakukan sesuatu atau tindakan sedangkan sikap negatif bisa
menyebabkan seorang tidak patuh dalam meminum obat anti tuberculosis biasa kebanyak
seorang sikap apatis kondisi ini tidak mau menerima kenyataaan, bahwa dirinya menderita
sesuatu penyakit serta pemikiran, bahwa penyakit tersebut tidak mungkin dapat disembuhkan
menyebabkan sikap apatis dari seseorang untuk tidak mengikuti petunjuk dari petugas kesehatan.
Dari hal tersebut sikap sangat berhubungan dengan kepatuhan seorang untuk meminum obat anti
tuberculosis (29).
Seseorang yang memilki sikap yang positif maka tingkat kepatuhan untuk mengambil obat
atau minum obat akan dilakukan dengan patuh dan demikian sebaliknya bila seseorang memiliki
sikap negatif maka kepatuhan minum obat akan dilakukan secara tidak patuh. Sikap merupakan
respon atau pun tindakan seseorang untuk melakukan dengan segera setelah mengetahui,
memahami apa yang telah diperoleh dari orang atau sosial media. Dalam hal ini adalah tindakan
seseorang untuk segera, mengutamakan, atau secara patuh minum obat sesuai dengan anjuran
dokter walaupun merasa sudah sehat, dan tidak suka minum obat terlalu banyak sesuai dengan
Semakin positif sikap maka responden maka akan patuh terhadap pengobatan yang di
tentukan. Hasil penelitian yang dilakukan Gendhis 2011 di BKPM Pati Semarang menunjukkan
bahwa sikap penderita tuberculosis paru yang termasuk dalam kategori sikap baik minum obat
(22,5%).Dari uji statistik dapat disimpulkan nilai P= sebesar 0,001 (p<0,05) artinya ada
hubungan yang signifikan antara sikap dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis paru di
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain,
obyek atau issue Atau kecenderungan bertindak dari individu, berupa respons terhadap stimulus
ataupun objek tertentu (Azwar, 2013). Sikap bisa juga berupa kecenderungan seseorang terhadap
objek mendukung atau tidak mendukung,”Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan
mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek
tersebut”. (29).
5.3 Pengaruh persepsi Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti Tuberculosis di Puskesmas
Polonia Medan Tahun 2019
Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan antara persepsi responden dalam
mengonsumsi Obat anti tuberkulosis. Hal ini terkait dengan pendidikan yang lebih tinggi akan
menyebabkan persepsi yang positif dari masyarakat mengenai TB. Penyakit TB yang merupakan
salah satu masalah besar di negara kita juga dimuat dalam pelajaran formal di bangku sekolah.
Penyakit ini sering dipaparkan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam atau Biologi.
Berdasarkan hasil peenlitian diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian besar
responden memiliki persepsi negatif sebanyak 29 (100%) responden. Dari 29 (100%) responden
tersebut, ada sebanyak 22 (75,9%) responden memiliki persepsi negatif dan tidak patuh minum
obat dan sebanyak 7 (24,1%) responden memiliki persepsi negatif dan patuh minum obat.
Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu 0,007 < 0,05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh persepsi dalam mengonsumsi obat anti
penyakit TB. Tingkat pengetahuan yang tinggi akan membuat orang cenderung untuk memiliki
persepsi bahwa penyakit TB bukanlah penyakit yang memalukan. Pendidikan dan pengetahuan
memiliki hubungan yang erat. Salah satu pembentukan pengetahuan masyarakat adalah melalui
pendidikan formal. Walaupun demikian pengetahuan juga dipengaruhi oleh proses pembelajaran
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Dalam hal ini persepsi merupakan aplikasi dari
Namun, ada juga penelitian yang mengungkapkan hal yang berbeda. Penelitan di Sabah
mengungkapkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan dan persepsi. Penelitian lain di
Khazakstan mengungkapkan hal yang sama. Pada penelitian diperoleh kesimpulan bahwa tidak
terdapat hubungan yang berbeda secara signifikan antara pekerjaan dan persepsi ibu. Baik pada
ibu yang bekerja maupun ibu yang tidak bekerja tidak terdapat kecenderungan pola persepsi pada
ibu tersebut. Hal ini dikarenakan dalam konsep kesehatan lingkungan, pekerjaan tidak terlalu
mempengaruhi pembentukan persepsi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di
Khazakstan, yakni tidak ditemukan hubungan antara persepsi dengan pekerjaan dan kondisi
keuangan responden.
pengobatan. Didapatkan bahwa terdapat hubungan di antara keduanya. Seorang yang memiliki
perpsesi bahwa TB bukan penyakit yang memalukan lebih bersedia dalam menjalani pengobatan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Xu, diperoleh bahwa tidak ada perbedaan antara orang yang
dilakukan, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang berbeda bermakna antara persepsi ibu
Ditemukan bahwa ibu yang menjawab tidak akan menjauhi penderita TB adalah ibu yang
menganggap bahwa TB tidak memalukan. Dan sebaliknya, ibu yang menjawab akan menjauhi
penderita TB kebanyakan dari ibu yang mengangap bahwa penyakit tersebut adalah penyakit
yang memalukan. Menjauhi penderita penyakit TB adalah sebuah bentuk perilaku kesehatan.
penyakitnya berat atau parah, sebanyak 23 (54,2%) responden merasa kalau sering minum obat
tidak baik untuk tubuh, sebanyak 26 (45,8%) responden merasa Khawatir obat yang saya beli
sendiri tidak cocok untuk mengobati penyakitnya, sebanyak 13 (27,1%) responden menyatakan
mencari pengobata di pelayanan kesehatan menghabiskan waktu dan biaya, sebanyak 19 (39,5%)
responden merasa dengan istirahat saja saya tidak mengeluarkan usaha lebih untuk mengobati
sakit, sebanyak 37 (77,1%) responden rasa dengan langsung minum obat tradisional atau obat
warung ketika saya sakit, sebanyak 23 (54,2%) responden merasa cemas kalau sampai sakit
terlalu lama, sebanyak 23 (54,2%) responden merasa sakitnya dapat mengganggu hubungannya
dengan orang lain, sebanyak 19 (39,5%) responden tidak tahu dimana penderita harus berobat.
Menurut asumsi peneliti, sebuah persepsi memiliki 3 komponen pokok, yaitu kepercayaan,
kehidupan emosional dan kecenderungan bertindak. Dalam hal ini, yang menjadi perhatian
penting adalah kepercayaan atau keyakinan. Kepercayaan atau keyakinan atas sebuah konsep
atau ide akan membentu perilaku individu. Dalam hal ini kepercayaan atau pandangan bahwa TB
adalah penyakit yang memalukan akan membentuk perilaku tertentu yakni menjauhi penderita
penyakit tersebut. Dari penelitian lain ditemukan hal-hal lain yang juga turut berhubungan
dengan persepsi masyarakat, misalnya gender. Hal seperti umur, agama dan status pernikahan
juga mempengaruhi pendapat masyarakat tentang penyakit TB. Hal seperti standar hidup dan
Keluarga dapat merupakan faktor pendukung atau penghambat untuk penderita teratur
berobat sampai sembuh, Adapun dukungan keluarga bagi keluarga penderita tuberkulosis antara
lain mencatat jadwal waktu minum obat, mengngingatkan jadwal minum obat, , menjelaskan
manfaat minum obat, menjelaskan apa yang terjadi apabila tidak melakukan minum obat secara
rutin, dan menganjurkan penderita agar selalu melakukan rajin minum obat walaupun merasa
sudah sembuh
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian
besar responden mendapat dukungan keluarga negatif sebanyak 31 (100%) responden. Dari 31
(100%) responden tersebut, ada sebanyak 23 (74,2%) responden mendapat dukungan keluarga
negatif dan tidak patuh minum obat dan sebanyak 8 (25,8%) responden mendapat dukungan
keluarga negatif dan patuh minum obat. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh
nilai p significancy yaitu 0,008 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
dukungan keluarga pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia
Secara teoritis, dukungan keluarga memiliki beberapa indikator yaitu : (1) Dukungan
Emosional dan Hubungannya dengan Kepatuhan Minum Obat. Berdasarkan faktor pekerjaan
pasien yang mayoritas pegawai swasta atau keluarga yang menuntut rumah memiliki proporsi
pertemuan dirumah sangat singkat dan terbatas sehingga menyebabkan komunikasi antar
keluarga kurang maksimal, jika komunikasi dalam keluarga efektif maka keluarga akan lebih
bagi sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan emosional anggota keluarganya tanpa adanya
pola komunikasi dalam keluarga yang jelas dan berfungsi. Oleh karena itu, komunikasi dapat
menjadi wahana untuk mengenali dan berespons terhadap kebutuhan psikologis anggota
keluarga. Dukungan emosional merupakan wujud kasih sayang yang diberikan keluarga kepada
salah satu anggota keluarga yang menderita suatu penyakit. Dukungan emosional yang diberikan
keluarga ini sangat mempengaruhi penyembuhan pasien (Friedmen, 1998). Dukungan emosional
yang diberikan keluarga kepada pasien akan mendorong pasien untuk dapat menjalani
pengobatan secara teratur, hal ini dikarenakan dukungan yang diberikan tersebut dijadikan
sebagai energi penggerak bagi pasien dalam menjalankan suatu program terapi (31).
Dukungan yang diberikan keluarga adalah dengan cara keluarga mengingatkan pasien
untuk beristirahat dengan cukup. Akan tetapi masih banyak pula keluarga yang kurang
mendukung secara emosional, hal ini kemungkinan juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor
lain yang lebih mempengaruhi kepatuhan seperti kurangnya pengetahuan yang dimiliki keluarga
Terpenuhinya dukungan ini berarti keluarga sudah menghargai usaha yang telah
dilakukan pasien dalam menjaga kesehatannya. Selain itu bentuk dukungan penghargaan lain
yaitu keluarga sudah memberikan contoh yang baik untuk pasien dan memberikan kritik yang
bersifat membangun sehingga pasien dapat termotivasi untuk lebih meningkatkan kesehatannya.
Seperti yang di ungkapkan oleh Siagia dalam Koizer (2004) ketika tindakan seseorang
mendapatkan pujian atau dorongan positif dari orang lain, maka orang tersebut cenderung akan
penghargaan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat. Hal ini mungkin dapat
disebabkan karena keluarga kurang memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada pasien
untuk mengambil keputusan terkait pengobatnnya atau juga keluarga tidak menghargai saran dan
Caplan dalam Friedman, menyatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor
dan diseminator, yaitu penyebar informasi tentang dunia kepada anggota keluarganya yang lain.
Pernyataan ini memperkuat bukti bahwa selain dari petugas kesehatan keluarga juga mempunyai
andil dalam memberikan dukungan berupa Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Afriani
(2009) bahwa peran Dukungan informasi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat.
Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh karena keluarga pasien belum mengetahui dari petugas
kesehatan bahwa anggota keluarganya harus menjalani pengobatan dalam jangka waktu yang
panjang, dan penyakitnya dapat menular sehingga keluarga berusaha lebih banyak mencari
informasi yang dapat mencegah terjadinya penularan serta mencari informasi tentang lamanya
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh, karena keluarga adalah yang
menentukan program pengobatan yang dapat mereka terima (Notoadmojo, 20016). Semakin
besar dorongan dari keluarga kepada anggota keluarga penderita tuberkulosis untuk patuh
minum obat maka semakin besar kemungkinan untuk minum obat secara patuh dan tepat waktu
dan sebaliknya semakin kecil dorongan dari keluarga kepada anggota keluarga penderita
tuberkulosis untuk mengingatkan pasien minum obat, maka semakin besar kemungkinan untuk
jadwal waktu minum obat, mengngingatkan jadwal minum obat, , menjelaskan manfaat minum
obat, menjelaskan apa yang terjadi apabila tidak melakukan minum obat secara patuh, dan
menganjurkan penderita agar selalu melakukan rajin minum obat walaupun merasa sudah
sembuh (27).
Berdasarkan asumsi peneliti, penilaian sikap keluarga oleh penderita merupakan faktor
penguat untuk tetap berperilaku patuh dalam menjalankan pengobatan, dimana sikap keluarga
5.5 Pengaruh Pengawasan Minum Obat Pasien Dalam Mengonsumsi Obat Anti
Tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan Tahun 2019
Upaya peningkatan keteraturan pengobatan pasien TB Paru dengan melakukan kerjasama
dengan keluarga penderita sebagai bentuk dukungan dan pengawasan terhadap pengobatan
penderita serta melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar memahami penyakit TB Paru.
Bagi Penderita TB Paru, diharapkan teratur berobat sehingga tidak terjadi kegagalan pengobatan
yang berakibat timbulnya resistensi terhadap obat dan sumber penularan. Disini peran PMO
sangat penting memberikan nasihat agar pasien mau minum obat secara teratur.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan beberpa orang PMO dapat
dijelaskan bahwa bagi PMO yang mempunyai hubungan darah seperti keluarga inti, bisa
mengontrol pasien untuk minum obat dengan teratur. PMO harus memaksa dengan tegas agar
pasien mau minum obat, walaupun kelihatannya pasien sembuh, padahal waktu minum obat baru
beberapa bulan, hal ini membuat pasien enggan minum obat, karena merasa dirinya sudah
sembuh. Peran PMO dalam kesembuhan sangat kuat, apalagi apabila PMO keluarga inti, maka
motivasi untuk kesembuhan keluarganya sangat tinggi, pada sisi lain pasien merasa manja dan
kurang memperhatikan kesembuhannya terkadang tidak serius minum obat, padahal keluarga
telah memperhatikannya dengan serius. Dari peristiwa ini, dapat disimpulkan bahwa harus ada
kerja sama dan saling pengertian antara pasien dan PMO untuk kesembuhan. Apabila antara
keduanya tidak ada saling pengertian maka kesembuhannya akan tidak tuntas.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 48 responden yang diteliti, sebagian
besar responden mendapat pengawasan obat tidak aktif sebanyak 30 (100%) responden. Dari 30
(100%) responden tersebut, ada sebanyak 26 (86,7%) responden mendapat pengawasan obat
tidak aktif dan tidak patuh minum obat dan sebanyak 4 (13,3%) responden 30 (100%) dan patuh
minum obat. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik diperoleh nilai p significancy yaitu
0,000 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pengawasan minum obat pasien
dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan tahun 2019.
Anggota keluarga memberikan informasi cara minum obat yang benar, sebanyak 10 (20,8%)
responden menyatakan Anggota keluarga mengingatkan bahwa penyakit Tuberkulosis (TB) paru
bisa disembuhkan asal teratur minum obat, sebanyak 17 (35,4%) responden menyatakan
Anggota keluarga memberikan informasi bahwa bila lupa sekali saja minum obat TB, maka akan
keluarga memberikan pujian bila saya minum obat secara teratur, sebanyak 19 (39,5%)
berobat secara teratur, sebanyak 15 (31,3%) responden menyatakan Anggota keluarga memberi
semangat untuk melakukan upaya penyembuhan seperti menyarankan minum obat secara
teratur., sebanyak 38 (79,2%) responden menyatakan Anggota keluarga peduli jika anda
Berdasarkan asumsi peneliti, diketahui bahwa stigma tidak berpengaruh terhadap proses
penyembuhan penderita TB. Berbagai macam perlakuan terhadap orang yang terjangkit TB,
terkadang sangat menyakitkan bagi dipenderita, biasanya mendapat perlakuan penolakan atau
mereka dijauhi, orang lain merasa takut apabila berdekatan dengan penderita. Bahkan keluarga
terdekat penderita juga menampakkan adanya penolakan, mereka diisolasi dengan kamar
terpisah dan tidak didekati selama belum sembuh. Padahal penderita meminta dukungan kepada
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti maka penelitian ini
1. Ada pengaruh pengetahuan pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas
2. Ada pengaruh sikap pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia
3. Ada pengaruh persepsi pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas
4. Ada pengaruh dukungan keluaarga pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
5. Ada pengaruh pengawasan minum obat pasien dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di
6.2 Saran
6.3 Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran dalam penelitian ini yaitu :
Agar dapat dijadikan bahan bacaan dan referensi tentang faktor yang memengaruhi perilaku
2. Bagi Akademik
Agar dapat dijadikan bahan acuan dan perbandingan bagi penelitian lain yang berminat
mengembangkan topic tentang faktor yang memengaruhi perilaku penderita TB paru dalam
3. Bagi Penderita
Dengan hasil penelitian ini diharapkan wawasan sehingga patuh dalam mengonsumsi obat
anti tuberculosis.
4. Bagi Puskesmas
Dengan hasil penelitian ini diharapkan membuat program penyuluhan tentang faktor yang
memengaruhi perilaku penderita TB paru dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis baik
Agar dapat dijadikan referensi untuk penelitian khususnya faktor yang memengaruhi perilaku
penderita TB paru dalam mengonsumsi obat anti tuberculosis di Puskesmas Polonia Medan
tahun 2019.
1. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2013
2. Kemenkes RI. Tuberkulosis. Pusat Data Dan Informasi Kesehatan RI Tuberkulosis, 1–
7;2017
3. Kemenkes RI. Tuberkulosis. Pusat Data Dan Informasi Kesehatan RI Tuberkulosis;2018.
4. Kemenkes RI. Tuberkulosis. Pusat Data Dan Informasi Kesehatan RI Tuberkulosis, 1–
7;2015
5. Kemenkes RI. Tuberkulosis. Profil Kesehatan Indonesia;2017
6. Ardiansyah. (2016). Manajemen Traspotasi dalam Kajian dan Teori.
7. Karen Glanz, Karen Barbara K. Rimer, K. V. (2008). Health Behavior And Health.
America: Jossey Bass.
8. Notoadmodjo, S.. Metode Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2010
9. Siti Sufatmini. Tuberkulosis Paru. Pengaruh Karakteristik Personal Dan Dukungan
Keluarga Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis Paru;2014.
10. Nurhayati, J. Hubungan Kinerja Pengawas Menelan Obat Terhadap Keberhasilan
Pengobatan Paru dengan DOTS di RSUP , Karyadi Semarang. Medical Hospitalia
Journal Of Clinical Medicine;2014.
11. Silasati . Health Behavior And Health. America: Jossey Bass;2014
12. Tirtana, B. T. Faktor - Faktor Tuberkulosis Paru. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Keberhasilan Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Resistensi Obat Anti
Tuberkulosis Di Wilayah Jawa Tengah, 1–19;2011
13. Novitasari, R. Tuberkulosis Paru. Hubungan Efikasi Diri Dengan Kepatuhan Minum
Obat Pada Pasien TB Paru Di Puskesmas Petrang Kabupaten Jember;2017
14. Safitri. Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus Tipe II Ditinjau dari Locus of
Controle;2013
15. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2000
16. Pohan, J. A. INTUISI. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Minum Obat
Pasien Tuberkulosis Di Rumah Sakit Paru dr.Ario Wirawan, 4(3), 1–5;2012.
17. Mario, C.R.& Richard, J. Tuberculosis. (Harrison Principles of Internal Medicine, Ed.)
(16th ed.). New York: Mc Graw-Hill;2003.
18. Sylvia A. Prince, L. M. W. Patofisiologi. Jakarta: Kedokteran EGC;2003
19. Amin Z, B. A. Tuberkulosis Paru. (Aru W,Sudoyo B S,Idrus A,Marcellus S,Siti S, Ed.),
Buku ajar ilmu penyakit dalam (6th ed.). Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2014.
20. Rahajoe, N. Buku Ajar Respirologi Anak (1st ed.). Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
21. Kemenkes RI. Tuberkulosis. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia;2011
22. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru. Pedoman
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia, 1–55;2011
23. Kemenkes RI. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis;2011
24. Green, W, Lawrence.et.al, Helath Education Planing A Diagnostik Approach, The Johns
Hapkins University: Mayfield Publishing Company; 2005
25. HsuanLi. Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2016
26. S.P,Hasibuan, Malayu. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi
Aksara;2013
27. Azwar S. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: PustakaPelajar;2013
28. Muhammad I. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan Menggunakan
Metode Ilmiah Hal 92-98. GEN, Bandung Citapustaka Media Perintis. 2016
29. Notoatmodjo, S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta; 2015
30. 37 Sukana, B., Herryanto, & Supraptini., 2003. Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan
Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tangerang.Jurnal Ekologi Kesehatan. 2(3) :
282-289
31. Suradi, 2001. Diagnosis dan Pengobatan TB Paru. Dalam : Kumpulan Naskah Temu
Ilmiah Respirologi. Surakarta : Lab. Paru FK UNS Suryanto, E., 2000. Tuberkulosis dan
HIV. Dalam Jurnal Respirologi Indonesia. Jakarta : JRI
32. Umar, F., 2006. Pengaruh Peran Petugas PMO Dan Persepsi Penderita Tabel Paru BTA
Positif Terhadap Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis Di Kota Ternate Provinsi
Maluku Utara. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN
Kode Responden:
Tanggal :
Jam :
Petunjuk Pengisian :
Isilah pertanyaan di bawah ini dengan cara menuliskan jawaban pada pertanyaan yang bertanda
titik-titik atau memberikan tanda (√) pada kolom jawaban yang disediakan
1. Data Demografi
1. Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
2. Status Pernikahan
Menikah Belum Menikah Duda/Janda
3. Pekerjaan
PNS IRT Tidak Kerja
Wiraswasta Karyawan Swasta dll/Petani/Buruh/Nelayan
4. Pendidikan Terakhir
SD SMP SMA DIII
S1 S2
5. Jarak Tempuh Ke Unit Pelayanan Kesehatan
≤1Km
>1 Km
6. Suku
Batak Nias
Jawa Tionghoa
7. Agama
Islam Hindu
Kristen Budha
2. Kuesioner Pengetahuan
Petunjuk Pengisian: berikan tanda silang (X) pada jawaban yang menurut anda benar
3. Pertanyaan Sikap
SS = Sangat Setuju
S = Setuju,
TS = Tidak Setuju,
STS = Sangat Tidak Setuju
No Pertanyaan SS S TS STS
1 Penyakit TB Paru merupakan penyakit keturunan
2 Penyakit TB Paru dapat disembuhkan
3 Penyakit TB Paru dapat menular melalui udara yaitu
melalui batuk/bersin yang mengandung kuman TB
Paru yang terhirup orang lain
4 Lama pengobatan TB Paru selama 6 bulan
5 Cara pengobatan TB Paru adalah minum obat setiap
hari pada tahap awal dan pada tahap lanjutan 3 kali
dalam seminggu
6 Pasien TB Paru dapat menghentikan pengobatan bila
obat sudah habis
7 Pasien TB Paru dapat disembuhkan dengan cara
minum obat secara teratur sampai benar-benar
dinyatakan sembuh oleh dokter.
8 Pada pasien TB Paru dengan gejala ringan dapat
meminum obat sesekali saja
9 Obat TB Paru tidak memberikan efek samping
10 Obat TB Paru dapat didapatkan di Puskesmas, Rumah
Sakit Umum, Rumah Sakit Paru (BP4), klinik PPTI,
dokter umum atau dokter spesialis.
4. Pertanyaan Persepsi
No Pertanyaan Ya Tidak
S = Selalu
K = Kadang-kadang
TP = Tidak Pernah
No Pertanyaan S K TP
1 Anggota keluarga memberikan informasi cara minum obat
yang benar
2 Anggota keluarga memberikan informasi tentang pentingnya
berobat secara teratur
3 Anggota keluarga memberikan informasi bahwa pengobatan
TB Paru berlangsung selama 6 bulan.
4 Anggota keluarga mengingatkan bahwa penyakit Tuberkulosis
(TB) paru bisa disembuhkan asal teratur minum obat
5 Anggota keluarga memberikan informasi bahwa bila lupa
sekali saja minum obat TB, maka akan diulang pengobatannya
dari awal
6 Anggota keluarga memberikan pujian bila saya minum obat
secara teratur
7 Anggota keluarga berusaha meluangkan waktu untuk
mendengarkan keluhan saya.
8 Anggota keluarga menganjurkan berobat secara teratur
9 Anggota keluarga memberi semangat untuk melakukan upaya
penyembuhan seperti menyarankan minum obat secara teratur.
10 Anggota keluarga peduli jika anda mengalami keluhan seperti
sakit pada dada dan lainnya
6. Peran PMO
Y = Ya
K = Kadang-kadang
TP = Tidak Pernah
No Pertanyaan Y K TP
1 Pengawas Menelan Obat secara terbuka menjelaskan tentang
lamanya pengobatan
2 Pengawas Menelan Obat ada kesediaan untuk membuka diri
mengungkapkan informasi secara jelas tentang pengobatan TB
Paru
3 Pengawas Menelan Obat secara tegas mengungkapkan seluruh
informasi yang berhubungan dengan TB paru
4 Komunikasi yang dilakukan pengawas menelan obat
memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara
spontan terhadap penderita TB Paru.
5 Komunikasi petugas kesehatan yang terbuka,sehingga
penderita TB Paru dapat lebih patuhminum obat
6 Pengawas Menelan Obat dapat merasakan apa yang sedang
dirasakan dan keluhan - keluhan penderita TB Paru selama
pengobatan.
7 Pengawas Menelan Obat empatik dan mampu memahami dan
memotivasi penderita TB Paru dalam menghadapi pengobatan
8 Pengawas Menelan Obat terlibat aktif dengan penderita TB
Paru melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai
9 Pengawas Menelan Obat melakukan sentuhan yang
sepantasnya selama melakukan komunikasi dengan penderita
TB Paru didasarkan pada ketulusan hati.
10 Pengawas Menelan Obat selalu menghargai dan konsentrasi
terpusat meliputi kontak mata,postur tubuh yang penuh
perhatian dan kedekatan fisiksaat berkomunikasi
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah Anda patuh mengonsumsi obat anda
FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERILAKUPENDERITA TUBERKULOSIS PARU
DALAM MENGONSUMSI OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS POLONIA
MEDAN TAHUN 2019