Anda di halaman 1dari 11

Cadar, Apakah Budaya atau Syariat

Islam?
29 November 2019 10:20 Diperbarui: 30 November 2019 00:36 120 0 0

Gambar: Cadar atau Niqab

Manusia lahir dari rahim seorang perempuan tanpa menggunakan sehelai pakaian
yang menempel ditubuhnya. Manusia mengenal pakaian sekitar 170.000 ribu tahun
lalu hal itu berdasarkan penelitian dari University of Florida pada tahun 2013.

Pakaian yang digunakan oleh manusia memiliki berbagai macam jenis, salah satunya
adalah Cadar atau yang dikenal dalam bahasa arab sebagai Niqab. Cadar atau niqab
merupakan salah satu pakain yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan oleh
beberapa kalangan, ada yang mengganggap cadar merupakan budaya Arab dan ada
juga yang mengatakan Cadar merupakan syariat islam.

Lantas mana yang betul, apakah cadar merupakan bagian dari Syariat Islam atau
merupakan budaya Arab yang diadobsi oleh beberapa umat islam? Kita akan
membahas masalah cadar ini dimulai dari sejarahnya sampe pada hukum
menggunakannya dalam islam.

Pertama, kita akan membahas Sejarah Awal Cadar atau dimasa pra islam. Menurut
Abdul halim abu syuqqah, seorang ulama yang melakukan riset tentang cadar yang
termuat dalam sebuah buku yang berjudul An-Niqab fi syariat al-islam menyatakan
bahwa Niqab meruapakan bagian dari salah satu jenis pakaian yang digunakan oleh
sebagian merempuan dimasa jahiliyah. Kemudian model pakaian ini berlangsung
hingga masa islam".

Berdasarkan riset yang dilakukan abdul Halim abu syuqqah terhadap Niqab atau cadar
sangat jelas bahwa cadar ada sebelum nabi Muhammad SAW diangakat sebagai rosul
dan nabi, dengan kata lain bahwa cadar ada atau digunakan oleh kaum wanita
sebelum islam datang atau pada masa jahiliyyah.

Kedua, sejarah cadar ketika islam datang. Cadar merupakan pakaian yang digunakan
oleh para wanita jauh sebelum islam datang mapaun ketika islam datang ditanah
mekka. Dan perlu diketahui bahwa ketika islam datang tidak ada sebuah perintah
khusus atau sebauah kewajiban maupun hanya sebatas ke sunnahan untuk
menggunakan cadar atau Niqab.

Hal ini berdasarkan salah satu hadits yang riwayat Ibnu Majah dari Aisyah. Bahwa ia
berkata "pada saat nabi sampai di madinah dimana saat itu beliau menikahi shafiyyah
binti huhay, perempuan-perempuan anshor datang mengabarkan tentang kedatangan
nabi. Lalu saya (Aisyah) menyamar dan mengenakan niqab kemudian ikut
menyambutnya. Lalu nabi menatap kedua mataku dan megenaliku. Aku memalingkan
wajah sembari menghindar dan berjalan cepat, kemudian nabi menyusulku". (Hr. Ibnu
Majah).

Dari riwayat Ibnu majah sangat jelas sekali bahwa Niqab atau cadar Hanyalah salah
satu jenis pakaian yang sudah ada ketika dimasa-masa islam datang. Dan cadar
merupakan pakaian langkah dalam kehidupan sehari-sehari perempuan yang ada di
Madinah dan Mekkah. Kerena, dalam riwayat- riwayat hadits tersebut kata "Niqab"
hampir selalu diikuti dengan kata "tanakkur" yang memiliki arti (menyamarkan diri
dari orang lain).

"Tanakkur" dalam hadits tersebut juga bisa dimaknai bahwa pakaian yang digunakan
oleh istri Nabi adalah pakaian yang tidak biasa. Jadi dapat disimpulkan bahwa niqab
dalam hadits tersebut merupakan wasilah untuk "tanakkur" dimana pakaian tersebut
digunakan oleh sejumlah perempuan Arab pra Islam saat mereka keluar dari Mekkah
atau Madinah. Dan hal itu merupakan sesuatu yang sangat jarang atau langkah.

Ketiga, Hukum menggunakan Cadar. Kalau kita berbicara masalah hukum


menggunakan cadar terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagai mana
tertuang dalam kitab Al-Mawsu'atul Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah " Mayoritas Fuqaha
(baik dari mahzab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) berpendapat bahwa wajah
bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan
boleh membukanya". Jadi, kita akan bahas satu persatu pandangan para ulama
tersebut:

Pertama, pendapat Imam Hanafi yang mengatakan bahwa dizaman sekarang


perempuan yang masih muda (Al-mar'ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya
diantara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih kerena
untuk menghindari fitnah (dalam kitab Al-Mawsu'atul Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah).

Sedangkan dalam kitab Al Muwatha Imam Muhammad Bin Al Hasan mengatakan


bahwa " tidak selayaknya bahwa wanita yang sedang ihram memakai cadar. Namun
jika dia ingin menutup wajahnya, hendaklah dia menjalurkan pakaian yang berada
diatas khimannya kewajah. Ini menjadi pendapat Abu Hanifah (Syaikh Nashiruddin
Al Bani dalam kitabnya Ar Radd Al Mufhim).

Abu Jafar Ath Thahawi juga berpendapat sebagai mana dalam kitab Syarh Ma'ani Al
Atsar mengatakan bahwa " dibolehkan kepada laki-laki melihat tubuh wanita yang
tidak dilarang, yaitu wajah dan kedua telapak tangan, tetapi terlarang kalau terhadap
istri-istri nabi". Ini menjadi pendapat Imam Abu Hanifah.
Kedua, Mazhab Maliki. Berbeda dengan Mazhab Hanafi, Mahzab Maliki berpendapat
bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar, artinya menutupi wajah sampai mata
kaki, baik dalam solat maupun diluar sholat atau kerena melakukan sholat atau tidak
kerena hal itu termasuk berlebihan (dalam kitab yang sama yakni Al-Mawsu'atul
Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah).

Ketiga, menurut Mahzab Syafi'i. Dalam Mahzab Syafi'i sendiri terjadi perbedaan
pendapat, ada yang mengatakan bahwa memakai cadar itu wajib, sunnah dan Khilaful
Awla sebagai yang terdapat dalam Al-Mawsu'atul Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah
Dijelaskan bahwa "Mahzab Syafi'i berbeda pendapat mengenai hukum mengenai
cadar bagi perempuan.

Suatu pendapat mengatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah
wajib. Pendapat lain mengatakan hukumnya sunnah dan ada juga yang mengatakan
Khilaful awla.

Ulama syafi'iiyah Al Baghawi dalam kitabnya Syarah As Sunnah mengatakan bahwa


" seorang wanita merdeka, seluruh badannya aurat sehingga tidak boleh laki-laki
melihatnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya hingga pergelangan tangan".

Keempat, pendapat Imam Ahmad yang disampaikan oleh anaknya dalam sebuah kitab
Masa-il-nya bahwasanya "perempuan yang sedang ihram itu tidak tertutup wajahnya
dan tidak menggunakan cadar".

Kalau dilihat dari keempat mazhab, sangat jelas bahwa keempat imam itu memiliki
perbedaan pendapat tentang cadar, mazhab syafi'i yang kebanyakan digunakan di
indonesia memiliki tiga pendapat yang berbeda, lalu bagaimana dengan pandangan
ijma para ulama terkait dengan cadar ini.??

Saya pernah membaca pernyataan ulama Mesir yang ditulis dalam sebauh buku yang
dikarang oleh Syaikh Muhammad Sayyed Tantawi, dan Syaikh Ali Jum'ah yang
berjudul Al-Niqab Adatun Wa Laysa Ibadatan yang memiliki arti, Cadar itu adalah
sebauh kebiasaan. Menurut Syaikh Sayyed Tantawi yang dikutip dari Metro TV
beliau mengatakan bahwa cadar hanyalah kebiasan yang tidak memiliki hubungannya
dengan islam.

Lanjut, Syaikh Muhammad Sayyed Tantawi juga mengatakan bahwa mayoritas para
ulama Fiqih telah sampai pada kesimpulan bahwa wajah dan kedua telapak tangan
perempuan bukan aurat. Pandagan ini mengacu pada ayat Alquran Surat Annur Ayat
31 yang artinya "Katakanlah (Nabi Muhammad SAW) kepada orang-orang mukmin
perempuan; hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara
kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan hiasan (bagian tubuh) mereka,
kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung"

Dalam tafsir Imam Ibnu Jarir Al-thabari tentang surat Annur ayat 31 dijelaskan,
"bahwa yang dimaksud dengan janganlah mereka menampakkan hiasan (bagian
tubuh) mereka, kecuali yang (biasa) tampak darinya, yaitu wajah dan kedua telapak
tangan". Pandangan Imam Al-Thabari ini juga diperkuat oleh para ulama fikih, seperti
Imam al-Nawawi, Imam Malik, al-Awzai, Abu Tsawr, Abu Hanifah, Ahmad, dan
lain-lain.

Masih dalam Tafsir Surat Annur Ayat 31 menurut pendapat Imam Ibnu Mas'ud, Imam
Al Qurtubi menjelaskan maksud Kalimat " Illa Ma Zhahara Minha" adalah pakaian.
Sementara Sa'id Bin Jubair, Atha dan Al Auza'i berpendampat bahwa yang boleh
dilihat adalah wajah wanita, kedua telapak tangan di samping busana yang dipakainya
( Imam Al Gzahali).

Sedangkan Imam Qatadah dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang
boleh dilihat termaksud juga celak maya, gelang, setengah dari tangan yang dalam
kebiasaan wanita arab dihiasi dengan pacar, anting, cincin, dan semacamnya ( Imam
Al Qurtubi).

Syeikh Ali Jum'ah juga mengatakan yang sama bahwa persoalan pakaian sangat
terkait dengan suatu kaum. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Al Bukhari, Rosullah bersabda " seorang perempuan hendaknya tidak
menggunakan cadar dan tidak memakai sarung tangan".

Rosullah juga pernah menegur Asma Binti Abu Bakar, Nabi Muhammad mengatakan
bahwa perempuan yang sudah baligh hendaknya menutup aurat, yakni kecuali wajah
dan kedua telapak tangan, kisah ini diceritakan oleh Siti Aisyah.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Bani dalam kitab Ar Radd Al Mufhim


menjelaskan bahwa banyak ulama berbeda pendapatan personal menutup wajah, akan
tetapi lebih banyak ulama yang mengatakan bawah wajah seorang perempuan
bukanlah aurat, seperti yang dikatakan Syaikh Nashiruddin Al Bani ulama yang
mengatakan bahwa wajah seorang perempuan bukanlah aurat diantaranya adalah :

1. Ibnu Hazm didalam kitabnya Maratib Al Ijma berkata " Mereka para ulama
sepakat bahwa rambut wanita merdeka dan badannya adalah aurat, kecuali
wajah dan tangannya. Mereka berselisih pendapat dalam hal wajah dan kedua
tangannya, sampai pun kukunnya apakah itu aurat atau bukan".
2. Ibnu Hubairah Al Hambali dalam kitab Al Ifshah berkata " mereka para ulama
berpendapat dalam masalah aurat wanita dan batasan-batasannya. Abu
Hanifah berpendapat" keseluruhan badannya aurat, kecuali wajah, kedua
telapak tangan, dan kedua punggung telapak kakinya. Tapi juga diriwayatkan
darinya bahwa kedua punggung telapak kaki adalah aurat. Malik Asy Syafi'i
berkata, "keseluruhan badannya aurat badannya adalah aurat kecuali wajah
dan telapak tangannya"
3. Dalam Kitab Al Fiqih Ala Al Madzhab Al Arba'ah yang disusun dewan ulama
yang terdapat nama Al Jiziri mengatakan bahwa " batasan aurat wanita bila
dihadapan seorang laki-laki yang bukan mahramnya atau dihadapan wanita
yang tidak beraga islam, maka aurat wanita adalah keseluruhan badannya
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Keduanya bukan termasuk aurat
sehingga boleh ditampakkan bila aman dari gangguan".

Ibnu Abdul Barr dalam kitab Asy Syahid mengatakan bahwa " seluruh tubuh wanita
adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya yang dikuatkan oleh pendapat
imam mahzab dan pengikut-pengikutnya.
Syaikh Nashiruddin Al Bani juga mengatakan bahwa banyak jumhur ulama yang
mengatakan bahwa wajah wanita dan telapak tangan bukan merupakan aurat, Imam
Nawani juga mengatakan hal yang sama.

Melihat pendapat para Imam Mahzab dan para ulama serta Al Quran dan Hadits, dan
melihat secarah sejarah sebelum dan sesudah islam masuk bisa dikatakan bahwa
menggunakan cadar adalah sebuah khilaafiyah atau tradisi, kerena tidak ada dalil yang
secara jelas mewajibkan menggunakan cadar bagi perempuan. Semua itu hanya
sebuah kebiasan atau budaya suatau kaum. Kalau kita melihat diarab, cadar juga
digunakan oleh perempuan-perempuan Yahudi.

Lantas bagaimana dengan Indonesia, melihat dari segi Kultur dan budaya orang
Indonesia, penulis memiliki pandangan bahwa cadar kurang tepat untuk digunakan di
indonesia, sebab perempuan Indonesia secara kebiasan tidak menggunakan cadar jadi
secara tidak langsung menggunakan cadar bisa dihukumi Makruh.

Sebagai pendapat Syaikh Muhammad Sayyed Tantawi dan Syaikh Ali Jum'ah yang
mengatakan cadar adalah sebuah kebiasaan atau budaya dan Pendapat dalam Mahzab
Maliki yang mengatakan bahwa "Makruh bagi perempuan menutup wahanya dengan
niqab suatu yang menutupi mata saat melakukan sholat, kerena itu termaksud
berlebih-lebihan, lebih-lebih bagi laki-laki.

Kemakruhan itu berlaku selama penggunaan Niqab atau Cadar bukan bagian dari adat
atau tradisi setempat (Syaikh Addardiri, Syarah Al- Kabir).

Yang menjadi persoalan adalah bagaimna jika pemerintah melarang menggunakan


cadar bagi perempuan, apakah perintah itu harus diikuti apa tidak??

Mengutip ayat Alquran dalam surat Annisa Ayat: 59 "Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. "Allah
memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin selama arahan dan perintahnya tidak
mengarah kepada kemaksiatan atau melanggar agama.

Lantas bagaimana dengan larangan menggunakan cadar?? Karena menggunakan


cadar adalah persoalan khilafiyah atau budaya atau bisa dihukumi makruh. Maka
mengikuti perintah pemimpi adalah kewajiban. Karena pemimpin tidak melarang
pada perkara yang wajib atau mengarah pada kemaksiatan dan melanggar perintah
agama
Terorisme dan Bisnis Syariah Bodong
Semakin Merusak Citra Islam
29 November 2019 00:30 Diperbarui: 29 November 2019 12:26 166 5 7

m.liputan6.com & diskartes.com

Kita mungkin akrab dengan diktum sederhana, bahwa Islam itu suci, tapi tidak
dengan pemeluknya. Islam suci karena ia datang dari Allah secara langsung
melalui utusan-Nya yang ma'shum. Sementara pemeluknya adalah hamba, adalah
manusia, yang tak bisa lepas dari lupa, alpa, dan dosa.

Jadi secara sederhana saja, sebenarnya sangatlah berat bagi manusia yang tak luput
dari salah dan dosa itu untuk memikul dan melaksanakan pesan-pesan Islam yang
selamanya akan tetap suci itu. Itulah kenapa umat Islam selalu membaca ihdinash
shiratal mustaqim, meminta petunjuk ke jalan yang lurus karena potensi salah,
luput, dan dosa selalu menghantui umat manusia.

Artinya, mungkin saja, pada titik tertentu, manusia tertentu "memaksakan" diri
mengatasnamakan Islam namun sebenarnya yang dilakukan itu menjadi penyebab
lahirnya interpretasi buruk tentang Islam. Di tengah situasi dunia yang "digiring"
untuk memuluskan hajat "Islamophobia" di berbagai negara di dunia, sebagian
pemeluknya justru kerap memaksakam diri menggunakan diksi atas nama Islam
yang suci itu (syari'at atau syar'ie).
Apa contohnya? Dua hal "mengerikan" yang kerap terjadi di dunia modern saat ini,
yaitu terorisme atas nama Islam dan kegiatan bisnis syar'ie, Islami, meski ujung-
ujungnya bodong karena sama sekali tak sesuai dengan prinsip-prinsip, value
dalam Islam, termasuk tidak masuk akal dari sisi prinsip-prinsip keuangan.

Masalahnya, ketika agama sudah dibawa-bawa, tak banyak yang bisa menolaknya.
Melakukannya, bahkan, dianggap suci juga. Agama dijadikan alasan sekaligus
kekuatan munculnya ketakutan untuk melakukan perilaku tertentu, meski
sebenarnya menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Kita bisa berdebat panjang lebar soal ini, tapi rerata orang akan berpikir ulang jika
sudah mendengar "demi agama", meski yang "demi" itu adalah interpretasi dan
tafsir manusia yang, kadang masih, ditafsirkan ulang sesuai kehendak dan rasa
suka.

Pertama, terorisme. Soal ini sebenarnya harus dilepaskan dari agama tertentu
karena faktanya, terorisme bukan bagian dari ajaran agama manapun. Tapi kita
juga tak bisa memungkiri fakta yang lainnya, bahwa umat Islam banyak yang
terlibat dalam kasus terorisme. Entah sudah berapa kali bom meledak di negeri ini,
tak sulit mencarinya. Mbah Google sangat bisa memberikan informasi
selengkapnya.

Kalau kita sepakat, bahwa terorisme adalah musuh bersama yang tidak menjadi
bagian dari ajaran agama Islam, tulisan ini tidak untuk mengulasnya lagi. Tidak
juga untuk mengulas bagaimana mereka melakukan perekrutan dan brain storming
terhadap otak para pelaku. Bahasan itu terlalu "berat" bagi penulis yang tak mau
sok paham tentang itu.

Tapi yang jelas, tindakan terorisme bukan ajaran Islam yang rahmat. Apalagi
dalam setiap kali peristiwa terorisme terjadi selalu ada kaitannya dengan gerakan
internasional, yang dimodali dan dibiayai. Dipersiapkan untuk menjadi pengantin
yang siap mandi dari air yang mengalir di taman surga, begitu katanya.

Tulisan ini pun tidak untuk menghakimi "nasib" para pelaku di akhirat kelak,
karena yang jelas, dosa terbesar ada pada "para penyuruhnya" yang menjual agama
atas kepentingannya. Sebab andai saja benar apa "yang dijanjikan" oleh ayat atau
hadis yang mereka yakini, tentulah para petingginya yang akan melakukan pertama
kali, bukan mencari orang untuk melakukan tindakan terorisme dengan
meledakkan diri sendiri.

Jelas tindakan terorisme yang dilakukan oleh segelintir umat Islam itu sangat
merugikan bagi Islam sebagai sebuah agama karena yang rusak Islam sebuah
sebuah agama. Maka, kita pun tak bisa memungkiri, bahwa ketakutan terhadap
Islam, justru diprakarsai oleh segelintir penganutnya yang merasa paling Islam dan
paling benar dalam menjalankan agama.

Islam yang rahmat tercoreng karena perilaku mereka yang menyimpang dari
keluhuran nilai-nilai beragama. Tak hanya semakin tercoreng, saudara umat Islam
yang lain juga ikut tertarik dalam pusaran mengerikan yang tak semestinya terjadi.
Sederhananya, "kekhawatiran" berlebihan terhadap cadar dan cingkrang yang
muncul akhir-akhir ini, salah satunya, disebabkan oleh kebiasaan para teroris
menggunakan cadar dan cingkrang saat melakukan aksi.

Dengan realitas seperti itu, menyedihkan bagi kita ketika melihat umat Islam yang
benar-benar murni melaksanakan ajaran agamanya dengan cara bercadar dan
cingkrang, kemudian ikut menjadi "tertuduh" dan hidup dalam kewaspadaan serta
kecurigaan orang lain hanya karena saudara seagamanya memiliki keyakinan
berbeda: ekstrim dan radikal lalu menjadi bagian dari gerakan terorisme.

Andai saja saat mereka melakukan tindakan terorisme tidak menggunakan cadar
atau celana cingkrang, barangkali tak terlalu berakibat fatal. Kalau perlu gunakan
saja baju tank top, baju-baju you can see, saat melakukan aksi. Tampil saja secara
berani, toh, data diri mereka juga akan terbongkar oleh negara, pada akhirnya. Seru
kali ya!

Lah, ini. Dalam setiap kejadian, pelaku perempuannya bercadar dan pelaku prianya
bercingkrang juga. Berjenggot pula. Klop. Sinisme dan apatisme terhadap mereka
yang bercadar dan bercingkrang semakin menguat, padahal banyak umat Islam
yang lain yang secara tulus dan murni hanya ingin menjalankan perintah
agamanya. Tak lebih dan tak kurang.

Mereka bercadar, bercingkrang, memelihara jenggot, dan simbol-simbol keislaman


lainnya memang murni untuk menjalankan ajaran Islam yang diyakininya, tanpa
berperilaku ekstrim dan radikal, kemudian ikut menderita dan menanggung beban
karena ulah saudara seimannya yang "tergelincir" dan menjadi kaku dalam
memahami teks agama sehingga memilih menjadi ekstrim ekstrimis.

Kedua, apa saja kalau sudah menjadikan agama sebagai bagian dari promosi dalam
bisnis, akan mudah diterima, bahkan diapresiasi. Apalagi ditambah dengan narasi-
narasi menggugah soal kepatuhan beragama, syar'i, demi Islam, menjalankan Islam
yang kaffah, beramal demi agama, padahal tujuan sebenarnya adalah murni bisnis
semata. Termasuk di dalamnya investasi, simpan pinjam, travel dan pariwisata
syar'i, dan lain sebagainya.

Kembali pada Islam yang kaffah. Tidak ada bunga. Tidak ada riba. Kerap menjadi
jualan manis pelipur lara sembari menjelekkan Bank Konvensional, bahkan yang
sesama syari'ah tapi tak sesuai dengan madzhab mereka.
Sebagai orang Islam, semangat untuk Islamisasi adalah keniscayaan.
Perekonomian berdasarkan prinsip-prinsip keislaman harus menjadi solusi untuk
menghadapi kapitalisme, sosialisme, serta isme perekonomian lain yang tak
kunjung menjadi solusi. Islam harus menjadi solusi dari perekonomian dunia,
karena Islam memiliki sejarah manis tentang semua itu.

Muncullah kemudian istilah ekonomi syari'ah, yang mampu melepaskan diri dari
kungkungan riba, ketidak adilan, dan ketimpangan. Sebagai turunannya, muncul
juga kemudian bisnis-bisnis syar'i yang kini banyak ditemui. Investasi syari'ah,
travel dan pariwisata dengan pengelolaan syar'i, hotel syar'i, bahkan pakain syar'i.
Semuanya serba syar'i, termasuk respon Bank konvensional yang kemudian
membuat versi syari'ah seperti BCA Syari'ah, BNI Syari'ah, BRI Syari'ah, dan lain
sebagainya.

Permasalahannya adalah, semangat kebangkitan ekonomi Islam itu dirusak oleh


oknum-oknum tertentu yang kerap menjual istilah syari'ah padahal tujuan
utamanya lebih cenderung mendekati serakah. Tipu-tipu menggunakan diksi dan
iklan yang "suci" tapi aslinya tak lebih profesional dibandingkan yang
konvensional.

Apa contohnya? Baru saja, Polda Metro menangkap pengembang


Rumah Syariah yang menggelapkan uang sekitar 23 miliar. Iklannya sama, tanpa
bunga dan bersih dari praktik riba. Penangkapan ini tak berapa lama setelah publik
dikagetkan dengan kejadian serupa, yaitu bisnis investasi Kampoeng Kurma.
Meski diakui tak ada embel-embel syari'ah disitu, tapi melalui promosi iklan habis-
habisan di medsos serta penggunaan tokoh-tokoh agama dalam meng-endorse
(seperti alm. Ustad Arifin Ilham dan Ust. Ali Jaber) menjadi nilai jual tersendiri
dalam menggaet "korban".

Di kampung-kampung, bahkan mulai menjamur lembaga-lembaga keuangan yang


menjual semangat memurnikan muamalah dari praktik ribawi dan bersih dari
bunga. Entah itu berupa simpan-pinjaman, tabungan haji, tabungan umum, dll.
Namun dari beberapa cerita pengalaman teman, tetangga, dan kisah lain yang
didengar penulis, ada beberapa keluhan, diantaranya soal bagi hasil yang dianggap
tidak proporsional dan adil, profesionalitas kerja, serta sedekah atau infaq atau
apapun istilahnya yang bahkan lebih tinggi dari bunga Bank konvensional.

Sempat viral keluhan-keluhan dari anggota beberapa BMT di medsos beberapa


waktu lalu. Anehnya, mereka yang mempertanyakan hak dan kejelasan justeru
diserang karena dianggap meragukan lembaga BMT yang kebetulan "bernama"
dan bonafid, lebih jauh dianggap tidak mempercayai ajaran-ajaran Islam dalam
konteks muamalah. Padahal mereka, kan, hanya ingin mendapatkan jawaban
kenapa "iurannya" justeru lebih tinggi dibandingkan bunga Bank.
Jadi, pada titik inilah sebenarnya yang perlu diluruskan kembali, bahwa sangat
tidak dianjurkan untuk terlalu mudah memercayai bisnis yang menggunakan
embel-embel syari'ah sebagaimana tidak disarankan juga untuk terlalu gampang
percaya, bahwa yang berbau syari'ah tidak terlalu meyakinkan karena banyak
contoh dan bukti yang menjelaskan, bahwa bisnis syari'ah itu jauh lebih berkah.

Artinya begini, kita percaya, bahwa soal terorisme dan bisnis bodong berbau
syari'ah itu adalah perilaku oknum. Namun, janganlah terlalu mudah membawa
label syari'ah karena tanggung jawabnya sangatlah berat. Salah sedikit, tidak hanya
perusahaan yang rugi tapi akan menyasar secara umum terhadap Islam sebagai
sebuah agama. Islam akan semakin jelek dan dianggap buruk karena perilaku
pemeluknya yang mengatasnamakan Islam hanya untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.

Padahal Islam mengatur sedemikian jelasnya bagaimana muamalah yang sesuai


dengan syari'ah itu. Semuanya sudah lengkap dalam fiqih muamalah dengan
berbagai pandangan dari ulama' dan pemikir yang bisa dipertanggungjawabkan
secara agama, keilmuan, dan moral.

Menginginkan muamalah, bisnis, usaha, dan investasi yang sesuai dengan syari'ah
adalah sebuah keniscsyaan bagi seorang muslim, tapi sekali embel-embel syari'ah
itu disematkan, maka berusahalah untuk melakukannya dengan baik dan benar
sesuai aturan. Jangan hanya mempergunakan kata syari'ah untuk meraup klien dan
demi keuntungan bisnis semata. Begitu pula dengan terorisme yang semakin
mengerikan.

Bagaimana mungkin berbicara soal syari'ah dan demi kemajuan Islam, sementara
pada praktiknya si beberapa tempat) jauh lebih "barbar" dibandingkan sesuatu
sering dicap sebagai sistem gagal? Kalau mau jahat, jahat saja. Tak perluencari
dalil dalam Islam karena tak akan ditemukan. Kalau mau menipu, menipu saja. Tak
perlu istilah investasi syari'ah yang pada akhirnya bodong.

Teroris, berhentilah menggunakan narasi agama sebagai alasan dan pembela. Para
pengusaha di bidang syari'ah, berhentilah menggunakan embel-embel Islam jika
pada praktiknya tidak mampu memberikan jawaban terhadap permasalahan. Jika
tidak demikian, "Anda berdua" justeru akan semakin merusak citra Islam.

Bertarunglah secara jantan. Dalam dunia ideologi atau perrkonomian. Jangan


memanfaatkan situasi psikologis massa dengan menawarkan "label syari'ah" yang
pada akhirnya bodong atau tak perlu menempelkan label keislaman untuk
memberikan justifikasi atas tindakan terorisme yang dilakukan.

Kita masih percaya, bahwa mayoritas Muslim memiliki laku keagamaan yang
benar. Banyak yang masih bisa jadikan sebagai rujukan dalam beragama maupun
berbisnis sesuai dengan syariah yang lurus. Sisanya adalah penipuan dan
keserakahan atas dalil dan prinsip beragama yang diselewengkan. Mereka itulah
oknum, yang ssbenarnya sangat merusak Islam dari dalam. Semoga kita semua
terselamatkan. mn.

Salam,
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

Anda mungkin juga menyukai