Anda di halaman 1dari 5

4.

Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Mewujudkan Masyarakat Sipil

a. Meningkatkan Usaha Menciptakan Pemerintahan yang Baik


Terciptanya pemerintahan yang baik (good government) merupakan tuntutan
masyarakat pada era reformasi. Pemerintahan yang baik menjadi prasyarat untuk
tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani yang sehat. Pemerintahan yang
bersih merupakan sebuah pemerintahan yang efesien dan efektif, profesional,
berwibawa, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Ciri khas dari
pemerintahan yang bersih adalah dapat dipercaya (credible), dapat diterima
(acceptable), dapat memimpin (capable), pemerintahan bersih (clean government).

b. Meningkatkan Keseimbangan dalam Pembagian Kekuasaan


Sebagaimana prinsip trias politika, sautu pemerintahan yang ideal terbagi ke
dalam 3 kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiganya terwadahi
dalam lembagalembaga negara. Ketiga lembaga harus mampu menjalankan peran
sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, dapat tercipta tingkat
keseimbangan hubungan antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legeslatif, dan
kekuasaan yudikatif. Di dalam menjalankan perannya, lembaga legislatif menjadi
cerminan aspirasi masyarakat yang diwakili.

c. Meningkatkan Jiwa Kemandirian melalui Kegiatan Perekonomian


Masyarakat madani menuntut pemerataan kehidupan ekonomi yang lebih merata.
Dengan adanya pemerataan, kegiatan perekonomian menjadi hak semua warga
negara. Kegiatan ekonomi tidak hanya menjadi milik sekelompok kecil anggota
masyarakat. Kegagalan dalam menerapkan pemerataan ekonomi, dapat menciptakan
kehidupan perekonomian yang tidak demokratis. Namun sebaliknya, pemerataan
kegiatan perekonomian, dapat menjamin kehidupan ekonomi yang demokratis. Makin
demokratis suatu bangsa, berarti makin mudah mewujudkan terciptanya masyarakat
madani.

d. Meningkatkan Pemahaman Perlunya Kebebasan Pers


Di dalam kehidupan masyarakat madani, pers memiliki peran untuk melakukan
kontrol sosial. Terciptanya kebebasan pers, yaitu berkembangnya media massa baik
cetak maupun elektronik yang sanggup berfungsi mendidik dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta melakukan fungsi kontrol sosial. Kebebasan pers merupakan
salah satu syarat demokrasi. Makin banyak syarat demokrasi terpenuhi, berarti makin
mudah membawa masyarakat ke arah masyarakat madani.

e. Menciptakan Perangkat Hukum yang Memadai dan Berkeadilan Sosial


Terbentuknya lembaga pene gak hukum harus mampu mencerminkan berlakunya
supremasi hukum dalam kehidupan bermasyara kat, berbangsa, dan bernegara menuju
suatu tatanan masyarakat madani atau civil society Indonesia. Hal tersebut sesuai
dengan semangat reformasi. Di dalamnya terkandung semangat untuk mewujudkan
ketaatan kepada hukum untuk semua orang dan bukan hanya untuk kepentingan
penguasa. Setiap orang sama di depan hukum, sehingga dituntut kedisiplinan yang
sama terhadap nilai-nilai hukum yang berlaku. Terciptanya perangkat hukum yang
memadai dan berkeadilan sosial, mampu menghilangkan diskriminasi di bidang
hukum.
5. Munculnya Radikalisme dan Fundamentalisme di Indonesia

5.1. Radikalisme

Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja
tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan
radikalisme. Berikut beberapa penyebab munculnya radikalisme

a. Pendidikan Rendah

Latar belakang pendidikan yang rendah dianggap merupakan salah satu penyebab
mengapa generasi muda ataupun anak sekolahan sangat tertarik untuk terlibat dalam
kegiatan radikal.

Acapkali generasi muda tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mencari
jalan alternatif penyelesaian suatu masalah selain bertindak radikal ataupun
melakukan aksi-aksi ekstrim. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
seseorang dengan latar pendidikan tinggi hingga bergelar doktor sekalipun dapat
menjadi salah seorang aktor intelektual dibalik penyebaran ajran radikal dan
terorisme.

b. Krisis Identitas

Secara umum, target perekrutan anggota kelompok radikal ataupun ekstrimisme


acapkali berasal dari kelompok generasi muda yang masih dalam tahap pencaharian
jati diri.

Dalam proses perekrutan, generasi muda sangat rentan terhadap tekanan kelompok
dan juga membutuhkan sebuah panutan hidup. Tekanan kelompok dilakukan dengan
adanya perekrutan dan seleksi oleh organisasi radikal berkedok kelompok keagamaan
dan forum studi yang terbatas.

Apabila salah seorang target telah masuk kedalam lingkungan kelompok radikal dan
ekstrim, maka tindakan selanjutnya sang perekrut akan mulai melakukan tahapan
komunikasi yang lebih intensif guna mempengaruhi pola pikir dan perilaku sang
target, baik dengan cara dialog, ceramah, atau bahkan sebuah ritual. Pengaruh
kelompok perekrut ini sangatlah besar karena tanpa disadari, secara terus menerus si
target akan dituntun mengikuti arus perubahan dan penanaman nilai-nilai kelompok
radikal.

c. Minimnya Kondisi Ekonomi

Keadaan ekonomi yang kurang memadai disertai dengan sikap apatis terhadap kondisi
kehidupan lingkungan sekitar, dapat dianggap menjadi salah satu faktor penyebab
untuk menarik generasi muda dalam melakukan tindakan radikal.

Acapkali generasi muda tidak memiliki kebanggaan secara materi dan tidak memiliki
pandangan positif mengenai masa depan yang dihadapi di dunia ini. Biaya sekolah
yang mahal, membuat sebagian generasi muda menjadi putus sekolah dan tidak
mempunyai pekerjaan hingga penghasilan yang memadai, terkadang dijadikan salah
satu faktor kekesalan terhadap sistem perekonomian yang dianggap kebarat-baratan
atau liberal, lantaran sistem yang ada dinilai tidak pro terhadap rakyat dan tidak juga
memberikan kesejahteraan terhadap dirinya.

Dengan keadaan tersebut, penghancuran terhadap dirinya dan orang lain dianggap
sebagai suatu hal yang wajar, karena materi yang saat ini tidak diperoleh akan
digantikan dengan kenikmatan akhirat sebagai imbalannya melakukan perjuangan dan
pengorbnannya setelah mati syahid.

d. Keterasingan secara Sosial dan Budaya

Adanya rasa keterasingan di lingkungan dan jarak diantara masyarakat umum dengan
hubungan anggota radikal merupakan salah satu penyebab yang membuat generasi
mudah rentan bergabung dengan organisasi radikal.

Sehingga, dengan adanya rasa keterasingan dan jarak tersebut, kelompok terorisme
yang tidak merasa menjadi bagian dimasyarakat akan merasa tidak memiliki
hubungan emosional dan terikat terhadap masyarakat disekelilingnya. Tak ayal
sebuah kelompok radikal seringkali melakukan aktifitas penghancuran terhadap
fasilitas umum dan memakan korban rakyat sipil.

e. Keterbatasan Akses Politik

Aspirasi politik yang tidak tersalurkan melalui jalur politik formal berdasarkan kaedah
hukum yang berlaku, acapkali menjadi salah satu alasan untuk sebuah organisasi
melakukan aksi radikal.

Sehingga dengan melakukan aksi dan tindakan radikal yang cenderung “nyeleneh”
dimata masyarakat, dianggap sebagai sebuah solusi atau terobosan kontroversial
untuk dapat menyampaikan pesan organisasi ke masyarakat luas. Adanya rasa
ketakutan mendalam, diharapkan oleh sebuah organisasi radikal akan membuat pesan
yang ingin disampaikan tertanam dan melekat dibenak target khalayak.

f. Primordialisme dan Etnosentrisme

Rasa kebersamaan antara sesama umat dalam satu agama acapkali membangun
sebuah tali persaudaraan yang kuat yang melintasi perbedaan suku, budaya, negara,
dan geografis. Rasa solidaritas yang tinggi tersebut menciptakan suatu tali batin dan
rasa empati yang mendalam.

Seperti halnya apabila ada sekelompok umat yang merasa di tindas oleh pemerintah
atau agama lain, dapat menjadi faktor pembangkit semangat kelompok radikal dan
terorisme untuk bergerak seakan membantu kelompok-kelompok yang mengalami
tindak penindasan. Tersirat jelas pada perang dingin antara kelompok negara-negara
barat dan kelompok negara-negara timur tengah.

Dimana Amerika dan israel dianggap sebagai biang keladi penindasan umat islam
yang kemudian membuat para kelompok radikal dan ekstrimis melancarkan aksi
perlawanan yang tidak hanya ditujukan kepada Amerika dan Israel, namun negara-
negara pendukung atau bahkan hanya berhubungan dalam aspek ekonomi dan budaya
dalam lingkup kecil pun juga menjadi target penyerangan.

5.2. Fundamentalisme

Secara naluriah kaum fundamentalis seringkali menanggapi modernitas yang


menggerogoti ini dengan menciptakan enclave iman murni. Ini menandakan penarikan diri
dari dunia tak ber-Tuhan ke dalam komunitas yang mencukupi dirinya sendiri, dimana kaum
beriman berusaha menata ulang eksistensi sebagai perlawanan perubahan dari luar.

Jadi pada intinya, hal ini merupakan gerakan pertahanan. Akan tetapi di dalam
gerakan yang terlihat mundur ini terdapat potensi serangan balik dimasa depan.
Armstrong memiliki dua tinjauan objektif dalam melihat gerakan fundamentalisme.
Pertama, perlu disadari bahwa ideologi gerakan ini berakar dari ketakutan untuk
menghindari sekularisme yang dikhawatirkan akan melenyapkan mereka, maka dilahirkan
rumusan doktrin-doktrin, mendirikan penghalang dan pembatas-pembatas. Dunia modern
yang tampak menggairahkan bagi orang liberal terlihat tak ber-Tuhan dan tak bermakna.
Kedua, diperlukan penyadaran bahwa gerakan ini bukanlah sebuah hal kuno yang datang dari
masa lampau; mereka adalah gerakan modern, inovatif, dan memodernkan. Mereka
membaca dasar-dasar keagamaan mereka dengan rasional.

Jika dilihat dari sisi sosiologi keagamaan, pengekangan agama bisa melahirkan
fundamentalisme. Ambil saja studi kasus negara yang tersekulerkan oleh pengaruh
kolonialisme Barat, yaitu Mesir, Iran, dan Turki. Pemerintahan sekuler Turki dan Iran pernah
melakukan penutupan madrasah dan memaksa masyarakatnya untuk meniru budaya asing.
Hal ini tak pelak lagi telah menjatuhkan otoritas ulama.
Kalangan terdidik, cerdas, dan bertanggungjawab dalam Islam semakin menipis; satu-satunya
bentuk agama yang tersisa adalah sufisme bawah tanah. Sudah tentu mereka yang sudah
berdiri dari sekian lama, kemudian dipaksa dan dikekang tanpa ada proses penyesuaian diri
dengan budaya sekuler, mereka akan melakukan perlawanan. Mereka akan memberontak
untuk memperjuangkan apa yang sudah dirobohkan dengan paksa. Pada akhinya, Armstrong
memberi pandangan umum bahwa kaum Muslim mengalami modernitas sebagai penyerbu,
asing, dan tak terpisahkan dari penjajahan dan dominasi asing. Mereka terpaksa
menyesuaikan dengan kebudayaan yang kata kuncinya adalah kebebasan, sementara mereka
sendiri sedang mengalami penindasan politik.
Kolonialisme sekuler adalah penyebab radikalisasi Muslim yang ingin
mempertahankan eksistensinya, khususnya eksistensi agamanya yang suci. Kaum Muslim di
Mesir dan di Iran mengalami modernitas pertama-tama dalam bentuk yang agresif,
menyerang, dan eksploitatif tidak seperti di India. Sekarang Barat telah terbiasa mendengar
kaum fundamentalis Muslim mengecam dengan pedas kebudayaan mereka.
Ada pengandaian bahwa Islam itu bertentangan dengan apa saja yang dibela oleh Barat.
Namun kenyataannya tidak demikian. Sebenarnya, di bawah dorongan spiritualnya sendiri,
kaum Muslim sampai pada banyak gagasan dan nilai yang serupa dengan pemahaman
modern Barat. Mereka telah mengembangkan pemahaman akan kebijaksanaan memisahkan
agama dan politik dan visi kebebasan intelektual individu dan melihat perlunya pemupukan
pemikiran rasional. Perhatian dalam al-Qur’an bagi keadilan dan persamaan tidak kalah
sakral dalam etos Barat modern. Oleh karena itu banyak kalangan Muslim yang tergairahkan
juga oleh Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa orang Eropa dan Muslim memiliki nilai-nilai
yang sama, meskipun Eropa jelas melangkah lebih jauh untuk mengubah masyarakat yang
lebih efisien, dinamis, dan kreatif.
Berbeda halnya dengan Islam di India. Proses gerakannya tidak seagresif Mesir dan Iran
dalam melawan imperialisme.

Anda mungkin juga menyukai