Sejarah Dan Model Pembangunan (Strategi Dan Praktek Pembangunan)
Sejarah Dan Model Pembangunan (Strategi Dan Praktek Pembangunan)
DI SUSUN OLEH :
2019
Pembangunan adalah salah satu program pemerintah dalam memakmurkan masyarakatnya.
makna pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan hidup yang lebih baik sebagaimana
yang didefinisikan oleh suatu negara “an increasing attainment of one’s own cultural values”
(Tjokrowinoto, 1996:1). Ini yang disebut sebagai cita-cita bangsa.
Dengan demikian, pembangunan sangat berkaitan dengan nilai, dan acap kali bersifat
transendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan sebuah ideologi. Pokok pikiran
pembangunan tertuju pada cita-cita keadilan sosial. Untuk itu, pembangunan butuh proses
dan tahapan terukur. Tahapan itu harus dapat menyentuh berbagai bidang, yakni pertama
ekonomi sebagai ukuran kemakmuran materiil. Kedua adalah tahap kesejahteraan sosial.
Ketiga adalah tahap keadilan sosial.
Makna tentang pembangunan sebagai suatu proses perencanaan (social plan) yang dilakukan
oleh birokrat perencanaan pembangunan untuk membuat perubahan sebagai proses
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Konseptualisasi pembangunan merupakan proses
perbaikan yang berkesinambungan pada suatu masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik
atau lebih sejahtera sehingga terdapat beberapa cara untuk menentukan tingkat kesejahteraan
pada suatu negara. Tolok ukur pembangunan bukan hanya pendapatan per kapita, namun
lebih dari itu harus disertai oleh membaiknya distribusi pendapatan, berkurangnya
kemiskinan, dan mengecilnya tingkat pengangguran.
1. SEJARAH PEMBANGUNAN DI DUNIA
TEORI MODERNISASI
Teori modernisasi memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang menyebabkan
ketergantungan negara Dunia Ketiga dengan negara maju. Dimana faktor-faktor tersebut
dilihat sebagai faktor internal negara Dunia Ketiga. Teori Pembangunan besar ini bertujuan
ingin menjelaskan fenomena-fenomena proses perkembangan negara-negara di dunia ini.
Teori modernisasi di anggap sebagai suatu sejarah dunia yang terjadi dengan sendirinya dan
sebagai proses atau tahapan satu dimensi yang akan dialami oleh setiap negara-negara yang
ada di dunia ini.
Teori Modernisasi lahir dalam bentuknya yang sekarang ini, paling tidak menurut tokoh-
tokoh Amerika Serikat, sebagai produk sejarah tiga peristiwa penting dunia setelah masa
perang dunia II. Pertama, munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia.
Sekalipun Negara-negara barat lainnya, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman semakin
melemah setelah perang dunia II, AS justru emenjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan
Maeshall Plan yang diperlukan untuk membangun kembali Eropa Barat akibat Perang Dunia
II. Pada tahun 1950 secara Praktis AS mengambil peran sebagai pengendali percaturan dunia.
Kedua, pada saat yang hamper bersamaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Uni
Soviert mampu memperluas pengaruh politiknya tidak saja sampai di Eropa Timur, tetapi
juga sampai di Asia, antara lain Cina dan Korea. Ini secara tidak langsung mendorong AS
untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya pada belahan dunia lain, selain Eropa Barat,
sebagai salah satu upaya pembendungan penyebaran ideologi Komunisme.
Ketiga, lahirnya Negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang
sebelumnya merupakan daerah jajahan Negara-negara Eropa. Negara-negara baru ini secara
merempak mencari model-model pembangunan yang hendak digunakan secara serempak
mencari model-model pembangunan yang hendak digunakan sebagai contoh untuk
membangun ekonominya dan dalam usaha untuk mempercepat pencapaian kemerdekaan
politiknya. Dalam situasi dunia seperti wajar jika elit politik AS memberikan dorongan dan
fasilitas bagi ilmuwan sosialnya untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga.
Kebijaksanaan ini diperlukan sebagai langkah pendahuluan untuk membantu membangun
ekonomi dan kestabilan politik dunia ketiga dalam rangka menghindari kemungkinan
terpengaruh dan atau jatuhnya Negara yang baru merdeka tersebut ke pangkuan Uni Soviet.
Jika pada masa sebelum perang dunia II, persoalan pembangunan Negara Dunia Ketiga hanya
sedikit sekali mendapat perhatian para Ilmuwan AS, namun keadaan yang sebaliknya terjadi
setelah Perang Dunia II. Dengan bantuan dari pemerintah AS dan organisasi swasta, satu
generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi, psikologi, antropologi, serta
ahli kependudukan menghadilkan karya-karya disertai monograf tentang dunia ketiga. Satu
aliran pemikiran antar disiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi sedang terbentuk
pada tahun 1950-an tersebut. Karya kajian teori modernisasi merupakan “industry yang
tumbuh segar” sampai pertengahan 1960-an.
Teori modernisasi yang lahir sekitar tahun 1950-an itu di Amerika Serikat merupakan wujud
respon kaum intelektual Barat atas kondisi dunia yang terjadi setelah Perang Dunia II.
Lahirnya negara-negara merdeka baru bekas jajahan Eropa di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin pasca Perang Dunia II merupakan pemicu lahirnya teori ini. Negara-negara baru itu,
yang oleh negara Barat disebut sebagai Dunia Ketiga, adalah sasaran utama dari negara Barat
untuk penyebarluasan ideologinya (kapitalis) melawan popularitas ideologi Uni Soviet
(sosialis).
Teori modernisasi dikembangkan oleh negara Barat dengan memanfaatkan situasi dan
kondisi yang dialami oleh Dunia Ketiga waktu itu. Dunia Ketiga pasca Perang Dunia II
umumnya berada dalam kondisi miskin, rentan, serta penuh dengan persoalan akibat
penjajahan. Kondisi tersebut lah yang menjadi jalan bagi negara Barat untuk mendekati
Dunia Ketiga. Negara Barat pun gencar menciptakan konsep pembangunan bagi Dunia
Ketiga dengan harapan ekonomi dan kestabilan politik Dunia Ketiga dapat terkendali.
Dengan demikian, Dunia Ketiga menjadi lebih dekat dengan (dalam kekuasaan) negara Barat
dan tidak akan mudah jatuh ke tangan Uni Soviet.
Teori modernisasi secara jelas menyatakan bahwa pembangunan Dunia Ketiga dapat dicapai
dengan mengikuti proses pembangunan yang dilalui oleh negara maju (Barat). Salah satu
faktor kunci adalah perlunya bantuan dari negara maju bagi Dunia Ketiga untuk membantu
mereka mencapai kondisi yang lebih maju.
Berikut ini, asumsi dasar dari teori modernisasi :
1. Berangkat dari dua kutub dikotomis, antara masyarakat modern dan masyarakat
tradisional. Masyarakat modern diidentikkan dengan masyarakat negara-negara maju dan
masyarakat tradisional diidentikkan dengan masyarakat negara-negara berkembang;
2. Berangkat dari modernisasi tersebut maka negara-negara maju memberikan peran sangat
dominan dan dianggap positif, menularkannilai-nilai modern di samping memberikan
bantuan modal dan teknologi. Teori modernisasi menekankan bahwa tekanan kegagalan
pembangunan bukan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal melainkan internal
3. Resep pembangunan yang ditawarkan bisa berlaku untuk siapa, kapan, dan di mana saja.
Teori Dependensi
Teori Dependensi atau Teori Ketergantungan lebih menitik beratkan pada persoalan
keterbelakangan dan pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan
bahwa teori dependensi mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang
hegemoni ekonomi, politik, budaya, dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori
dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan
yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori dependensi lahir karena teori modernisasi
ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang
merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi
negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuwan sosial untuk
memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang
dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru
semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan
modernisasinya. Frank sebagai pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya
menyerang pendapat Rostow. Frank menganggap Rostow telah mengabaikan sejarah.
Keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara berkembang yang telah secara intensif
mendapat bantuan dari negara-negara maju menyebabkan ketidakpuasan terhadap asumsi-
asumsi yang dikemukakan olehteori modernisasi. Keadaan ini menimbulkan reaksi keras dari
para pemerhati masalah-masalah sosial yang kemudian mendorong timbulnya teori
dependensi. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah negara-negara
dunia ketiga kemudian mengalami kemunduran (keterbelakangan), secara ekstrem dikatakan
bahwa kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara maju pada kenyataannya
menyebabkan keterbelakangan dari negara-negara lainnya.
Teori dependensi pertama kali muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini
lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang telah dijalankan oleh Komisi
Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin. (United Nation Economic
Commission for Latin Amerika/ECLA) pada masa awal tahun 1960-an. Pada tahun 1950-an
banyak pemerintahan di Amerika Latin, yang dikenal cukup “populis”, mencoba untuk
menerapkan strategi pembangunan dari ECLA yang menitik beratkan pada proses
industrialisasi melalui program industrialisasi subsitusi impor. Melalui proses ini diharapkan
akan memberikan keberhasilan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahtaraan rakyat, dan pada akhirnya akan
memberikan suasana yang mendorong pembangunan politik yang lebih demokratis. Akan
tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, ekspansi ekonomi amat singkat, dan segera berubah
menjadi stagnasi ekonomi.
Disamping itu, lahirnya teori dependensi ini juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas
krisis teori Marxis ortodoks di Amerika Latin. Menurut pandangan Marxis ortodoks, Amerika
Latin harus mempunyai tahapan revolusi industri “borjuis” sebelum melampaui revolusi
sosialis proletar. Namun demikian Revolusi Repuplik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan
revolusi Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendikiawan, bahwa negara
dunia ketiga tidak harus mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut. Tertarik pada
model pembanguan RRC dan Kuba, banyak intelektual radikal di Amerika Latin
berpendapat, bahwa negara-negara Amerika Latin dapat saja langsung menuju dan berada
pada tahapan revolusi sosialis.
Teori dependensi yang lahir sebagai hasil “revolusi intelektual” pada pertengahan tahun
1960-an merupakan sebuah tantangan para ilmuwan Amerika Latin terhadap pandangan
Barat mengenai pembangunan. Teori ini merupakan kritik terhadap teori modernisasi. Teori
dependensi memandang bahwa teori modernisasi tidak mampu membangkitkan ekonomi di
negara-negara Dunia Ketiga. Pengamatan yang dilakukan telah memberikan gambaran serta
bukti empirik terhadap kegagalan modernisasi. Teori ini melihat ketidakseimbangan dalam
hubungan antara negara Dunia Ketiga dengan negara maju.
Teori dependensi memandang bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di Dunia
Ketiga bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut tetapi lebih banyak
ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga. Hambatan pembangunan
justru disebabkan oleh turut campurnya negara-negara maju, di mana dengan adanya bantuan
dari negara maju dianggap akan menimbulkan ketergantungan dan masalah baru bagi negara
Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan harus diputus dan
membiarkan negara Dunia Ketiga melakukan kegiatan pembangunannya secara mandiri.
Pendekatan dependensi pertama kali muneul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori
ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh Komisi Ekonomi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin pada masa awal tahun 1960-an.' Di
samping itu, lahirnya teori dependensi juga dipengaruhi dan merupakan jawaban atas krisis
teori Marxis ortodoks di Amerika Latin. Menurut pandangan Marxis ortodoks, Amerika Latin
harus melalui tahapan revolusi industri "borjuis" sebelum melampaui revolusi sosialis
proletar. Namun demikian Revolusi Republik Rakyat Cina (RRC) tahun 1949 dan Revolusi
Kuba pada akhir tahun 1950-an mengajarkan pada kaum cendekiawan, bahwa negara Dunia
Ketiga tidak harus selalu mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tersebut. Tertarik pada
model pembangunan Republik Radikal Cina dan Kuba, banyak intelektual radikal di Amerika
Latin berpendapat, bahwa negara-negara Amerika Latin dapat saja langsung menuju dan
berada pada tahapan revolusi sosialis.
Teori dependensi ini segera menyebar dengan cepat ke belahan Amerika Utara pada akhir
tahun 1960-an. Teori dependensi memperoleh sambutan hangat. Ini terjadi karena
kedatangannya hampir bersaamaan waktunya dengan lahirnya kelompok intelektual muda
radikal, yang tumbuh dan berkembang subur pada masa revolusi kampus di Amerika Serikat,
akibat pengaruh kegiatan protes anti perang, gerakan kebebasan wanita, dan gerakan
“ghetto”. Chirot menggambarkan “kegagalan amerika di vietnam dan menyebarnya
kerusuhan rasial pada tahun 1960-an yang dikuti oleh invlasi, kronis, devaluasi mata uang
dollar amerika, dan perasaan kehilangan kepercayaan diri pada awal tahun 1970-an,
menyebabkan hilangnya keyakinan, landasan moral teori modernisasi.
Pada pertengahan pertama tahun 1970-an, setelah perdebatan dan perang antara kedua
perspektif pembangunan tersebut sudah tidak lagi bersifat emosional dan kurang ideologis,
lahir ajaran baru sekelompok pemikir pembangunan yang di pimpin oleh Immanuel
Walletsksun muncul dengan gagasan barunya yang radikal dengan menunjuk, bahwa banyak
peristiwa sejarah dalam tata ekonomi kapitalis dunia ini yang menurut mereka tidak dapat
dijelaskan oleh kedua perspektif pembangunan tersebut secara memuaskan, khususnya oleh
teori depedensi, baik yang klasik maupun yang temporer.
Pertama Negara-negara di asia timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong dan
Singapura) terus mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. Kenyataan ini menjadikan
semakin sulit menggambarkn keajaiban ekonomi Negara-negara teresebut sebagai sekedar
“Hasil Kerja Imperialisme” pembangunan yang bergantung, atau ketergantungan dinamis,
karena Negara Industri di Asia Timur tersebut mulai memberikan tantangan nyata terhadap
kekuatan ekonomi amerika serikat.
Kedua, adanya krisis di berbagai negara sosialis. Perpecahan Republik Rakyat Cina dan Uni
Soviet, kegagalan revolusi kebudayaan stagnasi ekonomi di berbagai negara sosialis, dan
perkembangan perlahan, namun pasti, dari keterbukaan negara sosialis untuk menerima
investasi modal asing (yang tentu saja bersifat kapilistik) menuju pada tanda awal bangkitnya
Marxisme revolusioner dan revolusi Marxisme. Sudah banyak ilmuwan yang mulai
memikirkan kembali, bahkan meragukan, bahwa kebijaksanaan pemutusan hubungan dan
pengisolasian negara Dunia Ketiga dengan tata ekonomi-kapitalis dunia sebagai model
pembangunan yang tepat.
Ketiga, munculnya krisis di Amerika Serikat, Perang Vietnam, krisis Watergate, embargo
minyak tahun 1975, inflasi dan stagnasi ekonomi Amerika akhir tahun 1970-an,
kebijaksanaan perdagangan dan investasi produktif, defisit anggaran belanja pemerintah,
defisit neraca pembayaran yang semakin melebar di tahun 1980-an, keseluruhannya
merupakan tanda-tanda mulai robohnya hegemoni politik ekonomi Amerika Serikat. Lebih
dari itu, juga terlihat adanya usaha Amerika Serikat yang terus-menerus dan nyata untuk
melakukan restrukturisasi hubungan aliansi antar Negara. Perkembangan terakhir untuk
membangun aliansi antara Washington, dan Tokyo tidak dapat dipahami sama sekali jika
digunakan kerangka pendekatan ideologis, khususnya dari garis kebijaksanaan Perang Dingin
tahun 1950-an.
Sistem dunia yang ada sekarang adalah kapitalisme global. Wallerstein kemudian membagi
tiga kelompok Negara: pusat, setengah pinggiran, dan pinggiran. Konsep ini jelas diambil
dari teori ketergantungan. Wallerstein hanya menambah kelompok setengah pinggiran.
Perbedaan inti dari ketiga kelompok ini adalah kekuatan ekonomi dan politik dari masing-
masing kelompok. Jelas, yang paling kuat adalah negara-negara pusat. Kelompok negara-
negara kuat, yakni negara-negara pusat, mengambil keuntungan yang paling banyak karena
kelompok ini bisa memanipulasikan sistem dunia sampai batas-batas tertentu. Selanjutnya,
negara tengah pinggiran mengambil keuntungan dari negara-negara pinggiran yang
merupakan pihak yang paling dieksploitir
Selanjutnya, menurut Wallerstein, negara-negara bisa “naik atau turun kelas,” misalnya dari
negara pusat menjadi negara setengah pinggiran dan kemudian menjadi negara pinggiran, dan
sebaliknya. Naik dan turun kelasnya negara-negara ini ditentukan oleh dinamika sistem
dunia. Pada suatu saat, Inggris, Belanda, dan Prancis adalah negara-negara pusat yang
berperan dominan dalam sistem dunia. Akan tetapi kemudian, Amerika Serikat muncul
menjadi negara terkuat setelah Negara-negara Eropa hancur dalam Perang Dunia II. Akan
tetapi, pada saat ini muncul Jepang sebagai negara yang menantang kekuasaan hegemonik
Amerika Serikat. Bangun dan jatuhnya kekuatan negara-negara ini oleh Wellerstein
dijelaskan melalui sebuah analisis sejarah dari dinamika sistem dunia, yang dituangkan
dalam dua bukunya yang terbit pada tahun 1974 dan 1980.
Di samping itu, teori Wallerstein dapat dipakai untuk menjelaskan naiknya negara-negara
industri baru (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura) dari posisinya pinggiran.
Naiknya upah kerja di negara-negarapusat membuat negara-negara ini memberikan
kesempatan pada beberapa negara yang sudah siap (dalam arti kesiapan teknologi, kestabilan
politik, disiplin kerja, dan sebagainya) untuk mengambil alih produksi barang-barang industri
yang lebih sederhana. Industri dengan teknologi canggih yang memberi keuntungan besar
seperti komputer, tetap ada di tengah negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan
Singapura ini naik kelas.
a. Orde lama
Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun 1959-1967,
pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang menetapkan sedikitnya tiga
ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional.
1. TAP MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara;
2. TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional
Semesta Berencana 1961-1969;
3. Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan
Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem perencanaan pembangunan mulai tersendat-
sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah menyebabkan tidak cukupnya
perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pada
masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram. Persediaan beras
menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengimpor beras serta
memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang membubung tinggi, yang tercermin dari
laju inflasi yang sampai 650 persen di tahun 1966. Keadaan politik tidak menentu dan terus
menerus bergejolak sehingga proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai
akhirnya muncul gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakhir dengan tumbangnya
kekuasaan presiden Soekarno.
Ekonomi Berdikari
Konsepsi ekonomi Sukarno sudah mempunyai pondasi sejak zaman pergerakan nasional.
Gagasan ini dapat ditemukan misalnya dalam pidato pembelaan Sukarno “Indonesia
Menggugat” dihadapan pengadilan kolonial di Bandung, 18 Agsutus 1930.
Dengan mengutip berbagai teori dan fakta-fakta penghisapan kolonial atas Hindia Belanda,
Sukarno secara lantang menolak kapitalisme dan imperialisme yang dianggapnya sumber
kesengsaraan rakyat, eksploitasi antar manusia dan penjajahan antar bangsa di dunia.
Imperialisme bagi Sukarno bukan hanya penguasaan wilayah oleh sebuah negara yang lebih
kuat, tapi juga penguasaan ekonomi oleh perusaahaan-perusahaan besar untuk
mengeksploitasi kekayaan alam sebuah bangsa.
Bila sistem kapitalisme dan imperlialisme ditolak oleh Sukarno maka Sukarno mengajukan
gagasan sosio-demokrasi, sebuah demokrasi yang memajukan kesejahteraan sosial,
kesejahteraan seluruh rakyat dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia. Sepintas
gagasan ini mirip dengan pemikiran sosial-demokrasi. Namun bagi Sukarno, demokrasi
politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi.
EB tidak bisa dipahami sebatas kebijakan ekonomi semata, tapi juga jalan ideologis Sukarno
dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan nasional. EB adalah sebuah
eksperimen ekonomi mandiri ala Indonesia atau alternatif “Jalan Ketiga” yang dipilih
Sukarno ditengah pilihan “jalan kapitalisme” atau “jalan komunisme” sebagai strategi
pembangunan nasional yang mandiri sesuai dengan Panji Trisakti Sukarno; Berdikari dalam
ekonomi, Berdaulat dalam Politik, dan Berkepribadian dalam budaya.
Pada tahun 1963 pemerintah Sukarno mengeluarkan peraturan ”26 Mei 1963” yang disebut
dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon). Keputusan ini menegaskan pendirian Sukarno untuk
kembali fokus ke rencanan pembangunan nasional, setelah pergolakan daerah dan persoalan
Irian Barat dianggap selesai.
Pondasi dasar dari EB adalah penguasaan negara atas aset-aset ekonomi strategis yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak, yang saat itu masih dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan asing, terutama perkebunan dan pertambangan. Penguasaan aset strategis adalah
mandat dari Pasal 33 UUD 1945. Karena itu EB diawali dengan nasionalisasi perusahaan-
perusaaan asing yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Sekitar 400 perusahaan yang dikelola oleh Pusat Perkebunan Negara (PPN), 100 perusahaan
perdagangan, perusahaan yang memproduksi dan memperdagangakan 13 barang vital untuk
konsumsi dalam negeri dan ekspor melalui Badan Urusan Dagang. Negara juga mengusai
160 perusahaan industri ringan yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Perusahaan-
Perusahaan Industri dan Tambang dan Listrik. Besarnya penghasilan dari semua bidang yang
dikuasai negara ini pertahun ditaksir sekitar Rp 50 milyar. Sayangnya, proyek nasionalisasi
ini kemudian lebih dinikmati oleh pihak birokrat dan militer sebagai penguasa darurat di
masa Demokrasi Terpimpin. Banyak dari perusahan negara ini dikelola dengan buruk dan
cenderung digunakan untuk kepentingan politik.
Kebijakan perekonomian strategis lainnya adalah menjadikan koperasi sebagai pondasi dari
perekonomian nasional agar petani di pedesaan dan buruh dapat meningkatkan pendapatan
dan produksinya. Memajukan koperasi adalah mandat dari UUD 1945 sebagai bentuk usaha
rakyat melawan kapitalisme dan kepentingan pasar bebas. Koperasi dipilih karena usaha
kolektif ini tidak bertujuan untuk melakukan pemusatan modal dan mencari untung. Dengan
demikian koperasi diharapkan akan memperbaiki ekonomi rakyat sehingga perannya sama
dengan perusahan negara yaitu sebagai pelaksana EB.
Pondasi ekonomi yang juga akan diperkuat adalah kebijakan memajukan swasta nasional
untuk memperkuat daya saing pengusaha pribumi. Pemerintah memberlakukan berbagai
pembatasan atas perusahaan swasta asing dan menyatukan kekuatan swasta nasional dengan
membentuk Badan Musyawarah Pengusaha Nasional Swasta. Pemerintah memberikan
insentif berupa pelipatan kurs dolar yang didapat jika pihak swasta nasional melakukan
ekspor-impor untuk kebutuhan peningkatan produksi kebutuhan umum. Sayangnya upaya
penguatan ini juga gagal akibat berkembangnya ekonomi rente dimana banyak pengusaha
pribumi menjual konsesi yang didapat dari negara kepada pihak lain.
EB juga berupaya menarik modal asing. Jadi keliru jika menaganggap EB menolak modal
asing dan menyamakan dengan sitem ekonomi negara komunis. Modal asing dan pinjaman
luar negeri tetap diperbolehkan dibawah syarat yang tidak mengikat secara politik dan tidak
bersifat pinjaman jangka panjang. Modal asing dan pinjaman dibolehkan untuk proyek-
proyek yang butuh biaya besar. Biaya akan didapat melalui kerjasama dengan swasta asing
dengan sistem bagi hasil. Proyek yang dijalankan tetap menjadi milik pemerintah Indonesia,
pihak asing hanya mendapatkan prosentase keuntungan yang disepakati.
Tentu saja kondisi obyektif di zaman Sukarno berbeda jauh dengan alam neoliberlaisme abad
ke XXI. Sekarang saatnya kembali untuk secara jernih mencari strategi ekonomi yang
mempunyai akar pada bangsa Indonesia, memperkuat keamandirian ekonomi nasional, dan
tidak menggadaikan ekonomi pada kekuatan neo-liberalisme atau kolonialisme gaya baru.
Dengan semakin menguatnya jeratan ekonomi neoliberalisme atas semua aspek ekonomi
nasional, maka strategi pembangunan EB yang pernah dirumuskan Sukarno masih relevan
dengan Indonesia masa kini. Tidak ada salahnya kita belajar dari konsepsi EB yang pernah
dirumuskan dan dijalankan oleh Sukarno
b. Orde baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI)
menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada 11 Maret 1966 Presiden
Soekarno menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk
mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno
sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara
penuh. Sejak keluarnya Supersemar, secara de facto kekuasaan telah beralih dari tangan
Soekarno ke Jenderal Soeharto.
Pertumbuhan pemerataan
Ekonomi pembangunan
2. Sosial
Adanya kesenjangan sosial yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin.Namun, ada
kebijakan-kebijakan yang baik seperti transmigrasi dan keluarga berencana, adanya gerakan
memerangi buta huruf, munculnya gerakan Wajib Belajar dan Gerakan Nasional Orang Tua
Asuh. Pengembangan hukum adat sebagai hukum nasional bertolak dari paham Savignian
yang menganggap bahwa hukum itu tak mungkin dibuat dan dibebankan dari atas (sebagai
atau tidak sebagai sarana perekayasa sosial) melainkan akan dan harus tumbuh berkembang
seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri. Namun justru dengan konsep ini para
ahli hukum adat rupanya kesulitan ketika harus menyatukan hukum-hukum adat yang ada di
Indonesia mengingat banyaknya latar belakang sosial budaya masyarakat Indonesia. Dan
sampai saat penyusunan konsep suatu sistem hukum nasional, para ahli hukum adat baru siap
dengan statement bahwa “Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk
memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional yang menuju kepada unifikasi
hukum”.
Akan tetapi dalam kehidupan sosial mereka mulai membuka diri dan mau peduli terhadap
lingkungan di sekitarnya.Mereka tidak lagi menolak apabila terpilih menjadi Ketua RT/RW
dan secara aktif ikut dalam penyelengaraan Pemilu di lingkungan tempat tinggalnya.
3. Politik
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya
pemerintahan Orde Baru di Indonesia.Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan
rakyat, bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi
terhadap penyelewangan pada masa lampau, dan berusaha untuk menyusun kembali kekuatan
bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan
bangsa. Melalui Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh
MPRS untuk membentuk Kabinet Ampera.Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan
nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet
Ampera.Dalam kabinet baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat
sebagai pimpinan kabinet. Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober
1966, jabatan Presiden tetap dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai
perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang
disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966, menyebabkan
kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967. Pada 10
Januari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban
presiden yang disebut Pelnawaksara, tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan
Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang
penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966.Sebagai
tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan No.XXXIII/MPRS/1967
tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik
Indonesia.Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telah
menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi.Dan pada tanggal 27 Maret
1968 Soeharto diangkat sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS
No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden lama.Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya
Dwi Darma. Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi
sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program Kabinet Ampera
terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni
1) Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan
2) Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli
1968
3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
4) Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya
5) Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI
untuk masa jabatan lima tahun, maka dibentuklah Kabinet Pembangunan dengan tugasnya
yang disebut Panca Krida yang meliputi:
1) Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
2) Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum
3) Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
4) Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.
Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu. Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR,
dan PPP memperoleh 5,43 %dengan peroleh 27 kursi.Dan PDI mengalami kemorosotan
perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh
partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati
Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama
masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah
berjalan dengan baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum,
bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah
satu kontrestan Pemilu yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu
1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di
MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program
politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang
disebut dengan konsensus nasional. Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto
menegaskan bahwa kedaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan
berkepribadian dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa
melakukan upayaupaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat,
menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan politik
bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan ketimpangan ekonomi
peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme
dalam wujudnya yang canggih, menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari
interdependensi global) dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building,
berdasar Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
pembangunan jangka pendek dan pembangunan jangka panjang. Pembangunan jangka
pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan pembangunan jangka panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam Pembukaan UUD
1945.
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah orde lama,
pemerintah orde baru melakukan langkah-langkah:
1) memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari
oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966;
2) MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program
stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama
stabilisasi, dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang- barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi
ekonomiadalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan
ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi
ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pada masa
ini juga proses pembangunan nasional terus digarap untuk dapat meningkatkan kapasitas
masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Pendapatan per kapita juga meningkatkan
dibandingkan dengan masa Orde Lama. Kesemuanya ini dicapai dalam blueprint nasional
atau rencana pembangunan nasional. Itulah sebabnya di zaman Orde Lama kita memiliki
rencana-rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki pula
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun (Bappenas). Di zaman Orde
Baru kita mempunyai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I, Repelita II, Repelita
III, Repelita IV, Repelita V, dan Repelita VII (Bappenas).
1) Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
2) Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini
adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, menyejahterakan rakyat,
dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada
awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil
ditekan menjadi 47%. Pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
3) Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita
III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan delapan jalur pemerataan.
4) Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini, yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal,
sertapembangunan nasional dapat berlangsung terus.
5) Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sektor pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia
berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi
perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan
ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6) Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi
dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun, pada periode ini terjadi krisis moneter
yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Krisis moneter tersebut
menjadi pemicu bergejolaknya situasi politik dalam negeri. Terjadi demonstrasi mahasiswa
yang meluas yang didukung oleh banyak elemen masyarakat. Akhirnya, pemerintahan Orde
Baru jatuh ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32
tahun pada 21 Mei 1998.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997.
Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan
yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara
kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok
menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh
mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu
terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan
Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan
mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu, juga akan
membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian,
UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam
perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk
diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya.
c. Reformasi
Setelah terjadi berbagai guncangan di tanah air dan berbagai tekanan rakyat kepada presiden
Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B. J.
Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi. Perubahan paradigma dan pendekatan dalam perencanaan pembangunan nasional
dan daerah semenjak ditetapkannya UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU
Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025, dan PP Nomor 8 Tahun
2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah. Perubahan paradigma dan pendekatan pembangunan pada
prinsipnya merupakan upaya untuk menata kembali dan mengedepankan penyusunan
perencanaan pembangunan nasional dan daerah secara sistematis, terarah, terpadu,
menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan serta menjamin keterkaitan dan konsistensi
antara perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana
pembangunan.
Pada era reformasi ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mendapat perubahan, namun juga
kebijakan ekonomi. Sehingga beberapa kebijakan yang sudah dilaksanakan selama 32 tahun,
terpaksa mendapat perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan. Pemerintahan presiden
Habibie yang mengawali masa reformasi belum mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan hanya
difokuskan untuk memastikan stabilitas politik dan keamanan.
Setelah Habibie, tampuk kepemimpinan pun berganti ke presiden Abdurrahman Wahid, pada
masa ini belum ada tindakan yang cukup signifikan untuk menyelamatkan negara dari
keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
diselesaikan, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pengendalian
inflasi, kinerja BUMN, pemulihan ekonomi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Secara garis besar rencana dan program pembangunan pada era reformasi disebut dengan
PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) sebagaimana repelita di era orde baru.
Perbedaan antara REPELITA dan PROPENAS ada pada sifat isinya. PROPENAS lebih
bersifat pada program-program mendasar serta mendesak, sedangkan REPELITA lebih rinci
persektor dan per departemen. PROPENAS sendiri merupakan penjabaran dari GBHN 1999
adapun PROPENAS dijabarkan dengan REPETA (Rencana Pembangunan Tahunan).
Sementara itu, untuk penjabaran per departemen dan per PEMDA dibuatlah RESTRA
(Rencana dan Strategi) untuk setiap departemen dan PEMDA.
Berikut ini adalah lima program prioritas dari PROPENAS menurut UU nomor 25 tahun
2000.
1. Mewujudkan supremasi hukum serta pemerintahan yang baik.
2. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan
kesatuan.
3. Peningkatan pembangunan daerah
4. Membangun kesejahteraan rakyat serta ketahanan kehidupan budaya dan agama.
5. Mempercepat pemuliah ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan
dan adil.
Selain itu, pada masa ini juga memberi kebebasan dalam menyampaikan pendapat, partisipasi
masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari
berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada
pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan
kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan
Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di
kontrol langsung oleh rakyat, dan kebijakan pembangunan pun didasari demokrasi yang
berbunyi dari, oleh, dan untuk rakyat sehingga dengan dasar ini partisipasi rakyat tidak
terkekang seperti pada masa orde baru, kehidupan perekonomian Indonesia dapat didorong
oleh siapa saja.
Selain pembangunan nasional, pada masa ini juga ditekankan kepada hak daerah dan
masyarakatnya dalam menentukan daerahnya masing-masing sehingga pembangunan daerah
sangat diutamakan sebagaimana dicantumkandalam Undang-Undang No 32/2004, Undang-
Undang 33/2004, Undang-Undang 18/2001 untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang
21/2001 untuk Papua. Keempat undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam
melimpahkan wewenangnya kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat
menentukan pembangunan yang sesuai keinginan rakyatnya.
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan penjabaran dari
Visi, Misi, dan Program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang memuat strategi pembangunan
nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga,
kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup
gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana
kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
RPJM 1 RPJM 2
(2005-2009) (2010-2014)
Untuk melaksanakan dan mencapai satu tujuan dan satu cita-cita tersebut diperlukan suatu
rencana yang dapat merumuskan secara lebih konkrit mengenai pencapaian dari tujuan
bernegara tersebut. Tujuan dari bernegara sebagaimana diatur dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang
maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahappembangunan berikutnya menuju
masyarakat adil dan makmur dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
I. PEMBANGUNAN POLITIK
(b) Merumuskan konsep yang lebih tuntas dan dapat diterima semua pihak mengenai
hubungan antara kelembagaan politik dengan kelembagaan pertahanan keamanan dalam
kehidupan bernegara;
(d) Merumuskan peta politik (political roadmap) dan memfasilitasi upaya-upaya politik untuk
lebih memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta mencegah
disintegrasi wilayah dan perpecahan bangsa;
(e) Menciptakan wacana publik mengenai berbagai aspek pelembagaan dan keberlanjutan
proses rekonsiliasi untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional secara adil;
3. Dalam sistem pertahanan rakyat semesta, TNI sebagai unsur utama dan rakyat Indonesia
secara keseluruhan sebagai unsur pendukung merupakan komponen aktif yang dalam kondisi
sistem pertahanan nasional terancam siap untuk dikerahkan dengan segera. Wilayah dan
sumber daya merupakan komponen pasif yang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin
untuk mendukung TNI dan rakyat dalam rangka menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Secara umum, arah pembangunan jangka panjang bidang SDM adalah peningkatan kualitas
SDM, yang dilakukan melalui peningkatan akses, pemerataan, relevansi, dan mutu pelayanan
sosial dasar, termasuk pendidikan dan kesehatan, peningkatan kualitas dan daya saing tenaga
kerja, dan peningkatan kualitas kehidupan dan kerukunan kehidupan umat beragama, seiring
dengan upaya pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, serta penataan
persebaran dan mobilitas penduduk, yang mengikuti pembangunan wilayah dan sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, untuk mencapai terwujudnya manusia
Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia.
1. Peningkatan kualitas SDM, melalui peningkatan akses dan pemerataan, kualitas dan
relevansi, serta manajemen pelayanan sosial/dasar, yang mencakup kesehatan, gizi,
pendidikan, keluarga berencana dan kesejahteraan sosial; peningkatan kualitas tenaga kerja;
peningkatan kualitas kehidupan dan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama; dan
perlindungan sosial.
a. Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan (sustainable) dan berkualitas
bagi penduduk miskin; peningkatan pemerataan pembangunan kesehatan dalam rangka
meniadakan ketimpangan antardaerah dan antarkelompok penduduk; peningkatan peran serta
swasta dan masyarakat dalam pembangunan kesehatan khususnya dalam pengembangan
pelayanan medik; dan peningkatan produksi, distribusi, dan pemanfaatan obat yang bermutu,
efektif, dan aman bagi penduduk, dengan harga yang terjangkau.
c. Peningkatan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau
dengan memperhatikan penduduk miskin, melalui peningkatan pelayanan pendidikan
prasekolah dalam rangka meningkatkan tumbuh kembang anak dan meningkatkan kesiapan
anak untuk mengikuti pendidikan persekolahan; pelaksanaan program Wajib Belajar
Pendidikan 12 Tahun sebagai kelanjutan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dan
peningkatan pelayanan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, serta pemenuhan
kebutuhan belajar dan perbaikan tingkat keniraksaraan orang dewasa, melalui penyediaan
pelayanan yang merata dan berkeadilan terhadap pendidikan berkelanjutan, yang didukung
oleh penyediaan informasi pendidikan yang akurat dan tepat waktu, serta pemantapan
kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan untuk semua dan sepanjang hayat.
V. PEMBANGUNAN DAERAH
ARAH PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
1. Dalam rangka keserasian pemanfaatan ruang, fungsi rencana tata ruang sebagai acuan dan
alat koordinasi pembangunan untuk mengurangi konflik kepentingan--baik antar sektor, antar
daerah maupun antar kelompok--akan ditingkatkan. Penataan ruang yang belum efektif
menjadi salah satu penyebab masih tingginya proses konversi lahan pertanian ke non
pertanian, khususnya di pulau Jawa. Dalam rangka menjaga daya dukung wilayah (carrying
capacity) Pulau Jawa, maka proses konversi lahan pertanian ke non pertanian (industri dan
perumahan, dan infrastruktur), harus diminimumkan. Hal ini penting dilakukan untuk
mencegah lebih lanjut terjadinya:
(a) kerusakan lingkungan, termasuk bencana banjir;
(b) kelangkaan sumber air bersih;
(c) agglomerasi perkotaan yang tidak terkendali (unmanageable urban agglomerations).
Selain itu proses konversi tersebut akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional.
Oleh karena itu, proses konversi lahan pertanian ke non pertanian harus dikendalikan melalui:
(a) pengawasan dan penerapan law enforcement tata ruang yang efektif;
(b) penyeimbangan land-rent antara Jawa dan Luar Jawa dengan melakukan pembangunan
infrastruktur yang mendukung pengembangan daerah di luar Jawa;
(c) pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, termasuk kawasan industri di luar Jawa;
(d) pengaturan insentif/disinsentif pemanfaatan lahan pertanian dan non-pertanian.
2. Peningkatan pembangunan daerah diprioritaskan pada daerah-daerah yang belum
berkembang terutama wilayah luar Jawa. Pengelolaan pembangunan daerah ini didasarkan
pada dua strategi pengembangan wilayah, yaitu:
(a) pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh, yaitu wilayah-wilayah yang
memiliki potensi sumber daya tinggi dan atau lokasi strategis;
(b) pengembangan wilayah-wilayah tertinggal, yaitu wilayahwilayah yang miskin sumber
daya dan atau memiliki wilayah geografis yang terisolir; dan
(c) pengembangan wilayah-wilayah perbatasan.
3. Pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuhdiarahkan pada pemanfaatan
potensi sumberdaya melalui:
(a) peningkatan dan pengembangan produk unggulan sesuai dengan potensi di masing-
masing wilayah, termasuk potensi maritim dan kelautan;
(b) peningkatan sistem perdagangan antar daerah;
(c) peningkatan kota-kota menengah dan kota-kota kecil, terutama di luar Jawa disertai
pengendalian kota-kota besar dan metropolitan, terutama di Jawa;
(d) pengembangan perdesaan, terutama, dengan mensinergikan pembangunan kota dan desa;
(e) peningkatan sarana dan parasarana ekonomi regional;
(f) penciptaan iklim yang kondusif bagi investor;
(g) peningkatan kerjasama antar daerah;
(h) peningkatan kerjasama ekonomi sub regional antar negara;
(i) peningkatan kapasitas aparat pemerintahan; dunia usaha, dan masyarakat.
RPJM 3 RPJM 4
(2015-2019) (2020-2024)
Strategi generic dalam era Jokowi tertuang dalam visinya yaitu ” Terwujudnya Indonesia
yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”.
Program pembangunan
a. Sasaran pembangunan manusia dan masyarakat
1. Kependudukan
2. Pendidikan
3. Kesehatan
b. Sasaran pembangunan sektor unggulan
1. Kedaulatan Pangan
2. Kedaulatan energy dan ketenaga listrik
3. Kemaritiman
4. Pariwisata
c. Sasaran pembangunan dimensi pemerataan
1. Antar Kelompok Pendapatan
2. Antar wilayah-wilayah
3. Pembangunan Perdesaan
4. Pengembangan Kawasan Perbatasan
5. Pengembangan Daerah Tertinggal
6. Pembangunan Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Luar Jawa
Untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara
politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan
sembilan agenda prioritas dalam pemerintahan ke depan. Kesembilan agenda prioritas itu
disebut:
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa
aman kepada seluruh warga negara;
2. Membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang
bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya;
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan;
4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya;
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;
6. Meningkatkan produtivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya,
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
domestik;
8. Melakukan revolusi karakter bangsa;
9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Dalam paket kebijakan pertama, pemerintah menegaskan komitmennya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Berbagai kebiijakan diambil untuk memberikan insentif dan
kemudahan bagi aktivitas para pemangku kepentingan dalam perekonomian. Ada proses
deregulasi untuk investor, subsidi bunga kredit untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) hingga rumah murah untuk masyarakat pekerja.
Kedua, dalam rangka mewujudkan Indonesia yang swasembada pangan, maka Jokowi
melakukan pembukaan lahan sawah di berbagai daerah yang terus dilakukan sampai saat ini.
Lahan sawah yang dulunya tidak terurus, sekarang mulai difungsikan kembali. Kebanyakan
daerah-daerah tersebut bertempat di Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Hal itu
berdampak pada kenaikan produksi tanaman pangan terutama padi, jagung, dan kedelai.
Sehingga, diharapkan bahwa Indonesia nantinya benar-benar mencapai swasembada pangan.
Hal ini sudah mulai Nampak ketika semua impor beras ke Indonesia dihentikan, kecuali beras
menir dan beras untuk penderita diabetes.
Ketiga, Pada masa pemerintahannya, tak hanya Trans Papua namun pembangunan berbagai
ruas jalan tol di berbagai daerah sudah dijalankan. Tidak hanya dibangun di daerah sekitar,
jalan-jalan tol juga dibangun di daerah perbatasan Indonesia. Namun tidak bisa dipungkiri
bahwa pembangunan yang paling menonjol adalah Trans Papua yang ditargetkan dengan
panjang total mencapai lebih dari 4.000 km.
Keempat, membangun MRT dan LRT di Jakarta. Masa pembangunan MRT dan LRT ini
sebenarnya sudah dimulai sejak Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Memandang dari negara-negara di luar Indonesia, yang sudah memanfaatkan jalur bawah
tanah untuk transportasi umum, maka Jokowi punya program untuk membuat MRT dan LRT.
Jalur LRT dibuat layang sedangkan MRT dibuat layang dan dibawah tanah. Pembangunan
dua sarana transportasi ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Ibu Kota dan
memudahkan aktivitas keseharian masyarakat. Alat bor raksasa sudah digondol dari luar
negeri untuk membangun sarana ini. Alat tersebut diberi nama "Antareja"
Keenam, pembubaran petral PETRAL (Pertamina Energy Trading Ltd) sebagai anak
perusahaan PT Pertamina yang mengkorupsi besar-besaran dan diketahui sebagai sarang
mafia migas. Hal ini membuat harga BBM yang dijual di Indonesia jauh lebih mahal
ketimbang membelinya langsung di National Oil Company. Setelah berpuluh-puluh tahun
tidak tersentuh, akhirnya, di masa pemerintahan Jokowi-JK, beliau memilikki keberanian
untuk membuka semua rahasia dan membubarkan PETRAL. Hal ini berdampak baik
khususnya bagi harga BBM di Indonesia.
Ketujuh, Tindakan tegas yang diambil Jokowi terhadap PT Freeport sejak 1967. Saat ini,
Freeport tetap ingin memperpanjang kontrak sampai tahun 2041, namun Jokowi memberikan
3 syarat bagi Freeport, yakni harus melakukan divestasi sampai 51% saham milik Indonesia.
Dua, harus mau membangun smelter, ketiga, penerimaan pajak dan royalti negara harus lebih
besar ketimbang Kontrak Karya. Memang, sejak lama Indonesia hanya mendapat sedikit
keuntungan dari PT Freeport, namun dengan langkah baru yang diambil Jokowi ini,
Indonesia bisa meraih win-win solution.
Kedelapan, penanganan Jokowi terhadap masalah narkoba. Masalah narkoba bukan masalah
yang sepele tapi sangat besar dampaknya di Indonesia. Masalah ini sudah menjamur sekian
tahun, dan pada akhirnya Jokowi menjatuhkan hukuman mati bagi para gembong narkoba.
Sejauh ini sudah ada 18 orang yang dieksekusi mati dalam waktu 3,5 tahun, dan sebagian
besar adalah gembong narkoba. Sedangkan, pada masa SBY ada 21 eksekusi mati selama 10
tahun menjabat.
Kesembilan, pengadaan Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat. Hal ini
dikhususkan untuk mengembangkan kesehjateraan rakyat pada umumnya dan rakyat miskin
pada khususnya. Saat ini, telah banyak orang yang memiliki kedua kartu tersebut.
1. Singapura
Konsep negara pembangunan ini pada intinya mengedepankan intervensi negara secara
terstruktur dalam sendi-sendi ekonomi, mengatur regulasi perekonomian, menentukan target
industri unggulan, termasuk mengeluarkan kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung
(favorable) bagi pelaku industri. Dampaknya, bisa ditebak, kinerja ekonomi yang luar biasa.
Namun, konsep ini juga menuai kritik. Kuatnya intervensi negara sering menyebabkan
masyarakat lemah tak berdaya menghadapi rezim yang berkuasa. Buku Ekonomi Politik Asia
Timur (Wan, 2008) menyebutkan Singapura menjadi satu-satunya negara Asia yang
berpendapatan tinggi (high income economies) yang masuk kategori demokrasi otoritarian
(authoritarian democracy).
Kepemimpinan LKY memiliki karakteristiknya sendiri yang unik, kontekstual dan mungkin
sulit direplikasikan pada konteks negara lain. LKY seorang pribadi yang memiliki kualitas
pemimpin kelas dunia dan pekerja keras hingga akhir hayatnya.
Para pengikutnya dalam hal ini rakyat Singapura pun secara umum dapat dikatakan cukup
loyal, memiliki komitmen mendukung dan memiliki tingkat kepercayaan tinggi pada
pemimpinnya. Kurun waktu 1960an hingga 1990an merupakan sebuah situasi dan kondisi di
mana terjadi perubahan yang dinamis dari tingkat domestik, regional, maupun global. Bila
dikaitkan dengan model pembangunan di atas, model Singapura ini dapat dikategorikan
sebagai rezim demokrasi otoritarian.
Dalam rezim ini cengkeraman kekuasaan politik menjadi panglima dan digunakan untuk
mengedepankan kepentingan ekonomi yang telah ditetapkan oleh negara. Salah satu
dampaknya adalah mengorbankan kebebasan sipil seperti kurang menghormati hak asasi
manusia, termasuk nilai-nilai demokrasi. Penggunaan hak-hak sipil itu diatur secara ketat
oleh negara.
Model kepemimpinan LKY ini ternyata banyak menginspirasi bahkan menjadi rujukan para
pemimpin di beberapa negara seperti Ukraina, Georgia, hingga Rusia. Walaupun antara
Singapura dan negara-negara Eropa Timur memiliki perbedaan konteks yang cukup besar.
Kepemimpinan LKY yang unik, berkarakter visioner dan pekerja keras direduksi menjadi
sekedar pemerintahan yang kuat sehingga cenderung memunculkan ciri kediktatoran.
Untuk mengatasi hal-hal yang berdampak pada lingkungan dalam proses pembangunannya
maka Negara Singapura menerapkan strategi pembangunan yang idealnya kan dicapai di
tahun 2030, yaitu :
1. Pengurangan intensitas energi (per dolar PDB) sebesar 35% pada tahun 2030.
Menghemat energi tentu dapat dijadikan sebagai salah satu kiat dalam pembangunan
berkelanjutan. Mengapa? Menghemat energi juga berarti menghemat biaya karena dengan
menggunakan energi sesuai dengan kebutuhan dan pada saat yang diperlukan akan
mengurangi pembengkakan biaya akibat dari konsumsi energi yang berlebihan. Hidup tentu
tidak hanya di masa sekarang namun juga perlu untuk memperhatikan kehidupan di masa
yang akan datang, dengan menghemat energi di masa sekarang maka konsumsi energi di
masa depan tentu akan tercukupi. Dengan adanya hal ini maka dapat dikatakan bahwa
pembangunan telah berjalan secara berkelanjutan karena tidak hanya memperhatikan masa
sekarang namun juga kondisi di masa depan.
2. Peningkatan tingkat daur ulang dari 56% pada tahun 2008 menjadi 70% di tahun 2030.
Bagaimana kemudian dengan melakukan daur ulang, sampah yang tadinya sudah tidak dapat
digunakan lagi menjadi lebih bermanfaat. Dengan melaksanakan daur ulang juga mengurangi
jumlah sampah yang ada, hal ini juga memberi pengaruh yang besar pada pengurangan
pelepasan CO2 ke udara. Seperti yang kita ketahui bahwa sampah biasanya dimusnahkan
dengan cara dibakar padahal pembakaran sampah adalah salah satu sumber dari terjadinya
penipisan ozon sehingga dengan mengurangi jumlah sampah yang ada dengan cara mendaur
ulangnya akan dapat meminimalisir polusi udara di bumi.
3. Pengurangan jumlah konsumsi air domestik dari 156 liter per kapita per hari di 2008
menjadi 140 liter per kapita per hari pada tahun 2030. Pemakaian air yang tidak sewajarnya
atau secara berlebihan akan membawa dampak negatif pada generasi mendatang sehingga air
yang merupakan sumber daya tak terbatas sekalipun harus digunakan secara bijak agar di
masa yang akan datang, manusia tidak akan kesulitan dalam memperoleh air bersih.
4. Minimal 80% dari bangunan yang ada sudah memiliki rating Green Mark Certified
(tingkat efisiensi energi minimum) pada tahun 2030. Dengan memiliki label green pada
bangunan yang didirikan maka hal itu memperlihatkan bahwa bangunan yang ada adalah
bangunan yang ramah pada lingkungan. Dalam artian bahwa bangunan tersebut
mengonsumsi energi secara efisien dan seperlunya atau seminimum mungkin. Seperti yang
telah dikatakan sebelumnya bahwa penggunaan energi secara bijak akan membawa dampak
positif di masa kini dan masa mendatang, yang hal tersebut mencerminkan pembangunan
yang dilakukan dengan asas berkelanjutan. Hal ini dilakukan agar sumber daya yang ada
tetap lestari dan dapat dimanfaatkan sepanjang hayat sepanjang manusia hidup di muka bumi.
5. Mengembangkan indeks keanekaragaman Kota dengan mitra internasional untuk
mempromosikan upaya konservasi keanekaragaman hayati di antara kota-kota di seluruh
dunia.
Pengurangan akan penggunaan energi menjadi poin yang paling utama untuk dilaksanakan.
Hal ini dilakukan Singapura mengingat penggunaan akan cadangan minyak bumi dan biogas
sangat tinggi. Sumber daya minyak dan gas yang digunakan Singapura selama ini
menggunakan pasokan import yang menghabiskan dana yang tidak sedikit, sehingga
diperlukan adanya skema untuk menghemat penggunaaan energi di Singapura yang
dicanangkan melalui pengurangan penggunaan energi. Program daur ulang pun dicanangkan
untuk penghematan bahan baku industri yang terbatas di Singapura.
Wilayah Singapura yang hanya memiliki luasan yang kecil serta daratan yang banyak
dikelilingi laut memaksa pemerinah untuk pengurangan konsumsi air domestik. Untuk
ketersediaan air bersih Singapura masih bergantung pada Malaysia sehingga pencanangan
penghematan energi air diperlukan untuk menghemat pengeluaran beban negara. Hal ini juga
berkaitan langsung dengan iklim investasi di Singapura yang mengalami kenaikan yang
signifikan dalam bentuk pembangunan mall, hotel serta apartemen yang sangat pesat,
sehingga kebutuhan akan air tanah untuk konsumsi di Singapura menjadi terbatas.
2. Jepang
Jepang adalah Negara kepulauan yang terdiri dari 6.852 pulau dan secara administratif terdiri
atas 47 perfektur. Populasi penduduk Jepang saat ini telah mencapai lebih dari 126 juta jiwa.
Dari jumlah tersebut, 98 juta diantaranya (78%) tinggal di wilayah kota dan sisanya tinggal di
pedesaan. Pembangunan di Jepang masih menitikberatkan pada perencanaan dan
pengendalian fisik.
Sistem perencanaan pembangunan di Jepang adalah sistem yang kompleks yang diantaranya
mencakup pengendalian legal dan legislatif, rencana pembuatan (plan-making), rencana
pemanfaatan lahan (land use planning), zonasi (zonning), pengendalian kepadatan penduduk,
dll. Pembangunan di Jepang dalam hal ini modernisasi di Jepang, sudah terjadi pada Masa
Meiji (1868-1912). Di bawah kaisar Meiji Jepang bergerak maju dalam pembentukan suatu
bangsa yang modern yang memiliki perindustrian yang modern, lembaga-lembaga politik
yang modern dan pola masyarakat yang modern. Pada tahun pertama pemerintahannya kaisar
Meiji memindahkan ibukota kekaisaran dari Kyoto ke Edo, tempat kedudukan pemerintah
feodal. Edo diberi nama Tokyo (ibukota timur). Diumumkan undang-undang dasar yang
menetapkan sebuah kabinet dan badan-badan legislatif yang terdiri dari dua dewan.
Golongan-golongan lama pada masa feodal yang membuat masyarakat terbagi-bagi di
hapuskan. Pemerintahan Meiji membawa pencerahan dan imajinatif membantu membimbing
bangsanya melalui peralihan yang penuh dinamika puluhan tahunnya. Setelah zaman Meiji
industrialisasi berarti pembentukan kota-kota industri baru dan ini juga ikut menyebabkan
terjadinya konsentrasi penduduk di kota-kota. Di sisi lain banyak kota di Jepang yang pada
mulanya merupakan kota puri milik pangeran-pangeran feudal, tetap mempertahankan ciri
feodalistiknya dengan penyesuaian modern.