PENDAHULUAN
1
satu standarisasi yang telah dilakukan Indonesia lewat Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-2385-2006. Dimana terdapat pengujian diantaranya warna, massa jenis,
indeks bias, kelarutan dalam etanol, bilangan asam, bilangan ester, putaran optik,
patchouli alcohol, alpha copaene dan kandungan besi. Selain itu, harga minyak
nilam dipasaran cukup mahal berkisar diantara 500.000 hingga 700.000 rupiah per
kilogramnya. Karena hal itu, seringkali penjual melakukan tindak kecurangan dengan
mecampurkan minyak nilam dengan minyak jenis lainnya. Dalam artikel yang telah
dituliskan oleh martsiano, campuran minyak yang sering digunakan diantaranya
minyak kelapa sawit dan oli (Martsiano, 2014).
Berdasarkan uraian diatas, didalam penelitian ini maka perlu dilakukan
pengukuran untuk mengetahui seberapa besar perubahan viskositas minyak nilam
ketika telah dicampur dengan material lain. Selain itu juga akan dilakukan studi
terhadap koefisien viskositas terhadap beberapa karakteristik penting dari minyak
nilam, yaitu patchouli alcohol dan kandungan besi.
2
viskositas, dilakukan pengukuran pada sampel yang terdapat pada minyak nilam
murni yang berasal dari kabupaten Aceh Besar, Gayo Lues dan Aceh Selatan. Alat
ukur yang digunakan untuk melihat kadar alkohol dalam sampel yaitu Gas
Chromatography (GC) sedangkan untuk melihat kandungan besi akan menggunakan
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiesel
Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang dapat digunakan
secara langsung maupun dicampur dengan solar pada mesin diesel. Biodiesel di
produksi dari minyak nabati ataupun lemak hewani. Minyak nabati merupakan bahan
baku yang sangat potensial sebagai sumber biodiesel karena keberadaannya dapat
diperbaharui (Kusumaningsih and Saryoso, 2006). Di Asia Tenggara ada beberapa
jenis minyak yang tersedia di pasaran diantaranya Jatropha curcas, Calophyllum
inophyllum, Sterculia foetida, Moringa oleifera, Croton megalocarpus, patchouli,
Elaeis guineensis (kelapa sawit), Cocos nucifera (kelapa), Brassica napus (canola),
dan Glycine Max (kedelai) (Atabani et al., 2013).
Sifat fisik dan kimia yang harus dimiliki oleh biodiesel akan diuji berdasarkan
ASTM D6751. Hal ini meliputi viskositas, indeks viskositas, densitas, titik nyala, CP
(titik penguapan), PP (titik pengembunan), CFPP, CCR, nilai kalor, stabilitas
oksidasi, laju korosi tembaga, dan total belerang. Serta beberapa sifat-sifat non-
ASTM seperti transmisi, absorbansi dan indeks bias. Standarisasi berdasarkan SNI
7182:2015 juga dapat dilihat pada Tabel 2.1.
4
12 Angka asam (maksimal) mg-KOH/g 0,5
13 Gliserol bebas (maksimal) % massa 0,02
14 Gliserol total (maksimal) % massa 0,24
(Sumber : SNI 7182:2015)
Viskositas adalah sifat terpenting dari bahan bakar yang menunjukkan daya
tahan material terhadap geser ataupun aliran (Atabani et al., 2013). Bahan bakar
diesel yang terlalu rendah viskositasnya akan memberikan pelumasan yang buruk
dan cenderung mengakibatkan kebocoran pada pompa. Sebaliknya, viskositas yang
terlalu tinggi akan menyebabkan asap kotor karena bahan bakar lambat mengalir dan
lebih sulit teratomisasi (Kusumaningsih and Saryoso, 2006). Viskositas kinematis
adalah salah satu sifat utama yang dapat menjadikan sebuah minyak baik edible
ataupun non edible sebagai alternatif bahan bakar diesel. Viskositas dapat
mempengaruhi aliran pada semua suhu bahan bakar yang dapat berpengaruh
terhadap atomisasi bahan bakar (Knothe and Razon, 2017).
Semakin tinggi viskositasnya, semakin besar kecenderungan bahan bakar
tersebut menyebabkan masalah terhadap mesin. Viskositas biodiesel dalam bentuk
metil ester biasanya lebih rendah daripada viskositas kinematis minyak itu sendiri
yang telah terdapat dalam standar biodesel seperti ASTM D445 [225] atau ISO 3104
[226]. Viskositas kinematis dari ester alkil asam lemak dipengaruhi oleh faktor
struktual seperti panjang rantai dan sifat ikatan rangkap. Viskositas akan meningkat
beriringan dengan panjangnya rantai (jumlah atom karbon) juga meningkatnya
kejenuhan fluida itu sendiri (Knothe and Razon, 2017).
2.2 Viskositas
Suatu zat yang dapat mengalir dan menempati ruang disebut dengan fluida.
Istilah fluida dikelompokkan menjadi dua, yaitu zat cair dan gas. Aliran fluida dapat
merupakan aliran kental (viskositas) (Resnick, 1985). Viskositas berasal dari kata
viscous yang berarti kekentalan. Suatu bahan yang viscous akan menjadi lunak dan
dapat mengalir pelan-pelan, serta akan menjadi cair ketika dipanaskan (Sears &
Zemansky, 1982). Viskositas gerak fluida adalah analogi pergerakan dari gesekan
benda padat yang masuk kedalam fluida (Resnick, 1985). Menurut Bird (1987) ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi viskositas suatu fluida, diantaranya :
5
a. Tekanan, viskositas fluida akan naik dengan naiknya tekanan fluida itu sendiri.
Tetapi tidak berlaku untuk viskositas pada gas.
b. Temperatur, viskositas fluida akan turun dengan naiknya temperatur fluida itu
sendiri, sedangkan pada gas viskositas naik seiring dengan naiknya temperatur
gas.
c. Kehadiran zat lain, penambahan zat juga berpengaruh terhadap viskositas suatu
fluida. Dimana, saat adanya tambahan zat akan menaikkan viskositas suatu
fluida.
Fenomena viskositas dapat dilihat jika ada sebuah benda seperti bola besi
dijatuhkan kedalam fluida kental atau cairan. Mula-mula bola besi bergerak
dipercepat, setelah beberapa saat bola besi mengalami pergerakan yang konstan atau
bergerak lurus beraturan. Fenomena ini menjelaskan bahwa selain gaya berat bola
besi dan gaya apung zat cair terdapat gaya lain yang bekerja pada bola besi tersebut,
yaitu berupa gaya gesekan yang disebabkan oleh kekentalan fluida (Budianto, 2008).
Viskositas terdiri dari dua macam, yaitu viskositas dinamik dan viskositas kinematik.
Konversi satuan baik viskositas dinamik maupun kinematik dapat dilihat pada Tabel
2.1 dan Tabel 2.2.
6
Milimeter kubik per sekon (mm2/s) 100
Kaki kubik per sekon (ft2/s) 1,08 × 10-3
Inci kubik per sekon (in2/s) 0,16
(Sumber : https://www.convertworld.com/en/kinematic-viscosity/)
Ff = 6𝜋ƞr 𝜈 (2.1)
Dengan Ff menyatakan pergerakan bola pejal relatif terhadap gaya gesekan
fluida, ƞ adalah koefisien kekentalan, r adalah jari-jari bola kelereng, dan 𝜈
kecepatan relatif bola terhadap fluida (Budianto, 2008). Berdasarkan persamaan
diatas, Hukum Stokes menyatakan bahwa semakin besar gaya gesek maka semakin
besar pula nilai viskositasnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengkuran koefisien viskositas dengan
metode bolah jatuh diantaranya ruang tempat fluida harus jauh lebih besar dan luas
dibandingkan ukuran bola dan kecepatan bola 𝜈 tidak terlalu besar sehingga tidak
menyebabkan terjadinya aliran turbulen. Sebuah bola padat memiliki rapat massa 𝜌
dan berjari-jari r dijatuhkan tanpa kecepatan awal ke dalam fluida kental yang
memilki rapat massa 𝜌o, di mana 𝜌 > 𝜌o. Telah diketahui bahwa bola mula-mula
mendapat percepatan gravitasi, namun beberapa saat setelah bergerak cukup jauh
bola akan bergerak dengan kecepatan konstan (Budianto, 2008).
Kecepatan konstan ini mengakibatkan terdapatnya gaya lain pada bola yaitu
gaya apung sehingga berlaku Hukum Newton II :
∑F = 0 (2.2)
7
b f
Pada Gambar 2.1 Terdapat tiga gaya yang mempengaruhi bola dalam fluida
yaitu gaya Archimedes (FA), gaya stokes (Ff), dan gaya berat (w). Sehingga
persamaan Stokes disubsitusikan kedalam persamaan (2.3) :
𝐹𝑓 + 𝐹𝑎 + - w = 0 (2.3)
𝐹𝑓 + 𝐹𝑎 = w (2.4)
6𝜋ƞr 𝜈 + 𝑚𝑓 g = mb g (2.5)
dimana mf merupakan massa fluida yang digunakan (kg), mb massa bola (kg), r jari-
jari bola (m), dan 𝜈 kecepatan bola didalam aliran fluida (m/s). Hubungan massa dan
rapat massa dapat ditulis sebagai berikut :
𝜌 = 𝑚⁄𝑉 (2.6)
𝑚 = 𝜌𝑉 (2.7)
dengan V merupakan volume (m3) dan 𝜌 rapat massa (kg.m-3), sehingga persamaan
(2.5) menjadi :
6𝜋ƞr 𝜈 + 𝜌𝑓 g 𝑉𝑏 = 𝜌b g 𝑉𝑏 (2.8)
6𝜋ƞr 𝜈 = (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ) g 𝑉𝑏 (2.9)
8
6ƞ𝜈 = 4⁄3 r2 (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ) (2.12)
dimana ƞ adalah koefisien viskositas (Ns/m2), r jari-jari bola besi (m), 𝜌𝑏 rapat massa
bola (kg/m3), 𝜌𝑓 rapat massa fluida (kg/m3), dan 𝜈 kecepatan bola (m/s), dengan 𝜈 b
adalah jarak persatuan waktu (Mujadin, 2014).
9
Keterangan :
1. Motor penggerak dan unit ukur
2. Antarmuka pengguna atau layar alat ukur
3. Stand
4. sumbu Spindle
5. Wadah sampel
6. Spindle
10
yang canggih sejak karya perintis Martin dan James masuk pada 1951 dan mampu
memisahkan campuran analit tidak stabil yang sangat kompleks. Data yang
didapatkan merupakan hasil sinyal analog dari detektor dan mendigitalkannya
menjadi bentuk kromatogram yang akan terlihat seperti Gambar 2.4. Sistem data juga
bisa digunakan untuk melakukan berbagai operasi kuantitatif dan kualitatif dalam
bentuk kromatogram yang berisi identifikasi sampel dan kuantisasi
(http://www.chromacademy.com/lms/sco
10/Theory_and_Instrumentation_Of_GC_Introduction.pdf).
11
Hasil isolasi patchouli alkohol dan analisis gas kromatografi dinyatakan
dalam 2 parameter, yaitu waktu retensi (menit) dan konsentrasi (%). Waktu retensi
merupakan angka spesifik dari massa interaksi antara molekul senyawa didalam
kolom kromatografi. Angka tersebut merupakan indikator kualitatif dari senyawa
pada kondisi tertentu. Konsentrasi menunjukkan tingkat kemurnian dari cuplikan
yang dianalisis. Hasil analisis fraksi patchouli alkohol terdapat pada waktu retensi
27,806 dengan kadar patchouli alkohol sebesar 22,98869 %. Puncak patchouli
alkohol dalam kromatogram minyak nilam terletak pada akhir kromatogram
(Hardyanti, 2016)
12
Analisis AAS pada umumnya digunakan untuk analisa unsur, teknik AAS
menjadi alat yang canggih dalam analisis terlihat seperti Gambar 2.6. Ini disebabkan
karena sebelum pengukuran tidak selalu memerlukan pemisah unsur yang ditentukan
karena kemungkinan penentuan satu logam unsur dengan kehadiran unsur lain dapat
dilakukan, asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia (Basset, 1994). Atom
dari unsur yang berbeda akan menyerap panjang gelombang cahaya untuk
menganalisis sampel dengan melihat apakah berisi elemen yang diinginkan
menggunakan cahaya dari elemen itu sendiri. Di AAS, sampel akan diatomisasi yaitu
diubah menjadi atom bebas dalam keadaan uap dan berkas radiasi elektromagnetik
yang dipancarkan dari atom akan terekstasi melalui penguapan. Beberapa radiasi
akan diserap oleh atom dalam sampel (http://www.liskeard.cornwall.sch.uk/im
ages/Liskeard-Sixth-Form/Atomic-Absorption-Spectrometry.pdf).
Tabel 2.3 Data hasil pengukuran absorbansi larutan standar unsur besi
No Kadar (ppm) Absorbansi (A)
1 0,0000 0,0000
2 2,0000 0,0662
3 4,0000 0,1260
4 6,0000 0,1981
5 8,0000 0,2550
6 10,0000 0,3151
(Sumber : Alfian, 2003)
Tabel 2.4 Data Hasil Pengukuran Absorbansi dan Kadar Unsur Besi dari Minyak
Nilam yang Disuling Menggunakan Wadah Kaca, Stainless Steel dan
Drum Bekas
Absorbansi (A)
Jenis
No A Kadar (ppm)
Sampel A1 A2 A3
rata-rata
1 A 0,0200 0,0199 0,0193 0,0197 0,5611 ± 0,0079
2 B 0,0161 0,0156 0,0151 0,0156 0,4314 ± 0,0094
3 C 0,0278 0,0272 0,0268 0,272 0,7995 ± 0,0105
4 D 0,1926 0,1923 0,1918 0,1922 6,0200 ± 0,0084
Keterangan :
A = Sampel daun nilam.
B = Minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah kaca
C = Minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah stainless steel.
D = Minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah drum bekas.
(Sumber : Alfian, 2003)
13
Pada tahun 2003, Alfian telah melakukan analisis kadar logam besi (Fe) dari
minyak nilam yang diperoleh dari penyulingan menggunkan wadah kaca, stainless
steel, dan drum bekas dengan metode Atomic Absorption Spectroscopy . Hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4 diatas.
Menurut hasil penelitian, kandungan besi dalam minyak nilam tidak
dipengaruhi oleh masa panen juga dalam tanaman nilam itu sendiri. Hal ini terlihat
pada Tabel 2.2 yang menunjukkan panen 1 (A1) dengan panen 2 (A2) ataupun panen
3 (A3) tidak memiliki nilai yang terlalu jauh. Sedangkan berdasarkan dengan wadah
tempat penyulingan, menunjukkan jika minyak nilam yang disuling dengan
menggunakan wadah bekas drum memiliki nilai paling tinggi. Hal ini disebabkan
oleh drum bekas yang digunakan untuk menyuling minyak nilam tersebut
mengandung logam besi, yang sifat wadah ini mudah terdegradasi, sehingga terjadi
kontaminasi dari wadah (Alfian, 2003).
Sedangkan berdasarkan standar mutu minyak nilam yang memenuhi standar
adalah berwarna kuning muda sampai cokelat, sedangkan minyak nilam yang
disuling dengan menggunakan wadah drum bekas berwarna cokelat tua. Proses
oksidasi pada minyak nilam ini terjadi karena salah satu komponen dari minyak
nilam terdapat senyawa sesquiterpen yang mempunyai ikatan rangkap dan dengan
adanya logam besi (Fe) ini dapat berfungsi sebagai katalis oksodasi yang
menyebabkan ikatan rangkap pada senyawa tersebut terputus dan terbentuk suatu
peroksida yang dapat menaikkan bilangan asam sehingga warna dari minyak nilam
tersebut menjadi cokelat tua, sehingga mutu dan kualitas dari minyak nilam tersebut
menurun.
14
tanaman tahunan (Rukmana, 2004). Nilam dapat tumbuh dan berkembang di daratan
rendah sampai daratan tinggi yang mempunyai ketinggian 1.200 m diatas permukaan
laut. Akan tetapi, nilam akan tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada
ketinggian 50 sampai 400 m diatas permukaan laut. Hal ini mempengaruhi kadar
minyak dan kadar alkohol dari minyak nilam. Dimana pada dataran rendah kadar
minyak lebih tinggi tetapi kadar patchouli alkohol (Pa) lebih rendah, sebaliknya pada
dataran tinggi akan menghasilkan minyak nilam dengan kadar minyak rendah tetapi
kadar patchouli alkohol (Pa) tinggi (Nuryani, 2006).
a b
Gambar 2.7 Bentuk (a) tanaman nilam dan (b) minyak nilam (Nuryani, 2006 dan
Atabani, 2013)
15
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri,
dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam ketel hingga
terdapat uap yang diperlukan. Cara lainnya adalah dengan cara mengalirkan uap
jenuh (saturated or superheated) dari ketel pendidih air kedalam ketel penyulingan.
Dengan penyulingan ini akan dipisahkan zat-zat bertitik didih tinggi dari zat-zat yang
tidak dapat menguap. Dengan kata lain penyulingan adalah proses pemisahan
komponen-komponen campuran dari dua atau lebih cairan berdasarkan perbedaan
tekanan uap masing-masing komponen tersebut (Santoso, 1990)
Prinsip kerja penyulingan yaitu dengan menggunakan metode uap dan air.
Bahan ditempatkan diatas saringan dan tidak berhubungan dengan uap. Bagian-
bagian utama komponen penyulingan adalah sebagai berikut :
a. Ketel suling.
Ketel suling dibuat dari besi dengan memanfaatkan drum. Satu set alat suling
hanya memiliki 1 ketel suling. Ketel suling berbentuk silinder dan berdiameter
50 cm dan tinggi 1 m. Daya tampung ketel suling ini adalah 2 karung nilan
kering (1 karung nilam kering yang memiliki berat 30-36 kg). Ketel suling
dilengkapi dengan tutup yang dapat ditutup dan dibuka. Saringan diletakkan
diantara bahan suling dan air. Waktu yang diperlukan untuk melakukan 1 kali
penyulingan rata-rata adalah 5 jam.
b. Pipa pendingin
Pipa pendingin berfungsi untuk mengembunkan uap air dan minyak. Pipa
pendingin yang digunakan berbentuk pipa panjang berdiameter 10 cm. Pipa ini
berada diantara ketel suling dan penampung hasil dan berbentuk huruf “L”. Pada
sebagian pipa dialirkan air yang cukup secara kontinyu kedalam genangan air.
c. Penampung hasil
Alat penampung berfungsi untuk menampung hasil suling yang keluar dari pipa
pendingin. Alat ini terbuat dari kaleng yang dilengkapi 2 buah keran yang
terdapat di bagian atas dan bawah. Minyak nilam memiliki berat jenis yang lebih
kecil dibanding dengan air, sehingga minyak akan berada dibagian atas. Minyak
nilam dikeluarkan melalui keran yang terletak dibagian atas sedangkan air
dibuang melalui keran yang berada dibagian bawah (Nuryani, 2006).
16
Penyulingan minyak nilam pada umumnya dilakukan dengan dua cara
diantaranya :
1. Penyulingan secara dikukus, pada cara ini bahan (terna kering) berada pada jarak
tertentu diatas permukaan air.
2. Penyulingan dengan uap langsung, dimana bahan berada dalam ketel suling dan
uap air dialirkan dari ketel uap pada bagian bawah suling (Nuryani, 2006).
Standar kualitas minyak nilam dalam dilihat dalam SNI bernomor 06-2385-
2006 yang dapat dilihat pada Tabel 2.6.
17
ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter.
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai
kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga
serta tempat menyimpan dan mengangkut makanan. Daun kelapa sawit
membentuk susunan majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun
sebagai tempat fotosintesis dan sebagai alat respirasi. Semakin lama proses
fotosintesis berlangsung, semakin banyak bahan makanan yang dibentuk
sehingga produksi meningkat. Luas permukaan daun juga mempengaruhi proses
fotosintesis, semakin luas permukaan daun maka proses fotosintesis akan
semakin baik (Fauzi, 2004).
Bagian vegetatif
Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi bunga dan daun. Kelapa sawit merupakan
tanaman berumah satu (monoecious) artinya bunga jantan dan bunga betina
terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan.
Proses penyerbukan tanaman kelapa sawit dapat terjadi dengan bantuan serangga
atau angin. Buah disebut juga fructus, tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan
buah siap panen pada umur 3,5 tahun. Buah terbentuk setelah terjadi
penyerbukan dan pembuahan. Waktu yang dibutuhkan mulai dari penyerbukan
sampai buah matang dan siap panen kurang lebih 5 – 6 bulan. Secara anatomi
buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian pertama adalah
perikarpium yang terdiri dari epikarpium (kulit buah yang licin dan keras) dan
mesokarpium (daging buah yang berserabut dan mengandung minyak), bagian
kedua adalah biji, yang terdiri dari endokaprium (tempurung berwarna hitam dan
keras), endosperm (penghasil minyak inti sawit), dan embrio (Fauzi, 2004).
a b
Gambar 2.8 Bentuk (a) tanaman kelapa sawit dan (b) minyak kelapa sawit (Atabani,
2013)
18
2.7 Oli atau Pelumas
Oli atau pelumasan merupakan salah satu sistem utama dalam mesin untuk
menghindari terjadinya gesekan langsung antara logam dalam mesin, sehingga
tingkat keausan logam dan tingkat kerusakan mesin dapat dikurangi. Karakteristik
dan jenis oli yang digunakan harus diperhatikan. Diantaranya faktor kekentalan dan
viskositas. Fungsi dan kerja oli mesin diantaranya :
1. Pelumasan, fungsi pelumasan diantaranya mengurangi friksi (gesekan) dan
mencegah keausan pada bagian engine dan mencegah bagian besi bersentuhan.
2. Perapatan, oli mesin juga berfungsi merapatkan celah-celah ruang pembakaran
sehingga mencegah lolosnya tekanan pembakaran kedalam bagian dalam dari
piston.
3. Pendinginan, oli mesin berfungsi untuk mendinginkan atau menyalurkan panas
dari komponen-komponen mesin seperti piston.
4. Pembersihan, oli mesin bersirkulasi didalam mesin, untuk mencegah kotoran-
kotoran seperti karbon melekat pada komponen mesin yang akan mengakibatkan
karat dan aus.
Viskositas pada oli mesin digunakan tergantung pada lingkungan, tipe
kendaraan, tujuan dan faktor-faktor lainnya. Dimana, jika viskositasnya tinggi
keuntungan yang didapatkan yaitu dapat mengurasi gesekan pada pemukaan-
permukaan luncur. Tetapi terdapat juga kerugiannya yaitu mesin tidak dapat
dihidupkan dengan mudah dalam keadaan dingin karena oli menaikan tahanan
gesekan didalam mesin. Sebaliknya, jika viskositasnya rendah keuntungan yang
didapatkan yaitu mesin lebih mudah dihidupkan dalam keadaan dingin. Tetapi
kekurangannya gesekan pada permukaan luncur menjadi lebih besar pada kondisi
mesin panas (https://prasetyods.files.wordpress.com/2014/09/ buku-cetak-seri-dasar-
13.pdf).
19
(seperti solvent) dan sebagai bahan bakar rumah tangga (memasak, penerangan, dan
lain-lain). Beberapa sifat yang harus diperhatikan dari minyak tanah diantaranya :
1. Warna, minyak tanah terdiri dari berbagai kelas warna, diantaranya water spirit
(tidak berwarna), prime spirit dan standar spirit.
2. Sifat bakar, nyala minyak tanah tergantung pada susunan kimianya. Jika
mengandung banyak aromatik maka apinya tidak dapat dibesarkan karena apinya
mulai berarang. Susunan kimia dengan nyala api paling baik yaitu susunan kimia
yang terdiri dari alkana-alkana.
3. Viskositas, minyak tanah akan mengalir ke sumbu karena adanya gaya kapiler
dalam saluran-saluran sempit antara serat-serat sumbu. Dimana, jika nilai
koefisien viskositanya tinggi, minyak akan sulit naik dan akan membakar sumbu.
4. Kadar Belerang, banyak kerugian yang disebabkan bila kadar belerang terlalu
tinggi, diantaranya memberikan bau tidak enak dari gas-gas yang dihasilkan,
mengakibatkan korosi dari bagian-bagian logam, seperti rusaknya silinder-silinder
yang disebabkan oleh asam yang mengembun pada dinding silinder serta
mempunya pengaruh yang tidak baik terhadap bilangan oktan (Zuhra, 2003).
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
21
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Diagram alir penelitian
Adapun diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Mulai
Viskometer Viskometer
Bola Jatuh Rotasi
Selesai
22
Prosedur pembuatan campuran minyak nilam berikut :
1. Salah satu minyak nilam dipilih untuk dapat dicampurkan.
2. Dilakukan pencampuran minyak nilam untuk masing-masing dengan minyak
kelapa sawit, minyak tanah dan oli dengan perbandingan volume 100:0, 75:25,
50:50, 25:75 dan 0:100.
3. Campuran diaduk dengan pengadukan konstan selama 1 menit.
4. Campuran didiamkan selama seminggu untuk melihat apakah campuran
homogen.
Contoh campuran yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 3.2.
a b c
Gambar 3.2 Contoh campuran (a) minyak nilam + minyak tanah, (b) minyak nilam +
minyak kelapa sawit dan (c) minyak nilam + oli yang telah dibuat dengan
perbandingan volume 50:50
23
metode AAS, setiap pengujian unsur akan menggunakan lampu yang berbeda-beda
berdasarkan jenis unsur yang ingin diuji.
24
Gambar 3.5 Gas Chromatography (GC) yang digunakan
25
pengukuran disajikan dalam satuan g/cm3. Sehingga nilai hasil pengukuran harus
dikonversi terlebih dahulu kedalam satuan SI, yaitu kg/m3. Pengukuran campuran
minyak nilam juga melewati langkah-langkah diatas.
Gambar 3.7 Piknometer dan gelas ukur yang digunakan dalam pengukuran rapat
massa
26
layar hasil pengukuran. Bola pejal yang digunakan dalam pengukuran merupakan
manik-manik yang telah dibungkus oleh aluminium foil yang memiliki massa sebesar
20,59 gram dengan diameter sebesar 12,58 mm (Gambar 3.8 (b)).
a b
Gambar 3.8 (a) tabung silinder 127 mL dan (b) bola pejal dari viskometer bola jatuh
digital
27
pengukuran, digunakan spindle level 2 dan rpm sebesar 100. Data hasil pengukuran
viskositas akan langsung dimunculkan dalam display dengan satuan cP. Pengukuran
campuran minyak nilam juga melewati langkah-langkah diatas.
a b
Gambar 3.9 Alat ukur viskositas yang digunakan (a) viskometer bola jatuh digital
dan (b) viskometer rotasi
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
945
940
Rapat Massa (kg/m3)
935
930
925
920
915
Aceh Selatan Gayo Lues Aceh Besar
Asal Minyak Nilam
Gambar 4.1 Pengukuran rapat massa minyak nilam yang berasal dari provinsi Aceh
29
pengukuran viskositas menggunakan dua jenis viskometer dapat dilihat pada Gambar
4.2.
25
23 (VBJ) Aceh Selatan
21
Viskositas (mPa.s)
30
dan 14,3 mPa.s menggunakan VR. Berdasarkan pengukuran nilai koefisien viskositas
juga terlihat bahwa asal kabupaten sangat berpengaruh terhadap kekentalannya.
Dimana minyak nilam dari kabupaten yang berasal dari dataran rendah akan
memiliki viskositas lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari dataran tinggi. Jika
dibandingkan dengan standarisasi untuk biodiesel, menunjukkan jika terdapatnya
perbedaan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan minyak nilam yang diukur belum
melewati proses esterifikasi ataupun transesterifikasi. Proses ini sendiri akan
membuat turunnya viskositas dari minyak nilam (Atabani, 2013). Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan jika minyak nilam yang berasal dari kabupaten di provinsi
Aceh dapat dijadikan sebagai alternatif untuk biodiesel.
70
Kandungan Logam besi (mg/kg)
60
50
40
30 SNI (maksimal)
20
10
0
Aceh
AcehSelatan
Selatan Aceh
AcehBesar
Besar Gayo
GayoLues
Lues
Gambar 4.3 kandungan besi dalam minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh
Selatan, Aceh Besar dan Gayo Lues dibandingkan dengan SNI
31
Dalam Gambar 4.3 terlihat bahwa minyak nilam yang memiliki kandungan
besi terbesar dimiliki oleh kabupaten Aceh Besar sebesar 63,84 mg/kg dan yang
terendah dimiliki oleh minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Selatan
sebesar 3,467 mg/kg. Penyumbang terbesar logam besi didalam minyak nilam
dihasilkan pada proses penyulingan yang dilakukan oleh para produsen. Hal ini
disebabkan oleh wadah penyulingan yang digunakan dalam proses penyulingan,
salah satunya menggunakan wadah drum bekas. Wadah drum bekas yang digunakan
untuk menyuling minyak nilam tersebut mengandung logam besi, yang sifat wadah
ini mudah terdegradasi, sehingga terjadi kontaminasi dari wadah (Alfian, 2003). Jika
dilihat dari proses penyulingannya, minyak nilam kabupaten Aceh Selatan dan Gayo
Lues disuling menggunakan wadah penyulingan stainless steel sehingga
menghasilkan minyak nilam yang lebih sedikit mengalami kontaminasi kandungan
besi dari wadahnya yang dapat dilihat dalam Lampiran 2.
Selain itu, kandungan logam besi (Fe) yang terkandung dalam minyak nilam
juga dapat dilihat dari warna minyak nilamnya. Dimana, semakin banyak kandungan
logam besi (Fe) dalam minyak nilam, semakin gelap warnanya. Hal ini dikarenakan
terjadinya proses oksidasi pada minyak nilam dikarenakan salah satu komponen dari
minyak nilam terdapat senyawa senyawa sesquiterpen yang mempunyai ikatan
rangkap dan dengan adanya logam besi (Fe) ini dapat berfungsi sebagai katalis
oksidasi yang menyebabkan ikatan rangkap pada senyawa tersebut terputus dan
terbentuk suatu peroksida yang dapat menaikkan bilangan asam sehingga warna dari
minyak nilam tersebut menjadi gelap (Alfian, 2003). Hal ini terlihat pada sampel
yang diuji. Minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Besar berwarna sangat
gelap sedangkan minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Selatan dan Gayo
Lues berwarna kuning muda seperti terlihat pada Gambar 4.4.
a b c
Gambar 4.4 Pengaruh kandungan besi (Fe) terhadap warna dari minyak nilam; (a)
minyak nilam Aceh Besar, (b) minyak nilam Gayo Lues dan (c) minyak nilam Aceh
Selatan
32
70
60
Aceh Selatan
Gambar 4.5 Perbandingan pengukuran kandungan besi dalam minyak nilam yang
berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Aceh dengan pengukuran sebelumnya
Minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Besar memiliki kualitas
yang rendah apabila dipandang dari segi kadar besinya. Hal ini terlihat dari
perbandingan nilai kandungan logam besi minyak nilam yang berasal dari kabupaten
Aceh Besar yang terlihat sangat jauh melebihi batas maksimal Standar Nasional
Indonesia (SNI) yaitu sebesar 63,84 mg/kg. Pengukuran kandungan besi juga pernah
dilakukan sebelumnya oleh Alfian pada tahun 2003 untuk melihat kandungan besi
minyak nilam berdasarkan wadah penyulingan dan Askal pada tahun 2009 untuk
melihat kandungan besi minyak nilam yang berasal dari provinsi Jawa Barat.
Pengukuran Alfian didasari dari perbandingan wadah penyulingan dari
minyak nilam. Dimana, didapatkan bahwa sampel daun nilam (Alfian : 2003 (A))
memiliki kandungan besi sebesar 0,5611 mg/kg, minyak nilam yang disuling
menggunakan wadah kaca (Alfian : 2003 (B)) memiliki kandungan besi sebesar
0,4314 mg/kg, minyak nilam yang disuling menggunakan wadah Stainless steel
(Alfian : 2003 (C)) memiliki kandungan besi sebesar 0,7995 mg/kg dan minyak
nilam yang disuling menggunakan wadah drum bekas (Alfian : 2003 (D)) memiliki
kandungan besi sebesar 6,0200 mg/kg. Sedangkan, pengukuran yang dilakukan
Askal pada minyak nilam yang berasal dari provinsi Jawa Barat memiliki kandungan
besi sebesar 24,25 mg/kg. Berdasarkan data tersebut, minyak nilam yang disuling
menggunakan wadah kaca adalah minyak nilam dengan kualitas tertinggi
dikarenakan kandungan besinya yang sangat rendah. Hal ini dapat menjadi rujukan
33
bagi para penyuling untuk dapat menggunakan wadah kaca sebagai wadah
penyulingan. Jika membandingkan minyak nilam yang dihasilkan oleh provinsi Jawa
Barat, terlihat bahwa minyak nilam yang berasal dari kabupaten Gayo Lues dan Aceh
Selatan masih lebih baik kualitasnya berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
23.5 17
23 16.5
Viskositas (mPa.s)
Viskositas (mPa.s)
22.5 16
22 15.5
21.5 15
21 14.5
20.5 14
0 20 40 60 80 0 20 40 60 80
Kandungan Besi (mg/kg) Kandungan Besi (mg/kg)
Aceh Besar Aceh Selatan Gayo Lues Aceh Besar Aceh Selatan Gayo Lues
a b
Gambar 4.6 Pengaruh kandungan besi (Fe) dalam minyak nilam terhadap nilai
koefisien viskositas dengan (a) viskometer bola jatuh digital dan (b) viskometer
rotasi
34
waktu retensi akan dibaca oleh detektor dan dicocokkan dengan database sehingga
dapat diketahui jenis apakah senyawa tersebut.
Pengujian dilakukan pada tiga sampel minyak nilam yang berasal dari
kabupaten Aceh Besar, Aceh Selatan dan Gayo Lues. Hal ini dilakukan untuk
melihat bagaimana kadar Patchouli alcohol dalam minyak nilam yang berasal dari
provinsi tersebut. Pengujian tersebut menghasilkan data seperti pada Gambar 4.7, 4.8
dan 4.9 dan Lampiran 3.
35
sebesar 42,61 %, dalam minyak nilam kabupaten Aceh Selatan terdapat 21 puncak
senyawa yang terbaca dengan Patchouli alcohol sebesar 34,85 % serta dalam
minyak nilam kabupaten Gayo Lues terdapat 15 puncak senyawa yang terbaca
dengan Patchouli alcohol sebesar 33,04 %. Dalam pengujian, Patchouli alcohol
mulai terlihat pada menit 16-17 dengan puncak pada menit 17,340 - 17,466. Waktu
ini disebut dengan waktu retensi. Waktu retensi merupakan angka spesifik dari massa
interaksi antara molekul senyawa didalam kolom kromatografi (Hardyanti, 2016).
Setiap senyawa memiliki waktu retensi yang berbeda.
Dari data tersebut terlihat jika dari ketiga minyak nilam tersebut, minyak
nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Besar memiliki Patchouli alcohol tertinggi
yaitu sebesar 42,61 %. Patchouli alcohol adalah komponen terpenting dari minyak
nilam. Di tingkat perdagangan nasional dan global kadar Patchouli alcohol menjadi
parameter utama yang membedakan harga dari minyak nilam itu sendiri (Askal,
2009). Patchouli alcohol sendiri merupakan suatu jenis minyak atsiri yang memiliki
daya fiksasi atau daya ikat yang tinggi terhadap bahan pewangi sehingga dapat
mengikat aroma wangi serta mencegah penguapan zat pewangi agar tahan lama.
Puncak minyak nilam dalam kromatogram juga terlihat paling tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa patchouli alcohol merupakan senyawa yang memiliki titik didih
relatif tinggi dalam minyak nilam. Titik didih yang relatif tinggi dalam minyak nilam
memiliki sifat fixatif, yaitu pengikat senyawa atsiri lainnya, sehingga jika dicampur
dengan minyak nilam akan menaikkan titik didih campurannya. Sifat unik inilah
yang menjadikan minyak nilam banyak digunakan sebagai pengikat bau (aroma)
dalam produk parfum maupun kosmetik (Hardyanti, 2016).
Jika dibandingkan dengan data SNI, ketiga minyak nilam dari kabupaten di
provinsi Aceh menunjukkan kualitas yang baik. Dimana, ketiga minyak nilam
memiliki Patchouli Alcohol (PA) yang telah melewati batas minimal yang
ditentukan. Pada penelitian sebelumnya, Askal juga telah melakukan pengukuran
kadar Patchouli Alcohol pada minyak nilam yang berasal dari provinsi Jawa Barat.
Dimana, didapatkan nilai kadar Patchouli Alcohol sebesar 31,09 %. Hal ini
memperlihatkan bahwa kualitas minyak nilam yang berasal dari provinsi Aceh masih
lebih baik dibandingkan minyak nilam dari provinsi jawa Barat. Hardyanti juga telah
melakukan pengukuran kadar Patchouli Alcohol dimana didapatkan hasil
36
pengukuran sebesar 22,98869 %. Hardyanti tidak menjelaskan mengenai asal dari
minyak nilam tersebut.
45
40
35
Kadar Patchouli Alcohol (%)
30
SNI Minimal Aceh Selatan
25 Aceh Besar
Gayo Lues
20 Hardyanti (2016)
Askal (2009)
15
10
23.5 17
23 16.5
Viskositas (mPa.s)
Viskositas (mPa.s)
22.5 16
22 15.5
21.5 15
21 14.5
20.5 14
30 35 40 45 30 35 40 45
Kadar patchouli alcohol (%) Kadar patchouli alcohol (%)
Aceh Besar Aceh Selatan Gayo Lues
Aceh Besar Aceh selatan Gayo Lues
a b
Gambar 4.11 Pengaruh kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam terhadap nilai
koefisien viskositas dengan (a) viskometer bola jatuh dan (b) viskometer rotasi
37
naik. Hal ini memperlihatkan bahwa kedua jenis parameter tersebut saling
berhubungan satu sama lain atau dengan kata lain kadar patchouli alcohol
mempengaruhi dari kekentalan minyak nilam. Namun, pada minyak nilam kabupaten
Aceh Selatan nilai koefisien viskositas minyak nilam naik terlalu tinggi. Hal ini
diperkirakan terdapat faktor lain selain kadar patchouli alcohol. Diantaranya rapat
massa yang paling besar dari ketiganya. Selain itu, berdasarkan pengukuran Gas
Chromatography (GC) terlihat jika minyak nilam kabupaten Aceh Selatan memiliki
lebih banyak jenis senyawa didalam minyak nilamnya. Sehingga memungkinkan
banyaknya senyawa lain selain patchouli alcohol dapat mempengaruhi viskositas
dari minyak nilam yang dapat dilihat pada Lampiran 3.
950
Minyak Nilam +
900
Rapat Massa (Kg/m3)
Minyak Kelapa
Sawit
800
Minyak Nilam +
Minyak Tanah
750
700
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Gambar 4.12 Pengukuran rapat massa minyak nilam campuran
38
Dari gambar diatas terlihat bahwa minyak nilam memiliki rapat massa yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, oli ataupun minyak
tanah. Hal ini membuat minyak nilam yang telah dicampur memiliki rapat massa
yang lebih kecil. Terlihat juga bahwa pencampuran menggunakan minyak tanah akan
memberikan nilai rapat massa yang lebih kecil diikuti oleh oli dan minyak kelapa
sawit.
Pengukuran dilanjutkan dengan mengukur nilai koefisien viskositas dari
minyak nilam. Pengukuran dilakukan dengan cara yang sama ketika mengukur
viskositas pada minyak nilam murni, yaitu melakukan pengukuran menggunakan
viskometer bola jatuh digital dan menggunakan viskometer rotasi. Hasil pengukuran
dapat dilihat pada Gambar 4.13, Gambar 4.14 dan Gambar 4.15.
60
50
Viskositas (mPa.s)
40
30
20
10
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
39
100
90
80
Viskositas (mPa.s)
70
60
50
40
30
20
10
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Bola Jatuh Rotasi
Gambar 4.14 Perbandingan pengukuran viskometer bola jatuh digital dengan
viskometer rotasi pada campuran minyak nilam dengan oli curah
25
20
Viskositas (mPa.s)
15
10
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Bola Jatuh Rotasi
Gambar 4.15 Perbandingan pengukuran viskometer bola jatuh digital dengan
viskometer rotasi pada campuran minyak nilam dengan minyak tanah
40
50
45
40 Minyak Nilam +
Minyak Kelapa
Viskositas (mPa.s)
35 Sawit
30 Minyak Nilam +
Oli Curah
25
20
Minyak Nilam +
15 Minyak Tanah
10
5
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Gambar 4.16 Pengukuran nilai koefisien viskositas minyak nilam campuran dengan
viskometer bola jatuh digital
100
90
80 Minyak Nilam +
Minyak Kelapa
70 Sawit
Viskositas (mPa.s)
60
Minyak Nilam +
50 Oli Curah
40
Minyak Nilam +
30 Minyak Tanah
20
10
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Gambar 4.17 Pengukuran nilai koefisien viskositas minyak nilam campuran dengan
viskometer rotasi
41
memiliki viskositas yang lebih tinggi dari minyak nilam murni. Hal ini juga berlaku
jika minyak nilam dicampurkan dengan fluida yang lebih cair. Minyak nilam akan
memiliki viskositas yang lebih rendah dari minyak nilam murni. Saat minyak nilam
dicampur dengan minyak kelapa sawit, viskositas minyak nilam akan naik sebesar
14% pada campuran 75:25, 23% pada campuran 50:50 dan 47% pada campuran
25:75. Saat minyak nilam dicampur dengan oli curah, viskositas minyak nilam juga
akan naik sebesar 11% pada campuran 75:25, 31% pada campuran 50:50 dan 59%
pada campuran 25:75. Sedangkan saat minyak nilam dicampur dengan minyak tanah,
viskositas minyak nilam akan turun sebesar 4% pada campuran 75:25, 5% pada
campuran 50:50 dan 10% pada campuran 25:75.
Alat ukur viskometer bola jatuh digital terlihat memiliki kesulitan dalam
pengukuran viskositas pada minyak tanah. Hal ini terlihat dari standar deviasi
campuran minyak minyak nilam dengan minyak tanah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan campuran minyak nilam dengan oli ataupun minyak kelapa
sawit. Hal ini juga mendapat pengaruh dari fluida dengan viskositas rendah sangat
mudah mengalami turbulensi saat bola pejal jatuh didalamnya. Hal ini membuat
pengukuran viskositas menjadi sulit dilakukan dengan menggunakan viskometer bola
jatuh digital. Dikarenakan dapat menghasilkan waktu jatuh yang tidak sesuai.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini diantaranya dengan
menyesuaikan bola pejal yang digunakan serta memperpanjang jarak tempuh bola
saat jatuh didalam fluida. Dengan hal ini, kemungkinan akan menambah keakurasian
pengukuran.
Perbandingan pengukuran minyak kelapa sawit dari penelitian ini dengan
peneliti lain dapat dilihat pada Gambar 4.18.
42
60
50
Viskositas (mPa.s)
40
30
20
10
Suhu : 29oC
0
R. M. Davies (2016) Sutiah (2008)
Elin (2017) VBJ Minyak Kelapa Sawit
VR Minyak Kelapa Sawit
Gambar 4.18 Perbandingan pengukuran viskositas minyak kelapa sawit dengan
pengukuran sebelumnya
43
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengukuran menggunakan viskometer bola jatuh digital dan
viskometer rotasi, terdapat adanya perbedaan hasil pengukuran. Dimana deviasi
untuk minyak nilam murni berkisar antara ± 37 – 47%. Berdasarkan hasil
pengukuran didapatkan nilai koefisien viskositas minyak nilam Aceh Selatan
menggunakan viskometer bola jatuh digital sebesar 22,9 mPa.s dan viskometer rotasi
sebesar 16,7 mPa.s. Minyak nilam Aceh Besar menggunakan viskometer bola jatuh
digital sebesar 21,1 mPa.s dan viskometer rotasi sebesar 15,3 mPa.s. Sedangkan
minyak nilam Gayo Lues menggunakan viskometer bola jatuh digital sebesar 21,04
mPa.s dan viskometer rotasi sebesar 14,3 mPa.s. Dilihat dari nilai koefisien
viskositasnya, terlihat bahwa minyak nilam yang berasal dari daerah dataran tinggi
memiliki viskositas yang lebih rendah dibandingkan dari daerah dataran rendah.
Sedangkan untuk minyak nilam campuran, pengukuran dengan deviasi terendah
didapatkan saat pengukuran minyak nilam + minyak kelapa sawit dan pengukuran
dengan deviasi tertinggi didapatkan saat pengukuran minyak nilam + minyak tanah.
Dimana minyak nilam yang dicampur dengan minyak tanah akan menghasilkan nilai
koefisien viskositas yang rendah jika dibandingkan dengan minyak nilam yang
dicampur dengan minyak kelapa sawit ataupun oli curah. Berdasarkan pengukuran
yang telah dilakukan, kadar patchouli alcohol dan kandungan besi dalam minyak
nilam memiliki pengaruh terhadap kekentalan dari minyak nilam itu sendiri.
Sehingga nilai koefisien viskositas cenderung akan naik seiring naiknya kandungan
besi dan kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam.
5.2 Saran
Pengukuran menggunakan viskometer bola jatuh digital harus lebih
memperhatikan bola pejal yang akan digunakan untuk mengukur. Hal ini
dikarenakan jari-jari dari bola pejal tersebut sangat mempengaruhi keakuratan dari
hasil pengukuran.
44
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Zul. 2003. Analisis Kadar Logam Besi (Fe) dari Minyak Nilam (Patchouli
Oil) yang Diperoleh dari Penyulingan dengan Menggunakan Wadah Kaca,
Stainless Steel dan Drum Bekas Secara Spetrofotometri Serapan Atom.
Jurnal Sains Kimia. 7 (2) : 55-58.
Anonymous. http://www.chromacademy.com/lms/sco10/Theory_and_Instrumentati
on _ Of _GC_Introduction.pdf. Di akses 11 Januari 2018.
Anonymous. http://www.liskeard.cornwall.sch.uk/images/Liskeard-Sixth-Form/Ato
mic-Absorption-Spectrometry.pdf. Di akses 11 Januari 2018.
Anonymous. http://www.pertamina.com/industrialfuel/media/20707/minyak-tanah-
kerosene.pdf. Di akses 02 April 2018.
Basset, J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisa Kuantitatif Anorganik. Jakarta :
EGC.
Budianto, Anwar. 2008. Metode Penentuan Koefisien Kekentalan Zat Cair Dengan
Menggunakan Regresi Linier Hukum Stokes. Yogyakarta : Seminar Nasional
IV SDM Teknologi Nuklir.
45
Esteban, Bernat, et al. 2012. Temperature Dependence of Density and Viscosity of
Vegetable Oils. Spain : Biomass and Bioenergy. 42 : 164-171.
Fauzi, Yan, dkk. 2004. Kelapa Sawit Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah
Analisis. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya.
Hardyanti, Ika Sri, Dyan Septyaningsih, Isni Nuraini, Emas Agus Prastyo Wibowo.
2016. Analisis Kadar Patchouli Alcohol Menggunakan Gas Chromatography
pada Pemurnian Minyak Nilam Menggunakan Adsorben Zeolit. Prosiding
Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi.
Maimulyanti, Askal. 2009. Uji Kualitas dan Kontaminasi Besi dalam Minyak Nilam
(Patchouli Oil) dan Penurunan Kadar Besi dengan Penambahan Chelating
Agent. Bogor : Warta Akab. No. 22.
Nuryani, Yang. 2006. Budidaya Tanaman Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Aromatik.
Rukmana, Rahmat H. 2004. Nilam Prospek Agribisnis dan Teknik Budi Daya.
46
Yogyakarta : Kanisius.
Sears dan Zemansky. 1982. Fisika Universitas. Bandung : Penerbit Bina Cipta.
Tissos, N. P., Kamus, Z. 2014. Secara Digital Menggunakan Sensor Efek Hall
Ugn3503 Berbasis Arduino Uno328. Padang : Jurnal Sainstek. VI (1).
Zuhra, Cut Fatimah. 2003. Penyulingan, Pemrosesan dan Penggunaan Minyak Bumi.
Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara.
47
LAMPIRAN
Gambar 3 Kartu Identitas penjual minyak nilam asal kabupaten Aceh Selatan
48
Gambar 4 Koperasi yang memproduksi minyak nilam asal kabupaten Aceh Selatan
49
Lampiran 2 Tempat penyulingan minyak nilam
50