Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Minyak atsiri merupakan salah satu jenis minyak nabati yang memiliki
karakteristik fisik berupa cairan kental, mudah menguap dan memiliki aroma yang
khas (Rusli, 2010). Salah satu jenis minyak atsiri yang terdapat di Indonesia yaitu
minyak nilam. Minyak nilam (patchouli oil) merupakan salah satu jenis minyak atsiri
yang dihasilkan dari penyulingan uap daun kering tanaman nilam (Pogostemon
cablin Benth). Minyak nilam biasanya digunakan dalam industri parfum, obat-obatan
bahkan masuk kedalam salah satu minyak nabati yang berpotensi untuk dijadikan
biodiesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar ramah lingkungan yang terdiri atas ester
alkil dari asam-asam lemak yang dapat dibuat dari minyak nabati juga hewani.
Dalam biodiesel, viskositas adalah salah satu sifat penting dari bahan bakar yang
menunjukkan daya tahan material terhadap geser ataupun aliran (Atabani et al.,
2013). Bahan bakar yang terlalu rendah viskositasnya akan memberikan pelumasan
yang buruk dan cenderung mengakibatkan kebocoran pada mesin. Sebaliknya,
viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan asap kotor karena bahan bakar
lambat mengalir dan lebih sulit teratomisasi (Kusumaningsih and Saryoso, 2006).
Pada tahun 2013, Atabani telah melakukan pengukuran terhadap rapat
massa dan viskositas dari minyak nilam yang berasal dari provinsi Aceh. Dimana
didapatkan nilai rapat massanya sebesar 0,9466 kg/m3 dan nilai koefisien
viskositasnya sebesar 9,8175 mm2/s pada suhu 40oC. Berdasarkan data tersebut,
dilakukan pengukuran lebih lanjut mengenai minyak nilam yang berasal dari provinsi
Aceh. Dimana pengukuran viskositas akan dilakukan pada minyak nilam murni yang
terdapat dibeberapa kabupaten yang terdapat di provinsi Aceh. Hal ini dilakukan
untuk melihat bagaimana potensi minyak nilam yang dihasilkan oleh masyarakat.
Di Aceh, kabupaten penghasil minyak nilam diantaranya Aceh Jaya, Aceh
Selatan, Aceh Barat, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Penyulingan yang dilakukan
oleh masyarakat umumnya masih sangat sederhana dan beragam. Perbedaan cara
penyulingan dan letak geografis dari masing-masing kabupaten menghasilkan
kualitas minyak nilam yang beragam. Perbedaan kualitas ini harus mengikuti salah

1
satu standarisasi yang telah dilakukan Indonesia lewat Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-2385-2006. Dimana terdapat pengujian diantaranya warna, massa jenis,
indeks bias, kelarutan dalam etanol, bilangan asam, bilangan ester, putaran optik,
patchouli alcohol, alpha copaene dan kandungan besi. Selain itu, harga minyak
nilam dipasaran cukup mahal berkisar diantara 500.000 hingga 700.000 rupiah per
kilogramnya. Karena hal itu, seringkali penjual melakukan tindak kecurangan dengan
mecampurkan minyak nilam dengan minyak jenis lainnya. Dalam artikel yang telah
dituliskan oleh martsiano, campuran minyak yang sering digunakan diantaranya
minyak kelapa sawit dan oli (Martsiano, 2014).
Berdasarkan uraian diatas, didalam penelitian ini maka perlu dilakukan
pengukuran untuk mengetahui seberapa besar perubahan viskositas minyak nilam
ketika telah dicampur dengan material lain. Selain itu juga akan dilakukan studi
terhadap koefisien viskositas terhadap beberapa karakteristik penting dari minyak
nilam, yaitu patchouli alcohol dan kandungan besi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana nilai koefisien viskositas minyak nilam yang terdapat di kabupaten
Aceh Besar, Aceh Selatan dan Gayo Lues ?
2. Bagaimana pengaruh kemurnian, kadar alkohol serta kadar kandungan besi
minyak nilam terhadap nilai koefisien viskositas ?

1.3 Batasan Penelitian


Pengukuran viskositas akan dilakukan dengan menggunakan viskometer
bola jatuh digital dan viskometer rotasi. Minyak nilam yang akan diuji diambil dari
tiga kabupaten yang terdapat di provinsi Aceh, diantaranya Aceh Besar, Gayo Lues
dan Aceh Selatan. Perlakuan kemurnian minyak nilam dilakukan dengan mencampur
minyak nilam dengan beberapa jenis fluida diantaranya minyak kelapa sawit, minyak
tanah dan oli dengan menggunakan perbandingan volume sebesar 100:0, 75:25,
50:50, 25:75 dan 0:100 pada suhu dan tekanan ruang (29oC dan 1 atm). Untuk
melihat pengaruh kadar alkohol dan kandungan besi terhadap nilai koefisien

2
viskositas, dilakukan pengukuran pada sampel yang terdapat pada minyak nilam
murni yang berasal dari kabupaten Aceh Besar, Gayo Lues dan Aceh Selatan. Alat
ukur yang digunakan untuk melihat kadar alkohol dalam sampel yaitu Gas
Chromatography (GC) sedangkan untuk melihat kandungan besi akan menggunakan
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS).

1.4 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian pada rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Mengukur nilai koefisien viskositas pada minyak nilam yang terdapat di
kabupaten Aceh Besar, Gayo Lues dan Aceh Selatan.
2. Mengukur nilai koefisien viskositas dari campuran minyak nilam dengan minyak
kelapa sawit, minyak tanah dan oli.
3. Melihat pengaruh kadar alkohol dan kandungan besi dalam minyak nilam
terhadap nilai koefisien viskositas.

1.5 Manfaat Penelitian


Berdasarkan uraian pada tujuan didapatkan manfaat dari dilakukannya
penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui nilai koefisien viskositas (ƞ) minyak nilam yang terdapat di
kabupaten Aceh Besar, Gayo Lues dan Aceh Selatan.
2. Mengetahui perubahan nilai koefisien viskositas (ƞ) minyak nilam ketika
dicampur dengan minyak kelapa sawit, minyak tanah dan oli.
3. Mengetahui pengaruh dari kadar alkohol dan kandungan besi dalam minyak
nilam terhadap nillai koefisien viskositas.
4. Dapat dijadikan sebagai referensi atau database untuk pengukuran viskositas
terhadap kemurnian minyak nilam di provinsi Aceh.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel
Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang dapat digunakan
secara langsung maupun dicampur dengan solar pada mesin diesel. Biodiesel di
produksi dari minyak nabati ataupun lemak hewani. Minyak nabati merupakan bahan
baku yang sangat potensial sebagai sumber biodiesel karena keberadaannya dapat
diperbaharui (Kusumaningsih and Saryoso, 2006). Di Asia Tenggara ada beberapa
jenis minyak yang tersedia di pasaran diantaranya Jatropha curcas, Calophyllum
inophyllum, Sterculia foetida, Moringa oleifera, Croton megalocarpus, patchouli,
Elaeis guineensis (kelapa sawit), Cocos nucifera (kelapa), Brassica napus (canola),
dan Glycine Max (kedelai) (Atabani et al., 2013).
Sifat fisik dan kimia yang harus dimiliki oleh biodiesel akan diuji berdasarkan
ASTM D6751. Hal ini meliputi viskositas, indeks viskositas, densitas, titik nyala, CP
(titik penguapan), PP (titik pengembunan), CFPP, CCR, nilai kalor, stabilitas
oksidasi, laju korosi tembaga, dan total belerang. Serta beberapa sifat-sifat non-
ASTM seperti transmisi, absorbansi dan indeks bias. Standarisasi berdasarkan SNI
7182:2015 juga dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sifat Fisik dan Kimia untuk Biodiesel


No Sifat Satuan Nilai Uji
1. Massa jenis pada suhu 40oC kg/m3 850 – 890
2. Viskositas Kinematik pada 40oC mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0
3. Angka setana (minimal) - 51
o
4. Titik nyala (minimal) C 100
o
5. Titik kabut (maksimal) C 15
6. Residu karbon
0,05
- dalam pecontoh asli (maksimal) % massa
0,3
- dalam 10% ampas distilasi % massa
7. Air dan sedimen (maksimal) % volume 0,05
o
8. Temperatur distilasi 90 % (maksimal) C 360
9. Abu tersulfatkan (maksimal) % massa 0,02
10 Belerang (maksimal) mg/kg 50
11 Fosfor (maksimal) mg/kg 4

4
12 Angka asam (maksimal) mg-KOH/g 0,5
13 Gliserol bebas (maksimal) % massa 0,02
14 Gliserol total (maksimal) % massa 0,24
(Sumber : SNI 7182:2015)

Viskositas adalah sifat terpenting dari bahan bakar yang menunjukkan daya
tahan material terhadap geser ataupun aliran (Atabani et al., 2013). Bahan bakar
diesel yang terlalu rendah viskositasnya akan memberikan pelumasan yang buruk
dan cenderung mengakibatkan kebocoran pada pompa. Sebaliknya, viskositas yang
terlalu tinggi akan menyebabkan asap kotor karena bahan bakar lambat mengalir dan
lebih sulit teratomisasi (Kusumaningsih and Saryoso, 2006). Viskositas kinematis
adalah salah satu sifat utama yang dapat menjadikan sebuah minyak baik edible
ataupun non edible sebagai alternatif bahan bakar diesel. Viskositas dapat
mempengaruhi aliran pada semua suhu bahan bakar yang dapat berpengaruh
terhadap atomisasi bahan bakar (Knothe and Razon, 2017).
Semakin tinggi viskositasnya, semakin besar kecenderungan bahan bakar
tersebut menyebabkan masalah terhadap mesin. Viskositas biodiesel dalam bentuk
metil ester biasanya lebih rendah daripada viskositas kinematis minyak itu sendiri
yang telah terdapat dalam standar biodesel seperti ASTM D445 [225] atau ISO 3104
[226]. Viskositas kinematis dari ester alkil asam lemak dipengaruhi oleh faktor
struktual seperti panjang rantai dan sifat ikatan rangkap. Viskositas akan meningkat
beriringan dengan panjangnya rantai (jumlah atom karbon) juga meningkatnya
kejenuhan fluida itu sendiri (Knothe and Razon, 2017).

2.2 Viskositas
Suatu zat yang dapat mengalir dan menempati ruang disebut dengan fluida.
Istilah fluida dikelompokkan menjadi dua, yaitu zat cair dan gas. Aliran fluida dapat
merupakan aliran kental (viskositas) (Resnick, 1985). Viskositas berasal dari kata
viscous yang berarti kekentalan. Suatu bahan yang viscous akan menjadi lunak dan
dapat mengalir pelan-pelan, serta akan menjadi cair ketika dipanaskan (Sears &
Zemansky, 1982). Viskositas gerak fluida adalah analogi pergerakan dari gesekan
benda padat yang masuk kedalam fluida (Resnick, 1985). Menurut Bird (1987) ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi viskositas suatu fluida, diantaranya :

5
a. Tekanan, viskositas fluida akan naik dengan naiknya tekanan fluida itu sendiri.
Tetapi tidak berlaku untuk viskositas pada gas.
b. Temperatur, viskositas fluida akan turun dengan naiknya temperatur fluida itu
sendiri, sedangkan pada gas viskositas naik seiring dengan naiknya temperatur
gas.
c. Kehadiran zat lain, penambahan zat juga berpengaruh terhadap viskositas suatu
fluida. Dimana, saat adanya tambahan zat akan menaikkan viskositas suatu
fluida.
Fenomena viskositas dapat dilihat jika ada sebuah benda seperti bola besi
dijatuhkan kedalam fluida kental atau cairan. Mula-mula bola besi bergerak
dipercepat, setelah beberapa saat bola besi mengalami pergerakan yang konstan atau
bergerak lurus beraturan. Fenomena ini menjelaskan bahwa selain gaya berat bola
besi dan gaya apung zat cair terdapat gaya lain yang bekerja pada bola besi tersebut,
yaitu berupa gaya gesekan yang disebabkan oleh kekentalan fluida (Budianto, 2008).
Viskositas terdiri dari dua macam, yaitu viskositas dinamik dan viskositas kinematik.
Konversi satuan baik viskositas dinamik maupun kinematik dapat dilihat pada Tabel
2.1 dan Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Konversi satuan viskositas dinamis


Konversi
mili Pascal - sekon (mPa.s) 1000
Poise (P) 10
Pascal - sekon Centipoise (cP) 1000
1
(Pa.s) Kilogram per meter sekon (kg/(m.s)) 1
Gram per centimeter sekon (g/(cm.s)) 10
Newton sekon per meter kubik (N.s/m2) 1
(Sumber : https://www.convertworld.com/en/dynamic-viscosity/poise.html)

Tabel 2.2 Konversi satuan viskositas kinematik


Konversi
Centistokes (cS) 100
Stokes (S) 1 Meter kubik per sekon (m2/s) 10-4
Centimeter kubik per sekon (cm2/s) 1

6
Milimeter kubik per sekon (mm2/s) 100
Kaki kubik per sekon (ft2/s) 1,08 × 10-3
Inci kubik per sekon (in2/s) 0,16
(Sumber : https://www.convertworld.com/en/kinematic-viscosity/)

2.2.1 Metode bola jatuh


Dalam mengukur viskositas dapat dilakukan dengan beberapa metode,
seperti metode pipa kapilari, metode putaran silinder, metode osilasi disket, metode
kawat lurus bergetar, dan metode bola jatuh. Metode yang paling dikenal adalah
metode bola jatuh (falling ball method). Prinsip kerja metode ini adalah dengan
mengukur kecepatan bola pejal dalam cairan dengan parameter-parameter tertentu
(Tissos and Kamus, 2014). Metode ini menggunakan prinsip Hukum Stokes. Metode
ini pertama kali dijabarkan oleh George Stokes pada tahun 1845. Persamaan hukum
stokes secara matematis ditulis sebagai berikut (Sears & Zemansky, 1982).

Ff = 6𝜋ƞr 𝜈 (2.1)
Dengan Ff menyatakan pergerakan bola pejal relatif terhadap gaya gesekan
fluida, ƞ adalah koefisien kekentalan, r adalah jari-jari bola kelereng, dan 𝜈
kecepatan relatif bola terhadap fluida (Budianto, 2008). Berdasarkan persamaan
diatas, Hukum Stokes menyatakan bahwa semakin besar gaya gesek maka semakin
besar pula nilai viskositasnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengkuran koefisien viskositas dengan
metode bolah jatuh diantaranya ruang tempat fluida harus jauh lebih besar dan luas
dibandingkan ukuran bola dan kecepatan bola 𝜈 tidak terlalu besar sehingga tidak
menyebabkan terjadinya aliran turbulen. Sebuah bola padat memiliki rapat massa 𝜌
dan berjari-jari r dijatuhkan tanpa kecepatan awal ke dalam fluida kental yang
memilki rapat massa 𝜌o, di mana 𝜌 > 𝜌o. Telah diketahui bahwa bola mula-mula
mendapat percepatan gravitasi, namun beberapa saat setelah bergerak cukup jauh
bola akan bergerak dengan kecepatan konstan (Budianto, 2008).

Kecepatan konstan ini mengakibatkan terdapatnya gaya lain pada bola yaitu
gaya apung sehingga berlaku Hukum Newton II :

∑F = 0 (2.2)

7
b f

Gambar 2.1 Gaya-gaya bola dalam fluida (Mujadin, 2014)

Pada Gambar 2.1 Terdapat tiga gaya yang mempengaruhi bola dalam fluida
yaitu gaya Archimedes (FA), gaya stokes (Ff), dan gaya berat (w). Sehingga
persamaan Stokes disubsitusikan kedalam persamaan (2.3) :

𝐹𝑓 + 𝐹𝑎 + - w = 0 (2.3)
𝐹𝑓 + 𝐹𝑎 = w (2.4)
6𝜋ƞr 𝜈 + 𝑚𝑓 g = mb g (2.5)

dimana mf merupakan massa fluida yang digunakan (kg), mb massa bola (kg), r jari-
jari bola (m), dan 𝜈 kecepatan bola didalam aliran fluida (m/s). Hubungan massa dan
rapat massa dapat ditulis sebagai berikut :

𝜌 = 𝑚⁄𝑉 (2.6)
𝑚 = 𝜌𝑉 (2.7)

dengan V merupakan volume (m3) dan 𝜌 rapat massa (kg.m-3), sehingga persamaan
(2.5) menjadi :

6𝜋ƞr 𝜈 + 𝜌𝑓 g 𝑉𝑏 = 𝜌b g 𝑉𝑏 (2.8)
6𝜋ƞr 𝜈 = (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ) g 𝑉𝑏 (2.9)

dengan Vb adalah volume bola (m3) dapat ditulis sebagai :

Vb = 4⁄3 𝜋r3 (2.10)

sehingga persamaan (2.9) menjadi :

6𝜋ƞr 𝜈 = 4⁄3 𝜋r3 (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ) (2.11)

8
6ƞ𝜈 = 4⁄3 r2 (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ) (2.12)

ƞ = (4⁄3 r2 (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ))/6𝜈 (2.13)

Maka perhitungan nilai koefisien viskositas adalah :

ƞ = (4⁄3 r2 (𝜌𝑓 - 𝜌𝑏 ))/6𝜈 (2.14)

dimana ƞ adalah koefisien viskositas (Ns/m2), r jari-jari bola besi (m), 𝜌𝑏 rapat massa
bola (kg/m3), 𝜌𝑓 rapat massa fluida (kg/m3), dan 𝜈 kecepatan bola (m/s), dengan 𝜈 b
adalah jarak persatuan waktu (Mujadin, 2014).

2.2.2 Digital rotary viscometer


Viskometer rotasi merupakan salah satu jenis alat ukur viskositas yang
mengukur berdasarkan tingkat tegangan geser didalam fluida. Sebuah viskometer
rotasi terdiri dari wadah berisi sampel dan spindle yang direndam didalam sampel.
Ada dua prinsip utama yang digunakan yaitu prinsip Couette dan prinsip Searle.
Prinsip Couette akan membuat spindle dalam posisi diam dan wadah berisi sampel
berputar. Sedangkan prinsip Searle akan membuat spindle berputar dan wadah berisi
sampel bergerak. Kebanyakan viskometer rotasi yang tersedia di industri
menggunakan prinsip Searle. Dimana, viskositasnya akan sebanding dengan torsi
motor dari perputaran spindle terhadap kekentalan fluida. Saat menggunakan prinsip
Searle, kecepatan rotasi spindle pada sampel harus disesuaikan. Jika tidak, akan
terjadi aliran turbulen dikarenakan gaya sentrifugal atau efek inersia dari pergerak
spindle. Secara sederhana, viskometer rotasi terdiri dari bagian-bagian seperti pada
Gambar 2.2. (Kim, 2003).

Gambar 2.2 Bagian-bagian viskometer rotasi (http://www.viscopedia.com/me


thods/measuring-principles/#c2794).

9
Keterangan :
1. Motor penggerak dan unit ukur
2. Antarmuka pengguna atau layar alat ukur
3. Stand
4. sumbu Spindle
5. Wadah sampel
6. Spindle

2.3 Gas Chromatography (GC)


Perkembangan Gas Chromatography sebagai teknik analisis dipelopori oleh
Martin dan Synge pada tahun 1941. Mereka menyarankan untuk menggunakan
kromatogram partisi gas-cair untuk tujuan analisis. Dua teknik utama kromatografi
yang digunakan dalam kimia analitik modern yaitu Gas Chromatography (GC) dan
High Performance Liquid Chromatography (HPLC). HPLC menggunakan fase gerak
cair untuk mengangkut komponen sampel (analit) melalui kolom, yang dikemas
dengan bahan fase stationer yang solid. HPLC pertama kali diusulkan oleh ahli
botani Rusia Mikhail Tswett yang pertama kali menggunakan istilah tersebut.
Sebaliknya, GC menggunakan fase gerak gas untuk mengangkut komponen sampel
melalui kolom penuh atau kolom kapiler berongga yang mengandung cairan tahap
stasioner polimerik.

Gambar 2.3 Instrumen dalam Gas Chromatography (GC) (http://www.chromacadem


y.com/lms/sco10/Theory_and_Instrumentation_Of_GC_Introduction.pdf)

Dalam kebanyakan kasus, kolom GC memiliki diameter internal yang lebih


kecil dan lebih panjang dari kolom HPLC. GC telah berkembang menjadi teknik

10
yang canggih sejak karya perintis Martin dan James masuk pada 1951 dan mampu
memisahkan campuran analit tidak stabil yang sangat kompleks. Data yang
didapatkan merupakan hasil sinyal analog dari detektor dan mendigitalkannya
menjadi bentuk kromatogram yang akan terlihat seperti Gambar 2.4. Sistem data juga
bisa digunakan untuk melakukan berbagai operasi kuantitatif dan kualitatif dalam
bentuk kromatogram yang berisi identifikasi sampel dan kuantisasi
(http://www.chromacademy.com/lms/sco
10/Theory_and_Instrumentation_Of_GC_Introduction.pdf).

Gambar 2.4 Kromatogram GC (http://www.chromacademy.com/lms/sco10/Th


eory_and_Instrumentation_Of_GC_Introduction.pdf)

Pada tahun 2016, Hardayanti dkk telah melakukan pengukuran kadar


alkohol dalam minyak nilam dengan menggunakan Gas Chromatography. Pada
pengukuran tersebut, Hardayanti dkk mencampurkan minyak nilam dengan zeolit
sebagai absorbennya. Dimana, didapatkan hasil analisis seperti pada Gambar berikut.

Gambar 2.5 Hasil analisis GC sampel minyak nilam (Hardyanti, 2016)

11
Hasil isolasi patchouli alkohol dan analisis gas kromatografi dinyatakan
dalam 2 parameter, yaitu waktu retensi (menit) dan konsentrasi (%). Waktu retensi
merupakan angka spesifik dari massa interaksi antara molekul senyawa didalam
kolom kromatografi. Angka tersebut merupakan indikator kualitatif dari senyawa
pada kondisi tertentu. Konsentrasi menunjukkan tingkat kemurnian dari cuplikan
yang dianalisis. Hasil analisis fraksi patchouli alkohol terdapat pada waktu retensi
27,806 dengan kadar patchouli alkohol sebesar 22,98869 %. Puncak patchouli
alkohol dalam kromatogram minyak nilam terletak pada akhir kromatogram
(Hardyanti, 2016)

2.4 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)


Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) adalah suatu metode analisis yang
didadasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada
pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan
terekstasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan
ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar sambil mengeluarkan
energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom bebas berinteraksi dengan berbagai
bentuk energi seperti energi panas, energi elektromagnetik, energi kimia dan energi
listrik. Interaksi ini menimbulkan proses-proses dalam atom bebas yang
menghasilkan absorpsi dan emisi (Pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang
dipancarkan bersifat khas karena mempunyai panjang gelombang untuk setiap atom
bebasnya (Basset, 1994).

Gambar 2.6 Instrumen Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) (http://


www.liskeard.cornwall.sch.uk/images/Liskeard-Sixth-Form/Atomic-Absorptio n-
Spectrometry.pdf)

12
Analisis AAS pada umumnya digunakan untuk analisa unsur, teknik AAS
menjadi alat yang canggih dalam analisis terlihat seperti Gambar 2.6. Ini disebabkan
karena sebelum pengukuran tidak selalu memerlukan pemisah unsur yang ditentukan
karena kemungkinan penentuan satu logam unsur dengan kehadiran unsur lain dapat
dilakukan, asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia (Basset, 1994). Atom
dari unsur yang berbeda akan menyerap panjang gelombang cahaya untuk
menganalisis sampel dengan melihat apakah berisi elemen yang diinginkan
menggunakan cahaya dari elemen itu sendiri. Di AAS, sampel akan diatomisasi yaitu
diubah menjadi atom bebas dalam keadaan uap dan berkas radiasi elektromagnetik
yang dipancarkan dari atom akan terekstasi melalui penguapan. Beberapa radiasi
akan diserap oleh atom dalam sampel (http://www.liskeard.cornwall.sch.uk/im
ages/Liskeard-Sixth-Form/Atomic-Absorption-Spectrometry.pdf).

Tabel 2.3 Data hasil pengukuran absorbansi larutan standar unsur besi
No Kadar (ppm) Absorbansi (A)
1 0,0000 0,0000
2 2,0000 0,0662
3 4,0000 0,1260
4 6,0000 0,1981
5 8,0000 0,2550
6 10,0000 0,3151
(Sumber : Alfian, 2003)

Tabel 2.4 Data Hasil Pengukuran Absorbansi dan Kadar Unsur Besi dari Minyak
Nilam yang Disuling Menggunakan Wadah Kaca, Stainless Steel dan
Drum Bekas
Absorbansi (A)
Jenis
No A Kadar (ppm)
Sampel A1 A2 A3
rata-rata
1 A 0,0200 0,0199 0,0193 0,0197 0,5611 ± 0,0079
2 B 0,0161 0,0156 0,0151 0,0156 0,4314 ± 0,0094
3 C 0,0278 0,0272 0,0268 0,272 0,7995 ± 0,0105
4 D 0,1926 0,1923 0,1918 0,1922 6,0200 ± 0,0084
Keterangan :
A = Sampel daun nilam.
B = Minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah kaca
C = Minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah stainless steel.
D = Minyak nilam yang disuling dengan menggunakan wadah drum bekas.
(Sumber : Alfian, 2003)

13
Pada tahun 2003, Alfian telah melakukan analisis kadar logam besi (Fe) dari
minyak nilam yang diperoleh dari penyulingan menggunkan wadah kaca, stainless
steel, dan drum bekas dengan metode Atomic Absorption Spectroscopy . Hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4 diatas.
Menurut hasil penelitian, kandungan besi dalam minyak nilam tidak
dipengaruhi oleh masa panen juga dalam tanaman nilam itu sendiri. Hal ini terlihat
pada Tabel 2.2 yang menunjukkan panen 1 (A1) dengan panen 2 (A2) ataupun panen
3 (A3) tidak memiliki nilai yang terlalu jauh. Sedangkan berdasarkan dengan wadah
tempat penyulingan, menunjukkan jika minyak nilam yang disuling dengan
menggunakan wadah bekas drum memiliki nilai paling tinggi. Hal ini disebabkan
oleh drum bekas yang digunakan untuk menyuling minyak nilam tersebut
mengandung logam besi, yang sifat wadah ini mudah terdegradasi, sehingga terjadi
kontaminasi dari wadah (Alfian, 2003).
Sedangkan berdasarkan standar mutu minyak nilam yang memenuhi standar
adalah berwarna kuning muda sampai cokelat, sedangkan minyak nilam yang
disuling dengan menggunakan wadah drum bekas berwarna cokelat tua. Proses
oksidasi pada minyak nilam ini terjadi karena salah satu komponen dari minyak
nilam terdapat senyawa sesquiterpen yang mempunyai ikatan rangkap dan dengan
adanya logam besi (Fe) ini dapat berfungsi sebagai katalis oksodasi yang
menyebabkan ikatan rangkap pada senyawa tersebut terputus dan terbentuk suatu
peroksida yang dapat menaikkan bilangan asam sehingga warna dari minyak nilam
tersebut menjadi cokelat tua, sehingga mutu dan kualitas dari minyak nilam tersebut
menurun.

2.5 Minyak Nilam


Menurut (Rukmana, 2004) nilam dapat diklasifikasikan sebagai kingdom
Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledonae, ordo Labiatales, famili
Labiatae, genus Pogostemon dan spesies Pogostemon cablin Benth. Nilam adalah
salah satu tanaman penghasil minyak atsiri, yang dikenal sebagai minyak nilam
(Patchouli oil). Nilam merupakan tanaman semak yang tumbuh tegak, memiliki
banyak percabangan, bertingkat-tingkat dan mempunyai aroma yang khas (Gambar
2.7). Tumbuhan ini dapat mencapat ketinggian 0,5 m – 1,0 m dan merupakan

14
tanaman tahunan (Rukmana, 2004). Nilam dapat tumbuh dan berkembang di daratan
rendah sampai daratan tinggi yang mempunyai ketinggian 1.200 m diatas permukaan
laut. Akan tetapi, nilam akan tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada
ketinggian 50 sampai 400 m diatas permukaan laut. Hal ini mempengaruhi kadar
minyak dan kadar alkohol dari minyak nilam. Dimana pada dataran rendah kadar
minyak lebih tinggi tetapi kadar patchouli alkohol (Pa) lebih rendah, sebaliknya pada
dataran tinggi akan menghasilkan minyak nilam dengan kadar minyak rendah tetapi
kadar patchouli alkohol (Pa) tinggi (Nuryani, 2006).

a b
Gambar 2.7 Bentuk (a) tanaman nilam dan (b) minyak nilam (Nuryani, 2006 dan
Atabani, 2013)

Ada beberapa jenis tanaman nilam yang dapat tumbuh di Indonesia,


diantaranya :
1. Nilam Aceh ( Pogostermon cablin Benth atau Pogostemon patchouli).
Nilam jenis ini banyak terdapat di seluruh wilayah Aceh. Nilam ini memiliki ciri
tidak berbunga dan daunnya berbulu halus. Nilam aceh merupakan tanaman
standar ekspor yang direkomendasikan dengan kadar minyak cukup tinggi, yaitu
2,5 – 5%.
2. Nilam Jawa (Pogostemon heyneatus Benth).
Nilam jawa disebut juga nilam hutan. Nilam jenis ini banyak terdapat di
beberapa hutan wilayah Pulau Jawa. Nilam ini memilki ciri daun dan rantingnya
yang tidak memiliki bulu-bulu halus dan ujung daunnya agak meruncing. Nilam
jawa memilki kadar minyak yang rendah yaitu 0,5 – 1,5%.
3. Nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer)
Nilam jenis ini banyak terdapat di daerah Bogor. Nilam ini juga memiliki kadar
minyak yang rendah seperti nilam Jawa yaitu 0,5 – 1,5% (Mangun, 2008)

15
Penyulingan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan minyak atsiri,
dengan cara mendidihkan bahan baku yang dimasukkan ke dalam ketel hingga
terdapat uap yang diperlukan. Cara lainnya adalah dengan cara mengalirkan uap
jenuh (saturated or superheated) dari ketel pendidih air kedalam ketel penyulingan.
Dengan penyulingan ini akan dipisahkan zat-zat bertitik didih tinggi dari zat-zat yang
tidak dapat menguap. Dengan kata lain penyulingan adalah proses pemisahan
komponen-komponen campuran dari dua atau lebih cairan berdasarkan perbedaan
tekanan uap masing-masing komponen tersebut (Santoso, 1990)
Prinsip kerja penyulingan yaitu dengan menggunakan metode uap dan air.
Bahan ditempatkan diatas saringan dan tidak berhubungan dengan uap. Bagian-
bagian utama komponen penyulingan adalah sebagai berikut :
a. Ketel suling.
Ketel suling dibuat dari besi dengan memanfaatkan drum. Satu set alat suling
hanya memiliki 1 ketel suling. Ketel suling berbentuk silinder dan berdiameter
50 cm dan tinggi 1 m. Daya tampung ketel suling ini adalah 2 karung nilan
kering (1 karung nilam kering yang memiliki berat 30-36 kg). Ketel suling
dilengkapi dengan tutup yang dapat ditutup dan dibuka. Saringan diletakkan
diantara bahan suling dan air. Waktu yang diperlukan untuk melakukan 1 kali
penyulingan rata-rata adalah 5 jam.
b. Pipa pendingin
Pipa pendingin berfungsi untuk mengembunkan uap air dan minyak. Pipa
pendingin yang digunakan berbentuk pipa panjang berdiameter 10 cm. Pipa ini
berada diantara ketel suling dan penampung hasil dan berbentuk huruf “L”. Pada
sebagian pipa dialirkan air yang cukup secara kontinyu kedalam genangan air.
c. Penampung hasil
Alat penampung berfungsi untuk menampung hasil suling yang keluar dari pipa
pendingin. Alat ini terbuat dari kaleng yang dilengkapi 2 buah keran yang
terdapat di bagian atas dan bawah. Minyak nilam memiliki berat jenis yang lebih
kecil dibanding dengan air, sehingga minyak akan berada dibagian atas. Minyak
nilam dikeluarkan melalui keran yang terletak dibagian atas sedangkan air
dibuang melalui keran yang berada dibagian bawah (Nuryani, 2006).

16
Penyulingan minyak nilam pada umumnya dilakukan dengan dua cara
diantaranya :
1. Penyulingan secara dikukus, pada cara ini bahan (terna kering) berada pada jarak
tertentu diatas permukaan air.
2. Penyulingan dengan uap langsung, dimana bahan berada dalam ketel suling dan
uap air dialirkan dari ketel uap pada bagian bawah suling (Nuryani, 2006).
Standar kualitas minyak nilam dalam dilihat dalam SNI bernomor 06-2385-
2006 yang dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Persyaratan mutu minyak nilam


No Jenis Uji Satuan Persyaratan
Kuning muda - cokelat
1 Warna -
kemerahan
2 Massa Jenis 25oC - 0,950 - 0,975
3 Indeks Bias (nd20) - 1,507 – 1,515
Larutan jernih atau
Kelarutan dalam Etanol 90 %
4 - opalesensi ringan dalam
pada Suhu 20oC ± 3oC
perbandingan volume 1:10
5 Bilangan asam - Maksimal 8
6 Bilangan ester - Maksimal 20
7 Putaran optik - (-) 48o – (-) 65o
8 Patchouli alcohol (c15h26o) % Minimal 30
9 Alpha copaene (c15h24) % Maksimal 0,5
10 Kandungan besi (Fe) mg/kg Maksimal 25
(Sumber : SNI : 06-2385-2006)

2.6 Minyak Kelapa Sawit


Menurut (Setyamidjaja, 2006) kelapa sawit dapat diklasifikasikan sebagai
berikut kingdom Plantae, divisi Magnoliopyta, kelas Liliopsida, ordo Arecales,
famili Arecaceae, genus Elaeis dan spesies Elaeis guineensis juga Elaeis oleifera
Morfologi tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu
sebagai berikut (Gambar 2.8) :
 Bagian Generatif
Bagian generatif kelapa sawit meliputi akar, batang, dan daun. Akar kelapa sawit
berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam tanah dan respirasi tanaman.
Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena tumbuh

17
ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter.
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak mempunyai
kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai penyangga
serta tempat menyimpan dan mengangkut makanan. Daun kelapa sawit
membentuk susunan majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun
sebagai tempat fotosintesis dan sebagai alat respirasi. Semakin lama proses
fotosintesis berlangsung, semakin banyak bahan makanan yang dibentuk
sehingga produksi meningkat. Luas permukaan daun juga mempengaruhi proses
fotosintesis, semakin luas permukaan daun maka proses fotosintesis akan
semakin baik (Fauzi, 2004).
 Bagian vegetatif
Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi bunga dan daun. Kelapa sawit merupakan
tanaman berumah satu (monoecious) artinya bunga jantan dan bunga betina
terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan.
Proses penyerbukan tanaman kelapa sawit dapat terjadi dengan bantuan serangga
atau angin. Buah disebut juga fructus, tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan
buah siap panen pada umur 3,5 tahun. Buah terbentuk setelah terjadi
penyerbukan dan pembuahan. Waktu yang dibutuhkan mulai dari penyerbukan
sampai buah matang dan siap panen kurang lebih 5 – 6 bulan. Secara anatomi
buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian pertama adalah
perikarpium yang terdiri dari epikarpium (kulit buah yang licin dan keras) dan
mesokarpium (daging buah yang berserabut dan mengandung minyak), bagian
kedua adalah biji, yang terdiri dari endokaprium (tempurung berwarna hitam dan
keras), endosperm (penghasil minyak inti sawit), dan embrio (Fauzi, 2004).

a b
Gambar 2.8 Bentuk (a) tanaman kelapa sawit dan (b) minyak kelapa sawit (Atabani,
2013)

18
2.7 Oli atau Pelumas
Oli atau pelumasan merupakan salah satu sistem utama dalam mesin untuk
menghindari terjadinya gesekan langsung antara logam dalam mesin, sehingga
tingkat keausan logam dan tingkat kerusakan mesin dapat dikurangi. Karakteristik
dan jenis oli yang digunakan harus diperhatikan. Diantaranya faktor kekentalan dan
viskositas. Fungsi dan kerja oli mesin diantaranya :
1. Pelumasan, fungsi pelumasan diantaranya mengurangi friksi (gesekan) dan
mencegah keausan pada bagian engine dan mencegah bagian besi bersentuhan.
2. Perapatan, oli mesin juga berfungsi merapatkan celah-celah ruang pembakaran
sehingga mencegah lolosnya tekanan pembakaran kedalam bagian dalam dari
piston.
3. Pendinginan, oli mesin berfungsi untuk mendinginkan atau menyalurkan panas
dari komponen-komponen mesin seperti piston.
4. Pembersihan, oli mesin bersirkulasi didalam mesin, untuk mencegah kotoran-
kotoran seperti karbon melekat pada komponen mesin yang akan mengakibatkan
karat dan aus.
Viskositas pada oli mesin digunakan tergantung pada lingkungan, tipe
kendaraan, tujuan dan faktor-faktor lainnya. Dimana, jika viskositasnya tinggi
keuntungan yang didapatkan yaitu dapat mengurasi gesekan pada pemukaan-
permukaan luncur. Tetapi terdapat juga kerugiannya yaitu mesin tidak dapat
dihidupkan dengan mudah dalam keadaan dingin karena oli menaikan tahanan
gesekan didalam mesin. Sebaliknya, jika viskositasnya rendah keuntungan yang
didapatkan yaitu mesin lebih mudah dihidupkan dalam keadaan dingin. Tetapi
kekurangannya gesekan pada permukaan luncur menjadi lebih besar pada kondisi
mesin panas (https://prasetyods.files.wordpress.com/2014/09/ buku-cetak-seri-dasar-
13.pdf).

2.8 Minyak Tanah


Minyak tanah atau disebut juga dengan kerosin merupakan bahan bakar
yang sering digunakan untuk pemanasan. Minyak tanah dihasilkan dengan jalan
penyulingan langsung. Minyak tanah biasanya digunakan untuk keperluan industri

19
(seperti solvent) dan sebagai bahan bakar rumah tangga (memasak, penerangan, dan
lain-lain). Beberapa sifat yang harus diperhatikan dari minyak tanah diantaranya :
1. Warna, minyak tanah terdiri dari berbagai kelas warna, diantaranya water spirit
(tidak berwarna), prime spirit dan standar spirit.
2. Sifat bakar, nyala minyak tanah tergantung pada susunan kimianya. Jika
mengandung banyak aromatik maka apinya tidak dapat dibesarkan karena apinya
mulai berarang. Susunan kimia dengan nyala api paling baik yaitu susunan kimia
yang terdiri dari alkana-alkana.
3. Viskositas, minyak tanah akan mengalir ke sumbu karena adanya gaya kapiler
dalam saluran-saluran sempit antara serat-serat sumbu. Dimana, jika nilai
koefisien viskositanya tinggi, minyak akan sulit naik dan akan membakar sumbu.
4. Kadar Belerang, banyak kerugian yang disebabkan bila kadar belerang terlalu
tinggi, diantaranya memberikan bau tidak enak dari gas-gas yang dihasilkan,
mengakibatkan korosi dari bagian-bagian logam, seperti rusaknya silinder-silinder
yang disebabkan oleh asam yang mengembun pada dinding silinder serta
mempunya pengaruh yang tidak baik terhadap bilangan oktan (Zuhra, 2003).

Tabel 2.7 Spesifikasi dari minyak tanah


Batasan Metode Uji
No Karakteristik Satuan
Min Maks ASTM Lain
1. Densitas pada 15oC kg/m3 - 835 D 1298
2. Titik asap mm 15 - D 1322
3. Nilai jelaga mg/kg - 40 IP 10
Distilasi :
4. Perolehan pada 200oC % vol 18 - D 86
o
Titik akhir C - 310
o
5. Titik nyala abel C 38 - IP170
%
6. Kandungan belerang - 0,20 D 1266
massa
Korosi bilah tembaga (3
7. - - No.1 D 130
jam / 50oC)
Dapat
8. Bau dan warna -
dipasarkan
(Sumber : http://www.pertamina.com/industrialfuel/media/20707/minyak-tanah-
kerosene.pdf)

20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2017 sampai dengan April
2018. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium
Material, Jurusan Fisika, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala
serta Laboratorium Kimia, Jurusan Kimia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Syiah Kuala. Penelitian juga dilakukan diluar Universitas Syiah Kuala
yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan UPTD Balai Pengujian dan Sertifikasi
Mutu Barang (BPSMB).

3.2 Alat dan Bahan


Adapun peralatan dan bahan yang digunakan pada penelitian ini terlihat
pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Alat dan Bahan yang Digunakan


No Alat dan Bahan Jumlah
1. Kit viskometer dengan arduino uno 1 buah
2. Piknometer 1 buah
3. Gelas ukur 6 unit
4. Timbangan 1 unit
Minyak nilam Aceh Besar, Aceh Selatan dan
5. 1 kg
Gayo Lues
6. Minyak kelapa sawit 1 kg
7. Minyak tanah 1 liter
8. Oli curah 1 liter

Diperlukan juga data pendamping sebagai pembanding pengukuran nilai


koefisien viskositas yang dilakukan yaitu data pengukuran nilai koefisien viskositas
yang dilakukan di Laboratorium Kimia serta data pengujian kadar kandungan besi
dan patchouli alcohol dalam minyak nilam yang dilakukan di Balai Pengujian dan
Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB).

21
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Diagram alir penelitian
Adapun diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Mulai

Pembuatan campuran minyak nilam

Pengukuran rapat massa minyak nilam murni


Pengukuran
dan campurannya
karakterisasi
minyak nilam
Pengukuran viskositas minyak nilam dan murni dengan
campurannya AAS dan GC

Viskometer Viskometer
Bola Jatuh Rotasi

Hasil dan pembahasan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

3.3.2 Pembuatan campuran minyak nilam


Minyak nilam yang akan diukur diambil dari tiga kabupaten di provinsi
Aceh. Minyak nilam Aceh Besar berasal dari Pasar Aceh, Banda Aceh dengan petani
minyak nilam bernama Hendrayadi, minyak nilam Gayo Lues berasal dari petani
minyak nilam Gayo Lues bernama Item dan minyak nilam Aceh Selatan berasal dari
petani minyak nilam Aceh Selatan bernama Mukhsin yang dapat dilihat dalam
Lampiran 1. Untuk campuran minyak nilam yaitu minyak kelapa sawit dengan merek
Bimoli, minyak tanah dan oli dengan SAE 40 didapatkan di Banda Aceh.

22
Prosedur pembuatan campuran minyak nilam berikut :
1. Salah satu minyak nilam dipilih untuk dapat dicampurkan.
2. Dilakukan pencampuran minyak nilam untuk masing-masing dengan minyak
kelapa sawit, minyak tanah dan oli dengan perbandingan volume 100:0, 75:25,
50:50, 25:75 dan 0:100.
3. Campuran diaduk dengan pengadukan konstan selama 1 menit.
4. Campuran didiamkan selama seminggu untuk melihat apakah campuran
homogen.
Contoh campuran yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 3.2.

a b c
Gambar 3.2 Contoh campuran (a) minyak nilam + minyak tanah, (b) minyak nilam +
minyak kelapa sawit dan (c) minyak nilam + oli yang telah dibuat dengan
perbandingan volume 50:50

3.3.3 Pengukuran kadar kandungan besi dalam minyak nilam


Pengujian kandungan besi dalam minyak nilam dilakukan dengan
menggunakan metode Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) tipe AAS PinAAcle
900 H merk Perkin Elmer (Gambar 3.3). Teknik yang digunakan saat pengujian
adalah teknik flame. Dengan menggunakan teknik ini, pengujian dapat dilakukan
langsung terhadap larutan sampel. Larutan sampel disiapkan setelah melewati proses
preparasi. Dalam proses ini, minyak nilam disiapkan sebanyak 5 gram lalu
dicampurkan dengan asam nitrat sebanyak 10 ml. Hal ini dilakukan untuk dapat
memisahkan minyak dengan unsur FE didalam minyak nilam. Pencampuran
dilakukan kurang lebih selama 1 jam (hingga minyak dan unsur FE terpisah). Selama
pemisahan, minyak dalam minyak nilam akan mengeras meninggalkan larutan
berwarna kuning. Larutan disaring dan diencerkan menggunakan akuades kurang
lebih sebanyak 30 ml. Untuk pembacaan data, digunakan aplikasi WinLab 32
(Gambar 3.4) dengan menggunakan data perbandingan yang telah tersedia. Dalam

23
metode AAS, setiap pengujian unsur akan menggunakan lampu yang berbeda-beda
berdasarkan jenis unsur yang ingin diuji.

Gambar 3.3 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) yang digunakan

Gambar 3.4 Tampilan aplikasi WinLab 32

3.3.4 Pengukuran kadar alkohol dalam minyak nilam


Pengujian kadar Patchouli alcohol (PA) dalam minyak nilam dilakukan
dengan menggunakan metode Gas Chromatography (GC) tipe GCMS-QP 2010 Ultra
merk Shimadzu (Gambar 2.5). Pengujian dilakukan dengan menggunakan sampel
yang terlebih dahulu dipreparasi. Preparasi sampel dilakukan dengan mencampurkan
minyak nilam dengan n-Hexaline menggunakan perbandingan 3:1. Pengujian dimulai
dengan menghidupkan alat dan memposisikan alat dalam keadaan vakum serta dalam
keadaan suhu tinggi berkisar 200oC. Pengujian dilakukan secara otomatis dengan
alat. Pembacaan data menggunakan aplikasi GCMS Real Time Analysis (Gambar
3.6) dengan waktu analisis selama 30 menit per sampel.

24
Gambar 3.5 Gas Chromatography (GC) yang digunakan

Gambar 3.6 Tampilan aplikasi GCMS Real Time Analysis

3.3.5 Pengukuran rapat massa minyak nilam dan campurannya


Pengukuran rapat massa dilakukan dengan menggunakan piknometer 50 ml
(Gambar 3.7). Piknometer merupakan alat yang dapat mengukur nilai rapat massa
atau densitas dalam suatu fluida. Pengukuran dilakukan dengan menimbang terlebih
dahulu piknometer kosong untuk mengetahui massa awal atau massa piknometer
kosong. Setalah itu, minyak nilam dimasukkan kedalam piknometer dan ditutup.
Minyak nilam yang berlebihan akan keluar lewat lubang kecil ditengah penutup
piknometer dan pastikan jika tidak adanya gelembung udara didalam minyak nilam.
Lalu timbang kembali piknometer yang berisi minyak nilam tersebut untuk
mengetahui massanya. Massa minyak nilam dan piknometer akan dikurangi dengan
massa piknometer kosong lalu dibagi dengan volume dari tabung piknometer. Hasil

25
pengukuran disajikan dalam satuan g/cm3. Sehingga nilai hasil pengukuran harus
dikonversi terlebih dahulu kedalam satuan SI, yaitu kg/m3. Pengukuran campuran
minyak nilam juga melewati langkah-langkah diatas.

Gambar 3.7 Piknometer dan gelas ukur yang digunakan dalam pengukuran rapat
massa

3.3.6 Pengukuran nilai koefisien viskositas minyak nilam dan campurannya


Pengukuran nilai koefisien viskositas dengan viskometer bola jatuh digital
(Gambar 3.9 (a)) akan melewati langkah-langkah sebagai berikut :
1. Disiapkan alat ukur viskositas dengan volume 127 mL berbentuk tabung panjang
(Gambar 3.8 (a)).
2. Bola pejal dijatuhkan kedalam minyak nilam baik murni atau campurannya.
3. Dibaca dan dicatat hasil pengukuran yang ditampilkan oleh alat ukur.
Viskometer ini terdiri dari beberapa komponen penting yaitu photodioda,
laser, bola pejal, wadah sampel, arduino uno serta layar hasil pengukuran.
Viskometer ini bekerja seperti stopwatch yang memberikan hasil pengukuran waktu
dalam satuan milisekon (ms). Laser yang dipancarkan oleh modul laser 1 dan laser 2
diarahkan ke sensor photodioda 1 dan photodioda 2. Laser 1 dan photodioda 1 akan
bekerja sebagai penghitung awal bola pejal didalam sampel. Sedangkan laser 2 dan
photodioda 2 akan bekerja sebagai penghitung awal bola pejal didalam sampel. Jarak
yang digunakan untuk menghitung bola pejal dalam sampel yaitu 11 cm. Hasil
pengukuran waktu ini akan dihitung oleh arduino uno dan akan ditampilkan oleh

26
layar hasil pengukuran. Bola pejal yang digunakan dalam pengukuran merupakan
manik-manik yang telah dibungkus oleh aluminium foil yang memiliki massa sebesar
20,59 gram dengan diameter sebesar 12,58 mm (Gambar 3.8 (b)).

a b
Gambar 3.8 (a) tabung silinder 127 mL dan (b) bola pejal dari viskometer bola jatuh
digital

Sedangkan pengukuran nilai koefisien viskositas dengan menggunakan


viskometer rotasi (Gambar 3.9 (b)) akan dilakukan di Laboratorium Kimia dengan
sampel minyak nilam murni yang berasal dari kabupaten Aceh Besar, Aceh Selatan
dan Gayo Lues serta campurannya yang telah dibuat. Viskometer rotasi yang
digunakan merupakan Viscotester c tipe 399-0301 buatan Thermo Electron
(Karisruhe) GmbH. Viskometer rotasi merupakan salah satu viskometer yang sering
digunakan dalam industri. Viskometer yang digunakan menggunakan prinsip searle,
dimana akan membuat spindle berputar dan wadah berisi sampel diam. Minyak
nilam akan dimasukkan dalam wadah berupa gelas ukur berukuran 50 ml. Lalu,
spindle yang terhubung dengan alat dimasukkan kedalam minyak nilam. Alat akan
dihidupkan dengan mengatur sp atau ukuran spindle yang digunakan serta rpm atau
kecepatan putar dari spindle. Spindle terdiri dari beberapa ukuran yaitu level 1, 2, 3
dan 4. Semakin besar levelnya, semakin besar pula spindle-nya. Spindle akan
dicocokkan dengan seberapa kental fluida yang digunakan. Dimana, semakin kental
fluidanya, akan membutuhkan spindle dengan level yang lebih tinggi. Dalam

27
pengukuran, digunakan spindle level 2 dan rpm sebesar 100. Data hasil pengukuran
viskositas akan langsung dimunculkan dalam display dengan satuan cP. Pengukuran
campuran minyak nilam juga melewati langkah-langkah diatas.

a b
Gambar 3.9 Alat ukur viskositas yang digunakan (a) viskometer bola jatuh digital
dan (b) viskometer rotasi

28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat beberapa parameter yang akan dipelajari untuk minyak nilam,


diantaranya nilai koefisien viskositas, kadar kandungan besi serta kadar patchouli
alcohol dalam minyak nilam. Pada subbab ini akan dibahas ketiga parameter tersebut
dan melihat hubungannya satu sama lain.

4.1 Pengukuran Viskositas Minyak Nilam Murni


Pengukuran viskositas dilakukan dengan dua jenis viskometer, yaitu
viskometer rotasi dan viskometer bola jatuh digital. Untuk viskometer rotasi, nilai
pengukuran akan langsung ditampilkan oleh alat ukur. Sedangkan alat ukur
viskometer bola jatuh digital harus melakukan beberapan tahap pengukuran
sebelumnya, yaitu mengukur rapat massa. Pengukuran Hasil pengukuran rapat massa
dapat dilihat pada Gambar 4.1.

945

940
Rapat Massa (kg/m3)

935

930
925

920

915
Aceh Selatan Gayo Lues Aceh Besar
Asal Minyak Nilam
Gambar 4.1 Pengukuran rapat massa minyak nilam yang berasal dari provinsi Aceh

Berdasarkan Gambar 4.1, terlihat bahwa rapat massa setiap kabupaten


berbeda-beda. Dimana, rapat massa minyak nilam dari kabupaten Aceh Selatan
sebesar 941,78 kg/m3, kabupaten Gayo Lues sebesar 925,4 kg/m3 dan kabupaten
Aceh Besar sebesar 933,58 kg/m3.
Pengukuran viskositas minyak nilam dilakukan dengan dua jenis
viskometer, yaitu viskometer bola jatuh digital dan viskometer rotasi. Hasil

29
pengukuran viskositas menggunakan dua jenis viskometer dapat dilihat pada Gambar
4.2.

25
23 (VBJ) Aceh Selatan
21
Viskositas (mPa.s)

(VBJ) Aceh Besar


19 (VBJ) Gayo Lues
17
(VR) Aceh Selatan
15
13 (VR) Aceh Besar
11 (VR) Gayo Lues
9 Atabani (2013)
7
25 30 35 40 45
Suhu oC

Gambar 4.2 Pengukuran viskositas minyak nilam menggunakan viskometer bola


jatuh digital (VBJ) dan viskometer rotasi (VR) terhadap suhu

Jika dibandingkan berdasarkan perbedaan alat ukur viskositasnya,


pengukuran viskositas dengan menggunakan viskometer bola jatuh digital jauh lebih
tinggi dibandingkan pengukuran dengan menggunakan viskometer rotasi. Dimana,
standar deviasi untuk minyak nilam dari kabupaten Aceh Besar sebesar ± 38%,
minyak nilam dari kabupaten Aceh Selatan sebesar ± 37% dan minyak nilam dari
kabupaten Gayo Lues sebesar ± 47% dibandingkan dengan viskometer rotasi.
Seperti terlihat pada Gambar 4.2, viskositas juga sangat berpengaruh
terhadap suhu. Menurut Bird (1987), suhu merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi viskositas suatu fluida. Dimana, viskositas fluida akan turun seiring
dengan naikknya temperatur. Jika dibandingkan dengan pengukuran rapat massa,
viskositas juga ikut turun seiring dengan turunnya rapat massa terhadap suhu.
Sehingga, viskositas dan rapat massa sangat mendapatkan pengaruh besar terhadap
suhu.
Dalam pengukuran didapatkan nilai koefisien viskositas minyak nilam yang
berasal dari kabupaten Aceh Selatan sebesar 22,9 mPa.s menggunakan Viskometer
Bola Jatuh Digital (VBJ) dan 16,7 mPa.s menggunakan Viskometer Rotasi (VR),
kabupaten Aceh Besar sebesar 21,1 mPa.s menggunakan VBJ dan 15,3 mPa.s
menggunakan VR dan kabupaten Gayo Lues sebesar 21,04 mPa.s menggunakan VBJ

30
dan 14,3 mPa.s menggunakan VR. Berdasarkan pengukuran nilai koefisien viskositas
juga terlihat bahwa asal kabupaten sangat berpengaruh terhadap kekentalannya.
Dimana minyak nilam dari kabupaten yang berasal dari dataran rendah akan
memiliki viskositas lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari dataran tinggi. Jika
dibandingkan dengan standarisasi untuk biodiesel, menunjukkan jika terdapatnya
perbedaan yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan minyak nilam yang diukur belum
melewati proses esterifikasi ataupun transesterifikasi. Proses ini sendiri akan
membuat turunnya viskositas dari minyak nilam (Atabani, 2013). Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan jika minyak nilam yang berasal dari kabupaten di provinsi
Aceh dapat dijadikan sebagai alternatif untuk biodiesel.

4.1.1 Kandungan besi dalam minyak nilam


Analisis AAS didasari pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-
atom yang berada pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut
menyebabkan terekstasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih
tinggi. Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar
sambil mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Radiasi yang dipancarkan
bersifat khas karena mempunyai panjang gelombang untuk setiap atom bebasnya
(Basset, 1994). Pengujian dilakukan pada tiga sampel minyak nilam yang berasal
dari kabupaten Aceh Besar, Aceh Selatan dan Gayo Lues. Hal ini dilakukan untuk
melihat bagaimana kandungan besi dalam minyak nilam yang berasal dari provinsi
tersebut. Pengujian tersebut menghasilkan data seperti pada Gambar 4.3.

70
Kandungan Logam besi (mg/kg)

60
50
40
30 SNI (maksimal)
20
10
0
Aceh
AcehSelatan
Selatan Aceh
AcehBesar
Besar Gayo
GayoLues
Lues
Gambar 4.3 kandungan besi dalam minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh
Selatan, Aceh Besar dan Gayo Lues dibandingkan dengan SNI

31
Dalam Gambar 4.3 terlihat bahwa minyak nilam yang memiliki kandungan
besi terbesar dimiliki oleh kabupaten Aceh Besar sebesar 63,84 mg/kg dan yang
terendah dimiliki oleh minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Selatan
sebesar 3,467 mg/kg. Penyumbang terbesar logam besi didalam minyak nilam
dihasilkan pada proses penyulingan yang dilakukan oleh para produsen. Hal ini
disebabkan oleh wadah penyulingan yang digunakan dalam proses penyulingan,
salah satunya menggunakan wadah drum bekas. Wadah drum bekas yang digunakan
untuk menyuling minyak nilam tersebut mengandung logam besi, yang sifat wadah
ini mudah terdegradasi, sehingga terjadi kontaminasi dari wadah (Alfian, 2003). Jika
dilihat dari proses penyulingannya, minyak nilam kabupaten Aceh Selatan dan Gayo
Lues disuling menggunakan wadah penyulingan stainless steel sehingga
menghasilkan minyak nilam yang lebih sedikit mengalami kontaminasi kandungan
besi dari wadahnya yang dapat dilihat dalam Lampiran 2.
Selain itu, kandungan logam besi (Fe) yang terkandung dalam minyak nilam
juga dapat dilihat dari warna minyak nilamnya. Dimana, semakin banyak kandungan
logam besi (Fe) dalam minyak nilam, semakin gelap warnanya. Hal ini dikarenakan
terjadinya proses oksidasi pada minyak nilam dikarenakan salah satu komponen dari
minyak nilam terdapat senyawa senyawa sesquiterpen yang mempunyai ikatan
rangkap dan dengan adanya logam besi (Fe) ini dapat berfungsi sebagai katalis
oksidasi yang menyebabkan ikatan rangkap pada senyawa tersebut terputus dan
terbentuk suatu peroksida yang dapat menaikkan bilangan asam sehingga warna dari
minyak nilam tersebut menjadi gelap (Alfian, 2003). Hal ini terlihat pada sampel
yang diuji. Minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Besar berwarna sangat
gelap sedangkan minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Selatan dan Gayo
Lues berwarna kuning muda seperti terlihat pada Gambar 4.4.

a b c
Gambar 4.4 Pengaruh kandungan besi (Fe) terhadap warna dari minyak nilam; (a)
minyak nilam Aceh Besar, (b) minyak nilam Gayo Lues dan (c) minyak nilam Aceh
Selatan

32
70

60
Aceh Selatan

Kandungan Besi (mg/kg)


50 Aceh Besar
Gayo Lues
40
Alfian : 2003 (A)
30 SNI (maksimal) Alfian : 2003 (B)
Alfian : 2003 (C)
20
Alfian : 2003 (D)
10 Askal (2009)

Gambar 4.5 Perbandingan pengukuran kandungan besi dalam minyak nilam yang
berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Aceh dengan pengukuran sebelumnya

Minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Besar memiliki kualitas
yang rendah apabila dipandang dari segi kadar besinya. Hal ini terlihat dari
perbandingan nilai kandungan logam besi minyak nilam yang berasal dari kabupaten
Aceh Besar yang terlihat sangat jauh melebihi batas maksimal Standar Nasional
Indonesia (SNI) yaitu sebesar 63,84 mg/kg. Pengukuran kandungan besi juga pernah
dilakukan sebelumnya oleh Alfian pada tahun 2003 untuk melihat kandungan besi
minyak nilam berdasarkan wadah penyulingan dan Askal pada tahun 2009 untuk
melihat kandungan besi minyak nilam yang berasal dari provinsi Jawa Barat.
Pengukuran Alfian didasari dari perbandingan wadah penyulingan dari
minyak nilam. Dimana, didapatkan bahwa sampel daun nilam (Alfian : 2003 (A))
memiliki kandungan besi sebesar 0,5611 mg/kg, minyak nilam yang disuling
menggunakan wadah kaca (Alfian : 2003 (B)) memiliki kandungan besi sebesar
0,4314 mg/kg, minyak nilam yang disuling menggunakan wadah Stainless steel
(Alfian : 2003 (C)) memiliki kandungan besi sebesar 0,7995 mg/kg dan minyak
nilam yang disuling menggunakan wadah drum bekas (Alfian : 2003 (D)) memiliki
kandungan besi sebesar 6,0200 mg/kg. Sedangkan, pengukuran yang dilakukan
Askal pada minyak nilam yang berasal dari provinsi Jawa Barat memiliki kandungan
besi sebesar 24,25 mg/kg. Berdasarkan data tersebut, minyak nilam yang disuling
menggunakan wadah kaca adalah minyak nilam dengan kualitas tertinggi
dikarenakan kandungan besinya yang sangat rendah. Hal ini dapat menjadi rujukan

33
bagi para penyuling untuk dapat menggunakan wadah kaca sebagai wadah
penyulingan. Jika membandingkan minyak nilam yang dihasilkan oleh provinsi Jawa
Barat, terlihat bahwa minyak nilam yang berasal dari kabupaten Gayo Lues dan Aceh
Selatan masih lebih baik kualitasnya berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).

23.5 17

23 16.5
Viskositas (mPa.s)

Viskositas (mPa.s)
22.5 16

22 15.5

21.5 15

21 14.5

20.5 14
0 20 40 60 80 0 20 40 60 80
Kandungan Besi (mg/kg) Kandungan Besi (mg/kg)
Aceh Besar Aceh Selatan Gayo Lues Aceh Besar Aceh Selatan Gayo Lues

a b
Gambar 4.6 Pengaruh kandungan besi (Fe) dalam minyak nilam terhadap nilai
koefisien viskositas dengan (a) viskometer bola jatuh digital dan (b) viskometer
rotasi

Berdasarkan Gambar 4.6, ditunjukkan adanya hubungan dari kedua jenis


parameter dari minyak nilam yang telah diukur. Hal ini memperlihatkan bahwa,
kandungan besi dalam minyak nilam memiliki pengaruh terhadap nilai koefisien
viskositas sehingga juga mempengaruhi kekentalan dari minyak nilam itu sendiri.
Namun, pada minyak nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Selatan nilai koefisien
viskositas naik terlalu tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh terdapatnya faktor dari
parameter lain yang dimiliki oleh minyak nilam selain kandungan besinya.
Diantaranya rapat massa yang paling besar dari ketiganya.

4.1.2 Kadar patchouli alcohol (PA) dalam minyak nilam


Analisis Gas Chromatography (GC) didasarkan dari pemisahan senyawa-
senyawanya. Dalam GC terdapat dua fase, fase gerak akan dilakukan oleh gas
sedangkan fase diam akan dilakukan dalam kolom. Saat melewati kolom, senyawa
akan keluar berdasarkan seberapa lama senyawa tersebut dapat ditahan oleh kolom.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan waktu retensi. Senyawa dengan perbedaan

34
waktu retensi akan dibaca oleh detektor dan dicocokkan dengan database sehingga
dapat diketahui jenis apakah senyawa tersebut.
Pengujian dilakukan pada tiga sampel minyak nilam yang berasal dari
kabupaten Aceh Besar, Aceh Selatan dan Gayo Lues. Hal ini dilakukan untuk
melihat bagaimana kadar Patchouli alcohol dalam minyak nilam yang berasal dari
provinsi tersebut. Pengujian tersebut menghasilkan data seperti pada Gambar 4.7, 4.8
dan 4.9 dan Lampiran 3.

Gambar 4.7 Kromatogram GC dari minyak nilam Aceh Besar

Gambar 4.8 Kromatogram GC dari minyak nilam Gayo Lues

Gambar 4.9 Kromatogram GC dari minyak nilam Aceh Selatan

Komponen-komponen kimia yang dihasilkan dari analisis minyak nilam


diatas berdasarkan database Mass Spectrophotometry (Wiley dan NIST Library) yang
telah dijadikan acuan terhadap analisis per komponen didalam kromatogram GC
(Askal, 2009). Dari data tersebut didapatkan bahwa dalam minyak nilam kabupaten
Aceh Besar terdapat 18 puncak senyawa yang terbaca dengan Patchouli alcohol

35
sebesar 42,61 %, dalam minyak nilam kabupaten Aceh Selatan terdapat 21 puncak
senyawa yang terbaca dengan Patchouli alcohol sebesar 34,85 % serta dalam
minyak nilam kabupaten Gayo Lues terdapat 15 puncak senyawa yang terbaca
dengan Patchouli alcohol sebesar 33,04 %. Dalam pengujian, Patchouli alcohol
mulai terlihat pada menit 16-17 dengan puncak pada menit 17,340 - 17,466. Waktu
ini disebut dengan waktu retensi. Waktu retensi merupakan angka spesifik dari massa
interaksi antara molekul senyawa didalam kolom kromatografi (Hardyanti, 2016).
Setiap senyawa memiliki waktu retensi yang berbeda.
Dari data tersebut terlihat jika dari ketiga minyak nilam tersebut, minyak
nilam yang berasal dari kabupaten Aceh Besar memiliki Patchouli alcohol tertinggi
yaitu sebesar 42,61 %. Patchouli alcohol adalah komponen terpenting dari minyak
nilam. Di tingkat perdagangan nasional dan global kadar Patchouli alcohol menjadi
parameter utama yang membedakan harga dari minyak nilam itu sendiri (Askal,
2009). Patchouli alcohol sendiri merupakan suatu jenis minyak atsiri yang memiliki
daya fiksasi atau daya ikat yang tinggi terhadap bahan pewangi sehingga dapat
mengikat aroma wangi serta mencegah penguapan zat pewangi agar tahan lama.
Puncak minyak nilam dalam kromatogram juga terlihat paling tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa patchouli alcohol merupakan senyawa yang memiliki titik didih
relatif tinggi dalam minyak nilam. Titik didih yang relatif tinggi dalam minyak nilam
memiliki sifat fixatif, yaitu pengikat senyawa atsiri lainnya, sehingga jika dicampur
dengan minyak nilam akan menaikkan titik didih campurannya. Sifat unik inilah
yang menjadikan minyak nilam banyak digunakan sebagai pengikat bau (aroma)
dalam produk parfum maupun kosmetik (Hardyanti, 2016).
Jika dibandingkan dengan data SNI, ketiga minyak nilam dari kabupaten di
provinsi Aceh menunjukkan kualitas yang baik. Dimana, ketiga minyak nilam
memiliki Patchouli Alcohol (PA) yang telah melewati batas minimal yang
ditentukan. Pada penelitian sebelumnya, Askal juga telah melakukan pengukuran
kadar Patchouli Alcohol pada minyak nilam yang berasal dari provinsi Jawa Barat.
Dimana, didapatkan nilai kadar Patchouli Alcohol sebesar 31,09 %. Hal ini
memperlihatkan bahwa kualitas minyak nilam yang berasal dari provinsi Aceh masih
lebih baik dibandingkan minyak nilam dari provinsi jawa Barat. Hardyanti juga telah
melakukan pengukuran kadar Patchouli Alcohol dimana didapatkan hasil

36
pengukuran sebesar 22,98869 %. Hardyanti tidak menjelaskan mengenai asal dari
minyak nilam tersebut.

45

40

35
Kadar Patchouli Alcohol (%)

30
SNI Minimal Aceh Selatan

25 Aceh Besar
Gayo Lues
20 Hardyanti (2016)
Askal (2009)
15

10

Gambar 4.10 Perbandingan pengukuran patchouli alcohol pada minyak nilam di


beberapa kabupaten provinsi Aceh dengan pengukuran sebelumnya

23.5 17
23 16.5
Viskositas (mPa.s)

Viskositas (mPa.s)

22.5 16

22 15.5

21.5 15

21 14.5

20.5 14
30 35 40 45 30 35 40 45
Kadar patchouli alcohol (%) Kadar patchouli alcohol (%)
Aceh Besar Aceh Selatan Gayo Lues
Aceh Besar Aceh selatan Gayo Lues

a b
Gambar 4.11 Pengaruh kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam terhadap nilai
koefisien viskositas dengan (a) viskometer bola jatuh dan (b) viskometer rotasi

Pada Gambar 4.11, memperlihatkan bagaimana pengaruh dari kadar


patchouli alcohol terhadap nilai koefisien viskositas pada minyak nilam. Gambar
tersebut menunjukkan bahwa kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam memiliki
pengaruh terhadap nilai koefisien viskositasnya dimana semakin banyak patchouli
alcohol dalam minyak nilam akan membuat nilai koefisien viskositasnya cenderung

37
naik. Hal ini memperlihatkan bahwa kedua jenis parameter tersebut saling
berhubungan satu sama lain atau dengan kata lain kadar patchouli alcohol
mempengaruhi dari kekentalan minyak nilam. Namun, pada minyak nilam kabupaten
Aceh Selatan nilai koefisien viskositas minyak nilam naik terlalu tinggi. Hal ini
diperkirakan terdapat faktor lain selain kadar patchouli alcohol. Diantaranya rapat
massa yang paling besar dari ketiganya. Selain itu, berdasarkan pengukuran Gas
Chromatography (GC) terlihat jika minyak nilam kabupaten Aceh Selatan memiliki
lebih banyak jenis senyawa didalam minyak nilamnya. Sehingga memungkinkan
banyaknya senyawa lain selain patchouli alcohol dapat mempengaruhi viskositas
dari minyak nilam yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.2 Perbandingan Viskositas Minyak Nilam Campuran


Pencampuran minyak nilam biasanya dilakukan untuk mengurangi jumlah
minyak nilam tetapi menjualnya dengan harga yang sama. Kecurangan seperti ini
tentu mempengaruhi kualitas minyak nilam. Salah satu hal yang dapat dilakukan
dengan melihat kekentalan dari minyak nilam. Pencampuran minyak nilam dengan
fluida lain tentu mengubah kekentalan dari minyak nilam tersebut. Untuk itu
dilakukan pengukuran viskositas dengan membandingkan minyak nilam ketika
dicampurkan dengan minyak nilam murni. Pengukuran diawali dengan pengukuran
rapat massa. Rapat massa minyak nilam campuran dilakukan dengan metode yang
sama dalam pengukuran rapat massa minyak nilam murni. Hasil pengukuran dapat
dilihat pada Gambar 4.12.

950

Minyak Nilam +
900
Rapat Massa (Kg/m3)

Minyak Kelapa
Sawit

850 Minyak Nilam +


Oli Curah

800
Minyak Nilam +
Minyak Tanah
750

700
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Gambar 4.12 Pengukuran rapat massa minyak nilam campuran

38
Dari gambar diatas terlihat bahwa minyak nilam memiliki rapat massa yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak kelapa sawit, oli ataupun minyak
tanah. Hal ini membuat minyak nilam yang telah dicampur memiliki rapat massa
yang lebih kecil. Terlihat juga bahwa pencampuran menggunakan minyak tanah akan
memberikan nilai rapat massa yang lebih kecil diikuti oleh oli dan minyak kelapa
sawit.
Pengukuran dilanjutkan dengan mengukur nilai koefisien viskositas dari
minyak nilam. Pengukuran dilakukan dengan cara yang sama ketika mengukur
viskositas pada minyak nilam murni, yaitu melakukan pengukuran menggunakan
viskometer bola jatuh digital dan menggunakan viskometer rotasi. Hasil pengukuran
dapat dilihat pada Gambar 4.13, Gambar 4.14 dan Gambar 4.15.

60

50
Viskositas (mPa.s)

40

30

20

10

0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran

Bola Jatuh Rotasi


Gambar 4.13 Perbandingan pengukuran viskometer bola jatuh digital dengan
viskometer rotasi pada campuran minyak nilam dengan minyak kelapa sawit

Berdasarkan Gambar 4.13, terlihat bahwa terjadi perbedaan hasil


pengukuran menggunakan kedua viskometer tersebut. Dimana, standar deviasi untuk
campuran dengan perbandingan 100:0 sebesar ± 38 %, 75:25 sebesar ± 12 %, 50:50
sebesar ± 1 %, 25:75 sebesar ± 21 % dan 0:100 sebesar ± 35 %.

39
100
90
80

Viskositas (mPa.s)
70
60
50
40
30
20
10
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Bola Jatuh Rotasi
Gambar 4.14 Perbandingan pengukuran viskometer bola jatuh digital dengan
viskometer rotasi pada campuran minyak nilam dengan oli curah

Berdasarkan gambar 4.14, terlihat bahwa terjadi perbedaan hasil pengukuran


menggunakan kedua viskometer tersebut. Dimana, standar deviasi untuk campuran
dengan perbandingan 100:0 sebesar ± 38 %, 75:25 sebesar ± 11 %, 50:50 sebesar ±
24 %, 25:75 sebesar ± 35 % dan 0:100 sebesar ± 49 %.

25

20
Viskositas (mPa.s)

15

10

0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran
Bola Jatuh Rotasi
Gambar 4.15 Perbandingan pengukuran viskometer bola jatuh digital dengan
viskometer rotasi pada campuran minyak nilam dengan minyak tanah

Berdasarkan gambar 4.15, terlihat bahwa terjadi perbedaan hasil pengukuran


menggunakan kedua viskometer tersebut. Dimana, standar deviasi untuk campuran
dengan perbandingan 100:0 sebesar ± 38 %, 75:25 sebesar ± 180 %, 50:50 sebesar ±
354 %, 25:75 sebesar ± 496 % dan 0:100 sebesar ± 958 %.

40
50
45
40 Minyak Nilam +
Minyak Kelapa
Viskositas (mPa.s)

35 Sawit

30 Minyak Nilam +
Oli Curah
25
20
Minyak Nilam +
15 Minyak Tanah

10
5
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran

Gambar 4.16 Pengukuran nilai koefisien viskositas minyak nilam campuran dengan
viskometer bola jatuh digital

100
90
80 Minyak Nilam +
Minyak Kelapa
70 Sawit
Viskositas (mPa.s)

60
Minyak Nilam +
50 Oli Curah

40
Minyak Nilam +
30 Minyak Tanah

20
10
0
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Perbandingan Campuran

Gambar 4.17 Pengukuran nilai koefisien viskositas minyak nilam campuran dengan
viskometer rotasi

Berdasarkan ketiga pengukuran tersebut terlihat bahwa viskositas minyak


nilam akan berubah berdasarkan campuran yang diberikan. Terlihat baik pada
Gambar 4.16 ataupun Gambar 4.17 bahwa jika minyak nilam dicampurkan dengan
fluida yang memiliki viskositas yang lebih tinggi, maka minyak nilam tersebut

41
memiliki viskositas yang lebih tinggi dari minyak nilam murni. Hal ini juga berlaku
jika minyak nilam dicampurkan dengan fluida yang lebih cair. Minyak nilam akan
memiliki viskositas yang lebih rendah dari minyak nilam murni. Saat minyak nilam
dicampur dengan minyak kelapa sawit, viskositas minyak nilam akan naik sebesar
14% pada campuran 75:25, 23% pada campuran 50:50 dan 47% pada campuran
25:75. Saat minyak nilam dicampur dengan oli curah, viskositas minyak nilam juga
akan naik sebesar 11% pada campuran 75:25, 31% pada campuran 50:50 dan 59%
pada campuran 25:75. Sedangkan saat minyak nilam dicampur dengan minyak tanah,
viskositas minyak nilam akan turun sebesar 4% pada campuran 75:25, 5% pada
campuran 50:50 dan 10% pada campuran 25:75.
Alat ukur viskometer bola jatuh digital terlihat memiliki kesulitan dalam
pengukuran viskositas pada minyak tanah. Hal ini terlihat dari standar deviasi
campuran minyak minyak nilam dengan minyak tanah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan campuran minyak nilam dengan oli ataupun minyak kelapa
sawit. Hal ini juga mendapat pengaruh dari fluida dengan viskositas rendah sangat
mudah mengalami turbulensi saat bola pejal jatuh didalamnya. Hal ini membuat
pengukuran viskositas menjadi sulit dilakukan dengan menggunakan viskometer bola
jatuh digital. Dikarenakan dapat menghasilkan waktu jatuh yang tidak sesuai.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini diantaranya dengan
menyesuaikan bola pejal yang digunakan serta memperpanjang jarak tempuh bola
saat jatuh didalam fluida. Dengan hal ini, kemungkinan akan menambah keakurasian
pengukuran.
Perbandingan pengukuran minyak kelapa sawit dari penelitian ini dengan
peneliti lain dapat dilihat pada Gambar 4.18.

42
60

50

Viskositas (mPa.s)
40

30

20

10
Suhu : 29oC
0
R. M. Davies (2016) Sutiah (2008)
Elin (2017) VBJ Minyak Kelapa Sawit
VR Minyak Kelapa Sawit
Gambar 4.18 Perbandingan pengukuran viskositas minyak kelapa sawit dengan
pengukuran sebelumnya

43
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengukuran menggunakan viskometer bola jatuh digital dan
viskometer rotasi, terdapat adanya perbedaan hasil pengukuran. Dimana deviasi
untuk minyak nilam murni berkisar antara ± 37 – 47%. Berdasarkan hasil
pengukuran didapatkan nilai koefisien viskositas minyak nilam Aceh Selatan
menggunakan viskometer bola jatuh digital sebesar 22,9 mPa.s dan viskometer rotasi
sebesar 16,7 mPa.s. Minyak nilam Aceh Besar menggunakan viskometer bola jatuh
digital sebesar 21,1 mPa.s dan viskometer rotasi sebesar 15,3 mPa.s. Sedangkan
minyak nilam Gayo Lues menggunakan viskometer bola jatuh digital sebesar 21,04
mPa.s dan viskometer rotasi sebesar 14,3 mPa.s. Dilihat dari nilai koefisien
viskositasnya, terlihat bahwa minyak nilam yang berasal dari daerah dataran tinggi
memiliki viskositas yang lebih rendah dibandingkan dari daerah dataran rendah.
Sedangkan untuk minyak nilam campuran, pengukuran dengan deviasi terendah
didapatkan saat pengukuran minyak nilam + minyak kelapa sawit dan pengukuran
dengan deviasi tertinggi didapatkan saat pengukuran minyak nilam + minyak tanah.
Dimana minyak nilam yang dicampur dengan minyak tanah akan menghasilkan nilai
koefisien viskositas yang rendah jika dibandingkan dengan minyak nilam yang
dicampur dengan minyak kelapa sawit ataupun oli curah. Berdasarkan pengukuran
yang telah dilakukan, kadar patchouli alcohol dan kandungan besi dalam minyak
nilam memiliki pengaruh terhadap kekentalan dari minyak nilam itu sendiri.
Sehingga nilai koefisien viskositas cenderung akan naik seiring naiknya kandungan
besi dan kadar patchouli alcohol dalam minyak nilam.

5.2 Saran
Pengukuran menggunakan viskometer bola jatuh digital harus lebih
memperhatikan bola pejal yang akan digunakan untuk mengukur. Hal ini
dikarenakan jari-jari dari bola pejal tersebut sangat mempengaruhi keakuratan dari
hasil pengukuran.

44
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Zul. 2003. Analisis Kadar Logam Besi (Fe) dari Minyak Nilam (Patchouli
Oil) yang Diperoleh dari Penyulingan dengan Menggunakan Wadah Kaca,
Stainless Steel dan Drum Bekas Secara Spetrofotometri Serapan Atom.
Jurnal Sains Kimia. 7 (2) : 55-58.

Anonymous. http://www.viscopedia.com/methods/measuring-principles/#c2 794. 11


Januari 2018.

Anonymous. http://www.chromacademy.com/lms/sco10/Theory_and_Instrumentati
on _ Of _GC_Introduction.pdf. Di akses 11 Januari 2018.

Anonymous. http://www.liskeard.cornwall.sch.uk/images/Liskeard-Sixth-Form/Ato
mic-Absorption-Spectrometry.pdf. Di akses 11 Januari 2018.

Anonymous. http://www.pertamina.com/industrialfuel/media/20707/minyak-tanah-
kerosene.pdf. Di akses 02 April 2018.

Anonymous. https://www.convertworld .com/en/dynamic-viscosity/poise.html. Di


akses 23 Maret 2018.

Anonymous. https://www.convertworld .com/en/kinematic-viscosity/. Di akses 23


Maret 2018.

Anonymous. Pemeriksaan dan Penggantian Oli Mesin. https://prasetyods.files.


Wordpress.com/ 2014/09/buku-cetak-seri-dasar-13.pdf. Di akses 02 April
2018.

Atabani, A. E., T. M. I. Mahlia, H. H. Masjuki, Irfan Anjum Badruddin, Hafizuddin


Wan Yussof, W. T. Chong, Keat Teong Lee . 2013. A Comparative
Evaluation of Physical and Chemical Properties of Biodiesel Synthesized
from Edible and non-Edible Oils and Study on The Effect of Biodiesel
Blending. Kuala Lumpur : Energy. 58 : 296–304.

Basset, J. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisa Kuantitatif Anorganik. Jakarta :
EGC.

Bird, Tony. 1987. Kimia Fisik untuk Universitas. Jakarta : Gramedia.

Budianto, Anwar. 2008. Metode Penentuan Koefisien Kekentalan Zat Cair Dengan
Menggunakan Regresi Linier Hukum Stokes. Yogyakarta : Seminar Nasional
IV SDM Teknologi Nuklir.

Davies, R. M. 2016. Effect of The Temperature on Dynamic Viscosity, Density and


Flow Rate of Some Vegetable Oils. Nigeria : Journal of Scientific Research
in engineering Technology. 1 (1).

45
Esteban, Bernat, et al. 2012. Temperature Dependence of Density and Viscosity of
Vegetable Oils. Spain : Biomass and Bioenergy. 42 : 164-171.

Fauzi, Yan, dkk. 2004. Kelapa Sawit Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah
Analisis. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya.

Hambali, Erliza, dkk. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta Selatan : PT AgroMedia


Pustaka.

Hardyanti, Ika Sri, Dyan Septyaningsih, Isni Nuraini, Emas Agus Prastyo Wibowo.
2016. Analisis Kadar Patchouli Alcohol Menggunakan Gas Chromatography
pada Pemurnian Minyak Nilam Menggunakan Adsorben Zeolit. Prosiding
Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi.

Kim, C. H., B.G. Liptak. Instrument Engineers Handbook Process Measurement


and Analysis. (Viscometer-Laboratory), ftp://ftp.unicauca.edu.co/Facultades/
FIET/DEIC/Materias/Instrumentacion%20Industrial/Instrument_Engineers__
Handbook_-_Process_Measur ement_and_Analysis/Instrument%20Engineers
%27%20Handbook%20-%20Process%20Measurement%20and%20Analysis/
1083ch8_63.pdf. Di akses 11 Januari 2018.

Knothe, Gerhard, Luis F. Razon. 2016. Biodiesel fuels. Philippines : Progress in


Energy and Combustion Science.

Kusumaningsih, Triana, Pranoto, Ragil Saryoso. 2006. Pembuatan Bahan Bakar


Biodiesel dari Minyak Jarak; Pengaruh Suhu dan Konsentrasi KOH pada
Reaksi Transesterifikasi Berbasis Katalis Basa. Surakarta : Bioteknologi. 3
(1).

Mangun, S. 2008. Nilam. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya.

Maimulyanti, Askal. 2009. Uji Kualitas dan Kontaminasi Besi dalam Minyak Nilam
(Patchouli Oil) dan Penurunan Kadar Besi dengan Penambahan Chelating
Agent. Bogor : Warta Akab. No. 22.

Martsiano. 2014. Bahan Campuran Minyak Atsiri. http://ano.web.id/pemalsu-


minyak-atsiri/. Di akses 14 Maret 2018.

Mujadin, A., Jumianto, S., Puspitasari, R. L. 2014. Pengujian Kualitas Minyak


Goreng Berulang Menggunakan Metoda Uji Viskositas dan Perubahan Fisis.
Jakarta : Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. 2 (4).

Nuryani, Yang. 2006. Budidaya Tanaman Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Aromatik.

Resnick, Halliday. 1985. Fisika Dasar Jilid I. Jakarta : Erlangga.

Rukmana, Rahmat H. 2004. Nilam Prospek Agribisnis dan Teknik Budi Daya.

46
Yogyakarta : Kanisius.

Rusli, Meika Syahbana. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Nilam. Jakarta : PT


AgroMedia Pustaka.

Santoso, Budi. 1990. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewangian. Yogyakarta :


Kanisius.

Sariadi. 2012. Pemurnian Minyak Nilam dengan Proses Adsorpsi Menggunakan


Bentonit. Lhokseumawe : Jurnal Teknologi. 12 (2).

Sears dan Zemansky. 1982. Fisika Universitas. Bandung : Penerbit Bina Cipta.

Setyamidjaja, D. 2006. Kelapa Sawit Teknik Budidaya, Panen dan Pengolahan.


Yogyakarta : Kanisius.

Tissos, N. P., Kamus, Z. 2014. Secara Digital Menggunakan Sensor Efek Hall
Ugn3503 Berbasis Arduino Uno328. Padang : Jurnal Sainstek. VI (1).

Underwood, A. L. Dan Day R. A. 2002. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.


Jakarta : Erlangga.

Yusibani, Elin, Nursabila Al Hazmi, Evi Yuvita. 2017. Pengukuran Viskositas


Beberapa Produk Minyak Goreng Kelapa Sawit Setelah Pemanasan. Banda
Aceh : Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia.

Zuhra, Cut Fatimah. 2003. Penyulingan, Pemrosesan dan Penggunaan Minyak Bumi.
Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara.

47
LAMPIRAN

Lampiran 1 Data penjual minyak nilam

Gambar 1 KTP penjual minyak nilam asal kabupaten Aceh Besar

Gambar 2 KTP penjual minyak nilam asal kabupaten Gayo Lues

Gambar 3 Kartu Identitas penjual minyak nilam asal kabupaten Aceh Selatan

48
Gambar 4 Koperasi yang memproduksi minyak nilam asal kabupaten Aceh Selatan

49
Lampiran 2 Tempat penyulingan minyak nilam

Gambar 5 Proses penyulingan minyak nilam asal kabupaten Aceh Selatan

50

Anda mungkin juga menyukai