Anda di halaman 1dari 25

1

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Penyakit CKD (Chronic Kidney Disease)


1.1.1 Definisi CKD
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner
& Suddarth, 2015).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju
filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan
berat (Mansjoer, 2016).
CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempetahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala
uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2016).
Jadi, Cronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif
dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min.
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Suyono, et al, 2017).

1.1.2 Klasifikasi CKD


Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD).
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan Cronoic Renal Failure (CRF),
namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi
kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan
harapan klien datang/ merasa masih dalam stage-stage awal yaitu 1 dan 2. secara
konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT

1
2

(clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF
(cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan
derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium:
a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
 Kreatinin serum dan kadar BUN normal
 Asimptomatik
 Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
 Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
 Kadar kreatinin serum meningkat
 Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1) Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2) Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
3) Kondisi berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
 Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
 Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
 Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus):
a. Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b. Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -89
mL/menit/1,73 m2)
c. Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
d. Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
3

e. Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.

1.1.3 Etiologi CKD


Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

1.1.4 Patofisiologi CKD


Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah
nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-
gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
4

tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15
ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan
semakin berat.
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah
yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan
klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya
glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat.
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit
renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka
RBC), dan medikasi seperti steroid.
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering
menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung
kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin
angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air
dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
5

gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat


(HCO3). penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia
sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme
kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu menurun.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar
serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun,
pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang.
Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara
normal dibuat di ginjal menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
6

Patways CKD / Gagal Ginjal Kronik :

Stadium I Penurunan cadangan ginjal

Laju filtrasi glomerulus 40-50%


normal

BUN dan Kreatinin


serum masih normal

Pasien asimtomatik

Stadium II Mekanisme kompensasi dan adaptasi dari nefron


menyebabkan kematian nefron meningkat

Destruksi struktur ginjal secara progresif

Penumpukan toksik uremik di dalam darah


ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Peningkatan volume cairan


7

Stadium III

GFR menurun

Sekresi eritropoetin menurun

Penurunan nafsu
Produksi Hb turun
makan

Suplay oksigen turun Intoleransi Aktivitas


Resiko gangguan
nutrisi
Gangguan perfusi
jaringan

Stadium IV Nefron tidak berfungsi

GFR kurang dari 10% normal

BUN dan Kreatinin tinggi

Sekresi protein terganggu

Gangguan keseimbangan
Sindrom urea
asam basa

Gangguan integritas kulit

Gambar 2.1 Pathway Gagal Ginjal Kronis


8

1.1.5 Manisfestasi Klinis CKD


1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
a. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna,
gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum
meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin
→ Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi
terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
2. Kelainan Saluran cerna
a. Mual, muntah, hicthcup
Dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang
mukosa lambung dan usus.
b. Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
c. Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
3. Kelainan mata
4. Kardiovaskuler:
a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
d. Pembesaran vena leher
e. Friction Rub Pericardial
5. Kelainan kulit
a. Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
 Toksik uremia yang kurang terdialisis
 Peningkatan kadar kalium phosphor
 Alergi bahan-bahan dalam proses HD
 Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah
kulit.
c. Kulit mudah memar
d. Kulit kering dan bersisik
e. Rambut tipis dan kasar
6. Neuropsikiatri
7. Kelainan selaput serosa
8. Neurologi:
9

a. Kelemahan dan keletihan


b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kejang
e. Kelemahan pada tungkai
f. rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan Perilaku
9. Kardiomegali
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal
yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian
perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
menderita apa yang disebut Sindrom Uremik.
Terdapat dua kelompok gejala klinis :
a. Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan dan
elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan
metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.
b. Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya.

Manifestasi Sindrom Uremik


Sistem Tubuh Manifestasi
Biokimia Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20
mEq/L)
Azotemia (penurunan GFR, peningkatan
BUN, kreatinin)
Hiperkalemia
Retensi atau pembuangan Natrium
Hipermagnesia
Hiperurisemia

Perkemihan& Poliuria, menuju oliguri lalu anuria


Kelamin Nokturia, pembalikan irama diurnal
Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
Protein silinder
Hilangnya libido, amenore, impotensi dan
sterilitas

Kardiovaskular Hipertensi
Retinopati dan enselopati hipertensif
Beban sirkulasi berlebihan
10

Edema
Gagal jantung kongestif
Perikarditis (friction rub)
Disritmia
Pernafasan Pernafasan Kusmaul, dispnea
Edema paru
Pneumonitis

Hematologik Anemia menyebabkan kelelahan


Hemolisis
Kecenderungan perdarahan
Menurunnya resistensi terhadap infeksi
(ISK, pneumonia,septikemia)

Kulit Pucat, pigmentasi


Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah
patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru
yang berkaitan dengan kehilangan protein)
Pruritus
“kristal” uremik
kulit kering
memar

Saluran cerna Anoreksia, mual muntah menyebabkan


penurunan BB
Nafas berbau amoniak
Rasa kecap logam, mulut kering
Stomatitis, parotitid
Gastritis, enteritis
Perdarahan saluran cerna
Diare

Metabolisme Protein-intoleransi, sintesisi abnormal


intermedier Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan
insulin menurun
Lemak-peninggian kadar trigliserida

Neuromuskular Mudah lelah


Otot mengecil dan lemah
Susunan saraf pusat :
11

Penurunan ketajaman mental


Konsentrasi buruk
Apati
Letargi/gelisah, insomnia
Kekacauan mental
Koma
Otot berkedut, asteriksis, kejang
Neuropati perifer :
Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
Perubahan sensorik pada ekstremitas –
parestesi
Perubahan motorik – foot drop yang
berlanjut menjadi paraplegi

Gangguan kalsium Hiperfosfatemia, hipokalsemia


dan rangka Hiperparatiroidisme sekunder
Osteodistropi ginjal
Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
Deposit garam kalsium pada jaringan lunak
(sekitar sendi, pembuluh darah, jantung,
paru-paru)
Konjungtivitis (uremik mata merah)

1.1.6 Komplikasi CKD


a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama
hemodialisa.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolic.
g. Osteodistropi ginjal.
h. Sepsis.
i. Neuropati perifer.
j. Hiperuremia.
12

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang CKD


1. Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
 Ureum kreatinin.
 Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
 Analisis urin rutin
 Mikrobiologi urin
 Kimia darah
 Elektrolit
 Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
 Progresifitas penurunan fungsi ginjal
 Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)

Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 - 1,23 mL/detik/m2
- Hemopoesis: Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
 Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
 Endokrin : PTH dan T3,T4
 Pemeriksaan lain : berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk
ginjal, misalnya: infark miokard.

2. Diagnostik
a. Etiologi CKD dan terminal
 Foto polos abdomen
 USG
 Nefrotogram
13

 Pielografi retrograde
 Pielografi antegrade
 Mictuating Cysto Urography (MCU)

b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal


 RetRogram
 USG

1.1.8 Penatalaksanaan Medis CKD


1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal
Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Prinsip terapi konservatif :
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
1) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
2) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi.
3) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
4) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
5) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
6) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
7) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis
yang kuat.
b. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
1) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
2) Kendalikan terapi ISK.
3) Diet protein yang proporsional.
4) Kendalikan hiperfosfatemia.
5) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
6) Terapi hiperfosfatemia.
7) Terapi keadaan asidosis metabolik.
8) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
c. Terapi alleviative gejala asotemia
1) Pembatasan konsumsi protein hewani.
2) Terapi keluhan gatal-gatal.
14

3) Terapi keluhan gastrointestinal.


4) Terapi keluhan neuromuskuler.
5) Terapi keluhan tulang dan sendi.
6) Terapi anemia.
7) Terapi setiap infeksi.
2. Terapi Simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum
K+ (hiperkalemia):
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35
atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon
eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini diterapi
dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan
pemberian 30-530 U per kg BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah
membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan
kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang
mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
a) HCT < atau sama dengan 20 %
b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan high
output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
a) Hemosiderosis
b) Supresi sumsum tulang
c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
d) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
e) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana
transplantasi ginjal.
15

c. Kelainan Kulit
1) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden
meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan:
a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan
lichen symply
Beberapa pilihan terapi:
a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
b) Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
c) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini
bisa diulang apabila diperlukan
d) Pemberian obat:
 Diphenhidramine 25-50 P.O
 Hidroxyzine 10 mg P.O
2) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga
retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang
diperlukan adalah tindakan dialisis.
d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
1) HD reguler.
2) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
3) Operasi sub total paratiroidektomi.
e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa: volum dependen hipertensi,
tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi:
1) Restriksi garam dapur.
2) Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3) Obat-obat antihipertensi.
3. Terapi Pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2016).
a. Dialisis yang meliputi :
1) Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
16

pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Secara khusus, indikasi HD adalah:
 Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
 Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat
indikasi:
- Hiperkalemia > 17 mg/lt
- Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
- Kegagalan terapi konservatif
- Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia, asidosis
metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan atau
berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %
- Kelebihan cairan
- Mual dan muntah hebat
- BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
- preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
- Sindrom kelebihan air
- Intoksidasi obat jenis barbiturat
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau > 40 mmol per liter dan
kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi elektif, yaitu LFG antara
5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2016).
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2015) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari
15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi
dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani
dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu
apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada
adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2016).
17

2) Dialisis Peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2016).
b. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
18

BAB 2
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

2.2 Manajemen Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah upaya pengumpulan data secara lengkap dan sistematis
terhadap masyarakat untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan yang
dihadapi oleh masayarakat baik individu, keluarga atau kelompok yang menyangkut
permasalahan pada fisiologis, psikologis, sosial ekonomi, maupun spiritual dapat
ditentukan. Dalam tahap pengkajian ini terdapat lima kegiatan yaitu: pengumpulan
data, pengolahan data, analisis data, perumusan atau penentuan masalah kesehatan
dan prioritas masalah (Mubarak, 2016). Menurut Doenges (2015) pengkajian pada
pasien gagal ginjal adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
 Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.
 Gangguan tidur (Insomnia/gelisah atau somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat
Palpitasi : nyeri dada (Angina)
Tanda:
 Hipertensi: nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak,
tangan.
 Disritmia jantung. Nadi lemah halus, hipertensi ortostatik menunjukkan
hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.
 Friction rub pericardial (Respons terhadap akumulasi sisa).
 Pucat: kulit coklat kehijauan, kuning.
 Kecenderungan perdarahan.
3. Integritas Ego
Gejala: Faktor stres, contoh finansial, hubungan, dan sebagainya perasaan tak
berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian.
4. Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut).
Abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan.
Oliguria, dapat menjadi anuria.

18
19

5. Makanan/Cairan
Gejala:
 Peningkatan berat badan cepat (Edema), penurunan berat badan (Malnutrisi)
Anoreksia. Nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(Pernapasan amonia).
 Penggunaan diuretik
Tanda:
 Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (Tahap Akhir)
 Perubahan turgor kulit/kelembaban.
 Edema (Umum, tergantung).
 Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah.
 Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga.
6. Neurosensori
Gejala: Sakit kepala, penglihatan kabur.
Tanda: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala;kram otot/nyeri kaki (Memburuk saat
malam hari)
Tanda: Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
8. Pernapasan
Gejala: Napas pendek; dispnea noktural paroksimal; batuk dengan/tanpa
sputum kental dan banyak
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman (Pernapasan
kusmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda encer (Edema paru).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
2. Kelebihan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder:
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
3. Defisit Nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak
adekuat, keletihan.
20

2.2.3 Intervensi Keperawatan


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria hasil: mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu
pengisian kapiler.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Observasi adanya hipertensi Hipertensi dapat terjadi karena
gangguan pada sistem aldosteron-
renin-angiotensin (disebabkan
oleh disfungsi ginjal)

2. Kaji tingkat aktivitas, respon Kelelahan dapat menyertai GGK


terhadap aktivitas juga anemia
3. Auskultasi bunyi jantung dan paru Adanya takikardia frekuensi
jantung tidak teratur
4. Selidiki keluhan nyeri dada, HT dan GGK dapat menyebabkan
perhatikan lokasi, rediasi, nyeri
beratnya (skala 0-10)

2. Kelebihan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder:


volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Kaji status cairan dengan Untuk mengetahui jumlah cairan
menimbang BB perhari, yang ada didalam tubuh
keseimbangan masukan dan
haluaran, turgor kulit tanda-tanda
vital

2. Batasi masukan cairan Pembatasan cairan akan


menentukan BB ideal, haluaran
urin, dan respon terhadap terapi
3. Anjurkan pasien / ajari pasien Untuk mengetahui keseimbangan
untuk mencatat penggunaan input dan output
cairan terutama pemasukan dan
haluaran
4. Kolaborasi dengan dokter dalam Pemahaman meningkatkan
21

menjelaskan pada pasien dan kerjasama pasien dan keluarga


keluarga tentang pembatasan dalam pembatasan cairan
cairan

3. Resiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Obersvasi adanya mual dan Gejala yang menyertai akumulasi
muntah toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan
pemasukan dan memerlukan
intervensi

2. Berikan makanan sedikit tapi Porsi lebih kecil dapat


sering meningkatkan masukan makanan

3. Anjurkan keluarga dalam Mengidentifikasi kekurangan


mengawasi konsumsi nutrisi
makanan/cairan pada klien
4. Tingkatkan kunjungan oleh orang Memberikan pengalihan dan
terdekat selama makan meningkatkan aspek sosial
5. Kolaborasi dengan dokter dengan Menurunkan ketidaknyamanan
memberikan perawatan mulut stomatitis oral dan rasa tak disukai
sering dalam mulut yang dapat
mempengaruhi masukan makanan

4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:


kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas normal/stabil
Kriteria Hasil: tidak ada napas tambahan, pernapasan kembali normal.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Auskultasi bunyi nafas, catat Menyatakan adanya pengumpulan
adanya crakles sekret

2. Atur posisi senyaman mungkin Mencegah terjadinya sesak nafas

3. Ajarkan pasien batuk efektif dan Membersihkan jalan nafas dan


nafas dalam memudahkan aliran O2

4. Kolaborasi dengan dokter dalam Mengurangi beban kerja dan


22

membatasi klien untuk mencegah terjadinya sesak atau


beraktivitas hipoksia

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pruritis


Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
Kriteria hasil:
 Mempertahankan kulit utuh
 Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Observasi masukan cairan dan Mendeteksi adanya dehidrasi atau
hidrasi kulit dan membran hidrasi berlebihan yang
mukosa mempengaruhi sirkulasi dan
integritas jaringan

2. Inspeksi kulit terhadap perubahan Menandakan area sirkulasi buruk


warna, turgor, vaskuler, atau kerusakan yang dapat
perhatikan kadanya kemerahan menimbulkan pembentukan
dekubitus / infeksi

3. Inspeksi area tergantung terhadap Jaringan udem lebih cenderung


edema rusak / robek

4. Ubah posisi sesering mungkin Menurunkan tekanan pada edema,


jaringan dengan perfusi buruk
untuk menurunkan iskemia

5. Berikan perawatan kulit Mengurangi pengeringan, robekan


kulit

6. Anjurkan pasien menggunakan Menghilangkan ketidaknyamanan


kompres lembab dan dingin untuk dan menurunkan risiko cedera
memberikan tekanan pada area
pruritis
7. Anjurkan memakai pakaian katun Mencegah iritasi dermal langsung
longgar dan meningkatkan evaporasi
lembab pada kulit

8. Pertahankan linen kering Menurunkan iritasi dermal dan


risiko kerusakan kulit
23

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak


adekuat, keletihan
Tujuan: Klien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Kriteria Hasil: keadaan umum klien kembali normal, tiadak adanya kelemakhan
maupun kelemahan klien
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Observasi klien untuk melakukan Mengetahui tingkat kemapuan
aktivitas klien dalam melakukan
aktivitasnya

2. Kaji fektor yang menyebabkan Mencegah keletihan yang terjadi


keletihan secara terus-menerus pada klien

3. Anjurkan aktivitas alternatif Mengurangi rasa lelah dan letih


sambil istirahat yang dirasakan pada klien

4. Pertahankan status nutrisi yang Agar energi dalam tubuh klien


adekuat tetap seimbang sehingga klien
dapat melakukan aktivitasnya
kembali tampa merasa letih

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi dalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik, tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang di harapkan. Oleh
karena itu, rencana tidakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2016).
Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab
perawat secara profesional sebagaimana terdapat dalam standar praktik keperawatan,
yaitu:
1. Independen
Suatu kegiatan yang dilakukan oleh perawat tanpa perintah atau petunjuk dari
dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2. Interdependen
Tindakan keperawatn yang menjelaskan suatu kegiatan yang memerlukan kerja
sama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi
dan dokter.
3. Dependen
Berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan tersebut
menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan.
24

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan unuk mengukur
keberhasilan dari rencana keperawatan untuk mengukur keberhasilan dari rencana
eperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Bila masalah tidak dipecahkan atau
timbul masalah baru, maka perawat harus berusaha mengurangi atau mengetasi beban
masalah dengan meninjau kembali rencana keperawatan dengan menyesuaikan
kembali dengan masalah yang ada (Nursalam, 2016).
25

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC.
Doenges. 2015. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa
keperawatan dan masalah kolaboratif. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Mubarak. 2016. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler
Dengan Pendekatan Patofisiology. Magelang. Poltekes Semarang PSIK
Magelang.
Nursalam. 2016. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan)
Jilid 3. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Smeltzer. 2016. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4.
Jakarta: EGC.
Suyono, et al. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai