Anda di halaman 1dari 17

1.

Konsep Dasar Respiratory Distress Syndrome (RDS)

a. Pengertian

Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres Pernapasan

adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada

bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang (Malloy, 2009). Sindrom distres

pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau tidak

adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyalin

membrane diseaser (Suriadi & Yulianni, 2010).

Sindrom distres pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis,

dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit

pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara

diantara usaha napas (Bobak, 2009). Respiratory distress syndrome adalah suatu

bentuk gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance

paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dan infiltrat yang

menyebar (Somantri, 2009). Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan

kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea, frekuensi pernafasan yang lebih dari 60

kali permenit, adanya sianosis, adanya rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory

grunting), serta adanya retraksi suprasternal, interkostal, dan epigastrium saat

inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran hialin, dimana terjadi perubahan

atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat

mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi)

(Hidayat, 2008).

Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS

adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel

untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.


b. Anatomi Fisiologi Paru

Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak sedemikian

rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya,

masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-

pembuluh besar serta struktur- struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing

paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam

bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh

radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul,

menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di

pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat

masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk

radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan

dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus

superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua

menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior (Suriadi & Yulianni, 2010).

Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx, yang

bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan

bronkus. Proses ini terus berlanjut terus berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar

usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus akan sepenuhnya

berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas

sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidak matangan paru –paru akan

mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24 minggu

yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan alveolus, ketidakmatangan sistem

kapiler paru-paru dan tidak mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan

pertama seorang bayi berfungsi untuk:


1) Mengeluarkan cairan dalam paru.

2) Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali.

Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan

aliran darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu

kehamilan dan jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang sekitar 30

-34 minggu kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru dan

membantu untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada

akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir

setiap pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan

energi ini memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa.

Berbagai peningkatan ini menyebabkan steress pada bayi yang sebelumnya

sudah terganggu. Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru-

parunya. Pada saat bayi melalui jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga

cairan ini diperas keluar dari paru-paru. Pada bayi yang dilahirkan melalui

seksio sesaria kehilangan keuntungan dari kompresi rongga dada dapat

menderita paru- paru basah dalam jangka waktu lebih lama. Dengan sisa cairan

di dalam paru –paru dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu limfe dan

darah. Semua alveolus paru-paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan

perjalanan waktu (Suriadi & Yulianni, 2010).

c. Etiologi

Faktor predisposisi terjadinya sindrom gawat napas pada bayi prematur

disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang. Pengembangan

kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang

sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga

paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologis paru

sehingga daya pengembangan paru menurun 25% dari normal, pernapasan


menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,

hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa

surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi

menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang

(Hasan, 2010).

Sindrom gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup terdapat suatu

substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah suatu

substansi molekul yang aktif dipermukaan alveolus paru dan diproduksi oleh sel-

sel tipe II paru-paru. Surfaktan berguna untuk menurunkan tahanan permukaan

paru. Surfaktan terbentuk mulai pada usia kehamilan 24 minggu dan dapat

ditemukan pada cairan ketuban. Pada usia kehamilan 35 minggu, sebagian besar

bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang cukup (Maryunani, 2009).

Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) etiologi dari RDS yaitu:

1) Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.

2) Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan

pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong

alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana

surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang

dan bayi akan mengalami sesak nafas.

3) Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam

proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.

4) Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.

5) Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang

menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit

membran hialin (PMH).


6) Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya produksi

surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22,

semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi

RDS.

d. Patofisiologi

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur

disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan

kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang

sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga

paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru

sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal,

pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia

berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa

surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi

menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.

Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna

kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan

yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari

rongga udara bagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding

alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi

duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan

keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan

pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal

dari darah.
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam

setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72

jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur

dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan

chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD)

(Suriadi & Yulianni, 2010).

e. Manifestasi klinis

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi

oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan,

semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya

atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan

kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.

Gejala klinikal yang timbul yaitu adanya sesak nafas pada bayi prematur segera

setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping

hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-

96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada

4 stadium RDS yaitu:

1) Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran

airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer

menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih

opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih

luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat

dilihat.
Tanda dan gejala yang muncul dari RDS adalah: pernapasan cepat, pernapasan

terlihat parodaks, cuping hidung, apnea, murmur dan sianosis pusat.

Tabel 2.1 Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes


Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
napas
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara
ringan udara masuk
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan tanpa alat bantu
stetoskop
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas
Sumber: Mathai (2010)

Tabel 2.2 Evaluasi Respiratory Distress Skor Downes


Skor Keterangan
Skor < 4 Gangguan Pernafasan Ringan
Skor 4 – 6 Gangguan Pernafasan Sedang
Skor > 7 Ancaman Gagal Nafas
(Pemeriksaan Gas Darah Harus Dilakukan)
Sumber: Mathai (2010)

f. Komplikasi

Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) komplikasi yang kemungkinan terjadi

pada RDS yaitu:

1) Kebocoran alveoli

Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstitial), pada bayi

dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea,

atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.


2) Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya

perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana

tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular, perdarahan

intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak

pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

4) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada

bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya

volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi

mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD

meningkat dengan menurunnya masa gestasi.

5) Retinopathy premature

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan

dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya

infeksi.

g. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada respiratory distress

syndrome menurut Warman (2012), antara lain:

1) Tes Kematangan Paru


a) Tes Biokimia

Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid

dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok

ukur kematangan paru.


b) Test Biofisika

Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan

amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan

gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion didapatkan ring yang

utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion: ethanol)

merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal,

mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk

terjadinya neonatal RDS.

2) Analisis Gas Darah

Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan

hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over seperti protein,

garam empedu dan asam lemak bebas. Bila distensi jalan napas terminal.

3) Radiografi Thoraks

Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-glass

bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air

bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan

alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali

mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus

(PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah

dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat

h. Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) tindakan untuk mengatasi masalah

kegawatan pernafasan meliputi:

1) Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif

dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Ventilasi mekanis adalah

membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada
FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta

tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.

2) Terapi surfaktan

Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan

sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru- paru sapi atau dari

bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24

jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome

yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam)

setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan

oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang

ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang

ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian

perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat

ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan

menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit),

dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).

3) Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)

Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu

alat untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus

selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan

efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada

neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan

kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu

memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah

obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi

apneu, bradikardia, dan episode sianotik (Effendi & Ambarwati, 2014).


4) Extracorporeal Membrane Oxygenation

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang

menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane

oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian

darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau

aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan

menghindari tekanan tinggi ventilator (Effendi & Firdaus, 2010).

Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress

syndrome adalah:

1) Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan

mengadakan pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama

pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara jantung, mempertahankan

kepatenan jalan nafas, memmantau reaksi terhadap pemberian atau terapi

medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam

pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi.

2) Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti

turgor, membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi

mengalami kepanasan berikan selimut kemudian berikan cairan melalui

intravena sesuai indikasi.

3) Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition

dengan memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setiap 24 jam, mempertahankan

gula darah dengan memantau gejala komplikasi adanya hipoglikemia,

mempertahankan intake dan output, memantau gejala komplikasi

gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan lain-lain.


4) Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan

mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa

lendir sesuai kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.

5) Pemberian antibiotik. Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu

mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat ampisilin 100

mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari (Hidayat, 2008).

i. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respirasi Distress Syndrome (RDS)

Faktor yang mempengaruhi kejadian Respirasi Distress Syndrome (RDS)

antara lain (Marfuah, 2013).

1) Kehamilan ganda

Ada hubungan kehamilan ganda dengan kegawatan nafas neonatus, dan

kehamilan ganda mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami gawat

nafas dibandingkan bayi tunggal. Kehamilan ganda menjadi faktor risiko

meningkatkan kegawatan nafas neonatus telah terbukti pada penelitian Neilsen

(2007) yang membandingkan antara kehamilan tunggal dan gemelli pada usia

kehamilan 24-26 minggu, 27–29 minggu dan 30 - 32 minggu dengan hasil

bahwa bayi dengan kehamilan multipel atau ganda untuk terjadinya kegawatan

nafas jumlah hampir sama, namun pada umur kehamilan 30–32 minggu

terjadinya kegawatan nafas lebih banyak pada kehamilan multipel. Penelitian

lain dilakukan Mieth et al (2011) juga menjelaskan bahwa insiden kehamilan

ganda semua bayi terlahir secara prematur dengan usia 28 – 32 minggu, dan

angka morbiditas dan mortalitis disebabkan karena kegawatan nafas.

Indiarti (2009) menyatakan bahwa teori persalinan yang salah satunya

adalah teori distensi abdomen kapasitas elastisitas uterus atau abdomen lebih

rendah pada saat menampung jumlah janin 2 atau lebih, sehingga sebagian

besar bayi yang lahir kembar baik gemelli, tripel atau lebih dalam usia
kehamilan 28 – 32 minggu atau prematur, sehingga sistem pernafasan

immatur, sehingga terjadi defiensi surfaktan yang menyebabkan paru bayi

tidak mampu mengembang dan penyakit membran hialin sebagai penyebab

utama gawat nafas banyak terjadi pada bayi prematur. Untuk itu kehamilan

ganda berisiko untuk lahir prematur sehingga mempunyai risiko gawat nafas

lebih besar.

2) Asfiksia

Penelitian Lee et al (2009) menjelaskan bahwa nilai Apgar Skor < 7 pada

menit pertama mempunyai hubungan yang bermakna dengan Respiratory

Distress Syndrome (RDS) neonatus dan AS < 7 pada menit ke-5 juga

mempunyai hubungan yang bermakna antara AS< 7 menit ke-5 dengan

terjadinya RDS neonatus. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernapas secara

spontan dan teratur segera setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir yang

ditandai dengan keadaan PaO2 di dalam darah rendah (hipoksemia),

hiperkarbia (PaCO2 meningkat) dan asidosis (Sylviati, et al., 2008). Seringkali

bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia

sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali

pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Hermiyanti, et

al., 2011).

Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia adalah keadaan

pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang,

sehingga aliran oksigen ke janin berkurang, akibatnya terjadi gawat janin.

Selain itu juga akibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke

bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia atau dari kondisi bayi

tersebut yang sudah mengalami asfiksi di dalam kehamilan seperti kehamilan

ganda, prematur, aspirasi mekonium (Hermiyanti, et al., 2011). Asfiksia


dimulai periode apneu disertai dengan penurunan frekuensi jantung,

selanjutnya bayi menunjukkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti

dengan pernafasan teratur, namun pada asfiksi berat, usaha bernafas tidak

tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apneu kedua dan jika

terlambat dilakukan resusitasi, maka gawat nafas dapat terjadi (Hasan, et al.,

2007).

3) Usia Kehamilan

Penelitian Meith et al (2011) menjelaskan bahwa risiko kegawatan nafas

terjadi pada bayi <38 minggu, yaitu pada usia kehamilan <26 minggu risiko

kegawatan nafas sebanyak 200/287 (69,7%), usia kehamilan 26–28 minggu

terjadi kegawatan nafas 6/6 (100%), usia kehamilan 29–31 minggu sebanyak

28/28 (100%) dan usia kehamilan 32–36 minggu sebanyak 64/69 (92,8%).

Pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan <38 minggu, maka bayi

lahir dalam keadaan prematur, dan terjadi immaturitas paru dimana paru-paru

bayi belum cukup untuk berkembang dengan penuh, ini terjadi kekurangan

substansi perlindungan yang disebut surfaktan, yang membantu paru

mengembang karena udara dan melindungi kantong udara dari kollap paru

sehingga terjadi kegawatan nafas neonatus, tersering kasus pada bayi lahir

kurang 28 minggu, dan sangat jarang pada bayi yang lahir aterm atau 40

minggu (Cloherty,2008).

Clair, et al., (2008) menjelaskan bahwa pada bayi tanpa RDS, rata-rata

ratio L/S(lechitin/Sphiomyelin) lebih tinggi pada bayi dengan RDS. Ini

menunjukkan bahwa resiko terjadinya RDS karena rendahnya kadar rasio

lechitin dan sphingomyelin yang banyak terjadi pada bayi prematur dan usia

kehamilan yang kurang bulan.


4) Paritas

Penelitian yang dilakukan oleh Ziadeh (2012) dengan retrospektif pada

nullipara dengan umur > 35 tahun, didapatkan wanita nullipara > 35 tahun dan

usia antara 25 – 29 tahun. Korelasi nullipara dengan komplikasi kehamilan dan

kelahiran yaitu pada usia kehamilan, berat lahir, prematur, SGA, BBLR, fetal

distress, AS rendah atau asfiksia. Ini menunjukkan bahwa risiko kegawatan

nafas terjadi pada nullipara lebih besar daripada multipara. Penelitian Beydoun

et al (2009) menjelaskan bahwa ibu nullipara, 5,4% melahirkan bayi prematur

dan 5,2% dengan kondisi berat badan lahir rendah.

5) Hipertensi pada ibu

Teori yang dikemukakan oleh UCSF (2009) bahwa stress intra uteri yang

kronik seperti hipertensi pada ibu atau toksemia, ketuban pecah dini dan agen

tokolitik merupakan faktor yang menurunkan kegawatan nafas. Begitu juga

pendapat yang dijelaskan oleh Lee et al (2009) bahwa hipertensi sebagai faktor

terjadinya kegawatan nafas masih menjadi kontroversial, karena dijelaskan

secara tradisional bahwa stress kronik intra uteri termasuk preeclampsia dan

ketuban pecah dini yang berkepanjangan dapat mempercepat maturitas paru

janin.

Menurut penelitian Chiswick (2008) menjelaskan bahwa kegawatan

nafas neonatus (RDS) signifikan pada bayi dengan ibu hipertensi sebelum

dikoreksi efek dan variabel confounding atau perancu. Ibu hamil dengan

hipertensi dan menjadi pre eklampsia menyebabkan vasospasme pada

pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi tidak baik dan mengganggu

sirkulasi darah termasuk sirkulasi uteroplasentra, sehingga perfusi ke janin

berkurang sehingga beresiko untuk terjadi gawat nafas seperti asfiksia dan

TTN. Selain itu pada pre eklampsia cenderung dilakukan SC emergensi untuk
penyelamatan bayi atau ibu, sedangkan pada persalinan SC tidak ada

penekanan pada dinding dada dan jalan nafas tidak ada rangsangan oleh

kompresi dinding dada sebagaimana pada persalinan pervagina, dan juga dapat

terjadi aspirasi cairan ketuban dari muntah yang berisi cairan lambung.

Namun jika hipertensi yang diderita terjadi sejak sebelum kehamilan dan

hipertensi kehamilan telah dikoreksi dengan mendapat terapi kortikosteroid

selama hipertensi kehamilan, maka dapat mempercepat maturitas paru,

sehingga dapat menurunkan kejadian kegawatan neonatus. Faktor risiko yang

menurunkan kegawatan nafas neonatus adalah stress intra uteri kronik, PROM,

hipertensi maternal atau toksemia, penggunaan kortikosteroid, agen tokolitik,

penyakit hemolitik karena hal tersebut diatas menyebabkan paru bayi matur

lebih awal (UCSF Children’s Hospital, 2009)


2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai