Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


DIABETES MELITUS TIPE 2

OLEH :

OLEH:
DEWA PUTU PUTRASANA
199012150

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
TAHUN AJARAN 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
DIABETES MELITUS TIPE 2

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi/Pengertian
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya hiperglikemia
yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ pancreas untuk memproduksi
insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel target tersebut. Abnormalitas
pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang ditemukan pada penderita
penyakit diabetes mellitus terjadi dikarenakan kurangnya aktivitas insulin pada sel
target.(Kerner and Brückel, 2014)
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Menurut
American Diabetes Asosiation (ADA) (2017), Diabetes melitus merupakan salah
satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena
gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Keadaan hiperglikemia
kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan
fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah.
Diabetes adalah kondisi saat pankreas tidak lagi dapat memproduksi cukup
insulin atau tubuh tidak lagi dapat mempergunakan insulin secara efektif. Insulin
ialah hormon yang membantu terhadap kontrol kadar gula darah. Kenaikan gula
darah menjadi pengaruh umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan secara
berkelanjutan menyebabkan sistem tubuh menjadi rusak pada kebanyakan orang,
terutama pembuluh darah (WHO, 2017).
2. Epidemiologi
Diabetes mellitus merupakan salah satu masalah utama kesehatan umum.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit DM antara lain gangguan pada
sistem kardiovaskuler seperti atherosklerosis, retinopati, gangguan fungsi ginjal
dan kerusakan syaraf. Selain itu, DM dapat menyebabkan terjadinya kecacatan
maupun kematian. Orang yang terkena DM mempunyai resiko dua puluh kali lebih
besar mengalami amputasi daripada orang yang tidak memiliki penyakit DM.
Managemen DM yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang serius dan
dapat menyebabkan kematian (Wazaify et al., 2011).
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi diabetes mellitus di berbagai penjuru
dunia, badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes mellitus yang menjadi salah satu
ancaman kesehatan global (PERKENI, 2015). Menurut International Diabetes
Federation (2015) terdapat 415 juta orang mengalami diabetes mellitus di dunia
pada tahun 2015 dan tahun 2040 diperkirakan akan meningkat mencapai 642 juta
orang. Dari data yang didapatkan tersebut menunjukkan 193 juta kasus dengan
diabetes mellitus tidak terdiagnosis dan diabetes melitus menyebabkan kematian 5
juta jiwa pada tahun 2015.
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014
menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data dari IDF 2014, Indonesia
menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan dengan
tahun 2013 dengan 7,6 juta orang penyandang DM (Eva Decroli, 2019: 2).
3. Etiologi
Penyebab dari DM Tipe II antara lain (FKUI, 2011):
3.1. Penurunan fungsi cell β pancreas
Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
3.1.1. Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat
peningkatan apoptosis sel β.
3.1.2. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa
dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif
menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi
apoptosis.
3.1.3. Penumpukan amyloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar
glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan
sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta
hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri
sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi
berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
3.1.4. Efek incretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
3.1.5. Usia
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada
usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30
tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia.
Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan
ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel
beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan
terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa.
3.1.6. Genetik
3.2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
3.2.1 Obesitas
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
3.2.2 Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3.2.3 Kurang gerak badan
3.2.4 Faktor keturunan (herediter)
3.2.5 Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila
stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan.
Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing faktor yang
menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah
4. Klasifikasi
4.1. Diabetes Mellitus tipe-1
Diabetes mellitus tipe-1 adalah penyakit kronis yang ditandai
dengan ketidak mampuan tubuh untuk menghasilkan atau
memproduksi insulin yang diakibatkan oleh rusaknya sel-β pada
pancreas. Diabetes mellitus tipe-1 disebut dengan kondisi autoimun
oleh karena sistem imun pada tubuh menyerang sel-sel dalam pankreas
yang dikira membahayakan tubuh. Reaksi autoimunitas tersebut dapat
dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.Diabetes mellitus tipe-1 sering
terjadi pada masa anak-anak tetapi penyakit ini dapat berkembang
pada orang dewasa.(Kerner and Brückel, 2014)
4.2. Diabetes Mellitus tipe-2
Diabetes mellitus tipe-2 adalah jenis yang paling umum dari
diabetes mellitus .Diabetes tipe-2 ditandai dengan cacat progresif dari
fungsi sel-β pankreas yang menyebabkan tubuh kita tidak dapat
memproduksi insulin dengan baik. Diabetes mellitus tipe-2 terjadi
ketika tubuh tidak lagi dapat memproduksi insulin yang cukup untuk
mengimbangi terganggunya kemampuan untuk memproduksi insulin.
Pada diabetes mellitus tipe-2 tubuh kita baik menolak efek dari insulin
atau tidak memproduksi insulin yang cukup untuk mempertahankan
tingkat glukosa yang normal.(Kerner and Brückel, 2014)
Beberapa pasien dengan diabetes tipe ini akan tetap tidak
terdiagnosis selama bertahun-tahun karena gejala jenis ini dapat
berkembang sedikit demi sedikit dan itu tergantung pada pasien .
Diabetes tipe-2 sering terjadi pada usia pertengahan dan orang tua,
tetapi lebih umum untuk beberapa orang obesitas yang memiliki
aktivitas fisik yang kurang. (Kerner and Brückel, 2014)
4.3. Diabetes Mellitus Gestational
Definisi diabetes mellitus gestational adalah intoleransi glukosa
pada waktu kehamilan, pada wanita normal atau yang mempunyai
gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan.Diabetes
melitus gestational terjadi di sekitar 5–7% dari semua kasus pada
kehamilan.(Kerner and Brückel, 2014).
5. Gejala Klinis
DM sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dan gejala
klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya
gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbulnya
komplikasi. DM tipe 1 yang dimulai pada usia muda memberikan tanda-tanda
yang mencolok seperti tubuh yang kurus, hambatan pertumbuhan, retardasi
mental, dan sebagainya (Agoes dkk, 2013). Berbeda dengan DM tipe 1 yang
kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita DM tipe 2 seringkali
mengalami peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya
metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya juga terganggu (Mahendra dkk,
2008).
Tiga serangkai yang klasik tentang gejala DM adalah poliuria (sering
kencing), polidipsia (sering merasa kehausan), dan polifagia (sering merasa
lapar). Gejala awal tersebut berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula
darah yang tinggi. Jika kadar gula lebih tinggi dari normal, ginjal akan membuang
air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Oleh
karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, penderita
sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuria). Akibat lebih lanjut adalah
penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsia).
Selain itu, penderita mengalami penurunan berat badan karena sejumlah besar
kalori hilang ke dalam air kemih. Untuk mengompensasikan hal tersebut,
penderita sering kali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan
atau polifagia (Krisnatuti dkk, 2014).
Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukkan gejala klasik tetapi
penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau
beberapa tahun mengidap penyakit DM. Gejala ini disebut gejala kronik atau
menahun. Gejala kronik ini yang paling sering membawa penderita DM berobat
pertama kali. Gejalanya berupa kesemutan, kulit terasa panas, terasa tebal dikulit
sehingga kalau berjalan seperti di atas bantal atau kasur, kram, mudah mengantuk,
mata kabur, gatal disekitar kemaluan terutama wanita, serta gigi mulai goyah dan
mudah lepas (Tjokroprawiro, 2011).

6. Patofisiologi
Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan
tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya
produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang
dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam
sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin yang
dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah (Agoes dkk,
2013).
Patofisiologi pada DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada
autoimun-mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi
faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1A. Sedangkan
tipe non-imun, lebih umun daripada autoimun. Tipe non-imun terjadi sebagai
akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik
(Brashers dkk, 2014).
DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin
yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin
sampai dengan predominan kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada bukan
suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi.
Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada
keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah. Pada
dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahan yang
mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam
pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salah
satu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebabkan
gangguan transport glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia
sehingga menimbulkan manifestasi DM (Rustama dkk, 2010).
7. Komplikasi Diabetes Mellitus
Pada penderita DM yang gula darahnya tidak terkontrol dengan baik, berbagai
penyakit dapat muncul sebagai akibat atau komplikasi dari adanya penyakit DM
ini. Berdasarkan penyebabnya komplikasi DM dapat dikelompokkan atas infeksi
kronis dan non-infeksi
7.1. Infeksi Kronis
Penderita DM rentan terhadap infeksi banyak tipe. Sejak infeksi terjadi,
infeksi sulit untuk diobati. Tiga faktor yang meungkin berkontribusi terhadap
perkembangan infeksi adalah fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN)
terganggu, neuropati diabetik, dan ketidakcukupan pembuluh darah. Kontrol
glikemik yang jelek juga memperbesar pentingnya faktor-faktor ini (Black
dan Hawks, 2014).
Infeksi juga dapat terjadi karena glukosa darah yang tinggi mengganggu
fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau bakteri.
Paru- paru merupakan salah satu tempat yang mudah terkena infeksi.
Penderita DM yang kurang terkontrol akan cenderung mengalami
pertumbuhan bakteri, terutama bakteri golongan Mycobacterial dan
Anaerobik serta infeksi fungi. Infeksi dapat menyebabkan terjadinya
pneumonia, penyakit paru obstruksi kronik, maupun tuberkulosis (TBC) pada
penderita DM. Dibanding orang non- DM, penderita DM lebih mudah
menderita TBC dan lebih rentan (sekitar 12,8%) terhadap infeksi kuman
TBC, terlebih lagi jika DM yang dideritanya tidak terkendali, tidak terawat
dengan baik (Ndraha, 2014).
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.
Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi
penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan
dengan kontrol yang non-DM (Cahyadi dan Venty, 2011). Diabetes
memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa
darah (Ndraha, 2014).
7.2. Non-Infeksi
Penyakit non-infeksi pada penderita DM dapat terjadi karena adanya
gangguan pada darah maupun pada pembuluh darah. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik sehingga
menyebabkan berbagai penyakit seperti hipoglikemia, hiperglikemia, penyakit
jantung koroner, dll.
7.2.1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh
penurunan glukosa darah dibawah normal atau kurang dari 60 mg/100 ml
yang timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik
sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan
sekresi insulin seperti sulfonylurea. Dalam keadaan hipoglikemik ini,
penderita akan mengalami keadaan seperti badan lemas, rasa lapar,
gemetar, pucat, keringat dingin, gelisah, detak jantung cepat/berdebar-
debar sampai pada keadaan penurunan kesadaran/pingsan (Maryunani,
2008).
Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 merupakan faktor
penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal
atau mendekati normal. Faktor paling utama yang menyebabkan
hipoglikemia adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa
yang berkelanjutan. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang
utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam
bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang
normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan
glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan
disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma (Soemadji, 2009).
7.2.2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah peningkatan gula darah melebihi 120 mg/ 100 ml.
keadaan ini disebabkan karena gula tidak bisa ditransportasikan ke sel-sel
karena kurangnya insulin. Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis
diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik
(HHNK).
7.2.2.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia,
asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif (Soewondo, 2009). Keadaan ini disebabkan
karena kadar gula darah terlalu tinggi, kurang hormon insulin
sehingga tubuh menggunakan lemak sebagai energi yang
menghasilkan benda keton didarah dan urin. Pencetus keadaan
ketoasidosis diantaranya adalah infeksi, stres atau trauma,
penghentian insulin dan dosis insulin yang kurang.
Ketoasidosis merupakan komplikasi yang cukup serius yang dalam
keadaan darurat dapat menyebabkan kematian. Pada pasien yang
telah diketahui menderita DM, KAD dapat dicurigai bila terdapat
keluhan nyeri perut, muntah- muntah atau malaise. Tetapi pada
pasien yang belum terdiagnosis DM, diagnosisnya akan lebih sulit.
Kriteria penegakan KAD menurut pemeriksaan laboratorium adalah
hiperglikemia (gula darah >11 mmol/L); pH vena <7,3 atau
bikarbonat < 15 mmol/L; ketonemia dan ketonuria (Rustama dkk,
2010).
7.2.2.2. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik (HHNK)
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu
tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu) dengan gejala
khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan
penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%
kasus (Soewondo, 2009).
7.2.3. Retinopati Diabetik
Kebutaan merupakan komplikasi yang paling ditakuti dari DM, tetapi dapat
dicegah. DM merupakan penyebab utama kebutaan untuk pengidap DM
berumur 30-69 tahun. Dua puluh tahun setelah terjadinya DM, hampir
semua pengidap DM tipe 1 dan lebih dari 60% pengidap tipe 2 akan
mengalami retinopati. Bahkan pada waktu diagnosis DM tipe 2 ditegakkan,
25% pasien sudah menunjukkan tanda-tanda retinopati (Agoes dkk, 2013).
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)
merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Meskipun penyebab
retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor
resiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia
yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur
poliol yang merupakan senyawa gula dan alkohol dalam jaringan termasuk
di lensa dan saraf optik, glikasi nonenzimatik yang dapat menghambat
aktivitas enzim dan keutuhan DNA, dan protein kinase C yang diketahui
memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis
membrana basalis dan poliferasi sel vaskular (Pandelaki, 2009).
7.2.4. Nefropati Diabetik
Salah satu komplikasi kronis DM yang dapat dideteksi dini adalah
nefropati diabetik atau disebut juga penyakit ginjal diabetik. Kelainan yang
terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya
mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara
klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan
berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan
dengan pengobatan substitusi (Waspadji, 2009).
7.2.5. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
perifer penderita DM tanpa ada penyebab lain selain DM (setelah dilakukan
eksklusi penyebab lainnya). Neuropati diperkirakan telah ada sekitar 7,5%
pada saat seseorang di diagnosa menderita DM. Studi epidemiologik
menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti
halnya borok kaki dan amputasi.
Neuropati disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat kekurangan insulin.
Pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta
penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel
Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik
akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul
nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan
gangguan motorik yang disertai hilangnya reflex-refleks tendon dalam,
kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer,
saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom.
Neuropati yang menyerang sistem saraf otonom dapat menyebabkan
berbagai manifestasi, bergantung pada area sistem saraf otonom yang
terkena. Neuropati ini dapat mencakup gangguan keringat, fungsi pupil
tidak normal, gangguan kardiovaskular, gangguan gastrointestinal (yang
mengakibatkan disfagia, anoreksia, nyeri uluhati, mual, dan muntah, serta
perubahan kontrol gula darah) dan gangguan genitourinari (LeMone dkk,
2012).
7.2.6. Hipertensi
Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderita DM. Hipertensi merusak pembuluh
darah dan dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan
ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi DM disebabkan oleh
hipertensi. Resiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat
apabila penderita DM juga terkena hipertensi. Beberapa faktor yang terkait
dengan terjadinya hipertensi pada penderita DM antara lain adalah
gangguan ginjal, obesitas dan pengapuran atau penebalan dinding
pembuluh darah (aterosklerosis) (Tandra,2007).
7.2.7. Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita DM daripada orang yang tidak
menderita DM. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak
terasa sama sekali (Ndraha, 2014). Hilangnya sensasi sentuhan dan persepsi
nyeri menyebabkan penderita DM dapat mengalami beberapa tipe trauma
kaki tanpa menyadarinya. Orang tersebut berisiko tinggi mengalami trauma
di jaringan kaki, menyebabkan terjadinya ulkus. Infeksi umumnya terjadi
pada jaringan yang mengalami trauma atau ulkus (LeMone dkk, 2012).
Hampir 40% penderita DM dengan infeksi kaki mungkin memerlukan
amputasi, dan 5-10% akan meninggal meskipun amputasi di daerah terkena
(Black dan Hawks, 2014). Penderita DM berisiko tinggi mengalami
amputasi di ekstremitas bawah, dengan peningkatan risiko pada mereka
yang sudah menyandang DM lebih dari 10 tahun, jenis kelamin pria,
memiliki kontrol glukosa yang buruk, atau mengalami komplikasi
kardiovaskular, retina, atau ginjal (LeMone dkk, 2012).
7.2.8. Penyakit Serebrovaskular
Penyakit serebrovasular, terutama infark aterotromboembolik
dimanifestasikan dengan serangan iskemik transien dan cerebrovascular
attact (stroke), lebih sering dan berat pada penderita DM. Risiko relatif
lebih tinggi pada perempuan, tertinggi pada usia 50 atau 60-an, dan lebih
tinggi pada penderita dengan hipertensi. Pada penderita DM, stroke lebih
serius, kekambuhan, dan angka kematian lebih tinggi, khususnya dengan
DM tipe 2 (Black dan Hawks, 2014)
8. Penatalaksanaan
Tujuan daripada penatalaksanaan diabetes mellitus adalah untuk
meningkatkan tingkat daripada kualitas hidup pasien penderita diabetes mellitus,
mencegah terjadinya komplikasi pada penderita, dan juga menurunkan morbiditas
dan mortalitas penyakit diabetes mellitus. Penatalaksanaan diabetes mellitus dibagi
secara umum menjadi lima yaitu: (PERKENI, 2015)
8.1. Edukasi
Diabetes mellitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan kuat. Keberhasilan pengelolaan diabetes
mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat.Tim
kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku.Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi.Edukasi merupakan
bagian integral asuhan perawatan diabetes.Edukasi secara individual atau
pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan
perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses
edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
dokumentasi, dan evaluasi.
Edukasi terhadap pasien diabetes mellitus merupakan pendidikan dan
pelatihan yang diberikan terhadap pasien guna menunjang perubahan perilaku,
tingkat pemahaman pasien sehingga tercipta kesehatan yang maksimal dan
optimal dan kualitas hidup pasien meningkat. (PERKENI, 2015)
8.2. Terapi Nutrisi Medis (Diet)
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan aktivitas sehari-hari untuk mendapatkan kontrol
metabolik yang lebih baik, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal, memberikan energi yang
cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadai dan
meningkatkan tingkat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Standar dalam asupan nutrisi makanan seimbang yang sesuai dengan
kecukupan gizi baik adalah sebagai berikut : (PERKENI, 2015)
8.2.1. Protein : 10 – 20 % total asupan energi
8.2.2. Karbohidrat : 45 – 65 % total asupan energy
8.2.3. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori, tidak boleh melebihi 30 %
total asupan energi
8.2.4. Natrium : < 2300 mg perhari
8.2.5. Serat : 20 – 35 gram/hari
Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan makanan
dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah diagnosis,serta makanan
yang tidak berbeda dengan teman sebaya atau denganmakanan
keluarga.Jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh disesuaikan dengan
faktor-faktor jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, stress metabolic, dan berat
badan. Untuk penentuan status gizi, dipakai penghitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai dalam penghitungan adalah IMT =
BB(kg)/TB(m2).(PERKENI, 2015)
8.3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani dilakukan teratur
sebanyak 3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 - 45 menit, dengan total
kurang lebih 150 menit perminggu. Latihan jasmani dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud
ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.(PERKENI, 2015)
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani.Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
sebelum melakukan kegiatan jasmani. Jika kadar glukosa darah <100 mg/dl
pasien dianjurkan untuk menkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu, jika kadar
glukosa darah 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung
lama aktifitas dan respons individual).dan jika >250 mg/dl dianjurkan untuk
tidak melakukan aktivitas jasmani.(PERKENI, 2015)
8.4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pola pengaturan makanan
dan latihan jasmani.Terapi farmakologis terdiri dari obat hipoglikemik oral
dan injeksi insulin.Pemberian obat oral atau dengan injeksi dapat membantu
pemakaian gula dalam tubuh penderita diabetes.
8.4.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Golongan sulfonilurea dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe-2, tetapi tidak efektif pada diabetes
tipe-1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan
klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara
merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan
efektivitasnya.Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi
pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya
sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di
dalam usus.Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada
penderita diabetes tipe-2 jika diet dan oleh raga gagal menurunkan
kadar gula darah dengan cukup.(PERKENI, 2015).
8.4.2. Injeksi Insulin
Terapi insulin digunakan ketika modifikasi gaya hidup dan obat
hipoglikemik oral gagal untuk mengontrol kadar gula darah pada
pasien diabetes.Pada pasien dengan diabetes tipe-1, pankreas tidak
dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin
pengganti.Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan,
insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan
per- oral.Ada lima jenis insulin dapat digunakan pada pasien dengan
diabetes mellitus berdasarkan pada panjang kerjanya. Ada Insulin Kerja
Cepat, Kerja Pendek, Kerja Menengah, Kerja Panjang, dan Campuran.
(PERKENI, 2015)
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Diabetes Mellitus:
1.1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan
Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
Letargi / disorientasi, koma
Penurunan kekuatan otot
1.2. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi
Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda : Takikardia
Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
Nadi yang menurun / tidak ada
Disritmia
Krekels
Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
1.3. Integritas Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain
Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
1.4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
Nyeri tekan abdomen
Diare
Tanda : Urine encer, pucat, kuning : poliuri
1.5. Makanan / cairan
Gejala : Hilang nafsu makan
Mual / muntah
Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
Haus
Penggunaan diuretic (tiazid)
Tanda : Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut).
Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.
1.6. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
1.7. Pernafasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum purulen
(tergantung ada tidaknya infeksi)
Tanda : Lapar udara
Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
Frekuensi pernafasan
1.8. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal; ulkus kulit
Tanda : Demam, diaphoresis
Kulit rusak, lesi / ilserasi
Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak
2. Diagnose Keperawatan
2.1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan
keseimbangan insulin
2.2. Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan berlebih, tidak
adekuatnya intake cairan
2.3. Resiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan primer
2.4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat penurunan
produksi energy
2.5. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi,
penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan
kulit.
2.6. Gangguan citra tubuh b/d ekstremitas gangrene
2.7. Resiko cedera b/d penurunan fungsi penglihatan, pelisutan otot.
3. Rencana Tindakan :

No. Diagnosa Tujuan (NOC) & Intervensi (NIC)


Keperawatan
Kriteria Hasil
1. Ketidakseimbangan NOC : NIC :
nutrisi kurang dari
- Nutritional Status : food Nutrition Management
kebutuhan tubuh b.d
and Fluid Intake
gangguan - Nutritional Status : -Kaji adanya alergi makanan
keseimbangan insulin nutrient Intake -Kolaborasi dengan ahli gizi
Kriteria Hasil : untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
- Adanya peningkatan berat dibutuhkan pasien.
badan sesuai dengan - Anjurkan pasien untuk
tujuan meningkatkan intake Fe
- Beratbadan ideal sesuai - Anjurkan pasien untuk
dengan tinggi badan meningkatkan protein dan
- Mampumengidentifikasi vitamin C
kebutuhan nutrisi - Yakinkan diet yang
- Tidak ada tanda tanda dimakan mengandung tinggi
malnutrisi serat untuk mencegah
- Menunjukkan konstipasi
peningkatan fungsi - Berikan makanan yang
pengecapan dari menelan terpilih (sudah
- Tidak terjadi penurunan dikonsultasikan dengan ahli
berat badan yang berarti gizi)
- Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan
harian.
- Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
- Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
- Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Nutrition Monitoring
- BB pasien dalam batas
normal
- Monitor adanya penurunan
berat badan
- Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan
- Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
- Monitor lingkungan selama
makan
- Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
- Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
- Monitor turgor kulit
- Monitor mual dan muntah
- Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan kadar
Ht
- Monitor makanan kesukaan
- sMonitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
- Monitor kalori dan intake
nuntrisi
- Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
- Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet

2. Resiko kekurangan NOC : NIC:


volume cairan b.d
kehilangan cairan - Fluid balance Fluid management
berlebih, tidak - Hydration
- Catat intake dan output
adekuatnya intake - Nutritional status: food
- Monitor status hidrasi
cairan and fluid intake
- Monitor vital sign
Kriteria Hasil:
- Monitor status nutrisi
- Mempertahankan urine - Kolaborasi pemberian terapi
output sesuai dengan usia, cairan IV
BB - Dorong masukan oral
- Vital sign dalam batas Hipovolemi management:
normal
- Monitor intake dan output
- Tidak ada tanda-tanda
cairan
dehidrasi
- Pelihara IV line
- Monitor Hb dan Ht
- Monitor berat badan
- Monitor respon klien
terhadap penambahan cairan
- Monitor adanya tanda dan
gejala kelebihan cairan
3. Resiko infeksi b.d NOC : NIC :
tidak adekuatnya
pertahanan primer - Immune Status Infection Control (Kontrol
- Knowledge : Infection infeksi)
control
- Risk control - Bersihkan lingkungan setelah
Kriteria Hasil : dipakai pasien lain
- Pertahankan teknik isolasi
- Klien bebas dari tanda - Instruksikan pada
dan gejala infeksi pengunjung untuk mencuci
- Menunjukkan tangan saat berkunjung dan
kemampuan untuk setelah berkunjung
mencegah timbulnya meninggalkan pasien
infeksi - Gunakan sabun antimikrobia
- Jumlah leukosit dalam untuk cuci tangan
batas normal - Cuci tangan setiap sebelum
- Menunjukkan perilaku dan sesudah tindakan
hidup sehat kperawtan
- Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
- Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan
alat
- Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai dengan petunjuk
umum
- Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
- Tingkatkan intake nutrisi
- Berikan terapi antibiotik bila
perlu
Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)
- Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
- Monitor hitung granulosit,
WBC
- Monitor kerentanan
terhadap infeksi
- Partahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
- Berikan perawatan kulit
pada area epidema
- Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
- Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
- Dorong masukan cairan
- Dorong istirahat
- Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep
- Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
- Ajarkan cara menghindari
infeksi
- Laporkan kecurigaan infeksi
- Laporkan kultur positif
1. Implementasi Keperawatan

2. Evaluasi Keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Kerner, W. and Brückel, J. (2014). Definition, Classification and Diagnosis of Diabetes


Mellitus. Exp Clin Endocrinol Diabetes
Rahmaningsih BY. 2016. Hubungan antara nilai ankle brachial index dengan kejadian
diabetic foot ulcer pada penderita diabetes melitus tipe 2 di RSUD DR. Moewardi
Surakarta [thesis]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ndraha S. 2014. Diabetes melitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. Medicinus
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai