OLEH :
OLEH:
DEWA PUTU PUTRASANA
199012150
6. Patofisiologi
Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan ketidakmampuan
tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya
produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan yang
dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam
sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin yang
dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk dalam darah (Agoes dkk,
2013).
Patofisiologi pada DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada
autoimun-mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan menjadi
faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut tipe 1A. Sedangkan
tipe non-imun, lebih umun daripada autoimun. Tipe non-imun terjadi sebagai
akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau gangguan idiopatik
(Brashers dkk, 2014).
DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin
yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin
sampai dengan predominan kerusakan sel beta. Kerusakan sel beta yang ada bukan
suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi.
Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada
keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah. Pada
dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahan yang
mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam
pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam salah
satu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebabkan
gangguan transport glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan hiperglikemia
sehingga menimbulkan manifestasi DM (Rustama dkk, 2010).
7. Komplikasi Diabetes Mellitus
Pada penderita DM yang gula darahnya tidak terkontrol dengan baik, berbagai
penyakit dapat muncul sebagai akibat atau komplikasi dari adanya penyakit DM
ini. Berdasarkan penyebabnya komplikasi DM dapat dikelompokkan atas infeksi
kronis dan non-infeksi
7.1. Infeksi Kronis
Penderita DM rentan terhadap infeksi banyak tipe. Sejak infeksi terjadi,
infeksi sulit untuk diobati. Tiga faktor yang meungkin berkontribusi terhadap
perkembangan infeksi adalah fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN)
terganggu, neuropati diabetik, dan ketidakcukupan pembuluh darah. Kontrol
glikemik yang jelek juga memperbesar pentingnya faktor-faktor ini (Black
dan Hawks, 2014).
Infeksi juga dapat terjadi karena glukosa darah yang tinggi mengganggu
fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau bakteri.
Paru- paru merupakan salah satu tempat yang mudah terkena infeksi.
Penderita DM yang kurang terkontrol akan cenderung mengalami
pertumbuhan bakteri, terutama bakteri golongan Mycobacterial dan
Anaerobik serta infeksi fungi. Infeksi dapat menyebabkan terjadinya
pneumonia, penyakit paru obstruksi kronik, maupun tuberkulosis (TBC) pada
penderita DM. Dibanding orang non- DM, penderita DM lebih mudah
menderita TBC dan lebih rentan (sekitar 12,8%) terhadap infeksi kuman
TBC, terlebih lagi jika DM yang dideritanya tidak terkendali, tidak terawat
dengan baik (Ndraha, 2014).
Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.
Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi
penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkan
dengan kontrol yang non-DM (Cahyadi dan Venty, 2011). Diabetes
memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa
darah (Ndraha, 2014).
7.2. Non-Infeksi
Penyakit non-infeksi pada penderita DM dapat terjadi karena adanya
gangguan pada darah maupun pada pembuluh darah. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik sehingga
menyebabkan berbagai penyakit seperti hipoglikemia, hiperglikemia, penyakit
jantung koroner, dll.
7.2.1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan oleh
penurunan glukosa darah dibawah normal atau kurang dari 60 mg/100 ml
yang timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik
sesudah penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang meningkatkan
sekresi insulin seperti sulfonylurea. Dalam keadaan hipoglikemik ini,
penderita akan mengalami keadaan seperti badan lemas, rasa lapar,
gemetar, pucat, keringat dingin, gelisah, detak jantung cepat/berdebar-
debar sampai pada keadaan penurunan kesadaran/pingsan (Maryunani,
2008).
Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 merupakan faktor
penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal
atau mendekati normal. Faktor paling utama yang menyebabkan
hipoglikemia adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa
yang berkelanjutan. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang
utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan glukosa (dalam
bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit, fungsi otak yang
normal sangat tergantung asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan
glukosa yang berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan
disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma (Soemadji, 2009).
7.2.2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah peningkatan gula darah melebihi 120 mg/ 100 ml.
keadaan ini disebabkan karena gula tidak bisa ditransportasikan ke sel-sel
karena kurangnya insulin. Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis
diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik
(HHNK).
7.2.2.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia,
asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin
absolut atau relatif (Soewondo, 2009). Keadaan ini disebabkan
karena kadar gula darah terlalu tinggi, kurang hormon insulin
sehingga tubuh menggunakan lemak sebagai energi yang
menghasilkan benda keton didarah dan urin. Pencetus keadaan
ketoasidosis diantaranya adalah infeksi, stres atau trauma,
penghentian insulin dan dosis insulin yang kurang.
Ketoasidosis merupakan komplikasi yang cukup serius yang dalam
keadaan darurat dapat menyebabkan kematian. Pada pasien yang
telah diketahui menderita DM, KAD dapat dicurigai bila terdapat
keluhan nyeri perut, muntah- muntah atau malaise. Tetapi pada
pasien yang belum terdiagnosis DM, diagnosisnya akan lebih sulit.
Kriteria penegakan KAD menurut pemeriksaan laboratorium adalah
hiperglikemia (gula darah >11 mmol/L); pH vena <7,3 atau
bikarbonat < 15 mmol/L; ketonemia dan ketonuria (Rustama dkk,
2010).
7.2.2.2. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik (HHNK)
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu
tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu) dengan gejala
khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan
penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10%
kasus (Soewondo, 2009).
7.2.3. Retinopati Diabetik
Kebutaan merupakan komplikasi yang paling ditakuti dari DM, tetapi dapat
dicegah. DM merupakan penyebab utama kebutaan untuk pengidap DM
berumur 30-69 tahun. Dua puluh tahun setelah terjadinya DM, hampir
semua pengidap DM tipe 1 dan lebih dari 60% pengidap tipe 2 akan
mengalami retinopati. Bahkan pada waktu diagnosis DM tipe 2 ditegakkan,
25% pasien sudah menunjukkan tanda-tanda retinopati (Agoes dkk, 2013).
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)
merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Meskipun penyebab
retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor
resiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia
yang diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur
poliol yang merupakan senyawa gula dan alkohol dalam jaringan termasuk
di lensa dan saraf optik, glikasi nonenzimatik yang dapat menghambat
aktivitas enzim dan keutuhan DNA, dan protein kinase C yang diketahui
memiliki pengaruh terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis
membrana basalis dan poliferasi sel vaskular (Pandelaki, 2009).
7.2.4. Nefropati Diabetik
Salah satu komplikasi kronis DM yang dapat dideteksi dini adalah
nefropati diabetik atau disebut juga penyakit ginjal diabetik. Kelainan yang
terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya
mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara
klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan
berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan
dengan pengobatan substitusi (Waspadji, 2009).
7.2.5. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
perifer penderita DM tanpa ada penyebab lain selain DM (setelah dilakukan
eksklusi penyebab lainnya). Neuropati diperkirakan telah ada sekitar 7,5%
pada saat seseorang di diagnosa menderita DM. Studi epidemiologik
menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya kadar gula maka akan
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti
halnya borok kaki dan amputasi.
Neuropati disebabkan oleh gangguan jalur poliol akibat kekurangan insulin.
Pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta
penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel
Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik
akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul
nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan
gangguan motorik yang disertai hilangnya reflex-refleks tendon dalam,
kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer,
saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom.
Neuropati yang menyerang sistem saraf otonom dapat menyebabkan
berbagai manifestasi, bergantung pada area sistem saraf otonom yang
terkena. Neuropati ini dapat mencakup gangguan keringat, fungsi pupil
tidak normal, gangguan kardiovaskular, gangguan gastrointestinal (yang
mengakibatkan disfagia, anoreksia, nyeri uluhati, mual, dan muntah, serta
perubahan kontrol gula darah) dan gangguan genitourinari (LeMone dkk,
2012).
7.2.6. Hipertensi
Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderita DM. Hipertensi merusak pembuluh
darah dan dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan
ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi DM disebabkan oleh
hipertensi. Resiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat
apabila penderita DM juga terkena hipertensi. Beberapa faktor yang terkait
dengan terjadinya hipertensi pada penderita DM antara lain adalah
gangguan ginjal, obesitas dan pengapuran atau penebalan dinding
pembuluh darah (aterosklerosis) (Tandra,2007).
7.2.7. Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita DM daripada orang yang tidak
menderita DM. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak
terasa sama sekali (Ndraha, 2014). Hilangnya sensasi sentuhan dan persepsi
nyeri menyebabkan penderita DM dapat mengalami beberapa tipe trauma
kaki tanpa menyadarinya. Orang tersebut berisiko tinggi mengalami trauma
di jaringan kaki, menyebabkan terjadinya ulkus. Infeksi umumnya terjadi
pada jaringan yang mengalami trauma atau ulkus (LeMone dkk, 2012).
Hampir 40% penderita DM dengan infeksi kaki mungkin memerlukan
amputasi, dan 5-10% akan meninggal meskipun amputasi di daerah terkena
(Black dan Hawks, 2014). Penderita DM berisiko tinggi mengalami
amputasi di ekstremitas bawah, dengan peningkatan risiko pada mereka
yang sudah menyandang DM lebih dari 10 tahun, jenis kelamin pria,
memiliki kontrol glukosa yang buruk, atau mengalami komplikasi
kardiovaskular, retina, atau ginjal (LeMone dkk, 2012).
7.2.8. Penyakit Serebrovaskular
Penyakit serebrovasular, terutama infark aterotromboembolik
dimanifestasikan dengan serangan iskemik transien dan cerebrovascular
attact (stroke), lebih sering dan berat pada penderita DM. Risiko relatif
lebih tinggi pada perempuan, tertinggi pada usia 50 atau 60-an, dan lebih
tinggi pada penderita dengan hipertensi. Pada penderita DM, stroke lebih
serius, kekambuhan, dan angka kematian lebih tinggi, khususnya dengan
DM tipe 2 (Black dan Hawks, 2014)
8. Penatalaksanaan
Tujuan daripada penatalaksanaan diabetes mellitus adalah untuk
meningkatkan tingkat daripada kualitas hidup pasien penderita diabetes mellitus,
mencegah terjadinya komplikasi pada penderita, dan juga menurunkan morbiditas
dan mortalitas penyakit diabetes mellitus. Penatalaksanaan diabetes mellitus dibagi
secara umum menjadi lima yaitu: (PERKENI, 2015)
8.1. Edukasi
Diabetes mellitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan kuat. Keberhasilan pengelolaan diabetes
mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat.Tim
kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku.Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi.Edukasi merupakan
bagian integral asuhan perawatan diabetes.Edukasi secara individual atau
pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan
perilaku yang berhasil. Perubahan Perilaku hampir sama dengan proses
edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi,
dokumentasi, dan evaluasi.
Edukasi terhadap pasien diabetes mellitus merupakan pendidikan dan
pelatihan yang diberikan terhadap pasien guna menunjang perubahan perilaku,
tingkat pemahaman pasien sehingga tercipta kesehatan yang maksimal dan
optimal dan kualitas hidup pasien meningkat. (PERKENI, 2015)
8.2. Terapi Nutrisi Medis (Diet)
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan aktivitas sehari-hari untuk mendapatkan kontrol
metabolik yang lebih baik, mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal, memberikan energi yang
cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadai dan
meningkatkan tingkat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.
Standar dalam asupan nutrisi makanan seimbang yang sesuai dengan
kecukupan gizi baik adalah sebagai berikut : (PERKENI, 2015)
8.2.1. Protein : 10 – 20 % total asupan energi
8.2.2. Karbohidrat : 45 – 65 % total asupan energy
8.2.3. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori, tidak boleh melebihi 30 %
total asupan energi
8.2.4. Natrium : < 2300 mg perhari
8.2.5. Serat : 20 – 35 gram/hari
Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan makanan
dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah diagnosis,serta makanan
yang tidak berbeda dengan teman sebaya atau denganmakanan
keluarga.Jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh disesuaikan dengan
faktor-faktor jenis kelamin, umur, aktivitas fisik, stress metabolic, dan berat
badan. Untuk penentuan status gizi, dipakai penghitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT). Rumus yang dipakai dalam penghitungan adalah IMT =
BB(kg)/TB(m2).(PERKENI, 2015)
8.3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan jasmani dilakukan teratur
sebanyak 3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 - 45 menit, dengan total
kurang lebih 150 menit perminggu. Latihan jasmani dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud
ialahjalan, bersepeda santai, jogging, berenang.(PERKENI, 2015)
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani.Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
sebelum melakukan kegiatan jasmani. Jika kadar glukosa darah <100 mg/dl
pasien dianjurkan untuk menkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu, jika kadar
glukosa darah 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat (tergantung
lama aktifitas dan respons individual).dan jika >250 mg/dl dianjurkan untuk
tidak melakukan aktivitas jasmani.(PERKENI, 2015)
8.4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pola pengaturan makanan
dan latihan jasmani.Terapi farmakologis terdiri dari obat hipoglikemik oral
dan injeksi insulin.Pemberian obat oral atau dengan injeksi dapat membantu
pemakaian gula dalam tubuh penderita diabetes.
8.4.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Golongan sulfonilurea dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe-2, tetapi tidak efektif pada diabetes
tipe-1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan
klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara
merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan
efektivitasnya.Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi
pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya
sendiri. Akarbos bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di
dalam usus.Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada
penderita diabetes tipe-2 jika diet dan oleh raga gagal menurunkan
kadar gula darah dengan cukup.(PERKENI, 2015).
8.4.2. Injeksi Insulin
Terapi insulin digunakan ketika modifikasi gaya hidup dan obat
hipoglikemik oral gagal untuk mengontrol kadar gula darah pada
pasien diabetes.Pada pasien dengan diabetes tipe-1, pankreas tidak
dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin
pengganti.Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan,
insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan
per- oral.Ada lima jenis insulin dapat digunakan pada pasien dengan
diabetes mellitus berdasarkan pada panjang kerjanya. Ada Insulin Kerja
Cepat, Kerja Pendek, Kerja Menengah, Kerja Panjang, dan Campuran.
(PERKENI, 2015)
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Diabetes Mellitus:
1.1. Aktivitas / istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan
Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
Letargi / disorientasi, koma
Penurunan kekuatan otot
1.2. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi
Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda : Takikardia
Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
Nadi yang menurun / tidak ada
Disritmia
Krekels
Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
1.3. Integritas Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain
Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
1.4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
Nyeri tekan abdomen
Diare
Tanda : Urine encer, pucat, kuning : poliuri
1.5. Makanan / cairan
Gejala : Hilang nafsu makan
Mual / muntah
Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
Haus
Penggunaan diuretic (tiazid)
Tanda : Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut).
Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.
1.6. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
1.7. Pernafasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum purulen
(tergantung ada tidaknya infeksi)
Tanda : Lapar udara
Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
Frekuensi pernafasan
1.8. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal; ulkus kulit
Tanda : Demam, diaphoresis
Kulit rusak, lesi / ilserasi
Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak
2. Diagnose Keperawatan
2.1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d gangguan
keseimbangan insulin
2.2. Resiko kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan berlebih, tidak
adekuatnya intake cairan
2.3. Resiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan primer
2.4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat penurunan
produksi energy
2.5. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi,
penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan
kulit.
2.6. Gangguan citra tubuh b/d ekstremitas gangrene
2.7. Resiko cedera b/d penurunan fungsi penglihatan, pelisutan otot.
3. Rencana Tindakan :
2. Evaluasi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA