Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 1: Kerusakan pada Ekosistem Hutan Mangrove

Kerusakan ekosistem mangrove lebih disebabkan oleh akibat kegiatan manusia


(antropogenik) baik secara langsung maupun tidak langsung. Kawasan mangrove
umumnya berada pada pesisir dan keberadaannya terancam oleh kebutuhan
masyarakat yang berada di sekitarnya.

Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi mangrove
yang ada seluas 9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau seluas 4,51 juta hektare rusak sedang
dan 23% atau 2,15 juta hektare dalam kondisi rusak berat. Seperti yang telah
diutarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam
keterangannya ketika membuka Jambore Mangrove di Pantai Depok, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/3).

Di daerah Sumatera Utara yaitu adanya pengalihan fungsi lahan hutan mangrove
menjadi tambak masyarakat dan dikonversi lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti
yang sudah kita ketahui Hutan mangrove atau bakau adalah hutan yang tumbuh di atas
rawa-rawa berair payau, terletak pada garis pantai dan dipengaruhi pasang-surut air
laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak,
maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur
yang dibawanya dari hulu.

Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain :

– Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan


konversi mangrove juga semakin tinggi.

– Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat
sektoral.

– Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu
dianggap daerah yang yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk
pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan
perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai
lahan alternative.

Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove
adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem
mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem
mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas
dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat
mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan tangkapan
perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.
Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung
Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa
nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin
meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal
mangrove.

Degradasi Hutan Mangrove

Dua hal pokok yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove (Kementrian
Kehutanan, 2014) yaitu:

– faktor manusia, faktor ini merupakan faktor yang paling dominan penyebab
kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatn lahan yang berlebihan.

– faktor alam, seperti banjir, kekeringan, hama, terjangan gelombang tsunami dan
lain-lain.
Kelompok 2: Pengelolaan mangrove di Indonesia
Rehabilitasi Mangrove

– Salah satu komponen penting dalam upaya rehabilitasi mangrove adalah


masyarakat pesisir. Masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai peranan
yang sangat penting bagi kelestarian hutan. Pengembangan peran serta
masyarakat diperlukan agar dapat melakukan usaha konservasi hutan mangrove
sehingga terjaga kestabilan ekosistem mangrove tersebut (Anwar, 2007).

 Landasan Hukum: UU no 5 tahun 1990, tentang konservasi sumberdaya hayati


dan ekosistemnya yang menyangkut konsep-konsep integritas ekosistem dan
pemanfaatan lestari

 Untuk pengelolaan kawasan tertentu diatur dengan dasar yang berbeda.

Contoh:

 Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 24 tanggal 18 Juni


1939, tentang penetapan Muara Angke sebagai cagar alam

 Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 667/Kpts-II/1995 dan SK


Menteri Pertanian No. 161/Um/6/1977: tentang penetapan Cagar Alam
Muara Angke Kapuk

Strategi pengelolaan kawasan hutan mangrove


Rancangan teknis pengelolaan:

1. Penataan zona: untuk meminimalkan kerusakan dan melestarikan fungsi


ekologis dan ekonomis kawasan.

2. Reboisasi: penanaman kembali area mangrove dengan tumbuhan yang sesuai

3. Pengembangan mina hutan: pemanfaatan hutan mangrove untuk usaha


perikanan dengan mempertimbangkan kelestarian area tersebut.

4. Pembentukan kelembagaan: perlu dibentuk suatu lembaga yang jelas untuk


menangani kawasan mangrove secara menyeluruh.

1. Penataan zona: Kawasan hutan mangrove dibagi menjadi zona pemanfaatan dan
zona perlindungan (konservasi)

2. Reboisasi:

Mengembalikan mangrove ke kondisi semula (ex. Daerah mangrove yg terdiri dari 80%
tambak dan 20% hutan dirubah menjadi 20% tambak dan 80% hutan)

Kendala program reboisasi:


1. Kedalaman air yang lebih dari 1 m akan menyulitkan penanaman bibit
mangrove. Solusi: bibit mangrove ditanam dalam bambu berisi lumpur yang
ditancapkan ke substrat.

2. Abrasi (tidak adanya lumpur untuk menanam bibit mangrove). Solusi: dipasang
“groin” dari batu atau cerucuk bambu untuk menahan lumpur agar tidak hanyut
ke laut.
Kelompok 3: Teknik Pengambilan Data di Ekosistem Mangrove

Pengumpulan data mengenai vegetasi dilakukan untuk mengetahui kerapatan,


jumlah, dan penyebaran spesies mangrove guna menilai kondisi ekologi dari hutan
mangrove. Pengamatan vegetasi di kawasan hutan mangrove dilakukan dengan cara
mengambil contoh bagian-bagian tumbuhan, mencatat nama daerah, ciri-ciri,tempat
tumbuhnya, yang kemudian diidentifikasi dengan melihat buku petunjuk yang ada,
serta menghitung kerapatannya. Inventarisasi vegetasi menggunakan metode garis
berpetak, dengan arah jalur pengamatan tegak lurus terhadap pantai ke arah darat
(Onrizal, 2008).

Parameter kuantitatif dalam analisis komunitas mangrove adalah sebagai berikut:

• Kerapatan suatu jenis (K) dalam satuan (ind/Ha) dihitung sesuai persamaan

Σ Individu suatu Jenis


K=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

• Kerapatan relative suatujenis (KR) dalam satuan (%) dihitung sesuai persamaan

K suatu Jenis
KR =
𝐾 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

• Frekuensi suatu jenis (F) dihitung sesuai persamaan:

Σ Sub − Petak ditemukan suatu jenis


F=
Σ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏 − 𝑃𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
• Frekuensi relative suatu jenis (FR) dalam satuan (%) dihitung sesuai persamaan:

𝐹 𝑆𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠
FR = × 100%
𝐹 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

Dominansi suatu jenis (D) dalam satuan (m²/ha). D hanya dihitung untuk tingkat pohon
sesuai dengan persamaan:

Luas bidang dasar suatu jenis


D=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

Dominansi relative suatu jenis (DR) dalam satuan (%) dihitung sesuai persamaan:

𝐷 𝑆𝑢𝑎𝑡𝑢 𝐽𝑒𝑛𝑖𝑠
DR = × 100%
𝐷 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
Indeks Nilai Penting (INP) dalam satuan (%) dihitung sesuai persamaan:

Untuk tingkat pohon adalah:

INP = KR + FR + DR

Sedangkan untuk tingkat semai, pancang, dan tumbuhan bawah adalah:

INP = KR + FR

Luas Bidang Dasar (LBD) suatu pohon digunakan dalam menghitung dominansi jenis
dihitung berdasarkan persamaan:

𝜋 ∗ 𝑅2 1
LBD = = 𝜋 ∗ 𝐷2
∑ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑢𝑏 − 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 4

Keterangan:

R : Jari – jari lingkaran dari diameter batang

D : DBH (diameter batang pada ketinggian 1,3 m)

Indeks keanekaragaman Shannon (Shannon’s index) digunakan untuk mengetahui


keanekaragaman jenis di setiap tingkat pertumbuhan dengan rumus (Ludwig dan
Reynold, 1988).

H = - Ʃ (pi In pi) denganpi = (ni/n)

Keterangan:

H : Indeks keanekaragaman Shannon

ni : Jumlah individu suatu jenis ke-I dalam bentuk petak ukur (PU) dan n adalah total
jumlah individu dalam PU

Anda mungkin juga menyukai