Disusun oleh :
Siti Febriyanti
1610711085
E. Triage
Triage adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat kegawatan
kondisinya. Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan keparahan
cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui intervensi medis yang segera.
Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan keahlian setempat. Prioritas yang lebih tinggi
diberikan pada korban yang prognosis jangka pendek atau jangka panjangnya dapat dipengaruhi
secara dramatis oleh perawatan sederhana yang intensif.
Tujuan triage adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan
pertolongan kedaruratan Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien.
Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan.
Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat.
Sistem Triage dipengaruhi oleh:
Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
Denah bangunan fisik unit gawat darurat
Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk mengatasi kondisi
kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asukan keperawatan untuk mengatasi
kecemasan pasien dan keluarga.
Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus memiliki
kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan
pertolongan kedaruratan kepeda pesien.
Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan
sesudah fase keadaan pasien. Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama.
Triage dalam keperawatan gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian keperahan penyakit
atau cidera dan menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas perawatan kesehatan yang
efisien dan sumber-sumbernya.
Standart waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit untuk orang dewasa
dan 7 menit untuk pasien anak-anak.
Triase di lakukan oleh perawat yang profesional (RN) yang sudah terlatih dalam prinsip triase,
pengalaman bekerja minimal 6 bulan di bagian UGD, dan memiliki kualisifikasi:
Menunjukkan kompetensi kegawat daruratan
Sertifikasi ATLS, ACLS, PALS, ENPC
Lulus Trauma Nurse Core Currikulum (TNCC)
Pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen
Keterampilan pengkajian yang tepat, dll
Rangkaian praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang
kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat.
Proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit (berdasarkan yang
paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan
gawat darurat medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan).
Tindakan ini berdasarkan Prioritas ABCDE yang merupakan proses yang sinambung
sepanjang pengelolaan gawat darurat medik.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Hitam : Korban yang telah meninggal dunia.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta
tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera
torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat,
luka bakar berat).
Merah (Kondisi berat) : Korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera
(Gangguan ABCD) dan korban-korban dengan :
- Syok oleh berbagai kausa Gangguan pernafasan (sumbatan jalan napas atau
distress napas)
- Hipotensi
- Trauma kepala dengan pupil anisokor
- Perdarahan eksternal masif
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang
kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat.
Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa
shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Kuning (Kondisi Sedang): Korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi
perawatan dapat ditunda sementara. Termasuk :
- Korban dengan resiko syok
- Fraktur multipel
- Fraktur Femur/ pelvis
- Luka bakar luas
- Gangguan kesadaran/ trauma kepala
- Trauma tumpul thorak/abdomen tanpa shock, tanpa sesak
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien dengan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Hijau (kondisi ringan) : Kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau
pemberian pengobatan dapat ditunda, seperti :
- Fraktur minor
- Luka minor.
F. Proses pengkajian
Keberhasilan dalam penanggulangan penderita Gawat Darurat (PPGD) sangat bergantung
dari kecepatan dan kualitas pertolongan yang didapat penderita. Disini harus selalu diingat bahwa
:
1. Kematian oleh karena sumbatan jalan nafas akan lebih cepat daripada kematian karena
kemampuan bernafas.
2. Kematian oleh karena ketidakmampuan bernafas akan lebih cepatdaripada kematian
karena kehilangan darah.
3. Kematian berikutnya akan diikuti oleh karena penyebab intra kranial.
Karena itu dalam PPGD apapun penyebabnya urutan pertolongan adalah sebagai berikut :
A : Air way, with cervical spine control
B : Breathing and Ventilation
C : Circulation with haemorrhage control
D : Disability on neurologic status
E : Exposure/Undress with temperature control
1. Airway management
Ketidakmampuan untuk memberikan oksigenasi ke jaringan tubuh terutama ke otak dan
organ vital yang lain merupakan pembunuh tercepat pada pasien. Oleh karena itu airway
yang baik merupakan prioritas pertama pada setiap penderita gawat darurat.
Kematian-kematian dini karena masalah airway :
- Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
- Ketidakmampuan untuk membuka airway
- Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
- Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
- Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
- Aspirasi isi lambung, darah
Gangguan airway dapat timbul secara total & mendadak tetapi sebaliknya bisa secara
bertahap dan pelan-pelan. Takhipnea merupakan tanda awal yang samar-samar akan
adanya gangguan terhadap airway. Adanya ketakutan & gelisah merupakan tanda hipoksia
oleh karena itu harus selalu secara berulang-ulang kita nilai airway ini terutama pada
penderita yang tidak sadar. Penderita dengan gangguan kesadaran oleh karena cidera
kepala obat-obatan atau alkohol, cedera toraks, aspirasi material muntah atau tersedak
mungkin sekali terjadi gangguan airway. Disini diperlukan intubasi endotrakheal yang
bertujuan :
1) Membuka airway
2) Memberikan tambahan oksigen
3) Menunjang ventilasi
4) Mencegah aspirasi
Management
Pengenalan adanya gangguan jalan nafas & ventilasi harus bisa dilakukan secara cepat &
tepat. Bila memang ada harus secepatnya gangguan jalan nafas dan ventilasi ini untuk
segera diatasi. Hal penting ini untuk menjamin oksigenasi ke jaringan. Haruslah diingat
setiap tindakan untuk menjamin airway yang baik harus selalu dengan penekanan untuk
selalu menjaga cervical spine terutama pada penderita dengan trauma dan cedera di atas
clavikula. Pada setiap penderita dengan gangguan saluran nafas, harus selalu secara cepat
diketahui apakah ada benda asing, cairan isi lambung, darah di saluran nafas bagian atas.
Kalau ada harus segera dicoba untuk dikeluarkan bisa dengan jari, suction. Suatu saat bila
dilapangan ada penderita dengan sumbatan jalan nafas misal tersedak makanan abdominal
trust akan sangat berguna.
1) Teknik-teknik mempertahankan airway :
Pada penderita dengan kehilangan kesadaran mungkin sekali lidah akan jatuh ke
belakang dan menutupi hipofarink dan menimbulkan sumbatan jalan nafas. Ini bisa
ditolong dengan jalan :
a. Chin lift
b. Jaw thrust
c. Orofaringeal tube
d. Nasofaringeal tube
2) Airway definitive
Disini ada pipa dalam trakhea dengan balon yang dikembangkan, dimana pipa ini
dihubungkan dengan alat bantu pernafasan yang diperkaya dengan oksigen. Cara :
oratracheal, nasotracheal & surgical (krikotiroidotomi atau trakheotomi). Indikasi
pemasangan airway definitif bila ditemukan adanya temuan klinis :
a. Apnue
b. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara yang lain
c. Untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau muntahan
d. Adanya ancaman segera sumbatan airway oleh karena cidera inhalasi patah tulang
wajah hematoma retropharyngeal
Cidera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas (GCS ≤8). Dari ketiga cara ini
yang terbanyak dipakai adalah endotrakheal (naso/orotrakheal). Pemilihan
naso/orotrakheal intubation tergantung pengalaman dokter. Kedua teknik ini aman dan
efektif bila dilakukan dengan tepat. Haruslah diingat pada pemasangan endotrakheal
tube ini harus selalu dijaga aligment dari columna vertebralis dengan cervikal.
3) Airway definitif surgical
Ini dikerjakan bila ada kesukaran atau kegagalan didalam memasang endotrakheal
intubasi. Pada keadaan yang membutuhkan kecepatan lebih dipilih krikotireodektomi
dari pada tracheostomi.
a. Needle cricothyroidoktomi
Cara dengan menusukkan jarum lewat membran krikotiroid, ini hanya bisa
memberikan oksigen dalam waktu yang pendek (30-45 menit). Disini dipakai jarum
no 12-14 (anak 16-18 tahun)
b. Surgical cricothyroidoktomi
Penderita tidur posisi supinasi sesudah dilakukan anestesi lokal buat irisan kulit
tranversal sampai membran cricothyroid lubang ini bisa dilebarkan dengan gagang
pisau dengan cara memutar 90 derajad. Disini bisa dipakai tracheostomi tube atau
endotracheal tube. Hati-hati dengan cartilago cricoid terutama pada anak-anak
(teknik ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 12 tahun), hal ini dikarenakan
cartilago cricoid merupakan penyangga trachea bagian atas. Komplikasi :
a) Aspirasi
b) Salah masuk ke dalam jaringan
c) Stenosis/oedema subglotis
d) Stenosis laryngeal
e) Perdarahan/hematom
f) Laserasi esophagus
g) Laserasi trachea
h) Emphisema mediastinal
i) Paralisis pita suara
5. Exposure
Disini semua pakaian pasien dibuka. Hal ini akan sangat membantu pemeriksaan lebih
lanjut. Harus diingat disini pasien dijaga agar tidak jatuh ke hipotermia dengan jalan
diberikan selimut.
G. Secondary survey
Dikerjakan bila primary survey dan resusitasi selesai dilakukan. Disini dilakukan evaluasi
yang lebih teliti mulai dari kepala sampai ujung kaki penderita, juga GCS bisa dikerjakan lebih
teliti bila pada primary survey belum sempat dikerjakan. Pemeriksaan laboratorium, evaluasi,
radiologi dan peritoneal lavage bisa dikerjakan.
Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan
V - vocalises, tidak sesuai, atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti
P - responds to pain only
U - unresponsive to pain, pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus verbal
.
Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe/
kepala sd kaki, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi
pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai
membaik.
1) Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
- keluhan utama
- riwayat masalah kesehatan sekarang
- riwayat medis
- riwayat keluarga
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien,
jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali
melihat kejadian.
Anamnesis harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
A : Alergi. Adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan
M: Medikasi/obat-obatan. Obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan:
- Hipertensi
- Kencing manis,
- Jantung
P : Pertinent medical history. Riwayat medis pasien seperti
- Penyakit yang pernah diderita,
- Obatnya apa,
- Berapa dosisnya,
- penggunaan obat-obatan herbal
L : Last meal
- Obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi
- Dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian
- Periode menstruasi termasuk dalam komponen ini
E : Events
- Hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
- Kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama
Akronim PQRST digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
Provokes/palliates :
- Apa yang menyebabkan nyeri?
- Apa yang membuat nyerinya lebih baik?
- Apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk?
- Apa yang anda lakukan saat nyeri?
- Apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
Quality :
- Bisakah anda menggambarkan rasa nyeri? (biarkan pasien mengatakan dengan
kata2 sendiri)
- Apakah seperti:
a) Diiris
b) Tajam
c) Ditekan
d) Ditusuk tusuk
e) Rasa terbakar
f) Kram
g) Kolik
h) Diremas
Radiates:
- Apakah nyerinya menyebar?
- Menyebar kemana?
- Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity :
- Seberapa parah nyerinya?
- Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time :
- Kapan nyeri itu timbul?
- Apakah onsetnya cepat atau lambat?
- Berapa lama nyeri itu timbul?
- Apakah terus menerus atau hilang timbul?
- Apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?
- Apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda
vital. Tanda tanda vital meliputi
- Suhu
- Nadi
- frekuensi nafas
- tekanan darah
- saturasi oksigen
- berat badan
- skala nyeri
2) Pemeriksaan fisik
Kulit kepala
- Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah
di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
- Inspeksi dan palpasi adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala
Wajah
- Inspeksi kesimterisan kanan dan kiri.
- Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit
Mata :
- Periksa kornea ada cedera atau tidak,
- Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor
- Bagaimana reflex cahaya
- Apakah pupil miosis atau midriasis
- Adanya ikterus
- Ketajaman mata
- Konjungtivanya anemis
- Rasa nyeri
- Gatal-gatal
- Ptosis
- Exophthalmos
- Subconjunctival perdarahan
Hidung :
- Perdarahan
- Nyeri
- Penyumbatan penciuman
- Apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
Telinga :
- periksa adanya nyeri
- tinnitus
- pembengkakan
- Penurunan / hilangnya pendengaran
- Periksa dengan senter keutuhan membrane timpani / adanya hemotimpanum
Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
Mulut dan faring :
- Inspeksi mucosa
- Tekstur
- Warna
- Kelembaban
- Lesi
- Amati lidah
- Pegang dan tekan daerah pipi, rasakan apa ada massa/ tumor pembengkakkan dan
nyeri
- Amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis)
- Palpasi adanya respon nyeri
Vertebra servikalis dan leher
- Periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa ,
- Kaji keluhan disfagia (kesulitan menelan), suara serak, cedera tumpul atau tajam,
deviasi trakea
Toraks
Inspeksi:
- Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
- Adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral,
- Frekuensi dan irama denyut jantung,
Palpasi:
- Adanya trauma tajam/tumpul
- Emfisema subkutan
- Nyeri tekan
- Krepitasi
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi:
- suara nafas tambahan (ronki, wheezing)
- bunyi jantung (desah, gallop)
Abdomen
- Cedera intra-abdomen kadang luput terdiagnosis misalnya
- Pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran,
- Fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan
gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
- Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang,
- Adanya trauma tajam, tumpul
- Adanya perdarahan internal
- Adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, ecchymosis,
bekas luka
- Auskultasi bising usus
- Perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan)
- Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler, nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil.
- Bila ragu perdarahan intra abdominal > USG
- Perforasi organ berlumen mis usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan
segera > memerlukan re-evaluasi berulang kali
- Transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
Pelvis (perineum/rectum/vagina)
- Diperiksa adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan
perdarahan uretra.
- Colok dubur dilakukan sebelum memasang kateter uretra.
- Diteliti kemungkinan adanya darah dari rectum, prostat, fraktur pelvis, utuh
tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani.
- Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam
vagina atau laserasi,
- Jika terdapat perdarahan vagina dicatat
- Karakter dan jumlah kehilangan darah dilaporkan
- Lakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur
- Pasien dengan keluhan kemih ditanya, rasa sakit atau terbakar dengan buang air
kecil
- Frekuensi
- sampel urin dianalisis
Ektremitas
- Pemeriksaan look-feel-move
- inspeksi, memeriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka)
- Pelapasi, memeriksa denyut nadi distal dari fraktur punggung
- Perdarahan
- Lecet
- Luka
- Hematoma
- Ecchymosis
- edema
- nyeri
- pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
Neurologis
- pemeriksaan tingkat kesadaran
- ukuran dan reaksi pupil
- pemeriksaan motorik dan sendorik
- GCS
- paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer
- Imobilisasi penderita dgn kolar servikal
- imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal
- inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan)
- distaksia ( kesukaran mengkoordinasi otot)
- vertigo dan respon sensor
Daftar Pustaka
Ns. Paula Kristanty, Skep, MA ,dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. 2009. CV. Trans Info
Media : Jakarta