Anda di halaman 1dari 5

Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan

perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan. Menurut keputusan
Direktur Jenderal Bina Marga No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999 yang dimaksud dengan
trotoar adalah bagian dari jalan raya yang khusus disediakan untuk pejalan kaki yang terletak didaerah
manfaat jalan, yang diberi lapisan permukaan dengan elevasi yang lebih tinggi dari permukaan
perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan.[1]

Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka
mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen
lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa
menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan trotoar.

Perlu tidaknya trotoar dapat diidentifikasikan oleh volume para pejalan kaki yang berjalan dijalan, tingkat
kecelakaan antara kendaraan dengan pejalan kaki dan pengaduan/permintaan masyarakat.

Jika merujuk pada acuan buku standar No. 011/T/Bt/1995 tentang Tata Cara Perencanaan Fasilitas
Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR), pembangunan trotoar harus memenuhi beberapa kriteria. Kriteria tersebut dijelaskan
dalam poin 2 tentang Fasilitas Pejalan Kaki:

Trotoar

1). Trotoar dapat direncanakan pada ruas jalan yang terdapat volume pejalan kaki lebih dari 300 orang
per 12 jam (jam 6.00 - jam 18.00) dan volume lalu lintas lebih dan 1000 kendaraan per 12 jam (jam 6.00
-jam 18.00).

2). Ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 meter dan kedalaman bebas tidak kurang dari satu meter
dan permukaan trotoar. Kebebasan samping tidak kurang dan 0,3 meter. Perencanaan pemasangan
utilitas selain harus memenuhi ruang

bebas trotoar juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam buku petunjuk pelaksanaan
pemasangan utilitas.

3. Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada. Lebar minimum trotoar sebaiknya
seperti yang tercantum dalam tabel 2 sesuai dengan klasifikasi jalan.
Lebar Trotoar Cikini Diprotes Ferdinand, Begini Aturan Standar Soal TrotoarFoto: dok Kementrian PU

Bahkan, dalam Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 02/SE/M/2018, dijelaskan pula soal teknis
perhitungan lebar trotoar. Lebar efektif lajur pejalan kaki berdasarkan kebutuhan satu orang ialah 60 cm
dengan lebar ruang gerak tambahan 15 cm, tanpa membawa barang. Maka kebutuhan total minimal dua
pejalan kaki saat bergandengan tangan atau berpapasan minimal 150 cm.

hare : Copy Link

BREAKING NEWS

TONTON LIVE STREAMING FINAL BWF TOUR FINALS: ANTHONY GINTING VS KENTO MOMOTA DI
VIDIO.COM PKL 13.00 WIB

HomeOtomotifTips & Trik

Ingat, Alasan Sepeda Motor Wajib Menyalakan Lampu di Siang Hari

Oleh Herdi Muhardi pada 29 Jan 2018, 20:30 WIB

Sistem Ganjil Genap Sepeda Motor

Liputan6.com, Jakarta - Pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama saat di siang hari.
Namun demikian, aturan yang telah tercatat di Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan ini nyatanya masih sering diabaikan.

Oleh karena itu, akun Instagram Satlantas Polres Berau, Kalimantan Timur @satlantasberau kembali
mengingatkan mengapa pentingnya menyalakan lampu kendaraan di siang hari.
Karena itu, salah satu fungsi menyalakan lampu di siang hari adalah agar pengendara mobil atau motor
yang melihat spion hanya dalam waktu singkat bisa mendeteksi atau menyadari kendaraan lain dari
pantulan lampu utama.

“Sehingga pengendara yang melihat kita akan bisa melakukan antisipasi agar tidak kecelakaan,” tulis
akun @satlantasberau.

Jika Anda tidak menyalakan lampu utama di siang hari, maka itu telah melanggar Pasal 293 ayat (2) jo
Pasal 107 ayat (2) UU No 22 tahun 2009 tentang LLAJ, yang berbunyi; Pengendara sepeda motor yang
tidak menyalakan lampu utama pada siang hari didenda dengan denda maksimal Rp 100.000,-

Pada dasarnya aturan ini bukan salah satu yang dipastikan Anda akan aman selama berkendara. Hanya,
aturan ini dapat meminimalisir resiko kecelakaan sepeda motor yang tidak terlihat menjadi lebih kecil
dan akhirnya diharapkan mampu menekan angka kecelakaan sepeda motor.

Walaupun begitu, dia menilai kebijakan tersebut perlu dilakukan saat ini mengingat kondisi Jakarta
dengan kepadatan lalu lintas dan polusi udara yang tinggi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sarannya
perlu mempercepat program kebijakan lain yang lebih permanen, misalnya sistem jalan berbayar
elektronik atau electronic road pricing (ERP). ”Program ERP itu kan dibuka untuk semua pengguna
kendaraan bermotor yang berbayar jadi tidak dibatasi nomor plat mobilnya,” tambah Sani.

Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Komisi E Bidang Kesra DPRD DKI Jakarta Ramly HI Muhammad,
juga berpendapat serupa soal efektivitas penerapan kebijakan perluasan ganjil-genap. ”Tidak akan
efektif, justru kasihan itu pemprov, nanti masyarakat tidak respek dan kecewa, tidak akan menurunkan
polusi,” kata Ramly.

Dia menambahkan bahwa kebijakan tersebut terkesan tergesa-gesa dan memaksakan masyarakat untuk
mengikuti pola angkutan DKI Jakarta untuk menyimpan kendaraan pribadi di rumah dan menggunakan
angkutan umum untuk pergi bekerja. ”Tapi bisa jamin tidak masyarakat naik angkutan umum untuk
bekerja bisa sampai tepat waktu di tempat kerja? Jangan sampai begitu, harus dikaji juga, harus pikirkan
rakyat,” tegasnya.

Kinerja pengelolaan atau manajemen mudik dapat diukur melalui tujuh indikator, yaitu:
Ketersediaan logistik (sembako, uang kontan, BBM, dll.).

Kesiapan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan, stasiun KA, terminal, telekomunikasi, dll.).

Ketersediaan moda transportasi umum (kereta api, pesawat terbang, kapal laut, bis, dan taksi).

Kesiapan aparat terkait, termasuk koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

Crisis center (layanan keluhan masyarakat, dll.).

Keamanan dan keselamatan.

Stabilisasi harga (termasuk harga tiket transportasi).

Manajemen mudik oleh pemerintah telah berjalan semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari
ketersediaan logistik dan infrastruktur untuk arus mudik, regulasi untuk angkutan barang, dan berbagai
hal lainnya yang dipersiapkan oleh pihak-pihak terkait.

Berkaitan dengan kemacetan tersebut, pengaturan lalu lintas, khususnya mengenai kemacetan, telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Menteri Perhubungan (Permenhub) mengenai
Rekayasa Lalu Lintas (PP 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan) yang disempurnakan dengan
UU 22/2009 dan PP 32/2011. Kemudian peraturan ini dilengkapi lagi dengan pedoman pelaksanaan
melalui Permenhub 96/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas.

Pembenahan Rekayasa Lalu Lintas

Berdasarkan PP 32/2011, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas
perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung, dan memelihara keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.

Dalam kenyataannya, setelah 23 tahun sejak terbitnya PP 43/1993, kemacetan selalu menjadi
permasalahan yang rutin ditemui khususnya pada saat mudik dan berbagai pihak menjadikan hal ini
sebagai bahan untuk menyalahkan pemerintah tanpa berupaya memberikan solusi. Manajemen dan
rekayasa lalu lintas masih sebatas “mengurai kemacetan” bukan “mencegah kemacetan”. Hal ini terlihat
dari pelaksanaan konsep “buka tutup jalan” selama ini, misalnya saat liburan di daerah Puncak Bogor,
Jawa Barat, dan saat arus mudik di daerah Nagreg, Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai