Anda di halaman 1dari 10

CERPENKU-BY JAUZA NAHDA

Persembahan Setangkai Senyuman (Bagian I)

Jumat pagi, nampak langit tak bersahabat, gerimis yang menetes satu-satu tak
menjanjikan bahwa hari ini akan cerah.

“Pagi Ummi” kumenyapa dengan suara yang agak serak, maklum semalam harus
begadang untuk menyelesaikan tugas kuliah yang terbengkalai.

Terlihat ummiku agak khawatir melihat wajahku yang sedikit pucat, “Nay, kamu kan
baru keluar dari rumah sakit, loh ini kok mau masuk kuliah, harusnya istirahat dulu
beberapa hari di rumah”

“Alhamdulillah Ummi, saya udah agak sehat kok.. lagipula minggu depan sudah ujian
semesteran, nanti terlalu banyak ketinggalan kuliah”

“Yah sudah, tapi hati-hati nak, jaketnya jangan dilepas di luar dingin” ummi
menggelengkan kepala. seraya mengingatkan.

Setelah meneguk segelas susu, kuraih tangan ummi dan menciumnya seraya
mengucapkan salam.

Dibaluti mantel hitam kuberlari menyusuri gerimis yang tak pernah diam. Hari ini
sebelum ke kampus, niatku harus mengunjungi sebuah tempat. Lama rasanya tidak
melihat sosok itu.

Akhirnya tiba juga di sebuah rumah sakit, jaraknya tidak terlalu jauh dari hunianku.
Dari jauh dapat kulihat wajah itu, dengan balutan jilbab biru bermotif pita, nampak ayu
meski Allah telah mengambil kedua penglihatan dan juga kakinya, dan kini hanya diam
dalam kursi rodanya, ditemani seorang perawat.

“Assalamu alaikum. mbak” sapaku seraya menunduk dan menggenggam tangannya


yang terasa dingin bagiku.

“walaikum salam, dek Naya, alhamdulillah udah sehat yah, kangen rasanya mbak sama
kamu” wajahnya terlihat bahagia dengan kedatanganku.

“Iya alhamdulillah mbak sudah baikan, saya juga sangat kangen sama mbak” jawabku
sambil memeluknya erat. Beliau adalah seorang senior di kampusku, bernama Nur
Amanah. Dahulu sebelum kecelakaan itu merenggut kedua matanya, beliau adalah sosok
yang sangat periang tetapi kini kebanyakan diam. Beliau sangat banyak membantuku
dalam segala hal, mulai dari mengerjakan tugas-tugas kuliah, memberikan nasehat
sampai ke masalah pribadi. Bagiku beliau tak hanya sebagai seorang sahabat namun
juga kakak, terlebih lagi saya seorang anak tunggal yang kadang merasa kesepian.
Yang paling membuatku merasa bersalah, mungkin sayalah penyebab kecelakaan yang
dialaminya. Seharusnya bukan beliau yang menaiki mobil itu tapi saya. Semua bermula
saat sebuah LSM di luar kota mengundangku menjadi pembicara dalam seminarnya.
Namun hari itu, penyakit asmaku kambuh lagi hingga harus dirawat di rumah sakit. Dan
akhirnya karena permintaanku sehingga mbak Nur bersedia menggantikanku. Naasnya,
mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dan akhirnya beliau menjadi buta
sekarang… ya Allah, mestinya aku yang berada di posisinya bukan dia…

“Takkan ada yang bisa mengelak dari takdir, semua ini kehendakNya, manusia bisa apa
dek, mungkin ini ujian bagi mbak dari gusti Allah agar mbak menjadi orang yang lebih
bersabar dan ikhlas.. itu yang selalu diucapkannya seketika kambuh rasa penyesalanku.

Tak berapa lama kami mengobrol, tiba-tiba datang seorang ikhwan dengan baju koko
berwarna putih, paras yang nampak bijak dan ramah.

“Assalamu alaikum” dia menyapa dengan senyum tipis dan nada yang sangat ramah
seakan menunjukkan kepribadiannya yang lembut”

“Walaikum salam, mas Arkan, Alhamdulillah kebetulan mas ada disini, mungkin Allah
meredhai niatku ini, kenalkan ini akhwat yang saya ceritakan kepada mas, Inayah”
terlihat senyuman tulus tergambar di wajah ayu mbak Nur.

“Assalamu alaikum, oh jadi ini yang namanya dek Naya”


“Walaikum Salam” kujawab salamnya diiiringi perasaan heran, ada apa sebenarnya
yang terjadi ini.. dan ikhwan ini siapa..???

“Nay, sebenarnya ini calon mbak, kami sebenarnya sudah berniat menikah bulan depan,
namun Allah berkehendak lain.. Seraya wajah mbak Nur nampak merunduk…

Dalam hati aku terus mengutuk diriku sendiri, lalu dengan menghirup nafas panjang
kusela, “lalu mbak…”

“Keadaan mbak yang seperti ini tidak memungkinkan mbak menjadi seorang mempelai
wanita apalagi seorang istri nantinya” beliau menghela dengan senyuman terlihat tulus..
lalu melanjutkan kata-katanya “Nay, mbak sangat mengharap kamu yang menjadi
mempelainya menggantikan mbak..”

Mendengar kata-kata itu serasa jantungku berdetak sangat kencang mungkin melebihi
kuda yang berpacu.

“Mbak ini ngomong apa, itu nggak mungkin, saya sudah merebut kesempurnaan fisik
mbak karena kecelakaan itu dan sekarang harus kembali mengambil kebahagiaan mbak
dengan menjadi mempelai bagi calon mbak. Ucapku dengan nada yang agak tinggi
karena diliputi rasa bersalah, hingga tak terasa air mata pun mengalir. Dari jauh kulihat
ikhwan itu hanya bisa diam menyaksikan perdebatan kami.
“Mbak tidak memaksa kamu, mbak hanya berharap dan meminta, karena mbak yakin
kamulah satu-satunya akhwat yang paling cocok untuk mas Arkan. Mbak sayang sama
kamu seperti adik sendiri, lagipula jarang ditemui sosok pria seperti mas Arkan, beliau
seorang dokter sekaligus ketua salah satu organisasi islam, insya Allah dia akan
menjadi imam yang baik untuk kamu. Tadinya orang tua mas Arkan telah menjodohkan
kami, karena masih ada hubungan kerabat, namun dengan keadaan mbak yang cacat,
mbak tidak mau mengecewakan mas Arkan dan orang tuanya.”

Setelah berhenti sejenak, Mbak Nur pun melanjutkan kata-katanya, “Mas Arkan sudah
setuju kok, mbak sudah banyak menceritakan tentang kamu, kamu cantik, cerdas, dan
seorang aktivis Nay, insya Allah dapat menjadi istri yang terbaik untuknya, lagipula
kalian bisa ta’aruf dulu saling mengenal lagi, iya kan mas?

Dengan wajah yang tenang ikhwan tersebut bertutur “Insya Allah jika ini jalan yang
ditunjukkan oleh-Nya, saya pasti redha”

‘Tapi, berikan Nay kesempatan tuk berfikir dulu mbak seraya istikharah moga gusti
Allah memberi petunjuk, Nay kalo begitu pamit dulu ke kampus ada kuliah pagi,
Assalamu alaikum, ucapku dengan perasaan galau seraya berpamitan.”

Tak lama kemudian ikhwan yang berwajah tenang itu pun berpamitan pulang juga,
seraya mengucapkan salam dan senyuman tipis, ia pun berlalu dengan mobil BMW
berwarna putih…

Akupun bergegas ke kampus, dengan menaiki angkot merah yang berhenti tepat di depan
rumah sakit.

Sepanjang mengikuti perkuliahan Pak Hendri, rasanya konsentrasiku kacau balau bak
daun-daun berhamburan di tanah. Waktu istirahat siang pun menjelang, di sudut kantin
kampus kumenyendiri dengan sengaja sesekali teman menegur sapa. Dari jauh kulihat
sosok seseorang yang sangat kukenal, kemeja biru dengan kacamata yang dikenakannya
membuatnya terlihat sangat rapi dan nampak sebagai seorang yang jenius.

“Assalamu alaikum, dek Nay, alhamdulillah senang rasanya mas melihatmu sehat
begini, kamu ” sapa mas Raihan seraya tersenyum dengan dua lesung pipi bak bunga
merekah.

Mas Raihan adalah salah seorang dosen di kampusku yang usianya masih terbilang
muda, kebetulan kami sudah kenal lama sejak masih kecil bahkan sangat akrab dengan
keluargaku, maklum ibu dari mas Raihan adalah sahabat ummiku semasa SMA dulu, jadi
mereka sekeluarga sering silaturrahmi ke rumah.

“Walaikum salam, mas” sapaku dengan nada suara yang lemas. Sebenarnya mas Raihan
orangnya baik dan pengertian,, bahkan kami sangat dekat layaknya adik dan kakak,
namun setelah hari itu entahlah kenapa hatiku menjadi risih bila bertemu dengannya.
Masih teringat sebulan lalu, bertepatan dengan usiaku yang menginjak 22 tahun, mas
Raihan memberiku hadiah sebuah jam tangan dengan mengikutkan sebuah surat
berwarna pink, layaknya surat cinta, ternyata benar itu memang surat cinta dengan
kata-kata ala pujangga.

“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”

Demi Allah yang menggerakkan lisanku ini,


Demi Allah yang menghadirkan perasaan ini,
Dan karena Allah jua kunyatakan bahwa
ada sebuah keindahan yang selama ini menghuni relungku,
Pesona kesalihannya seakan menggetarkan dawai imanku,
Dari sebuah hasrat yang telah lama terpendam,
Kini kuingin menyatakan engkaulah keindahan itu..”
Yah.. kutahu mungkin terlalu cepat mengungkapkannya
Tapi bagiku terlalu lama menyimpan gundah ini,
Meski hanya sepucuk surat,
Aku ingin meminang keindahan itu,
Menjadi bidadari dunia akheratku”

Insya Allah, jika adik bersedia,


tolong berikan jawaban secepatnya,
Insya Allah, secepatnya pula Ummi dan Abi
akan segera menyunting adik
Sebagai pendamping mas,
dan Alhamdulillah orang tua kita sudah merestui”
Semoga Allah meredhai niat hati ini,

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,”

Sebulan berlalu, aku belum memberi jawaban apapun kepada mas Raihan. Bagaimana
mungkin orang yang selama ini kuanggap sebagai kakak dan akupun tidak memiliki
perasaan apapun kepadanya, dan sekarang dia ingin menyuntingku… Allahu akbar, ya
Allah cobaan apalagi ini...”

“Kenapa dek, kok sepertinya lagi ada masalah, cerita saja siapa tahu mas bisa bantu ?”
sela mas Raihan seakan menyentakkan lamunanku.

“Gak ada apa-apa mas, mungkin Cuma lemas aja karena baru keluar dari rumah sakit”
Ujarku seraya mengotak-ngatik HP. Belum sempat berbincang lama, tiba-tiba bunyi
sms ku berdering.

“Mas, Nay permisi dulu, ada sms dari teman, disuruh menghadap dosen, assalamu
alaikum” Jawabku, sambil berlalu dari hadapan Mas Raihan dengan perasaan yang
sedikit kusut, namun tetap kucoba tersenyum di hadapannya.
“Walaikum salam, hati-hati dek” Ujarnya dengan nada yang terdengar khawatir.

Aku pun berlalu, menyusuri tangga demi tangga di lantai kampus… seraya otakku tak
henti berfikir, hidup ini ibaratnya pun seperti tangga, harus menyusuri lantai yang licin
dan rasa letih seketika harus melangkahkan kaki satu per satu, semua demi mencapai
tujuan, ternyata hidup memang butuh kesabaran ekstra bukan mengeluh…”

(Bersambung)
Cinta Seorang Muallaf (Bagian I)

Malam yang sunyi menunjukkan pukul 02.00, seperti biasanya Syah terbangun untuk
mengerjakan tahajjud, sebuah rutinitas yang tak hanya menjadi kebutuhan tapi bukti
cinta seorang hamba kepada Rabbinya.

Seusai sujud panjangnya, terlantun kalimah-kalimah dzikir yang memecah kesunyian di


ruang kamarnya, seakan berpacu dengan detakan sang waktu yang tak pernah diam.
Berkeluh kesah kepada Pemilik Jiwa, satu-satunya tempat untuk mengadu dan yang kan
memberi jalan keluar bagi hambaNya.

Doa pun dipanjatkan, linangan air mata trus mengalir membasahi sajadah berwarna
merah, sepertinya ada rasa galau yang luar biasa di dalam hatinya.

“Ya Allah, Sepanjang usiaku telah bermaksiat kepada-Mu,


Dahulu ketika kumenjadi seorang yang syirik dunia mendekatiku,
Tapi kini mengapa ya Allah ketika ku menjadi abdi di jalanMu,
Mereka menjauhiku…

Kedua orang tua tak merestui agamaku dan mengusirku dari rumah,
Dan Aku lebih memilih-Mu,
Teman-teman nonmuslim yang dulu seagama
Mejauhiku mencapku pengkhianat,
Bahkan beberapa teman-teman yang mengaku muslim, tak henti mengejekku,
Karena menganggap aku tak pantas menjadi penganut agama mereka,
Karena aku dahulu seorang yang kufur dan penuh maksiat,
Bahkan sebagian tak percaya menganggap taubatku hanya tipu muslihat,
Kutahu ya Allah, dahulu aku memang pernah mengajak seseorang
untuk murtad dari agamaMu…kuperdaya mereka dengan iming-iming
bahwa agama yang dahulu kuanut lebih benar dari agama mereka bahkan dengan
sogokan materi”
Astaghfirullah… Astaghfirullah, tak hanya itu pernah itu berbagai barang haram telah
menyatu di darahku, narkoba, miras, diskotik, dan kehidupan hura-hura lainnya,
ya Allah ampunilah dosaku,
Sesungguhnya hambaMu ini terlalu hina.. yang mungkin memang tak pantas
untuk diampuni, namun Engkau Maha Tahu ya Allah,
Ikhlasku menjadi hambaMu dan besarnya cintaku sekarang padaMu,
kuharap menjadi tetesan penyuci hati dan ragaku..
Jadikanlah diri ini istiqomah di jalanMu,
dan sabar terhadap prasangka saudara-saudaraku,
Ya Allah, bantulah hamba untuk bisa membuktikan
Kutak seperti yang mereka kira,
dan membuktikan cintaku pada agama-Mu,
(Amin yaa Robbal ‘alamin)
Setelah mengusap kedua wajahnya yang nampak memerah dengan tangis yang terus
bergemuruh, tiba-tiba terdengar suara Ummi Asiyah yang mengetuk-ngetuk pintu
kamarnya. Beliau adalah wanita separuh baya, seorang janda yang tinggal sendiri.
Sebenarnya, Ummi memiliki seorang putra yang mungkin usianya tak jauh dari Syah,
tapi kini sedang melanjutkan pendidikan di Al Azhar Mesir. Sebulan lalu Ummi mengajak
Syah tinggal bersamanya, dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Ummi Asiyah
seorang Ustadzah dan aktivis LSM, lewat beliaulah Syah belajar ilmu agama, bahkan
perantaraan beliau Syah menjadi seorang muallaf. “Natasyah Valentina” namanya
sebelum hijrah ke islam, dan sekarang berganti “Anisah syahidah, artinya seorang
wanita yang syahid, kata Ummi nama adalah sebuah doa, semoga nama ini
mengantarkan dirinya menjadi wanita mulia, itu fikirnya, insya Allah..

“Assalamu alaikum, Syah.. sudah bangun kan” Kata-kata Ummi terdengar khawatir..

“Walaikum salam, iya Ummi, tunggu sebentar” Jawab Syah seraya melipat mukenah
dan sajadah sambil bergegas membuka pintu.

“Ada apa Ummi, kok kelihatannya panik” imbuhku melihat ekspresi Ummi yang tidak
biasanya.

“Aduh syah gawat, Ummi baru saja dapat kabar, bus yang ditumpangi teman-temanmu
yang PKL ke Semarang mengalami kecelakaan” Nafas Ummi tersengal-sengal
menyampaikan berita itu.

“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, terus nasib teman-temanku sekarang bagaimana
Ummi, gak ada korban jiwa kan, ya Allah selamatkan mereka. Syah nampak cemas
seraya menitikkan air matanya.

"Ummi juga belum tahu, katanya para korban dibawa ke rumah sakit Wahdah, sebaiknya
kita bergegas ke sana, Ummi persiapkan mobil dulu, kamu ganti baju dulu Syah” Ucap
Ummi seraya menuju kamar mengambil kunci mobil.

Syah pun bergegas, menarik jilbab ungu yang digantung di lemari dan mengenakan
mantel coklat yang tebal, karena cuaca di luar sangat dingin.
Seperti mobil yang melaju, bibir Syah pun nampak tak henti mengucap doa-doa
keselamatan untuk teman-temannya. Meski sering teman-temannya memperlakukannya
dengan kasar, dan mereka pula yang tiap hari mengejek bahkan menghina Syah dengan
kata-kata yang menyakitkan. Bahkan Syah tidak jadi mengikuti PKL ke Semarang karena
terlambat dan itu juga ulah mereka. Namun Syah masih menganggap mereka sebagai
saudara, dan tak pernah ada dendam sebutir pun di hatinya.

‘Dok, bagaimana keadaan teman-teman saya yang jadi korban” tanya Syah pada
seorang dokter yang terlihat ke luar dari ruangan UGD.
“Sejauh ini, belum ada korban yang meninggal, beberapa cuma luka ringan namun yang
lainnya kondisinya sangat kritis, beberapa orang pendarahan hingga butuh secepatnya
transfusi, tapi…” dokter berhenti sejenak sambil menghela nafas sejenak.

“tapi, apa dok” Syah menyela,

“Stock darah O dan AB di PMI habis, kami butuh donor darah secepatnya untuk mereka,
dan juga kami masih kekurangan tenaga medis. Dokter terlihat risau dengan masalah
ini.

“Insya Allah, dok, kami pasti akan membantu mengusahakan” Nada suara Syah terlihat
meyakinkan.

Dokter tersbut menuju sebuah ruangan, ICU tempat beberapa teman-teman Syah yang
sedang kritis dirawat.

Syah membuka tasnya, dan mengambil handphone..

“Assalamu Alaikum, mbak Lastri ini Syah, saya lagi butuh bantuan beberapa teman di
Pondokan sana mungkin saja ada yang bisa membantu mendonorkan darah sekaligus
merawat teman-teman kuliah saya yang kecelakaan karena disini kekurangan tenaga
medis, iya mbak di rumah sakit Wahdah… lama terdiam mendengarkan suara di
handphone, dan akhirnya berujar “iya, makasih banyak mbak” Syah pun menutup
telponnya.

Syah nampak terlihat sibuk, menelpon satu persatu teman-teman halaqohnya, inya Allah
akan bisa membantu karena beberapa diantaranya ada yang dokter dan perawat,
meskipun perkenalan mereka sangat baru, namun mereka tak hanya sekadar teman tapi
seperti saudara sendiri yang saling membantu ketika ada masalah, inilah indahnya
ukhuwah islam, salah satu hal yang menakjubkan hati Syah.

“Bagaimana Syah, tanya Ummi yang dari tadi memperhatikan Syah yang bergelut
dengan hp nya.

“Alhamdulillah, mereka akan datang secepatnya Ummi” Syah terlihat agak lega.

Tak berapa lama, sekitar setengah jam kemudian, datang beberapa rombongan.
Alhamdulillah mereka adalah teman-teman Syah dari berbagai penjuru, teman
halaqohnya dan para aktivis LSM.

Sebagian dari mereka bahkan Ummi pun ikut membantu tenaga medis mengobati luka
para korban, sebagian lain mendonorkan darahnya. Syah nampak lemas seusai
mendonorkan darah, namun tak menghalangi niatnya membantu membalut luka teman-
temannya yang cedera ringan.
Ketulusan Syah menyentuh hati teman-temannya, sebagian dari mereka yang sadar
sempat meminta maaf atas kekhilafan mereka dahulu.

“Subhanallah, walhamdulillah, Allahu Akbar“ Ucapnya dengan binar-binar mata yang


menggambarkan kebahagiaan yang dalam, dan sebuah kesyukuran tak ada korban yang
meninggal dalam musibah ini…”

Seraya memeluk bahagia teman-temannya yang selamat, senyum Syah merekah layaknya
menyambut cahaya senja setelah semalaman diliputi keremangan…Dalam doanya, ia
sadar masih banyak ujian yang siap menyapanya di hari esok, sebuah ujian bagi seorang
hamba yang mengaku beriman, sebuah masalah yang pastinya akan menguji keteguhan
seorang muallaf seperti dirinya…”

(Bersambung)

Anda mungkin juga menyukai