Anda di halaman 1dari 10

Home Nasional Berita Politik

Polemik Larangan Mantan Napi


Korupsi Nyaleg di Pemilu 2019
Priska Sari Pratiwi, CNN Indonesia | Rabu, 05/09/2018 04:55 WIB

Bagikan :

Keputusan KPU larang eks napi menjadi caleg lahirkan perlawanan. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mengabulkan gugatan salah
satu mantan narapidana kasus korupsi, M Taufik, untuk mendaftar calon legislatif pada pemilu 2019.

Alasannya, ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 20/2018 tentang larangan mantan
napi kasus korupsi mendaftar caleg bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yakni Undang-
undang Pemilu. Aturan itu saat ini juga digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Agung (MA).

Ketua KPU Arief Budiman sebelumnya berkukuh aturan yang tertuang dalam PKPU itu tetap harus
dijalankan sepanjang tidak ada perubahan. Namun Bawaslu menegaskan bahwa semua pihak
harus mengikuti aturan sesuai prosedur demi melindungi hak-hak konstitusional warga negara.

Apalagi dalam sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengizinkan mantan napi kasus
korupsi mendaftar caleg sebagai hak tiap warga negara, dengan catatan mendeklarasikan diri
sebagai mantan napi kasus korupsi.
Ahli hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menilai PKPU yang mengatur
larangan itu masih berlaku meski Bawaslu telah mengabulkan gugatan mantan napi kasus korupsi
mendaftar caleg. Sebab, tak ada ketentuan yang dibatalkan oleh Bawaslu terkait gugatan tersebut.

"PKPU itu belum dibatalkan dan masih berlaku. Jadi tidak ada yang dilanggar oleh KPU karena
pasal yang mengatur larangan itu masih ada," ujar Asep kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/9).

Lihat juga:
JK soal Eks Napi Koruptor Nyaleg: Tunggu Putusan MA

Menurut Asep, larangan mantan napi kasus korupsi semestinya diatur dalam UU Pemilu
sebagaimana larangan mantan napi yang melakukan kejahatan seksual pada anak-anak maupun
kasus narkotik.

Hanya saja, kata dia, dalam UU Pemilu saat ini belum merinci secara jelas aturan tersebut. Wajar saja jika
KPU kemudian memperjelas dengan membuat aturan itu.

"Arah hukum yang dituju sebenarnya juga bukan orang per orang tapi parpol. Harapannya parpol ini bisa
menyeleksi betul dengan ketat dan memastikan tidak ada mantan napi yang mencalonkan," katanya.

Gugatan politikus Gerindra M Taufik untuk jadi caleg meski pernah jadi napi korupsi dikabulkan Bawaslu. CNN Indonesia/Adhi
Wicaksono

Asep mengatakan, saat ini semua pihak hanya perlu menunggu putusan dari MA terkait gugatan PKPU.
Jika MA sepakat dengan putusan Bawaslu, maka KPU mau tak mau harus menaatinya karena putusan
MA bersifat mengikat.
"Kalau tidak (dikabulkan) ya jalankan saja aturan PKPU sekarang. Toh tidak ada yang dilanggar KPU
karena pasal yang mengatur larangan itu masih ada," tuturnya.

Hal senada disampaikan peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari yang menilai
Bawaslu telah melampaui kewenangan. Sebagai penyelenggara pemilu, Bawaslu semestinya memiliki
kesatuan pandangan dengan KPU.

Feri mengatakan, tugas Bawaslu semestinya memastikan seluruh produk perundang-undangan


dilaksanakan, termasuk PKPU.

"Soal PKPU dianggap bertentangan dengan UU atau tidak itu kewenangan MA. Jadi untuk sementara
PKPU itu tetap sah karena telah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM," katanya.

Lihat juga:
KPU Siap Hadapi Ancaman Taufik dan Eks Koruptor yang Nyaleg

Selama belum ada putusan dari MA, lanjut Feri, PKPU itu tetap dapat dijalankan dan tak bertentangan
dengan UU Pemilu yang membawahinya. Menurut Feri, putusan Bawaslu yang meloloskan mantan napi
kasus korupsi mendaftar caleg justru dapat digugat karena dianggap melawan hukum.

"Itu sudah melampaui kewenangan dan dapat digugat," ucap Feri.

Pendapat berbeda disampaikan ahli hukum tata negara Refly Harun. Menurut Refly, putusan Bawaslu
justru sudah tepat karena mengikuti peraturan perundang-undangan.

Refly menuding polemik mantan napi kasus korupsi yang mendaftar caleg justru berawal dari KPU yang
'ngotot' mengaturnya dalam PKPU. Padahal, menurutnya, hal itu bukan menjadi kewenangan KPU.

"Tentu kita memang ingin berantas korupsi, tapi harusnya dengan cara yang tidak melanggar pakem
hukum yang ada," kata Refly.
Refly Harun dukung keputusan Bawaslu kabulkan gugatan eks napi korupsi nyaleg. (Safir Makki)

Refly menegaskan pembatasan hak dipilih bagi mantan napi kasus korupsi hanya bisa diatur dalam UU.
Sesuai ketentuan hukum, apabila ada dua aturan yang sama dan saling bertentangan maka berlaku
azas lex superior atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini PKPU berada di bawah UU Pemilu.

"Mungkin maksudnya baik, tapi caranya keliru. Jadi tidak heran kalau Bawaslu mengabulkan karena
memang bertentangan dengan UU Pemilu," tuturnya.

Refly mengatakan putusan itu telah sesuai dengan kewenangan karena Bawaslu merupakan quasi
peradilan atau badan pengadilan administratif semu yang menangani perkara di luar pengadilan biasa.

Para pejabat Bawaslu itu memiliki peran dan berstatus sebagai 'hakim'. Oleh karena itu, kata dia, KPU
wajib melaksanakan putusan Bawaslu tersebut.

"Bawaslu kan tidak membatalkan aturan itu karena bukan kewenangannya. Tapi mengesampingkan PKPU
karena bertentangan dengan UU. Sebagai quasi peradilan ya sah-sah saja (Bawaslu memutus itu),"
terang Refly.

Lihat juga:
Polemik Caleg Eks Koruptor, KPU Singgung Kasus DPRD Malang

Ia meminta agar PKPU tentang larangan mantan napi kasus korupsi mendaftar caleg itu segera
dicabut. Refly pun menyarankan pada KPU agar tak lagi membuat aturan yang bertentangan
dengan UU.

"Jadi jangan terlalu bersemangat gitu loh. Kita kan punya aturan-aturan," imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa kerugian yang bakal timbul apabila mantan napi kasus korupsi kembali
terpilih, bukan menjadi kewenangan KPU. Menurutnya, hal terpenting yang harus berjalan saat ini
adalah penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

"Urusan korupsi atau tidak itu urusan caleg yang terpilih. Lagipula yang belum korupsi juga belum
tentu tidak korupsi kan," ucapnya.

Pandangan dan Usulan Masyarakat tentang Caleg Eks Koruptor


Kompas.com - 18/09/2018, 07:41 WIB BAGIKAN: Komentar Aksi peringatan Hari Antikorupsi
sedunia oleh sejumlah aktovis ICW di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa
(9/12/2014)( Inggried Dwiwedhaswary/Kompas.com) Penulis Fitria Chusna Farisa | Editor Krisiandi
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 ayat 3
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang tentang Pencalonan
Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa
larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif ( caleg) bertentangan
dengan UU Pemilu. Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat
(TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi
diperbolehkan untuk maju sebagai caleg. Atas putusan MA itu, dimungkinkan puluhan caleg mantan
napi korupsi yang semula tidak diloloskan KPU lantaran tersandung PKPU nomor 20 tahun 2018
pasal 4 ayat 3, bakal lolos menjadi caleg. Baca juga: Eks Koruptor Boleh Nyaleg, MA Mengaku
Konsisten Dukung Pemberantasan Korupsi Untuk tetap menghidupkan semangat antikorupsi yang
terkandung dalam PKPU tersebut, KPU dan sejumlah pengamat politik mengimbau supaya partai
politik mengambil peran. Dalam hal ini, partai diminta untuk menarik calegnya yang berstatus
mantan napi korupsi dan menggantinya dengan caleg bersih. Sebab, meskipun tak dilarang, tetapi
jika seluruh partai menarik pencalonan caleg eks koruptor, maka tak ada lagi caleg yang punya
rekam jejak sebagai mantan koruptor. Lebih-lebih, sebelum masa pendaftaran bakal caleg, seluruh
partai politik peserta Pemilu 2019 telah menandatangani pakta integritas yang berisi komitmen untuk
tidak mencalonkan eks koruptor sebagai caleg. Namun demikian, ada bermacam respons partai
politik peserta Pemilu 2019 dalam menyikapi putusan MA tersebut. Ada sejumlah partai yang sejak
awal tidak mencalonkan caleg mantan napi korupsi, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ada pula yang
berniat untuk menarik calegnya yang berstatus eks koruptor dan mengganti dengan caleg yang
bersih, seperti PDI Perjuangan dan Partai Perindo. Namun, ada juga partai yang bersikukuh usung
caleg mantan napi koruptor, seperti Partai Demokrat, Partai Gerindra, hingga Partai Golkar.
Respons masyarakat terhadap partai politik yang tetap usung caleg mantan napi korupsi pun
beragam. Wardhany Tsa Tsia, seorang pekerja swasta berpendapat, seharusnya partai
menunjukkan dukungannya terhadap pemberantasan korupsi, dengan mencoret caleg eks koruptor
dan hanya mengusung mereka yang punya rekam jejak bersih. Sebab, caleg merupakan cerminan
dari partai. "Partai itu harusnya mampu menyeleksi caleg yang mereka dukung. Karena kader
adalah cerminan dari partai itu," kata Wardhany di Jakarta, Senin (17/9/2018). Ia menilai, perilaku
koruptif sangat marak di legislatif. Harusnya, dengan aturan PKPU yang memuat larangan mantan
napi korupsi bisa memutus mata rantai korupsi di legislatif, baik di pusat maupun daerah. Namun,
karena PKPU terlanjur dibatalkan, maka partailah yang kini harus berperan. Berbeda dengan
Wardhany, seorang mahasiswa bernama Faiz Angger setuju dengan partai politik yang tetap
mengusung caleg eks koruptor. Sebab, keberadaan caleg mantan napi korupsi tidak melanggar
Undang-Undang manapun. Namun demikian, menurut Faiz, caleg-caleg eks koruptor harus ditandai
di surat suara. Agar masyarakat bisa mengetahui dan berpikir dua kali untuk memilih caleg tersebut.
"Lagi pula, dengan adanya caleg eks koruptor ini kan sekalian mengetes masyarakat juga, apakah
sudah bisa membedakan mana yang baik atau mana yang pantes dipilih atau enggak," ujarnya.
Sementara itu, seorang pekerja bernama Taufan Pratama mengatakan, dirinya tidak setuju jika
pascaputusan MA partai tetap mengajukan caleg mantan napi korupsi. Jika tetap ngotot, artinya
partai tidak mampu menunjukkan integritas dalam penyaringan dan kaderisasinya. Baca
juga: Peneliti LIPI: Partai Harus Tarik Caleg Eks Koruptor untuk Tunjukkan Integritas "Ini soal
integritas partai untuk benar-benar menerapkan demokrasi yang bersih di Indonesia. Momentum
pemilu sebenarnya juga menentukan wajah partai di publik, lebih mengerikan ketika partai kurang
mengindahkan visi mencapai demokrasi yang bersih bebas dari korupsi," ujarnya. Menurut Taufan,
pencalonan eks koruptor justru bisa menjadi boomerang bagi partai. Loyalis partai justru bisa
menjadi swing voter dan berpindah pilihan jika partainya mengusung caleg mantan napi korupsi. "Ini
soal etis dan integritas partai untuk benar-benar melahirkan kader yang bersih di kancah politik
nasional," tandasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pandangan dan Usulan Masyarakat tentang
Caleg Eks Koruptor ", https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/07414501/pandangan-dan-
usulan-masyarakat-tentang-caleg-eks-koruptor?page=all.
Penulis : Fitria Chusna Farisa
Editor : Krisiandi

ARTIKEL OPINI: Parpol dan Caleg Bekas Koruptor


(ARDI WINANGUN)
TOTO S

Aturan Komisi Pemilihan Umum yang melarang bekas koruptor menjadi calon wakil
rakyat dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2019 menuai sikap pro dan kontra.
Bukan hanya di kalangan masyarakat, pemerintah, Badan Pengawas Pemilu, DPR, dan
partai politik yang berbeda, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun
tidak sama dalam menyikapi masalah ini.

Di satu sisi, keinginan melarang bekas koruptor menjadi wakil rakyat merupakan salah
satu bentuk paling nyata pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, tetapi juga oleh pihak yang lain, termasuk KPU. Dari sini, KPU
menunjukkan semangat reformasi, yakni pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).

Aturan itu diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat agar jangan menjadi koruptor
sehingga tetap mempunyai hak jika ingin menjadi calon wakil rakyat. Dengan aturan ini
pula diharapkan lembaga wakil rakyat, baik DPR maupun DPRD, bisa menghasilkan
sosok-sosok yang bersih yang tidak terbelit masalah korupsi.

Namun, di sisi yang lain, aturan tersebut dirasa membatasi hak masyarakat (bekas
koruptor) dalam kebebasan berpolitik. Memang ada koruptor yang dihukum dengan
sanksi tidak hanya kurungan penjara, tetapi juga hak politiknya dicabut. Namun, masih
banyak bekas koruptor yang tidak terkena pencabutan hak politiknya. Dengan
demikian, mereka bisa memperoleh hak yang sama dengan warga lainnya.

Timbulnya sikap pro dan kontra terhadap larangan bekas koruptor menjadi wakil
rakyat, kalau ditelusuri akar masalahnya, sebenarnya pada soal pembiayaan politik
calon wakil rakyat dan partainya. Sebagaimana kita ketahui, biaya politik untuk pileg
dari tahun ke tahun tidak semakin menurun, tetapi semakin mahal. Anggaran tahun
lalu bagi calon wakil rakyat tentu berbeda dengan anggaran untuk pileg tahun 2019.

Ketika anggaran politik semakin meningkat dan semakin ketatnya ambang batas
parlemen, tentu membuat partai politik berat jika tidak bisa menyiasati hal yang
demikian, baik dari strategi maupun pembiayaan operasional. Entah bagaimana cara
partai politik mencari pendanaan untuk membiayai ongkos operasionalnya ketika biaya
politik semakin berat. Biasanya mulai dari memotong gaji anggotanya yang menjadi
wakil rakyat, kepala-kepala daerah dari partainya, menghimpun dana dari uang-uang
mahar calon kepala daerah yang ingin diusung, meminta sumbangan kepada
masyarakat dan pengusaha, hingga meminta uang tertentu kepada orang yang ingin
menjadi calon wakil rakyat.

Faktor meminta uang tertentu kepada orang yang ingin menjadi wakil rakyat inilah
yang bisa menjadi masukan bagi partai politik. Sudah menjadi rahasia umum, untuk
menjadi calon wakil rakyat dari salah satu ataupun semua partai politik, tidaklah gratis.
Meski dengan sistem terbuka, penempatan nomor urut masih sangat penting bagi
seseorang.

Di sinilah tawar-menawar atau pungutan dilakukan oleh partai politik kepada calon
wakil rakyat. Dengan alasan sumbangan, seseorang yang ingin diusung menjadi wakil
rakyat harus menyetor uang kepada partai politik. Semakin besar uang yang diserahkan
kepada partai politik akan semakin mempercepat dirinya diproses menjadi daftar wakil
rakyat dengan nomor urut satu pula.

Aturan yang demikian—tertulis ataupun tidak, sesungguhnya sudah menjadi rahasia


umum—tentu akan menghambat orang-orang yang mumpuni atau mempunyai
kapasitas, tetapi tak punya uang, jika ingin menjadi calon wakil rakyat. Namun, aturan
demikian tidak menjadi masalah bagi pengusaha, orang yang mempunyai banyak uang,
dan koruptor (tentu koruptor uangnya banyak karena ada simpanan).

Di tengah semakin tingginya biaya politik tentu parpol lebih memprioritaskan orang-
orang yang mempunyai duit. Ketika ini menjadi prioritas, partai politik tidak peduli
terhadap latar belakang calon wakil rakyat. Bermasalah dengan hukum atau tidak,
koruptor atau bukan, tidak menjadi soal asal ia punya uang.

Partai politik memilih orang-orang yang punya duit sebab ia tahu bahwa biaya politik
calon wakil rakyat dalam menyosialisasikan dirinya kepada masyarakat membutuhkan
uang yang tidak sedikit. Calon wakil rakyat tidak hanya memasang baliho, spanduk,
ataupun alat kampanye yang lain, tetapi mereka juga harus melakukan tindakan
karitatif kepada masyarakat. Dalam situasi semacam ini, hanya orang-orang yang punya
duit yang mampu bertahan dalam berkampanye.

Untuk itulah, aturan KPU, meski bagus, pastinya tidak disukai oleh partai politik selama
sistem politik kita berbiaya tinggi. Meskipun pimpinan partai politik mendukung aturan
itu, diam-diam mereka tetap menerima calon wakil rakyat dari bekas koruptor.

Yang Mendukung dan Menolak Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg Ketua Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan didampingi anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengikuti
Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Selasa (22/5/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto Oleh: M. Ahsan Ridhoi - 29
Mei 2018 Dibaca Normal 3 menit Golkar dan PDIP menentang larangan mantan narapidana
korupsi menjadi caleg. tirto.id - Sejumlah fraksi di DPR berbeda pandang tentang rencana
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang narapidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg).
Mereka yang menentangi berdalih larangan itu bertentangan dengan hak asasi manusia
lantaran setiap orang berhak memilih dan dipilih. “Sikap KPU ini melanggar hak asasi
seseorang. Yang bisa membatasi hak politik seseorang hanya pengadilan berdasarkan
keputusan sidang,” kata anggota Komisi II Fraksi Golkar Firman Soebagyo kepada Tirto, Senin
(28/5/2018). Firman mengatakan peraturan yang dibuat KPU bertentangan dengan Pasal 240
ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) pada 2009 atas uji materi tiga pasal di undang-undang tersebut dan Undang-
Undang Pemda. Uji materi diajukan Robertus, eks terpidana kasus pembunuhan di Pagar Alam,
Sumatera Selatan. Dalam putusannya, MK membolehkan mantan terpidana dengan ancaman
hukuman lima tahun penjara atau lebih menjadi peserta Pemilu. “KPU ini kan pelaksana
undang-undang. Keberadaannya juga karena undang-undang. Jadi tidak boleh melanggar
undang-undang. Peraturan KPU itu hierarkinya di bawah undang-undang,” kata Firman. Firman
mengklaim para ahli hukum yang pernah diminta pendapat oleh Komisi II telah menyatakan
norma di UU Pemilu sudah sesuai dengan azas keadilan. Sebab selama menjalani hukuman
para koruptor juga tidak bisa berpolitik. “Hukuman lima tahun itu sudah cukup untuk membuat
koruptor jera dan dicabut hak politiknya,” kata Firman. Baca juga: Penolakan Soal Larangan
Eks Napi Korupsi Jadi Caleg Mengecewakan Pendapat senada disampaikan anggota Komisi II
Fraksi PDIP Komarudin Watubun. Baginya larangan KPU bagi narapidana korupsi menjadi
caleg tak beralasan. Sebab menurutnya korupsi bisa dilakukan siapa saja. "Yang sekarang
belum jadi koruptor kan belum tentu malaikat. Bisa saja dia karena belum ketahuan. Yang
sudah mantan terpidana korupsi juga belum tentu akan melakukan itu lagi,” katanya. Menurut
Komarudin, norma dalam UU Pemilu Pasal 240 ayat 1 sudah mensyaratkan seorang mantan
narapidana korupsi mengumumkan secara terbuka di media massa tentang rekam jejak
kehidupannya. Menurutnya, itu sudah cukup sebagai bentuk pengawasan dan pendidikan politik
bagi pemilih. “Pemilih tentunya bisa memilah dan memilih siapa yang layak dipilih dan tidak,"
kata Komarudin. Pendukung Peraturan KPU Pendapat berbeda muncul dari Anggota Komisi II
DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera. Menurutnya, Pasal 8 huruf (j) PKPU yang melarang mantan
napi korupsi menjadi caleg merupakan tafsiran progresif KPU terhadap UU Pemilu dengan
tujuan mendapatkan hasil pemilu yang lebih baik. “Sebagai bagian pertanggungjawaban publik,
usul KPU boleh dan sah. Dan pembuatan Peraturan KPU domainnya KPU,” kata Mardani
kepada Tirto. Mardani pun menyatakan, rapat konsultasi antara DPR dengan pemerintah yang
menolak peraturan tersebut tidak mengikat KPU. Ini menurutnya sesuai dengan keputusan MK
Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang menyatakan KPU merupakan lembaga independen. “Saya
mendukung KPU. Tapi KPU harus siap menghadapi gugatan para pihak di Mahkamah Agung,"
kata Mardani. Mardani mengatakan hak seseorang memilih dan dipilih mestinya tidak menjadi
hambatan masyarakat mendapatkan pemilu yang berkualitas. "Hak untuk dipilih iya, tapi
dengan pertimbangan mendapatkan hasil yang lebih berkualitas." Baca juga: Bawaslu: KPU
Langgar HAM Jika Larang Eks Koruptor Jadi Caleg Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni
menilai integritas Pemilu ditentukan berdasarkan tiga hal, yakni penyelenggara, pemilih, dan
peserta. Sehingga, keputusan KPU melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg adalah
tepat. Menurut Titi, tidak sedikit peserta pemilu yang pernah terbukti terlibat tindak pidana
korupsi atau mantan narapidana korupsi. Bahkan, menurutnya, Indonesia Corruption Watch
(ICW) mencatat terdapat sedikitnya 59 anggota DPR/D terpilih dalam Pemilu 2014 berstatus
hukum tersangka, terdakwa, atau terpidana korupsi. Dari jumlah tersebut, terdapat pula mantan
napi korupsi yang terpilih menjadi anggota legislatif, salah satunya yang saat ini menjabat
sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik. Semua itu, kata Titi, menjadi ironi
bagi pelaksanaan Pemilu di negeri ini yang dari tahun ke tahun selalu diupayakan menjadi lebih
berintegritas. "Upaya KPU melarang mantan narapida kasus korupsi untuk mencalonkan diri
merupakan bagian dari membangun integritas peserta dan kandidat Pemilu," kata Titi kepada
Tirto. Seperti halnya Mardani, Titi berpandangan KPU tetap bisa mensahkan larangan mantan
narapidana korupsi menjadi caleg dalam PKPU meskipun berbeda pandangan dengan DPR,
kemendagri dan Bawaslu. "KPU merupakan lembaga mandiri dan independen dalam
menyelenggarakan Pemilu salah satunya dalam penyusunan regulasi dan mempunyai
kewajiban moral menjaga integritas Pemilu," kata Titi. Baca juga: KPU Akan Buat MoU dengan
KPK Soal Kewajiban Caleg Isi LHKPN Pihaknya bahkan mengusulkan norma-norma alternatif
dalam Peraturan KPU untuk menguatkan norma tersebut, yakni: Pertama, menambah
persyaratan pengajuan bakal calon dalam Pasal 7 ayat 1 Peraturan KPU, dengan ketentuan
“daftar calon yang diusung oleh partai politik tidak memuat mantan terpidana kasus korupsi,
bandar narkotika, dan terorisme”. Kedua, menambahkan persyaratan bakal calon pada Pasal 8
ayat 1 Peraturan KPU dengan ketentuan, “Mantan terpidana yang dikecualikan atau dapat
dicalonkan bukan merupakan mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkotika, dan
terorisme”. Titi juga membantah anggapan politikus Golkar dan PDIP bahwa larangan mantan
narapidana korupsi menjadi caleg melanggar HAM. Menurutnya, KPU justru menerapkan
peraturan yang adil dan tidak diskriminatif pada Pemilu 2019. "Penataan pencalonan berupa
larangan bagi mantan napi korupsi ini juga diberlakukan bagi capres dan cawapres
sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf d UU 7/2017. Berarti apakah juga dianggap
melanggar hak memilih dan dipilih?" kata Titi. Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kemendagri, dan Komisi
II DPR pada 22 Mei 2018 lalu menolak usulan draf Peraturan KPU (PKPU) bahwa mantan
narapidana korupsi dilarang menjadi calon legislatif (caleg). Bawaslu, Komisi II dan Kemendagri
bersepakat mengembalikan persyaratan seseorang menjadi caleg ke Pasal 240 Ayat 1 huruf g
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di sana disebutkan seorang mantan
narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh
mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan
terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana. Dengan demikian, mantan
narapidana korupsi tetap dapat mendaftarkan diri sebagai caleg di Pemilu 2019 mendatang.
Baca juga: KPU Ungkap Alasan Ingin Larang Mantan Koruptor Jadi Caleg di 2019 Namun, KPU
tetap bersikukuh memasukkan larangan narapidana korupsi sebagai caleg dalam draf
Peraturan KPU, yakni Pasal 8 huruf (j). Hal ini disampaikan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
"Jadi di seberang sana ada pemerintah, DPR dan Bawaslu, ajaibnya argumen utama mereka
sama yaitu menolak norma diajukan KPU. Tetapi kita jalan terus, PKPU dipastikan akan keluar,
jadi norma larangan (mantan) napi koruptor menjadi Caleg itu sudah kita putuskan," kata
Wahyu dalam diskusi, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018). Keputusan ini, kata Wahyu, diambil
KPU lantaran korupsi merupakan bagian dari kejahatan luar biasa. Sehingga, perlu
ditambahkan dalam norma PKPU selain terorisme dan narkoba.

Baca selengkapnya di artikel "Yang Mendukung dan Menolak Mantan Napi Korupsi Jadi
Caleg", https://tirto.id/cLkN
Reporter: M. Ahsan Ridhoi Penulis: M. Ahsan Ridhoi Editor: Muhammad Akbar Wijay

Anda mungkin juga menyukai