Anda di halaman 1dari 15

Infografik: Khawatir tenaga kerja

asing banjiri Indonesia

Hanif Dhakiri meneken Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi


(Kepmenakertrans) Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu Yang
Dapat Diduduki Oleh Tenaga Kerja Asing.
Keputusan tersebut, diperkirakan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja
Seluruh Indonesia (OPSI) Timbul Siregar, dapat memicu bertambahnya jumlah
penggunaan tenaga kerja asing (TKA) pada 2019 hingga 20 persen dari total
tahun lalu sebanyak 95.335 orang.
Menilik data Kemenaker, jumlah TKA tahun 2018 itu meningkat 10,8 persen dari
tahun 2017 yang mencapai 85.974 orang. Adapun, jumlah TKA pada 2015
mencapai 77.149 orang dan mencapai 80.375 orang pada 2016.
Memang, jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang 136,18 juta,
jumlah TKA masih rendah. Namun Timbul khawatir apabila Kepmenakertrans
228 ini dilaksanakan, TKA akan membanjiri Indonesia.

Kekhawatiran itu ditepis oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal (Plt Dirjen)
Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja
(Binapenta dan PKK) Aris Wahyudi. Menurutnya, para tenaga kerja asing tetap
tidak bisa seenaknya masuk.
"Ada namanya assessment atau uji kelayakan. Nanti ada forum di kami di
Binapenta," tegas Aris.
Namun penolakan terus muncul, seperti disuarakan Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI). Mereka akan menggugat Kemenakertrans.
Presiden KSPI Said Iqbal bilang, gugatan akan dilayangkan ke Mahkamah
Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam dua atau tiga
pekan ke depan. "PTUN untuk administrasinya, MA untuk isi materi keputusan
menterinya."

Alasan penggugatan sebut Said, lantaran melanggar Undang-undang Nomor 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia menjelaskan, UU Ketenagakerjaan
membatasi tenaga kerja asing.

Kedua, masuknya tenaga kerja asing ini bisa menurunkan kesempatan pekerja
lokal mendapatkan pekerjaan di negaranya sendiri. Ketiga, peraturan menteri itu
tak memerinci apakah buruh kasar tanpa keterampilan atau dengan
keterampilan.

Ironisnya, angka pengangguran, meski trennya terus menurun, tetap menjadi


pekerjaan rumah Pemerintahan RI. Tengok saja data Badan Pusat Statistik dan
Wolrd Bank dari 1991-2018. Indonesia selalu "juara" dalam jumlah
pengangguran dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Filipina -->
simak Lokadata.

Tenaga Kerja Asing di Indonesia Hanya


0,04% dari Total Penduduk
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah Tenaga Kerja Asing
(TKA) di Indonesia hingga akhir 2018 sebanyak 95.335 pekerja. Jumlah ini
hanya sebesar 0.04% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 268 juta
jiwa atau sebesar 0,07% dari total angkatan kerja nasional. Persentase ini lebih
kecil dibandingkan dengan di beberapa negara lainnya seperti terlihat pada
grafik di bawah ini.

Sebagai perbandingan, jumlah TKA di Malaysia sebanyak 3,3 juta jiwa atau
mencapai 10,06% dari total penduduknya. Kemudian Singapura dengan jumlah
TKA 1,1 juta jiwa atau 19,36% dari jumah penduduknya. Bahkan, TKA di Uni
Emirat Arab mencapai 8,4 juta jiwa atau 87,55% dari total penduduknya.

Kabar serbuan TKA yang masuk ke Indonesia hingga menyulitkan para pencari
kerja di Indonesia ini tidak benar dan masih terkendali. Jika dibandingkan
dengan jumlah TKI yang bekerja di luar negeri, yaitu mencapai 9 juta, menurut
survei World Bank jumlah TKA masih berada dalam jumlah yang normal.
Banyaknya TKA yang masuk ke Indonesia selama salah satunya dampak
dari meningkatnya jumlah investasi asing ke Indonesia.
Menyoal Tenaga Kerja Asing dan Dampaknya untuk Indonesia Kompas.com - 24/04/2018, 08:45
WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Topik mengenai tenaga kerja asing ( TKA) marak diperbincangkan
belakangan ini. Pemerintah menilai perizinan TKA perlu dipermudah untuk meningkatkan investasi,
sementara pihak lain memandang kemudahan tersebut terkesan tidak berpihak pada tenaga kerja
dalam negeri. Menjawab pro dan kontra tersebut, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menjelaskan
apa latar belakang pemerintah mempermudah perizinan bagi TKA. Kemudahan yang dimaksud
tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Aturan ini ditandatangani Presiden Joko Widodo 26 Maret 2018, kemudian diundangkan Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 29 Maret. Perpres ini sekaligus menggantikan Perpres Nomor
72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dibuat era Presiden ke enam RI
Susilo Bambang Yudhoyono. "Secara garis besar, tujuan Perpres 20/2018 untuk penciptaan
lapangan kerja melalui perbaikan iklim investasi," kata Hanif dalam sebuah diskusi di gedung
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Senin (23/4/2018).
anif mengungkapkan, penciptaan lapangan kerja perlu didorong dari peningkatan investasi, seperti
arahan Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan. Investasi dibutuhkan lantaran APBN terbatas
dan tidak cukup hanya dari anggaran negara untuk menciptakan lapangan kerja. Perpres 20/2018
merupakan satu dari sekian upaya pemerintah mempermudah investasi di Indonesia. Dalam
Perpres ini, diatur seputar percepatan prosedur izin bagi TKA yang ingin bekerja di Indonesia.
"Penyederhanaan perizinan ini tidak berarti menghilangkan syarat-syarat kualitatif untuk TKA.
Syarat-syarat itu tetap ada, bahkan jadi lebih baik dalam Perpres yang baru ini," tutur Hanif. Secara
spesifik, Hanif mengumpamakan Perpres Penggunaan TKA layaknya seseorang yang hendak
membuat Surat Izin Mengemudi (SIM). Pada dasarnya, seseorang bisa mendapatkan SIM jika
sudah cukup umur dan bisa menyetir kendaraan dengan baik. Baca juga : Menaker: TKI yang Serbu
China, Bukan TKA China yang Serbu Indonesia Jika syarat yang dimaksud sudah terpenuhi, maka
mengurus pembuatan SIM seharusnya tidak perlu memakan waktu bulanan, mingguan, atau
beberapa hari. Jika bisa rampung dalam satu jam atau lebih cepat, maka tidak perlu menunggu
lama. Perbandingan TKA dengan TKI Hanif turut menjawab kekhawatiran membanjirnya TKA masuk
ke Indonesia karena prosedur perizinan TKA dipermudah. Berdasarkan data Kementerian Tenaga
Kerja, hingga akhir 2017 ada 85.974 TKA di Indonesia. Sementara menurut data World Bank, jumlah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang beredar di berbagai negara hingga akhir 2017 ada sekitar 9 juta
orang. Sebaran TKI di beberapa negara yang dominan di antaranya di Malaysia (55 persen), Saudi
Arabia (13 persen), China (10 persen), Hongkong (6 persen), dan Singapura (5 persen). Dengan
data itu, Hanif membantah pihak yang menyebut Indonesia kebanjiran TKA, terutama yang berasal
dari China. Dari total TKA di Indonesia pada akhir 2017, mereka yang berasal dari China tercatat
sebesar 24.800 orang. Baca juga : Ini Data TKA di Indonesia dan Perbandingan dengan TKI di Luar
Negeri Jumlah TKA asal China di Indonesia masih di bawah jumlah TKI yang bekerja di sejumlah
tempat di China. Hanif menyebut, ada sekitar 20.000 TKI yang bekerja di Makau, lebih dari 150.000
TKI di Hongkong, dan 200.000 TKI di Taiwan. "Bukan (tenaga kerja) China yang menyerang kita,
kita yang menyerang China," ujar Hanif. Dampak Perpres 20/2018 untuk Indonesia Selama ini,
investor kesulitan dalam mengurus izin TKA. Bahkan, investor sampai jadi korban praktik pungutan
liar serta pemerasan oleh oknum petugas yang memanfaatkan lamanya proses mengurus izin untuk
TKA. Melalui Perpres 20/2018, ruang dari proses yang berlarut itu dihapus agar praktik pungli dan
pemerasan bisa diredam. Jika Perpres ini efektif dijalankan, ada prediksi dapat berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan investasi di Indonesia. Baca juga : Perpres 20/2018 tentang TKA
Bisa Dorong Peningkatan Investasi 20 Persen "Kalau (aturan) ini benar-benar jalan, menurut saya
sih 10 sampai 20 persen ada peningkatan (investasi)," kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Thomas Lembong. Hanif menegaskan lagi, kemudahan dalam Perpres 20/2018 sama sekali
tidak mengurangi syarat TKA yang ingin bekerja di Indonesia. Salah satu contoh poin penting adalah
TKA dilarang untuk bekerja kasar. "Pekerja kasar asing dari dulu sampai sekarang masih dilarang,
itu untuk melindungi tenaga kerja dalam negeri," tutur Hanif. Dia mengajak masyarakat
mengembangkan kapasitasnya sebagai tenaga kerja yang andal, di mana pemerintah juga terus
mendorong pembinaan melalui pendidikan berbasis vokasi. Keseriusan pemerintah dalam
menciptakan lapangan kerja turut tercermin pada data penempatan tenaga kerja dari tahun ke
tahun. Dari data Kemenaker, tahun 2014 ada 2.654.305 tenaga kerja yang ditempatkan untuk
bekerja, begitupun pada tahun 2015 sebanyak 2.886.288 tenaga kerja, tahun 2016 ada 2.448.916
tenaga kerja, serta tahun 2017 sejumlah 2.669.469 tenaga kerja. Realisasi penempatan tenaga
kerja ini sejalan dengan rencana pemerintah menciptakan 10 juta lapangan kerja dalam lima tahun
masa pemerintahan, di mana tiap tahun diasumsikan ada 2 juta lapangan kerja baru. "Jangan terlalu
khawatir, seolah-olah pemerintah membebaskan TKA. Pemerintah tetap punya skema pengendalian
yang jelas, misalnya pengendalian persyaratan, mekanisme pengawasan, sampai penegakan
hukum," ujar Hanif.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menyoal Tenaga Kerja Asing dan Dampaknya
untuk Indonesia", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/24/084500726/menyoal-tenaga-kerja-
asing-dan-dampaknya-untuk-indonesia?page=all.
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Aprillia Ika

Naik 10,88 Persen, Pekerja Asing Selama 2018 Didominasi dari China

JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah tenaga kerja asing ( TKA) yang bekerja di Indonesia terus
bertambah setiap tahunnya. Meski demikian, secara nominal penambahan tenaga kerja tidak naik
signifikan sampai akhir 2018 lalu. Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan
Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Maruli Apul Hasoloan
menjelaskan, jumlah TKA sampai akhir 2018 lalu mencapai 95.335 orang. Angka ini meningkat
10,88 persen dibanding sepanjang 2017 lalu yang mencapai 85.974 orang. Jika diperinci, dari TKA
berjumlah 95.335 orang itu terdapat tenaga asing profesional yang menyumbang sebesar 30.626
orang, manajer sebanyak 21.237 orang, dan adviser/konsultan/direksi sebanyak 30.708 orang. Dia
menyebutkan, jumlah TKA yang bekerja di Indonesia itu masih dalam level tenaga profesional bukan
buruh kasar yang tidak memiliki skill. Baca juga: Dalam 5 Tahun, Jepang Bakal Kebanjiran 345.000
Pekerja Asing "Kenaikan tenaga kerja asing di Indonesia seiring dengan peningkatan investasi asing
juga," kata Maruli di kantornya, Jumat (11/1/2018). Adapun jika dilihat dari negara asalnya, sampai
2018 TKA yang bekerja di Indonesia masih didominasi dari China dengan jumlah 32.000 orang.
Setelah itu berturut-turut, Jepang 13.897 orang, Korea 9.686 orang, India 6.895 orang, dan Malaysia
4.667 orang. "Per tahunnya siklus negara-negara tersebut saja yang mendominasi di Indonesia,"
ujarnya. Di tahun 2019 ini, Maruli tak memungkiri jumlah TKA akan kembali meningkat. Hanya saja,
peningkatan itu tentu tidak akan langsung meroket dan masih dalam angka yang normal. Ini
dikarenakan dengan meningkatnya investasi asing ke dalam negeri. Sampai awal tahun ini, Maruli
bilang sudah ada yang mengajukan perpanjangan masa kerja TKA yang masuk, namun ia tidak
merinci secara detil jumlahnya.
Banyak Saat ini Kemenaker sendiri tengah fokus menggenjot kualitas sumber daya manusia (SDM).
Berbagai program kerja yang menjadi prioritas seperti memperbanyak pelatihan kerja calon pekerja
migran Indonesia (CPMI), kegiatan pemagangan dan peningkatan infrastruktur Balai Latihan Kerja
(BLK). Sekedar informasi, pada tahun lalu, Kemnaker membentuk satuan tugas (satgas)
pengawasan TKA. Satgas ini berfungsi untuk menjembatani aspirasi dari masyarakat terkait
pelanggaran yang terjadi. Dengan begitu, pengawasan akan lebih terintegrasi karena melibatkan
kementerian dan lembaga terkait lainnya. "Bentuk proteksi kami terhadap tenaga kerja asing yang
masuk ke Indonesia yaitu kita izinkan yang memberikan nilai tambah kepada suatu perusahaan,
sehingga si pekerja dalam negeri bisa belajar," kata Maruli Lebih lanjut, menurut Maruli sebetulnya
jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke dalam negeri kebanyakan bersifat sementara dan jarang
yang menetap seumur hidup di Indonesia. Maka itu, pekerja dalam negeri dinilianya tak perlu
banyak khawatir akan isu gempuran tenaga kerja asing yang masuk. (Umi Kulsum)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Naik 10,88 Persen, Pekerja Asing Selama
2018 Didominasi dari China", https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/14/061100626/naik-10-88-
persen-pekerja-asing-selama-2018-didominasi-dari-china?page=all.

Editor : Erlangga Djumena


Apakah Jumlah Tenaga Kerja Asing
Berkorelasi dengan Pengangguran?
Oleh: Ringkang Gumiwang - 25 Maret 2019

Dibaca Normal 3 menit

Pada 2018 periode pertumbuhan jumlah tenaga kerja asing tertinggi dalam 5 tahun terakhir.
tirto.id - “Kita melihat banyak sekali saudara kita belum mendapatkan kesempatan kerja tapi
pada satu sisi yang lain justru lapangan kerja tersebut diberikan kepada warga negara asing.”

Kritikan Sandiaga Uno ini terlontar saat debat cawapres, Minggu (17/03/2018) lalu. Isu tenaga
kerja menjadi salah satu persoalan yang terus menghangat terutama menjelang Pilpres.

Pesan yang seolah ingin disampaikan Sandiaga adalah jumlah tenaga kerja asing (TKA) saat
ini menjadi salah satu penyebab mengapa masih banyak orang yang menganggur di Indonesia.
Jumlah tenaga kerja asing di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun
terakhir ini. Rata-rata tumbuh 7 persen per tahun, dari 2014 sebanyak 73.624 orang menjadi
95.335 orang pada 2018.

Presiden Jokowi memang melonggarkan perizinan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia
melalui Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan TKA pada Maret 2018. Jumlah tenaga kerja
asing yang masuk ke dalam negeri pun diperkirakan makin bertambah apalagi ada upaya
pemerintah menggenjot investasi atau modal asing.

Baca juga:
 Debat Ma'ruf vs Sandi: Tenaga Kerja Asing Bisa Jadi Bahan Gorengan
 Debat Cawapres, Ma'ruf Bantah Pernyataan Soal Indonesia Banjir TKA

Pada 2018 menjadi tahun dengan pertumbuhan jumlah tenaga kerja asing tertinggi dalam 5
tahun terakhir ini, yakni naik 11 persen dari realisasi jumlah tenaga kerja asing pada 2017.
Jumlah ini mengacu pada data tenaga kerja asing legal atau terdaftar, karena faktanya tenaga
kerja asing yang ilegal pun ada. Misalnya, ada 10 tenaga kerja asing yang diduga bekerja
secara ilegal di sebuah perusahaan tambang batu kapur di wilayah Klapanunggal, Kabupaten
Bogor.

Ada lagi kasus tenaga kerja asing dari Karawang, Jabar. Petugas imigrasi mendeportasi
sebanyak 16 orang TKA karena melanggar administrasi keimigrasian. Tenaga kerja asing yang
dideportasi antara lain berasal dari Cina, Malaysia, Singapura, Jepang, Korsel, Filipina, dan
Jerman.

Adanya tenaga kerja asing ilegal membuat DPR meminta pemerintah membentuk satgas—
terdiri dari unsur Kemenaker, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Polri,
hingga Badan Intelijen Negara—guna mengawasi peredaran tenaga kerja asing.
Dari sekian kenyataan itu, kembali ke narasi yang pernah disampaikan Sandiaga Uno pada
debat, apakah jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia berkorelasi dengan tingkat
pengangguran?

Tenaga Kerja Asing Vs Pengangguran


Menurut akademisi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, belum ada
korelasi yang kuat antara jumlah tenaga kerja asing yang meningkat dengan bertambahnya
jumlah pengangguran di Indonesia. Begitu pula sebaliknya.

“Kalau dilihat secara proporsional, bisa saja. Kuota lapangan kerja itu tidak hanya diisi oleh
lokal saja, tapi juga ada asingnya. Kalau asing masuk, yah otomatis kuota berkurang. Tapi
secara umum belum ada korelasinya,” katanya kepada Tirto.

Baca juga:
 Benarkah Tenaga Kerja Asing Mudah Masuk Indonesia?

Apa yang dikatakan Fithra ada benarnya. Apabila melihat perkembangan jumlah tenaga kerja
asing dan angka pengangguran di Indonesia justru terlihat berbanding terbalik. Selama 5 tahun
terakhir, tren jumlah tenaga kerja asing terus meningkat. Sebaliknya, tren angka pengangguran
malah terus menurun, meski sempat mengalami kenaikan pada 2015 dan 2017. Pada 2014,
angka pengangguran mencapai 7,24 juta orang, lalu turun menjadi 7 juta orang pada 2018.

Fithra memang menilai tidak ada korelasi yang kuat antara jumlah tenaga kerja asing dengan
angka pengangguran, tapi tak menutup kemungkinan tenaga kerja asing akan menjadi
persoalan dalam upaya mengurangi angka pengangguran di Indonesia.

Baca juga:
 Serikat Buruh: Hadirnya TKA Bukan Ancaman Serius Bagi Kami

Persoalan yang dikhawatirkan Fithra adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja asing dari blue
collar, yang tidak begitu dibutuhkan Indonesia karena bisa digantikan oleh tenaga kerja lokal
yang jumlahnya besar. Saat ini 43 persen tenaga kerja Indonesia berpendidikan SD dan SMP
yang ada dalam kategori ini.

Baca juga:
 43% Tenaga Kerja Lulusan SD & SMP, Apa Indonesia Siap Industri 4.0?
Blue collar adalah kelas pekerja yang mengerjakan pekerjaan kasar. Kekhawatiran Fithra bukan
tanpa alasan. Jika melihat perkembangannya, jumlah pekerja blue collar di Indonesia terus
meningkat. Pada 2014, jumlah pekerja blue collar sebanyak 3.433 orang. Pada Agustus 2017,
jumlah itu naik 341 persen menjadi 15.158 orang.

Kasus Taiwan
Dalam konteks Indonesia bila melihat statistik, memang tak ada korelasi langsung antara
jumlah tenaga kerja asing dengan pengangguran pada saat bersamaan. Namun, bila melihat
kasus negara lain, hal semacam itu bisa ada korelasi. Penelitian yang dilakukan akademisi dari
University of Melbourne, Hsiao-chuan Chang justru menyebutkan bahwa tenaga kerja asing
memiliki korelasi dengan tingkat pengangguran di Taiwan.

Kesimpulan itu didapat setelah Chang melakukan tiga simulasi terhadap pertumbuhan jumlah
tenaga kerja asing di Taiwan setelah 2001, saat kondisi jumlahnya naik, turun maupun stagnan.
Dalam jangka pendek, jumlah tenaga kerja asing yang meningkat bisa menaikkan tingkat
pengangguran di sana.

Penelitian berjudul “Are Foreign Workers Responsible for Increasing Unemployment Rate in
Taiwan?” (PDF) ini juga memiliki kesimpulan lain, yakni jumlah tenaga kerja asing yang
meningkat berpotensi menurunkan tingkat pengangguran dalam jangka panjang, seiring dengan
ekonomi Taiwan yang semakin menyesuaikan diri dalam menampung tenaga kerja asing.
Tenaga kerja asing di Taiwan lebih banyak menggantikan para pekerja tidak terampil lokal,
kondisi itu juga dinilai mendorong permintaan untuk tenaga kerja terampil. Artinya, kesempatan
bagi lokal untuk mendapatkan pekerjaan juga sebenarnya meningkat. Oleh karena itu, tingkat
pengangguran keseluruhan di Taiwan dapat tetap stabil atau pada level yang lebih rendah
dalam jangka panjang, meskipun pada saat bersamaan jumlah tenaga kerja di Taiwan juga
bertambah.

“Pernyataan bahwa tenaga kerja asing mendorong angka pengangguran meningkat itu benar,
namun hanya berlaku dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang, pernyataan itu tidak selalu
benar,” kata Chang.

(tirto.id - Ekonomi)

Penulis: Ringkang Gumiwang


Editor: Suhendra

Ancaman Tenaga Kerja Asing


Di tengah masih banyaknya jumlah pengangguran atau pencari kerja di
Tanah Air, isu membanjirnya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia tentu
sangat memprihatinkan. Di Indonesia, saat ini dilaporkan angka
pengangguran masih ada 7,04 juta jiwa, belum termasuk para pekerja di
sektor informal yang secara ekonomi sangat rentan terjerumus menjadi
orang miskin baru yang papa.

Arus investasi memang dibutuhkan dan menjadi salah satu prioritas


pemerintah untuk memperkuat fondasi perekonomian nasional, sekaligus
menjadi pendorong pertumbuhan lapangan kerja baru. Namun, ketika
kepentingan menarik investasi kemudian diikuti dengan makin longgarnya
persyaratan perizinan bagi tenaga kerja asing, maka bisa dipahami jika
banyak pihak resah.

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga


Kerja Asing yang diberlakukan mulai 29 Maret 2018 adalah kebijakan
politik pemerintah yang dikhawatirkan berdampak kontraproduktif.
Perpres baru yang menggantikan Perpres Nomor 72 Tahun 2014 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dibuat era Presiden ke enam Susilo
Bambang Yudhoyono ini, dinilai memberi berbagai kelonggaran kepada
TKA.

Kelonggaran ini berisiko mengancam eksistensi dan peluang tenaga kerja


lokal. Kalau berbicara di atas kertas, memang dalam ketentuan yang
berlaku, TKA tidak diperkenankan masuk ke dalam pekerjaan yang
tergolong kasar.

TKA hanya diperkenankan masuk dalam pekerjaan berkeahlian dan


dituntut pula melakukan transfer teknologi serta kemampuan mereka
kepada tenaga kerja lokal. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi
aturan itu hanya menjadi macan di atas kertas.

Sinyalemen tentang banyaknya TKA yang menyerbu Indonesia harus


diakui bukan sekadar isapan jempol. Di sejumlah daerah, diketahui tidak
sedikit TKA yang merebut kesempatan kerja yang sebetulnya tergolong
pekerjaan kasaran --menyisihkan peluang tenaga kerja lokal yang
membutuhkannya.

Di sejumlah industri, tidak sekali dua kali ditemukan keberadaan TKA yang
menjadi buruh kasar, tidur di barak-barak yang disediakan pabrik atau
tinggal di sekitar lokasi pabrik.

Pemerintah mengklaim bahwa menurut data resmi jumlah TKA tidak lebih
dari 80 ribu-90 ribu jiwa, tetapi di lapangan banyak TKA yang masuk ke
Indonesia tanpa melalui jalur resmi yang ditentukan. Berbagai bentuk
pelanggaran izin tinggal dan lain sebagainya, ditengarai kerap
dimanfaatkan sejumlah TKA untuk menyiasati aturan dan pembatasan
yang berlaku.

Terlepas seberapa banyak sebetulnya jumlah TKA yang ada di Indonesia


dan bagaimana modus yang mereka kembangkan untuk menyiasati
pengawasan pemerintah, yang jelas ketika persyaratan tentang TKA ini
diperlonggar, sejumlah risiko dikhawatirkan timbul.

Pertama, berisiko memicu tumbuhnya kecemburuan sosial di kalangan


pekerja lokal kepada TKA karena perbedaan fasilitas dan gaji yang mereka
terima.

Seperti diketahui, hasil investigasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI)


di tujuh provinsi menemukan bahwa tidak sedikit TKA ternyata bekerja
sebagai tenaga kasar dengan bayaran yang tiga kali lipat lebih tinggi
daripada pekerja lokal (Republika, 27 April 2018).

Kedua, berisiko menyebabkan terjadinya proses marginalisasi pencari


kerja domestik karena mempersempit peluang tenaga kerja lokal untuk
dapat terserap di berbagai kesempatan kerja yang tersedia.
Selama ini, sudah bukan rahasia lagi ketika industrialisasi masuk ke
sebuah wilayah, maka yang terjadi biasanya tidak hanya proses infiltrasi
dan invasi para pendatang dari luar, tetapi juga proses suksesi
kepemilikan aset dan peluang kerja yang seharusnya disedikan untuk
pekerja lokal.

Dengan dalih atau pertimbangan kompetensi TKA dianggap lebih


mumpuni, sering terjadi pabrik-pabrik tertentu lebih memilih
mempekerjakan TKA daripada tenaga kerja lokal.

Selain dinilai berpotensi mengganggu aktivitas produksi karena senang


demonstrasi atau terlibat dalam aksi unjuk rasa, keberadaan pekerja lokal
dinilai berisiko merongrong kinerja perusahaan. Dalam konteks seperti
ini, oleh sebab itu sebagian perusahaan lebih memilih mempekerjakan
TKA daripada pekerja lokal yang dinilai sering rewel.

Ketiga, risiko menambah panjang daftar antrean pencari kerja di Tanah


Air karena kesempatan kerja yang ada diambil oleh TKA, sekaligus
menambah banyak aksi nekat TKI/TKW untuk mengadu nasib mencari
kerja di luar negeri meski tidak melalui jalur yang sah.

Selama ini, tidak sedikit penduduk miskin yang nekat mengadu nasib
menjadi pekerja migran ilegal, karena kesulitan untuk mencari lapangan
kerja di dalam negeri.

Walaupun menjadi pekerja migran ilegal sangat berisiko mendapatkan


perlakuan tidak menusiawi, ketika tidak banyak pilihan yang tersedia di
Tanah Air maka aksi nekat pun terpaksa mereka lakukan.

Dilema

Tindakan pemerintah yang memperlonggar aturan tentang TKA,


sesungguhnya bertujuan baik, yakni ingin menarik investor sebanyak-
banyaknya agar dapat tercipta kesempatan kerja baru bagi para
pengangguran di Tanah Air.

Di tengah keterbatasan dana pembangunan nasional yang ada, mau tidak


mau pemerintah memang harus mengandalkan pada minat investor
untuk menanamkan dananya di Indonesia.

Meski lewat program dana desa dan gencarnya pembangunan


infrastruktur di berbagai daerah pemerintah berharap dapat
menstimulasi geliat pertumbuhan aktivitas ekonomi masyarakat, hasilnya
hingga detik ini masih belum seperti yang diharapkan.

Perkembangan sektor riil di Tanah Air masih berjalan di tempat,


sementara lapangan kerja yang tumbuh juga belum optimal. Dengan
mengingat iklim persaingan di tingkat global yang makin ketat dan banyak
negara tetangga juga menawarkan berbagai kemudahan bagi investor,
harus diakui tidak ada pilihan lain yang dapat diambil pemerintah.

Memperlonggar aturan yang berlaku bagi TKA adalah salah satu upaya
yang harus dilakukan pemerintah jika tidak ingin terkucil dari arus
investasi global. Bagi pemerintah, disadari bahwa keputusan untuk
memperlonggar aturan tentang TKA adalah sebuah langkah yang
serbadilematis.

Untuk memastikan agar keputusan pemerintah ini tidak berdampak


kontraproduktif, tidak ada lain pada saat yang sama pemerintah harus
berusaha untuk meningkatkan posisi tawar pekerja lokal. Selain itu,
meningkatkan kompetensi dan keahlian tenaga kerja lokal adalah fondasi
yang perlu dibangun agar nasib pekerja kita tidak makin terpinggirkan.

Pengusaha Sebut Aturan TKA Banyak


Manfaat dari Mudarat
Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia | Jumat, 27/04/2018 07:25 WIB

Bagikan :
Pengusaha menilai aturan baru Tenaga Kerja Asing (TKA) mampu mendatangkan investasi yang membuat efek
domino pada perekonomian, termasuk membuka lapangan kerja. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Jakarta, CNN Indonesia -- Kalangan pengusaha menilai aturan baru bagi Tenaga Kerja Asing
(TKA) akan lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang mudarat, kendati ada kekhawatiran
membanjirnya TKA dan tergerusnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal.

Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Anton J. Supit
menjabarkan, dari sisi persaingan tenaga kerja, kehadiran TKA di Indonesia saat ini sebarnya masih
sangat sedikit, hanya sekitar 85 ribu orang. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah TKI
yang bekerja di luar negeri yang mencapai 9 juta orang.

"Artinya, masih lebih banyak TKI di luar dibandingkan TKA di dalam. Negara harus adil pula dengan
negara lain dan ini juga tidak ada masalah dengan pekerja lokal," ucap Anton, Kamis (26/4).

Kedua, kehadiran TKA mampu mendatangkan investasi. Menurut Anton, ini merupakan manfaat terbesar
dari kehadiran TKA. Pasalnya, masuknya aliran investasi membuat dampak domino pada perekonomian,
di mana semua sektor ikut mendapatkan keuntungan.

"Investasi hanya akan masuk kalau aturan dan perizinan tidak dihambat. Kalau dari izin pekerjanya saja
sudah lebih cepat, mereka jadi lebih tertarik masukkan investasi," katanya.

Setelah investasi masuk, sambung Anton, dampak lanjutannya adalah roda industri bisa bergerak lebih
kencang karena mendapatkan modal dan lapangan kerja kian bertumbuh karena industri butuh
penggerak.
Lalu, industri yang bergerak membuat roda ekonomi dari sisi riil dan makro ikut membaik, sehingga
pertumbuhan ekonomi pun bisa meningkat.

"Karena tugas pokok negara adalah menghapuskan kemiskinan dengan memberi lapangan kerja. Kalau
mau lapangan kerja terbuka, investasi harus masuk untuk gerakkan ekonomi," terangnya.

Ketiga, terjadi transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dari TKA ke TKI. Hal ini membuat kualitas TKI
ke depan menjadi lebih baik dan bisa bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.

Kendati begitu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit Indra Munaswar melihat
hal yang berbeda. Ia rupanya tak yakin bila investasi akan mengalir deras usai pemerintah memberikan
kemudahan perizinan TKA untuk bekerja di dalam negeri.

"Kalau bicara investasi, apa sih yang bisa diharapkan oleh negara yang gejolak politiknya tidak berhenti-
henti? Tidak gampang orang tidak mau investasi kalau dia masih terganggu, dipersulit, masih suasana
politik yang tidak stabil. Jadi tidak menjamin akan datangnya investasi," ucap Indra.

Lihat juga:
Didominasi TKI, Transfer Uang ke RI di Bawah Vietnam

Selain itu, ia melihat, masih ada potensi bahwa masuknya TKA akan menggerus lapangan kerja TKI.
Pasalnya, aturan main baru dari pemerintah bukan sekedar mempercepat perizinan, tetapi juga
mempermudah persyaratan yang membuat aliran TKA bisa lebih deras.

Persyaratan yang dimaksud, misalnya TKA yang tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia
dibiarkan masuk dan mendapat izin kerja. Padahal, dalam aturan sebelumnya yang tertuang dalam
Undang-Undang (UU) diwajibkan bisa menggunakan bahasa Indonesia.

"Padahal kalau dibandingkan dengan TKI yang bekerja di luar negeri, itu mereka harus bisa bahasa
negara yang dituju, misalnya ke Arab, maka bisa bahasa Arab. Ini kok malah dihapus?" katanya.

Sementara, Kasubdit Perizinan TKA Sektor Jasa Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA Direktorat
Jenderal Binapenta Kementerian Ketenagakerjaan, Haryanto mengatakan, sebenarnya tak ada substansi
yang berubah dari aturan baru yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu.

Lihat juga:
Pengawasan Lemah, Pelanggaran Tenaga Kerja Asing Marak

Pasalnya, semua ketentuan baru hanya mempermudah dan mempercepat proses izin. Selain itu,
pengawasan yang ketat tetap akan dilakukan oleh pemerintah guna memastikan bahwa izin yang
diberikan bisa dipertanggungjawabkan.
"Perizinan tetap sesuai dengan pengendalian, tapi kami tidak lupa dari sisi pengawasan, seperti
tidak ada level pekerja kasar diisi TKA," kata Haryanto.

Menurutnya, satu-satunya potensi dampak negatif dari kehadiran TKA di dalam negeri apabila ada
penyelewangan atau pelanggaran dari ketentuan yang diberlakukan pemerintah.

Namun, untuk hal ini, pemerintah telah menyiapkan solusinya, yaitu melakukan pengawasan yang
lebih ketat melalui kerja sama dengan Tim Pengawas Orang Asing (Timpora), yang turut melibatkan
pemerintah daerah dan petugas imigrasi. Bahkan, sanksinya pun sudah disiapkan, yaitu tidak segan
melakukan deportasi.

"Ada aturannya, kalau dianggap melanggar ada tahapannya, dari mulai preventif pembinaan,
represif non yusdisial sampai kepada represif yusdisial sampai ke penindakan, misal deportasi,"
jelasnya. (agi/agi)

Anda mungkin juga menyukai