Anda di halaman 1dari 4

PEMERINTAH sedang gencar-gencarnya membasmi pinjaman online (pinjol) ilegal.

Dibasmi karena banyak penipuan dan tindak pidana yang dilakukan pinjol ilegal terhadap
masyarakat bawah. Penipuan pinjol ilegal terhadap masyarakat bawah itu sampai juga ke
telinga Presiden Joko Widodo. “Saya mendengar masyarakat bawah yang tertipu dan
terjerat bunga tinggi oleh pinjol yang ditekan dengan berbagai cara untuk mengembalikan
pinjamannya,”kata Presiden saat membuka acara OJK Virtual Innovation Day 2021 pada 10
Oktober 2021. Tidak sedikit orang terjerat utang pinjol dengan bunga selangit. Ada yang
bunuh diri karena tidak kuat membayar utang dan karena malu diintimidasi debt collector.
Pinjol ilegal mengakses semua nomor kontak telepon dan foto yang ada di perangkat
ponsel nasabah kemudian menyebarluaskannya. Perhatian Presiden terhadap nasib
masyarakat bawah yang terjerat utang pinjol ilegal itulah yang mendorong Kapolri Jenderal
Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh jajaran menindak tegas pinjol ilegal. Sejauh ini
kepolisian sudah menggerebek delapan lokasi kantor pinjol ilegal di beberapa lokasi.
Sejumlah orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Maraknya pinjol ilegal tidak terlepas
dari perubahan perilaku masyarakat yang menginginkan kemudahan akses dan
kenyamanan dalam melakukan transaksi keuangan. Perubahan perilaku itu merupakan
konsekuensi logis kemajuan teknologi komunikasi. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia menyebutkan, sampai Februari 2021, masyarakat Indonesia yang sudah
mengakses internet telah mencapai 202,6 juta orang. Dengan demikian, penetrasi internet
di Indonesia sudah menembus angka 74%. Internet sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat. Pemerintah kiranya perlu segera melakukan pembenahan menyeluruh terkait
pinjol ilegal. Pembenahan dari sisi regulasi dan meningkatkan literasi agar masyarakat tidak
tergiur pinjaman instan tanpa agunan dari pinjol ilegal. Terkait dengan pembenahan itulah
patut diapresiasi instruksi Presiden Jokowi dalam rapat terbatas, kemarin. Kemenkominfo
diinstruksikan untuk melakukan moratorium atas penerbitan izin bagi penyelenggara sistem
elektronik pinjol. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga diperintahkan untuk melakukan
moratorium penerbitan izin fintech atas pinjol yang baru. Selama masa moratorium, seluruh
pihak terkait hendaknya melakukan pembenahan menyeluruh. Pembenahan itu semata-
semata bertujuan untuk melindungi masyarakat. Apalagi, saat ini sudah lebih dari 68 juta
orang mengambil bagian dalam aktivitas fintech dan perputaran uangnya ditaksir mencapai
Rp260 triliun. Tugas negara untuk membasmi pinjol ilegal yang sebenarnya ialah rentenir
online. Publik berharap, sangat berharap, agar pihak kepolisian konsisten mencari dan
menindak pinjol ilegal. Seluruh tindakan kepolisian itu harus berujung di pengadilan
sehingga menimbulkan efek jera. Jangan sekali-kali memberi ruang dan peluang kepada
para pelaku pinjol ilegal terus bergentayangan mencari mangsa. Sudah tidak terhitung
jumlah pinjol ilegal yang diblokir. Akan tetapi, faktanya mati satu tumbuh seribu, pinjol ilegal
seakan-akan beroperasi dengan bebas. Kominfo sejak 2018 sampai 15 Oktober 2021 telah
menutup 4.874 akun pinjaman daring. Jangan hanya berwacana membasmi pinjol ilegal.
Sebab, pada Agustus, OJK, Polri, Kominfo, Gubernur BI, serta Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah telah mempunyai perjanjian, surat keputusan, dan kesepakatan
bersama untuk memberantas semua pinjaman daring ilegal. Kemauan sudah ada, tindakan
nyata yang ditunggu.

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2460-saatnya-menindak-
rentenir-online
PERINTAH Presiden Joko Widodo sangat lugas, tanpa basa-basi. Perintahnya ialah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang sakit segera ditutup. Presiden Jokowi menyampaikan
perintahnya itu di hadapan Menteri BUMN Erick Thohir dan para direktur utama BUMN
dalam pengarahannya di Manggarai Barat, NTT, Kamis (14/10). Rekaman videonya baru
dirilis Sekretariat Presiden pada Sabtu (16/10). Merawat BUMN yang sakit, apalagi kalau
mengalami sakit akut, hanya membebani keuangan negara. Jauh lebih esensial lagi ialah
memelihara BUMN yang sakit justru mengingkari tujuan pendiriannya yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Salah satu tujuannya ialah
mengejar keuntungan. Sudah 18 tahun undang-undang itu berjalan, tapi sepertinya negara
terus melanggengkan kebiasaan merawat BUMN yang sakit. Cara merawatnya ialah
pemerintah menyuntikkan modal lewat skema penyertaan modal negara (PMN). Kebiasaan
itulah yang dikritik Presiden Jokowi. “Yang lalu-lalu BUMN terlalu keseringan kita proteksi.
Sakit tambahi PMN, sakit suntik PMN. Maaf, terlalu enak sekali,” kata Jokowi. PMN selama
ini menjadi salah satu instrumen yang dibutuhkan BUMN dalam menjalankan penugasan
pemerintah. Karena itu, pemberian PMN jangan gebyah-uyah, harus melalui diagnosis yang
tepat dan akurat. BUMN yang sekarat segera dilikuidasi. BUMN yang masih bisa
diselamatkan, terutama BUMN yang karena fungsinya sebagai pembawa bendera negara
seperti Garuda Indonesia, perlu dibantu. Perbantuan itulah yang menjadi dasar masih
besarnya PMN untuk BUMN dalam RAPBN 2022. Pada Agustus 2021, Badan Anggaran
DPR menyetujui pembiayaan investasi pada RAPBN 2022 sebesar Rp182,3 triliun. Dari
anggaran tersebut, terdapat anggaran Rp38,4 triliun yang akan diberikan kepada tujuh
BUMN sektor infrastruktur dalam bentuk PMN. Harus jujur diakui, BUMN masih
memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Bahkan, kontribusi masih jauh
lebih besar ketimbang PMN. Fakta itulah yang diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir
kepada Komisi VI DPR pada Juli 2021. Disebutkan, dalam 10 tahun terakhir, BUMN
berkontribusi sebesar Rp3.295 triliun yang terdiri atas pajak sebesar Rp1.872 triliun, PNBP
sebesar Rp1.035 triliun, dan dividen sebesar Rp388 triliun. Kontribusi itu bila dibandingkan
dengan PMN yang diberikan ialah 4% atau Rp147 triliun dari 2011-2020. Bahkan, hampir
81% PMN digunakan untuk melaksanakan penugasan pemerintah dan hanya 6,9% untuk
restrukturisasi. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa masih ada BUMN yang saat ini
tinggal papan nama. Perusahaan pelat merah yang tinggal papan nama itulah yang
mestinya ditutup segera. Ditutup karena sudah lama tidak beroperasi dan nasib
pegawainya terkatung-katung. Sejauh ini, berdasarkan diagnosis Kementerian BUMN,
terdapat tujuh BUMN yang segera ditutup. Mereka ialah PT Industri Gelas, PT Merpati
Nusantara Airlines, PT Kertas Leces, PT Kertas Kraft Aceh, PT Industri Sandang
Nusantara, PT Istaka Karya, dan PT Pembiayaan Armada Niaga Nasional. Pendirian dan
pembentukan BUMN oleh pemerintah tidak semata-mata bertujuan untuk mencari
keuntungan karena negara pada dasarnya tidak didirikan untuk berbisnis dan mencari
keuntungan. Karena itu, meski BUMN berbentuk persero, hakikatnya tetap sebagai agen
pembangunan, termasuk menjalankan penugasan khusus pemerintah. Untuk dapat
mengoptimalkan peran dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam
perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu
menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan
pengurusan dan pengawasannya. Pengelolaan BUMN sudah berada di jalur yang benar.
Pemerintah sudah mulai melakukan penggabungan, konsolidasi, maupun reorganisasi.
Saat ini jumlah perusahaan BUMN di Indonesia tinggal 41 dari sebelumnya 108
perusahaan. Pemerintah mempunyai andil untuk menciptakan BUMN yang profesional.
Caranya ialah direksi dan komisarisnya semata-mata diangkat karena pertimbangan
profesionalitas, bukan bagi-bagi jatah. Paling penting lagi, BUMN jangan dijadikan sebagai
sapi perah politik.

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2461-likuidasi-bumn-sakit
HILIRISASI industri. Kata itu mudah diucapkan, tetapi begitu sulit direalisasikan. Banyak
rencana disusun, cetak biru sudah dibuat, bahkan aturan mainnya pun telah disiapkan.
Akan tetapi, hasil di lapangan tak secantik di atas kertas. Hilirisasi, atau penghiliran, industri
masih saja sangat lambat, kalau tidak mau dikatakan mandek. Rencana untuk
meningkatkan nilai tambah komoditas sektor tambang melalui program penghiliran industri
minerba, misalnya, telah dibuat sejak 20 tahun lalu. Namun, implementasinya jalan di
tempat. Begitu pula yang terjadi di sektor lain, seperti perkebunan dan perikanan. Selama
ini kita terlena kemudian terjebak sebagai negara pengekspor bahan mentah. Di era
sekarang tak bisa lagi seperti itu. Strategi besar Republik ini mestinya ialah keluar
secepatnya dari jebakan tersebut. Bagaimana caranya? Tidak ada opsi lain, langkah
penghiliran industri harus dipercepat. Pada saat yang sama pemerintah juga mesti tegas
dan konsisten untuk menegakkan aturan pelarangan ekspor sejumlah komoditas mentah.
Kekayaan alam milik Indonesia, terutama yang sedang menjadi tren dunia, harus kita garap
dan olah sendiri. Menggenjot penghiliran artinya mempercepat pembangunan industri
pengolahan untuk menjemput nilai tambah dan manfaat-manfaat lain yang bisa diperoleh
ketimbang kita menjual sumber-sumber daya alam itu secara mentahan. Peralihan itu tentu
butuh momentum dan itulah makna penting dari groundbreaking pabrik pemurnian tambang
(smelter) PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur,
oleh Presiden Jokowi. Dalam bahasa pemerintah, pembangunan smelter Freeport itu tak
sekadar menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan
Batu Bara alias UU Minerba yang mewajibkan semua industri minerba
membangun smelter. Lebih dari itu, ini momentum bersejarah karena memindahkan
penghiliran yang sebelumnya dominan dilakukan di luar negeri ke dalam negeri. Sejatinya
ini momentum kedua. Tepat sebulan lalu, Presiden Jokowi juga menggaungkan pentingnya
kita segera mengubah struktur ekonomi yang berbasis komoditas ke penghiliran atau
industrialisasi, saat meresmikan pembangunan pabrik baterai (pengolahan nikel) untuk
kendaraan listrik di Karawang, Jawa Barat. Dengan skala produksi yang besar,
keduanya, smelter dan pabrik baterai, ialah milestone penting dalam upaya Republik ini
membangun kisah sukses dalam pemanfaatan bahan tambang. Lantas, dengan dua
momentum besar tersebut, masih layakkah dimaklumi jika penghiliran berjalan lambat?
Relakah kita melepas momentum itu dan lagi-lagi harus kehilangan kesempatan untuk
menjadi pemain industri utama di dunia di masa depan? Ini saatnya kita semua mengawal
implementasi rencana besar tersebut. Seperti yang juga dikatakan Presiden, tak boleh ada
kata mundur untuk penghiliran. Meskipun upaya itu akan mendapat banyak tentangan, baik
dari dalam maupun luar negeri, pantang kita surut. Ini catatan penting buat pemerintah
yang selama ini justru kerap angin-anginan dan kehilangan konsistensi untuk terus
mengencangkan program besar itu. Ketika pemerintah sudah mengeluarkan aturan
larangan ekspor bahan mentah, tegakkan. Kalau UU sudah mengamanahkan industri
minerba harus membangun smelter, laksanakan. Jangan lagi ada kompromi, jangan lagi
mudah iba dan obral keringanan kepada pengusaha yang sebetulnya ingin cari gampang,
main ekspor tanpa memikirkan nilai tambah buat negara. Jangan melentur-lenturkan
aturan. Jangan pula mundur sekalipun nanti ada pihak dari luar negeri yang menggugat
kebijakan Indonesia.

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2458-pantang-surut-genjot-
hilirisasi
SECERCAH harapan muncul bagi 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
telah resmi diberhentikan dengan hormat karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan
untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mereka berkesempatan mengabdi sebagai ASN
di Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Tawaran itu datang sepekan silam, langsung dari
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kapolri bahkan menyebut rencana rekrutmen itu
sudah mendapatkan restu dari Presiden Joko Widodo. Para eks pegawai KPK tersebut
dinilai memiliki kemampuan yang cocok untuk kerja Polri sehingga bisa langsung diangkat
menjadi ASN Polri. Apalagi, banyak di antara mereka yang punya pengalaman bertahun-
tahun di KPK. Rencana Kapolri tampak seperti win-win solution atas nasib pegawai KPK
yang tidak terangkut gerbong ASN KPK. Akan tetapi, benarkah begitu? Mari kita telaah dari
sisi aturan. Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
menyebutkan pengadaan PNS dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman
lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan
pengangkatan menjadi PNS. Kemudian, menurut Pasal 62 ayat (1), penyelenggaraan
seleksi pengadaan PNS melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi,
kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan oleh jabatan. Dari sudut pandang regulasi,
keinginan Kapolri untuk langsung mengangkat para eks pegawai KPK menjadi ASN Polri
rawan melanggar undang-undang. Pengalaman dan kompetensi yang dianggap sudah
mumpuni tidak bisa menjadi dasar meloloskan mereka sebab anggapan bukan merupakan
penilaian objektif. Pasal 62 ayat (2) UU ASN lantas mengatur penyelenggaraan seleksi
terdiri atas seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi bidang.
Itu amanat undang-undang. Oleh karena aturan itu pula, ratusan ribu guru honorer tidak
bisa mendapatkan status ASN ketika gagal lolos seleksi. Tidak peduli mereka sudah
mengajar selama belasan bahkan puluhan tahun. Pengabdian di daerah terpencil yang
sarat dengan fasilitas minim dan tingkat kesulitan berlipat juga tidak membantu untuk
langsung diangkat menjadi ASN. Mereka tetap harus mengikuti proses seleksi dengan tes.
Persoalan lain yang berpotensi mengganjal ialah timbulnya standar ganda dalam
perekrutan ASN. KPK mengadakan tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status
pegawai menjadi ASN. TWK tersebut sempat disebut mengada-ada demi mengganjal
pegawai-pegawai yang tidak disukai pimpinan KPK. Namun, keputusan Mahkamah Agung
(MA) yang menolak gugatan atas aturan tersebut membuktikan legitimasi TWK. Kini, Polri
hendak mengangkat para pegawai KPK yang gagal lolos TWK menjadi ASN. Lantas
muncul pertanyaan apakah institusi Polri memiliki standar yang berbeda dengan KPK
tentang wawasan kebangsaan personel? Upaya merekrut ke-57 mantan pegawai KPK
memang patut dilakukan. Tidak bisa dimungkiri setidaknya sebagian dari mereka memiliki
kemampuan sangat mumpuni dalam mendukung kerja memberantas korupsi. Beberapa
dari mereka menjadi bagian dari tim yang menguak kasus-kasus besar KPK. Hanya, perlu
pertimbangan masak-masak dalam menentukan langkah solusi. Barangkali akan lebih tepat
bila menyalurkan eks pegawai KPK menjadi tenaga non-ASN di institusi pemerintahan.
Misalnya, untuk mengisi posisi staf khusus dan tim kelompok kerja di Kompolnas. Ke
depan, Polri atau malah KPK sendiri bisa pula menggelar proses seleksi ASN yang
memberikan kesempatan pertama bagi 57 eks pegawai KPK. Siapa tahu, wawasan
kebangsaan mereka sudah meningkat.

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2451-menimbang-solusi-
bekas-pegawai-kpk

Anda mungkin juga menyukai