Anda di halaman 1dari 75

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community yang akan

dilaksanakan pada 2016 mendatang masih menyisakan tanda tanya. Terutama bagaimana
mekanisme pelaksanaan pasar bebas ini, langkah antisipasi pemerintah, dan implikasinya
bagi banyak sektor di Indonesia

Salah satunya adalah persoalan ketenagakerjaan. Hingga saat ini, regulasi arus tenaga kerja
secara bebas masuk ke Indonesia. Secara terpisah sudah ada sejumlah regulasi parsial tentang
tenaga kerja asing di bidang industri pengolahan minuman, dan bidang di bidang energi.
Kalau pada akhirnya ketenagakerjaan menjadi bebas masuk ke dalam negeri, bagaimana pula
wajah tenaga kerja Indonesia untuk bersaing bersama anggota peserta AEC 2015?

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pembangunan ketenagakerjaan di


Indonesia saat ini masih sangat rendah. Kesalahannya bisa tataran individu, lembaga,
perantara atau justru pada regulasi yang menyertai.

Sektor tenaga kerja di Indonesia menghadapi tiga permasalahan utama yang dapat
mempengaruhi daya saing tenaga kerja. Pertama, persoalan kesempatan kerja yang terbatas.
Situasi ini, disebabkan karena pertumbuhan ekonomi yang belum mampu menyerap angkatan
kerja yang masuk ke dalam pasar kerja dan jumlah penganggur riil. Kedua, rendahnya
kualitas angkatan kerja. Berdasarkan data BPS Agustus 2013, rendahnya kualitas angkatan
kerja terlihat dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan SD
ke bawah yang masih mencapai 52 juta orang atau 46,95 persen. Ketiga, masih tingginya
tingkat pengangguran. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia
pada Agustus 2013 mencapai 6,25 persen atau meningkat dari Februari 2013 yang tercatat
5,92 persen dan Agustus 2012 yang sebesar 6,14 persen.
Melihat hal tersebut, kondisi ini mengharuskan Indonesia untuk mencari terobosan dan
pemecahan agar tenaga kerja sebagai aset bangsa tidak menjadi beban di kemudian hari bagi
pembangunan. Kondisi ini mengharuskan kita mencari suatu pemecahan yang tidak lagi
bersifat normatif tetapi ke arah terobosan (breathrough) agar tenaga kerja sebagai aset bangsa
tidak justru menjadi beban di kemudian hari bagi pembangunan.

Setidaknya dua aspek penting ketenagakerjaan di Indonesia yakni Sumber Kekayaan Alam
(SKA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber kekayaan alam tidak akan berarti dan
menyejahterakan rakyat jika tidak dikelola oleh tenaga kerja yang kompeten dan berkualitas.
Tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan itu sendiri.

Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah kenaikan upah yang signifikan dalam konteks
UMR (Upah Minimum Regional), isu pekerjaan yang bersifat outsourcing, dan ancaman
pengangguran.

Disamping itu, dalam menghadapi MEA 2015, persoalan tenaga kerja di Luar Negeri masih
banyak menyisakan perkerjaan rumah. Landasan hukum terkait penempatan tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKLN).

Namun, ketika dibaca dan ditelaah secara kritis, UU ini dinilai lebih banyak mengatur
prosedural dan tata cara penempatan TKI ke luar negeri, dan hanya sedikit mengatur hak-hak
dan jaminan perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya.

Lindungi Nelayan dan Petani


Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai strategi dan persiapan Indonesia menghadapi MEA
2015 berpeluang gagal. Pasalnya, tidak adanya perubahan kebijakan guna memaksimalkan
perlindungan bagi nelayan dan petani Indonesia. Faktanya, pertumbuhan penduduk
Indonesia masih tinggi, konsumsi pangan dan perikanan terus meningkat, serta 80 hingga 90
persen kebutuhan konsumsi pangan domestik Indonesia bersumber dari produksi petani dan
nelayan kecil. Maka, kegagalan melindungi petani dan nelayan akan menggeser MEA 2016
dari peluang menjadi ancaman serius bangsa.

MEA 2015 akan mendorong liberalisasi pangan melalui pengintegrasian sektor pertanian dan
perikanan Negara-negara ASEAN. Sebagai informasi, bahwa Indonesia merupakan produsen
terbesar ikan di dunia dengan total produksi sebesar 19,56 juta ton pada 2013, dan produsen
terbesar beras di dunia sebesar 36,55 juta ton.

Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap kebijakan subsidi belum terjawab dengan solusi
yang tepat. Harapan adanya penambahan alokasi subsidi benih dan pupuk bagi petani dan
pemberian subsidi BBM yang tepat sasaran kepada nelayan.
Untuk itu, diperlukan strategi baru perlindungan petani dan nelayan Indonesia, terlebih dalam
menghadapi MEA 2015. Strategi dimaksud meliputi intervensi negara dalam mereduksi
hegemoni industri dalam kegiatan hulu-hilir pertanian maupun perikanan rakyat.

1. MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)


Dalam KTT Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) ke-9 yang diselenggarakan di
Provinsi Bali tahun 2003, antar seluruh kepala negara anggota ASEAN telah menyepakati
pembentukan komunitas ASEAN dengan dideklarasikannya Bali concord II dalam KTT
ASEAN tersebut. Dengan adanya komunitas yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) ini, akan terjadi perdagangan barang, jasa, modal dan investasi yang
bergerak bebas tanpa halangan secara geografis. Tanpa halangan secara geografis tersebut,
diharapkan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini menjadi merata dan ASEAN akan menjadi
kawasan ekonomi yang berdaya saing karena menjelma menjadi pasar tunggal dan kesatuan
basis produksi sehingga ASEAN dapat meningkatkan kemampuan untuk berintegrasi dengan
perekonomian dunia secara global.

Berlakunya MEA hanya tinggal hitungan bulan diakhir tahun 2014 ini karena sejak awal
tahun depan MEA akan segera berlaku. Kesiapan Indonesia sangat diperlukan menghadapi
MEA bila tidak ingin Negara Indonesia akan menjadi pasar bagi negara ASEAN lainnya.
Kesiapan Indonesia diperlukan tidak hanya pada proteksi produk dalam negeri namun juga
pada sisi dunia ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan, definisi ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Bekerja
merupakan cara manusia mendapatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia meskipun
selalu harus dihadapkan dengan kenyataan terbatasnya lapangan kerja di negara ini. Padahal
bila mengkristalisasi tujuan kedua dari tujuan nasional dalam UUD NRI Tahun 1945, maka
akan bisa dimaknai bahwa negara bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan
sehingga hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah jaminan sekaligus hak
konstitusional setiap warga negara karena dengan bekerja akan dapat meningkatkan
kesejahteraan seseorang.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk paling banyak di kawasan Asia
Tenggara. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat mengakibatkan jumlah
angkatan kerja juga terus meningkat setiap tahunnya di tengah kesempatan kerja yang
terbatas karena pertumbuhan ekonomi belum mampu menyerap angkatan kerja tersebut
masuk ke dalam pasar kerja. MEA yang akan dimulai awal tahun depan tersebut tentu akan
memberikan dampak positif dan negatif bagi negara Indonesia.

Dampak positifnya dengan adanya MEA, tentu akan memacu pertumbuhan investasi baik
dari luar maupun dalam negeri sehingga akan membuka lapangan pekerjaan baru. Selain itu,
penduduk Indonesia akan dapat mencari pekerjaan di negara ASEAN lainnya dengan aturan
yang relatif akan lebih mudah dengan adanya MEA ini karena dengan terlambatnya
perekonomian nasional saat ini dan didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
pengangguran per februari 2014 dibandingkan Februari 2013 hanya berkurang 50.000 orang.
Padahal bila melihat jumlah pengguran tiga tahun terakhir, per Februari 2013 pengangguran
berkurang 440.000 orang, sementara pada Februari 2012 berkurang 510.000 orang, dan per
Februari 2011 berkurang sebanyak 410.000 orang (Koran Sindo, Selasa, 6 Mei 2014).
Dengan demikian, hadirnya MEA diharapkan akan mengurangi pengangguran karena akan
membuka lapangan kerja baru dan menyerap angkatan kerja yang ada saat ini untuk masuk ke
dalam pasar kerja.

Adapun dampak negatif dari MEA, yaitu dengan adanya pasar barang dan jasa secara bebas
tersebut akan mengakibatkan tenaga kerja asing dengan mudah masuk dan bekerja di
Indonesia sehingga mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat di bidang
ketenagakerjaan. Saat MEA berlaku, di bidang ketenagakerjaan ada 8 (delapan) profesi yang
telah disepakati untuk dibuka, yaitu insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga
pariwisata, praktisi medis, dokter gigi, dan akuntan (Media Indonesia, Kamis, 27 Maret
2014). Hal inilah yang akan menjadi ujian baru bagi masalah dunia ketenagakerjaan di
Indonesia karena setiap negara pasti telah bersiap diri di bidang ketanagakerjaannya dalam
menghadapi MEA.

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam rangka ketahanan nasional dengan tetap melihat
peluang dan menghadapi tantangan bangsa Indonesia di era MEA nantinya, khususnya
terhadap kesiapan tenaga kerja Indonesia sangat diperlukan langkah-langkah konkrit agar
bisa bersaing menghadapi tenaga kerja asing tersebut.
2. KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM
MENGHADAPI MEA
Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian atau catatan bagi dunia ketenagakerjaan
sebelum saatnya negara kita benar-benar akan memasuki MEA.

a. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Ketenagakerjaan.


Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Meskipun sumber hukum
ketenagakerjaan di Indonesia terdapat ketentuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
merupakan peraturan pokok yang berisi pengaturan secara menyeluruh dan komprehensif di
bidang ketenagakerjaan. Hal inilah yang menjadi pegangan sebagai aturan main dunia
ketenagakerjaan di Indonesia saat memasuki MEA. Namun, apakah Undang-Undang tersebut
sudah melindungi pekerja terlebih saat akan memasuki MEA? Dengan banyaknya perusahaan
dan tenaga kerja asing yang akan masuk nanti, apakah Undang- Undang ini juga akan
melindungi pekerja Indonesia?

Sebagai contoh, dalam setiap orasi atau demo yang dilakukan oleh kalangan pekerja,
penerapan sistem kontrak dan outsourcing yang didasari oleh Undang-Undang ini dianggap
telah memperlemah posisi buruh karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, bahkan
kepastian tunjangan kesejahteraan lainnya sehingga pekerja/buruh meminta hal tersebut
untuk dihapus. Bahkan pemerintah seringkali dituding telah banyak menghapus atau
mengubah berbagai peraturan yang bersifat protektif demi masuknya investasi ke negara
Indonesia.

Selanjutnya, dengan telah diuji materilkannya beberapa kali Undang- Undang ini ke
Mahkamah Konstitusi telah mengakibatkan beberapa pasal yang telah diputus dalam uji
materiil tersebut sehingga mengakibatkan perlu segera ditindaklanjuti. Dengan telah
dibatalkannya beberapa Pasal seperti misalnya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 155 ayat
(2), dan Pasal 158, keberadaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengakibatkan Undang-Undang ini menjadi tidak utuh lagi sehingga
Undang- Undang tersebut memang layak untuk segera disempurnakan kembali. Namun,
perubahan atau penggantian Undang- Undang tentang Ketenagakerjaan tak semudah seperti
membalikkan telapak tangan. Rencana revisi Undang-Undang tersebut sebenarnya pernah
terjadi tahun 2006, dan saat itu pemerintah menarik kembali usulan revisi karena ada tarik-
menarik kepentingan yang cukup kuat antara kepentingan buruh dan pengusaha. Hal Ini
pulalah yang mengakibatkan rencana perubahan atau penggantian Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan tersebut menjadi sulit karena kepentingan antara pekerja dan pengusaha
sulit mencapai titik yang ideal.

Berdasarkan teori Radbruch, suatu peraturan atau hukum baru dapat dikatakan baik apabila
memenuhi tiga syarat, yaitu secara filosofis dapat menciptakan keadilan, secara sosiologis
bermanfaat, dan secara yuridis dapat menciptakan kepastian (Satjipto Rahardjo, 1980).
Dibuatnya peraturan di bidang ketenagakerjaan memang bertujuan untuk mencapai
kedamaian dan memenuhi ketiga syarat tersebut. Pemerintah seharusnya hadir untuk
melindungi dengan memberikan perlindungan khususnya kepada pekerja
Indonesia dan bukan menjadi takluk bagi kepentingan para pemilik modal. Untuk
menghadapi MEA, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan diharapkan segera
disempurnakan untuk memenuhi ketiga syarat tersebut karena pekerja Indonesia adalah salah
satu komponen yang berpengaruh terhadap bidang ekonomi, politik, dan sosial di negara ini.

b. Sumber Daya Manusia (SDM) Pekerja Indonesia


Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja Indonesia. Kompetisi SDM antarnegara ASEAN
merupakan hal yang pasti terjadi saat terbukanya gerbang MEA nanti. Bila pekerja Indonesia
tidak siap menghadapi persaingan terbuka ini, MEA akan menjadi momok bagi pekerja
Indonesia karena akan kalah bersaing dengan pekerja dari negara ASEAN lainnya.
Bagaimana kesiapan SDM Indonesia menyambut MEA 2015 nanti? Berdasar data BPS,
jumlah angkatan kerja Indonesia perFebruari 2014 telah mencapai 125,3 juta orang atau
bertambah 1,7 juta dibanding Februari 2013. Namun, jumlah angkatan kerja masih
didominasi oleh lulusan SD kebawah yakni 55,31 juta, disusul lulusan sekolah menengah
pertama 21, 06 juta, sekolah menengah atas 18,91 juta, sekolah menengah kejuruan 10,91
juta, Diploma I/II/II 3,13 juta dan universitas hanya 8,85% (Koran Sindo, 6 Mei 2014).

Rendahnya kualitas pekerja Indonesia bila dilihat dari tingkat pendidikan formal ini jelas
sangat mengkhawatirkan. Dengan sisa waktu yang sangat sempit ini, Pemerintah perlu
mencari terobosan dan cara singkat untuk meningkatkan ketrampilan dan kompetensi kerja
bagi SDM kita yang sesuai dengan kebutuhan pasar MEA nantinya dan bukan hanya
terobosan yang sifatnya normatif melalui Peraturan perundang-undangan. Perlindungan
melalui peraturan bukannya tidak penting, namun untuk saat ini diperlukan upaya riil karena
kita berpacu dengan waktu yang sempit. Salah satu upayanya bisa dengan mengoptimalkan
sarana prasarana yang ada baik dengan sering mengadakan workshop ataupun seminar bagi
angkatan kerja baru maupun pelatihan peningkatan kualitas skill bagi angkatan kerja yang
sudah ada. Sebagai perbandingan, di negara Vietnam mulai memberikan pelatihan bahasa
Indonesia bagi setiap tenaga kerjanya menghadapi MEA.
Dengan dimulainya MEA tentu akan ada masalah dalam komunikasi karena bahasa dari tiap-
tiap negara berbeda.

Pengenalan bahasa negara ASEAN lainnya atau minimal penguatan bahasa Internasional
seperti bahasa Inggris kepada pekerja atau masyarakat kita bisa dijadikan terobosan sebagai
upaya persiapan menghadapi MEA.
Selain itu, di era digital seperti saat ini, kebutuhan akan penguasaan atas teknologi bagi
tenaga kerja merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi karena perkembangan
teknologi berkembang sangat cepat. Oleh karena itu perlu adanya pelatihan bagi pekerja
Indonesia untuk belajar memahami dan terus meng-update teknologi terkini yang mendukung
setiap pekerjaannya.

Hal ini jelas akan meningkatkan keahlian mereka sehingga akan meningkatkan daya saing
mereka dengan pekerja dari negara ASEAN lainnya. Meskipun saat ini telah ada Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan
Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing sebagai upaya bentuk perlindungan
dan mengantisipasi globalisasi sektor jasa atau ketenagakerjaan ini, persiapan SDM Indonesia
di berbagai hal seperti mempelajari bahasa asing untuk berkomunikasi dan mengenal
teknologi terkini sangat penting dilakukan.

Artinya, perlu ada nilai lebih yang dimiliki pekerja Indonesia untuk ditawarkan kepada
pemberi pekerjaan agar dapat berhasil menghadapi MEA awal tahun depan tersebut.

3. Penegak Hukum Pengawas Ketenagakerjaan


Pengawasan ketenagakerjaan seharusnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
134 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan
bahwa Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan. Dalam menghadapi MEA, posisi pengawas ketenagakerjaan menjadi hal
yang sangat penting dalam hubungan industrial agar semakin kondusif dan sebagai pelindung
bagi pekerja dalam menghadapi persaingan global ini. Upaya persiapan yang harus segera
dibenahi adalah kualitas dan kuantitas tenaga pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan
pengawasan terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tersebut.

Dari sisi kualitas, dengan adanya perubahan sistem pemerintahan yang awalnya sentaralistik
menjadi desentralistik mengakibatkan kewenangan pemerintahan saat ini lebih banyak
bertumpu pada pemerintahan kabupaten/kota. Namun, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang
seharusnya menjadi pelindung bagi pekerja bisa dikatakan belum dapat menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya dan mengetahui permasalahan tenaga kerja secara mendalam karena
seringkali latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja pengawas ketenagakerjaan
tersebut tidak mendukung. Hal ini diakibatkan pelaksanaan mutasi pegawai yang seringkali
kurang memperhatikan latar belakang pendidikan seseorang saat akan melakukan mutasi.

Dari sisi kuantitas, berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans), jumlah pengawas ketenagakerjaan pada tahun 2013 tercatat
sekitar kurang lebih 2.400 orang di Indonesia, dan para pengawas itu harus mengawasi
sekitar 216.000 perusahaan di Indonesia. Sebaran pengawas ketenagakerjaan itupun hingga
saat ini baru menjangkau kurang lebih 300 kabupaten/kota dari kurang lebih sebanyak 500
jumlah kabupaten/kota yang ada. Hal ini sangat kurang ideal mengingat disparitas yang
terlalu jauh antara jumlah penegak hukum dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi.

Dengan jumlah yang tidak berimbang antara tenaga pengawas dan jumlah perusahaan, hal ini
jelas mengakibatkan pengawasan ketenagakerjaan menjadi tidak efektif karena kuantitas
SDM pengawas ketenagakerjaan yang belum sesuai dengan kebutuhan dilapangan. Untuk
mengatasi hal ini sudah seharusnya Pemerintah segera melakukan pendidikan dan pelatihan
secara berkesinambungan serta menginventarisasi kebutuhan jumlah pegawai pengawas
ketenagakerjaan, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten kota sehingga dapat
mengantisipasi derasnya investasi yang akan masuk ke Indonesia saat berlakunya MEA nanti.

KESIMPULAN
Mempersiapkan peraturan perundang-undangan, kualitas SDM pekerja Indonesia, dan
pengawas ketenagakerjaan secara maksimal merupakan beberapa hal yang perlu dipersiapkan
dalam menghadapi tantangan MEA. Tidak ada kata terlambat untuk menyiapkan dan
menerapkan strategi brilian untuk menghadapi MEA melalui sejumlah upaya aksi nyata di
tengah persiapan yang telah dilakukan oleh Pemerintah, pengusaha, dan pekerja saat ini.
Bahkan hari kebangkitan nasional pada bulan Mei tahun ini harus dijadikan momentum bagi
rakyat Indonesia dan generasi penerus untuk mendapatkan lecutan semangat nasionalisme
dan perjuangan tanpa pamrih yang pernah dilakukan oleh para pejuang dan pahlawan bangsa
ini demi terciptanya sebuah kemerdekaan bangsa indonesia yang hakiki, sentosa, adil, dan
makmur tanpa harus tergerus oleh perkembangan zaman di negeri sendiri.

http://rizkie-library.blogspot.co.id/2015/09/mea-dan-kebijakan-ketenagakerjaan.html

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengeluarkan instrumen


aturan pengetatan Tenaga Kerja Asing (TKA) melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
(Permenaker) 16/2015 tentang Tata Cara Pengendalian dan Penggunaan TKA.

Dalam aturan itu, pemerintah mewajibkan syarat-syarat baru yang lebih ketat. Di antaranya
aturan TKA harus memiliki sertifikat kompetensi atau
berpengalaman kerja minimal 5 tahun serta ada jabatan tertentu yang tertutup bagi TKA.

Baca Juga

Iqbal PPP: Pengawasan Tenaga Kerja Asing Harus Rutin


Komisi IX DPR Duga Banyak Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia
TKI di Korea Selatan Dapat Hak yang Sama dengan Pekerja Lokal

Ada juga jabatan yang hanya diberi izin kerja selama 6 bulan dan tidak boleh diperpanjang.

Selain itu diatur pula soal ketentuan setiap merekrut 1 TKA di saat yang sama harus merekrut
10 tenaga kerja dalam negeri (TKDN). Serta, adanya kewajiban TKA didampingi oleh TKDN
dalam rangka alih teknologi, ilmu, dan lainnya.

Semua TKA harus taat terhadap regulasi ketenagakerjaan. Setiap TKA yang dipekerjakan di
Indonesia harus berdasarkan jabatan dan sektor-sektor
yang dibuka untuk masuknya TKA, dengan jangka waktu yang juga dibatasi untuk tiap-tiap
jabatan," Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri saat membuka seminar nasional di
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Yogyakarta, Sabtu 12 September 2015.

Bahkan, imbuh Hanif, ada juga jabatan yang sama sekali tertutup bagi TKA. "Kita juga atur
komposisi TKA dengan didampingi 10 TKDN.
Untuk memperketat masuknya TKA ilegal, Hanif mengaku telah berkoordinasi dengan
Kementerian Hukum dan HAM, imigrasi, Polri, dan instansi terkait lainnya, termasuk dengan
Kementerian Pariwisata terkait adanya indikasi visa wisata yang disalahgunakan oleh TKA
Ilegal.

"Kita pastikan hanya menerima TKA yang level atas dan masuk kategori skill, jika ada
ditemukan TKA yang unskilled, maka itu adalah TKA ilegal dan merupakan pelanggaran
yang harus diberi sanksi tegas sesuai aturan hukum," beber Hanif Dhakiri. (Gilar/Ans)

http://news.liputan6.com/read/2316657/perketat-masuknya-tenaga-kerja-asing-ini-aturan-
baru-kemnaker

Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yakni pada Bab VIII: Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pasal 42
sampai dengan Pasal 49.

Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu waktu tertentu. Penggunaan tenaga kerja asing tidak bisa sembarangan,
karena harus ada izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Selain itu, dalam bidang apapun, tenaga kerja asing yang dipekerjakan harus sesuai dengan
ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

- See more at: http://www.gresnews.com/berita/tips/20369-dasar-hukum-penggunaan-tenaga-


kerja-asing/0/#sthash.LSPlFlHH.dpuf
http://www.gresnews.com/berita/tips/20369-dasar-hukum-penggunaan-tenaga-kerja-asing/0/
Tata Cara Baru Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia

Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi


menerapkan tata cara baru untuk tenaga kerja asing di Indonesia dengan menerbitkan
peraturan nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(Peraturan 12 Tahun 2013) pada tanggal 30 Desember 2013 untuk menahan laju jumlah
tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia yang meningkat sejak pemberlakuan peraturan nomor
PER.02/MEN/III/2008. Peraturan 12 Tahun 2013 mengatur 2 hal penting dalam penggunaan
TKA, yaitu persyaratan formal bagi TKA dan izin dan dokumen yang diwajibkan bagi TKA.
Dalam blog ini kami akan membahas perubahan yang signifikan atas peraturan baru tersebut
dan dampaknya bagi tenaga kerja asing.

Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing (TKA) harus berbadan hukum

Menurut pasal 2 Peraturan 12 Tahun 2013, persekutuan perdata, firma, CV, dan usaha dagang
dilarang mempekerjakan TKA kecuali diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan
terdahulu, larangan tersebut tidak diatur secara tegas. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan 12
Tahun 2013, hanya badan-badan sebagai berikut yang diijinkan untuk mempekerjakan tenaga
kerja asing:

1. instansi pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan Negara asing;


2. kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, kantor
perwakilan berita asing;
3. perusahaan swasta asing;
4. badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha asing
yang terdaftar di instansi berwenang di Indonesia;
5. lembaga sosial, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan;
6. usaha jasa hiburan.

Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk Pekerjaan yang bersifat Sementara

Peraturan 12 Tahun 2013 mengatur mekanisme baru untuk memperoleh Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKS) untuk pekerjaan yang bersifat sementara. Berdasarkan pasal
8 Peraturan 12 Tahun 2013, RPTKA untuk pekerjaan yang bersifat sementara diberikan
untuk pekerjaan yang sekali selesai dan pekerjaan yang berhubungan dengan pemasangan
mesin, elektrikal, layanan purna jual atau produk dalam masa penjajakan usaha.

RPTKA untuk pekerjaan yang bersifat sementara diberikan untuk jangka waktu paling lama 6
bulan dan tidak dapat diperpanjang. Sejalan dengan RPTKA, IMTA juga memiliki jangka
waktu berlaku paling lama 6 bulan berdasarkan Pasal 39 Peraturan 12 Tahun 2013.

Persyaratan RPTKA untuk pekerjaan yang bersifat sementara berbeda dengan RPTKA secara
umum, karena pemberi kerja tidak diwajibkan untuk mempersiapkan program pelatihan
untuk pendidikan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Mekanisme baru ini untuk memperoleh
RPTKA (dan IMTA) untuk proyek jangka pendek yang memberikan pengaruh positif bagi
tenaga kerja asing, dimana sebelumnya tenaga kerja asing lebih sering memiliki visa untuk
kegiatan tersebut yang dipertanyakan lingkup dari visa tersebut.

Pesyaratan untuk Tenaga Kerja Asing (TKA)

Peraturan 12 Tahun 2013 mengatur lebih ketat persyaratan untuk tenaga kerja asing agar
dapat bekerja di Indonesia. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Peraturan 12 Tahun 2013, TKA
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh
tenaga kerja asing;
2. memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi atau pengalaman
kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki tenaga kerja asing paling kurang 5
(lima) tahun;
3. bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja
Indonesia pendamping; dan
4. dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia

Perubahan utama dalam persyaratan adalah bahwa dalam peraturan lama, tenaga kerja asing
diwajibkan untuk memenuhi persyaratan a atau b, sedangkan dalam peraturan 12 Tahun 2013
kedua persyaratan a dan b harus terpenuhi. Persyaratan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1)
Peraturan Nomor 12 Tahun 2013 tidak dikecualikan untuk jabatan direktur atau komisaris,
tenaga kerja asing yang dipekerjakan dalam bisnis hiburan dan untuk tenaga kerja asing
untuk pekerjaan yang bersifat sementara sebagaimana diuraikan diatas.
Sanksi

Peraturan 12 Tahun 2013 tidak mengatur sanksi dalam hal pemberi kerja gagal untuk
memenuhi kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan
pengalaman kami, dalam hal pemberi kerja gagal untuk memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan 12 Tahun 2013, pengajuan untuk ijin yang diperlukan tidak akan diterima oleh
pihak yang berwenang.

http://ind-blog.pnblawfirm.com/tata-cara-baru-tenaga-kerja-asing/

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Definisi mengenai tenaga kerja disebutkan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yaitu: Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat

http://www.hukumtenagakerja.com/

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan


(UU No.7 Tahun 1981) mewajibkan setiap pengusaha atau pengurus untuk melaporkan
secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau
membubarkan perusahaan kepada menteri atau pejabat yang berwenang.

Menurut Pasal 1 huruf (b) UU No.7/1981, yang dimaksud sebagai pengusaha adalah:

1. orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik
sendiri;
2. orang, persekutuan atau badan hukum yang berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya;
3. orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas.

Sedangkan yang dimaksud sebagai pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin
suatu perusahaan.
Dalam pasal 6 UU No.7/1981 mengatur bahwa pengusaha atau pengurus wajib melaporkan
secara tertulis kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan
perusahaan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.14/MEN/IV/2006 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan
(Permenaker No. 14/2006), pengusaha wajib membuat laporan ketenagakerjaan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya baik pada kantor pusat, cabang maupun pada bagian
perusahaan yang berdiri sendiri.

Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai
ketenagakerjaan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk. Adapun dalam laporan tersebut
harus memuat keterangan sebagai berikut:

1. identitas perusahaan;
2. hubungan ketenagakerjaan;
3. perlindungan tenagakerja; dan
4. kesempatan kerja.

Pasal 8 ayat (1) UU No.7/1981 juga mewajibkan pengusaha atau pengurus untuk melaporkan
secara tertulis pemindahan, penghentian, pembubaran perusahaan kepada menteri atau
pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum
dilakukannya pemindahan, penghentian atau pembubaran perusahaan tersebut.

Pelaporan mengenai pemindahan, penghentian or pembubaran perusahaan di atas harus


memuat keterangan sebagai berikut:

1. nama dan alamat perusahaan atau bagian perusahaan;


2. nama dan alamat pengusaha;
3. nama dan alamat pengurus perusahaan;
4. tanggal memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan;
5. kewajiban-kewajiban yang telah dan akan dilaksanakan terhadap buruhnya, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian kerja, perjanjian
perburuhan dan kebiasaan-kebiasaan setempat; dan
6. jumlah buruh yang akan diberhentikan.

Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor SE.3/MEN/III/2014 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan (SE Menakertrans 3/2014), batas waktu proses pengesahan pendaftaran wajib
lapor ketenagakerjaan di perusahaan adalah 1 (satu) hari kerja setelah menerima berkas
pendaftaran wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan yang telah diisi lengkap dan
ditandatangani dengan dibubuhi stempel perusahaan.

Pengusaha atau pengurus dapat diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta Rupiah), apabila tidak memenuhi
kewajiban wajib lapor ketenagakerjaan.

Dianyndra Hardy

http://www.hukumtenagakerja.com/wajib-lapor/ketentuan-wajib-lapor-ketenagakerjaan/
PENEMPATAN TENAGA KERJA LUAR NEGERI KETENAGAKERJAAN

LATAR BELAKANG

BEKERJA MERUPAKAN HAK ASASI MANUSIA YANG WAJIB DIJUNJUNG


TINGGI, DIHORMATI, DAN DIJAMIN PENEGAKANNYA;

SETIA TENAGA KERJA MEMPUNYAI HAK DAN KESEMPATAN YANG


SAMA TANPA DISKRIMINASI UNTUK MEMPEROLEH PEKERJAAN DAN
PENGHASILAN YANG LAYAK, BAIK DI DALAM MAUPUN DI LUAR
NEGERI SESUAI DENGAN KEAHLIAN, KETERAMPILAN, BAKAT, MINAT,
DAN KEMAMPUAN;

PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI


MERUPAKAN SUATU UPAYA UNTUK MEWUJUDKAN HAK DAN
KESEMPATAN YANG SAMA BAGI TENAGA KERJA UNTUK MEMPEROLEH
PEKERJAAN DAN PENGHASILAN YANG LAYAK, YANG
PELAKSANAANNYA DILAKUKAN DENGAN TETAP MEMPERHATIKAN
HARKAT,MARTABAT, HAK ASASI MANUSIA DAN PERLINDUNGAN
HUKUM SERTA PEMERATAAN KESEMPATAN KERJA DAN PENYEDIAAN
TENAGA KERJA YANG SESUAI DENGAN HUKUM NASIONAL

TUJUAN PENEMPATAN TK LUAR NEGERI

Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawai;


Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negari, di negara tujuan,
sampai kembali ke tempat asal di Indonesia;

Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

PENGERTIAN TENAGA KERJA INDONESIA


Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam
hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
PENEMPATAN TKI
Kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya
dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus
dokumen, pendidikan dan pelatihan,penampungan, persiapan pemberangkatan,
pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.
pengertian
PELAKSANAN PENEMPATAN TKI SWASTA
Badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan
pelayanan penempatan TKI di luar negeri.
PENGGUNA JASA TKI
Instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah,Badan Hukum Swasta, dan/atau
Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.
DASAR HUKUM

UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja


Indonesia di Luar Negeri

Peraturan presiden RI Nomor 81 tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan
perlindungan tenaga kerja Indonesia

Permenakertrans Nomor per-18/MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan


perlindungan Tenaga kerja di Luar Negeri

Permenakertrans Nomor Per-23/MEN/2006 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia

MEKANISME PENEMPATAN TKI KE LUAR NEGERI

PENEMPATAN OLEH PPTKIS

PENEMPATAN OLEH PEMERINTAH

PENEMPATAN KEPENTINGAN PERUSAHAAN SENDIRI

PENEMPATAN PERSEORANGAN

https://wicaksonoagus.wordpress.com/ketenagakerjaan/penempatan-tenaga-kerja-luar-negeri-
ketenagakerjaan/
foto layanan tk http://www.bnp2tki.go.id/

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI


MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG PENEMPATAN
DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (Studi Pada Balai Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Propinsi Jawa teng

Sunawar Sukowati, 3450405566 (2011) PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA


(TKI) KE LUAR NEGERI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 2004
TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (Studi
Pada Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Propinsi
Jawa teng. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.

PDF (PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR


NEGERI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 39 TAHUN 2004 TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (Studi
Pada Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Propinsi Jawa teng) - Published Version
Download (614Kb)

Abstract

Sukowati, Sunawar. 2011. Pelaksanaan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ke Luar
Negeri Menurut Undang-undang No. 39 Tahun 2004 (Studi Pada Balai Pelayanan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Propinsi Jawa Tengah), Skripsi, Prodi
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Tri
Sulistiyono, S.H,. M.H Upaya yang merupakan alternatif untuk mengatasi pengangguran dan
kelangkaan kesempatan kerja adalah dengan menempatkan tenaga kerja ke luar negeri.
Penempatan jasa tenaga kerja ke luar negeri dengan mekanisme yang sudah diatur baik
melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: PER-19/MEN/V/2006
tentang pelaksanaan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dianggap sebagai salah satu upaya efektif untuk mengatasi masalah
tersebut. Penempatan tenaga kerja ke luar negeri tersebut merupakan upaya untuk
mewujudkan hak dan kesempatan kerja yang sama bagi tenaga kerja untuk meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Penempatan tenaga kerja ke luar negeri
menimbulkan masalah, sebab tenaga kerja tidak memiliki perlindungan ketika tenaga tersebut
mendapatkan masalah di negara tempat tenaga kerja bekerja. Perlunya peran serta dari
masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang
ditempatkan ke luar negeri. Sehubungan dengan perencanaan kebutuhan tenaga kerja ke luar
negeri perlu digambarkan bahwa kondisi saat ini penempatan tenaga kerja ke luar negeri
masih didominasi tenaga kerja di sektor informal, khususnya pinata laksana rumah tangga
(PLRT) sering juga disebut tenaga kerja wanita (TKW). Tetapi, pengiriman TKI ke luar
negeri tersebut tidaklah memberikan sumbangan yang sedikit bagi negara. Rumusan masalah
yang kemudian menjadi fokus kajian adalah berkaitan dengan (1)Bagaimana perlindungan
hak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri menurut peraturan perundang-undangan
yang dilakukan oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BP3TKI) Provinsi Jawa Tengah. (2) Hambatan-hambatan apa yang dihadapi Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3 TKI) Provinsi Jawa
Tengah untuk melindungi TKI ke Luar Negeri. (3) Upaya-upaya apa yang dilakukan Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi Jawa
Tengah untuk melindungi TKI ke Luar Negeri. Penelitian ini merupakan penelitian hukum
bidang ketenagakerjaan yang menggunakan metode analisis data kualitatif dengan
pendekatan yuridis sosiologis. Jenis-jenis data yang berisi data sekunder dan data primer.
Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian memperoleh dan pembahasan dalam Pelaksanaan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) Ke Luar Negeri Menurut Undang-undang No. 39 Tahun 2004 (Studi Pada
Balai pelayanan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Propinsi Jawa
Tengah) yang menjalankan fungsi adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) Hasil penelitian memproleh simpulan sebagai berikut: (1) Perlindungan hukum
atas hak-hak TKI dalam bekerja belum berjalan dengan baik, kurangnya pengarahan tentang
arti hukum bagi para TKI, hal ini mempersulit para TKI dan menghilangkan rasa aman bagi
TKI sewaktu di luar negeri. (2) Kendala pelaksanaan perlindungan hukum terhadap TKI
adalah adanya kesalahan yang dilakukan oleh TKI, yaitu tidak melaporkan permasalahannya
pada pemerintah Indonesia ditempat TKI bekerja, pendidikan yang dimiliki TKI masih
rendah. (3) BP3TKI berupaya mengadakan bursa kerja TKI ini diharapkan dapat menjadi
wahana komunikasi antara pencari kerja dan perusahaan penyalur TKI. Usaha ini bertujuan
untuk meminimalisir kesalahan yang berakibat kerugian saat penempatan dan penyaluran
TKI. Rekomendasi yang diberikan penelitian ini adalah TKI yang sedang bekerja di luar
negeri, ketika sedang mengalami permasalahan dengan majikan atau pengguna jasa dalam
pemenuhan hak-hak TKI, hendaknya melaporkan hal tersebut pada pemerintah Indonesia
yang berada ditempat tujuan TKI bekerja. Meningkatkan pelayanan bagi calon TKI/TKI
dalam para, masa atau purna kerja. Meningkatkan seleksi atau penelitian dokumen-dokumen
yang akan digunakan untuk kelengkapan para TKI. Meningkatkan pembinaan dan
penyuluhan bagi para TKI yang akan bekerja, sehingga para TKI siap untuk diterjunkan
Item Type: Thesis (Under Graduates)

Uncontrolled Keywords: Perlindungan dan penempatan Tenaga Kerja Indonesia

Subjects: K Law > K Law (General)

Fakultas: Fakultas Hukum > Ilmu Hukum, S1

Depositing User: Rizki Setiadi

Date Deposited: 18 Dec 2011 22:08

Last Modified: 25 Apr 2015 04:13

http://lib.unnes.ac.id/11142/
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan


Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI)

Di bawah koordinasi

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia

Kepala

Nusron Wahid

Alamat kantor pusat

Jalan MT Haryono Kav 52, Pancoran, Jakarta Selatan


12770
Website

www.bnp2tki.go.id

l
b
s

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (disingkat


BNP2TKI) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen di Indonesia yang
mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Lembaga ini dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006. Sekarang BNP2TKI diketuai oleh
Nusron Wahid yang dilantik pada 27 November 2014.

Tugas pokok BNP2TKI adalah:

melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan
penempatan;
memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:
dokumen; pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); penyelesaian masalah; sumber-
sumber pembiayaan; pemberangkatan sampai pemulangan; peningkatan kualitas calon
TKI; informasi; kualitas pelaksana penempatan TKI; dan peningkatan kesejahteraan
TKI dan keluarganya.

Keanggotaan BNP2TKI terdiri dari wakil-wakil instansi Pemerintah terkait. Dalam


melaksanakan tugasnya, BNP2TKI dapat melibatkan tenaga-tenaga profesional.

Daftar isi

1 Sejarah
o 1.1 Kementerian Perburuhan Era Kemerdekaan
o 1.2 Penempatan TKI dengan Kebijakan Pemerintah
2 Pranala luar
3 Referensi

Sejarah

Pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar
negeri dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui penempatan buruh kontrak ke
negara Suriname, Amerika Selatan, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Bahan
yang diperoleh dari Direktorat Sosialisasi dan Kelembagaan Penempatan Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menyebutkan, sejak 1890 pemerintah
Belanda mulai mengirim sejumlah besar kuli kontrak asal Jawa bahkan Madura, Sunda, dan
Batak untuk dipekerjakan di perkebunan di Suriname. Tujuannya untuk mengganti tugas para
budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada 1 Juli 1863 sebagai wujud pelaksanaan politik
penghapusan perbudakan sehingga para budak tersebut beralih profesi serta bebas memilih
lapangan kerja yang dikehendaki. Dampak pembebasan para budak itu membuat perkebunan
di Suriname telantar dan mengakibatkan perekonomian Suriname yang bergantung dari hasil
perkebunan turun drastis.[1]

Adapun dasar pemerintah Belanda memilih TKI asal Jawa adalah rendahnya tingkat
perekonomian penduduk pribumi (Jawa) akibat meletusnya Gunung Merapi dan padatnya
penduduk di Pulau Jawa. Gelombang pertama pengiriman TKI oleh Belanda diberangkatkan
dari Batavia (Jakarta) pada 21 Mei 1890 dengan Kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak
jauh ini singgah di negeri Belanda dan tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Jumlah TKI
gelombang pertama sebanyak 94 orang terdiri 61 pria dewasa, 31 wanita, dan 2 anak-anak.
Kegiatan pengiriman TKI ke Suriname yang sudah berjalan sejak 1890 sampai 1939
mencapai 32.986 orang, dengan menggunakan 77 kapal laut.

Kementerian Perburuhan Era Kemerdekaan

Pada 3 Juli 1947 menjadi tanggal bersejarah bagi lembaga Kementerian Perburuhan dalam
era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No 3/1947 dibentuk lembaga yang
mengurus masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementerian Perburuhan.

Pada masa awal Orde Baru Kementerian Perburuhan diganti dengan Departemen Tenaga
Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III. Mulai
Kabinet Pembangunan IV berubah menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
sementara Koperasi membentuk Kementeriannya sendiri.

Selanjutnya dapat dikatakan, pada masa kemerdekaan Indonesia hingga akhir 1960-an,
penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri belum melibatkan pemerintah, namun
dilakukan secara orang perorang, kekerabatan, dan bersifat tradisonal.

Negara tujuan utamanya adalah Malaysia dan Arab Saudi yang berdasarkan hubungan agama
(haji) serta lintas batas antarnegara.

Untuk Arab Saudi, para pekerja Indonesia pada umumnya dibawa oleh mereka yang
mengurusi orang naik haji/umroh atau oleh orang Indonesia yang sudah lama tinggal atau
menetap di Arab Saudi.

Adapun warganegara Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagian besar datang begitu saja
ke wilayah Malaysia tanpa membawa surat dokumen apa pun, karena memang sejak dahulu
telah terjadi lintas batas tradisional antara dua negara tersebut. Hanya pada masa konfrontasi
kedua negara di era Orde Lama kegiatan pelintas batas asal Indonesia menurun, namun masih
tetap ada.

Penempatan TKI dengan Kebijakan Pemerintah

Penempatan TKI yang didasarkan pada kebijakan pemerintah Indonesia baru terjadi pada
1970 yang dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 4/1970 melalui Program Antarkerja Antardaerah
(AKAD) dan Antarkerja Antarnegara (AKAN), dan sejak itu pula penempatan TKI ke luar
negeri melibatkan pihak swasta (perusahaan pengerah jasa TKI atau pelaksana penempatan
TKI swasta).
Program AKAN ditangani oleh pejabat kepala seksi setingkat eselon IV dan bertanggung
jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penggunaan (Bina Guna).

Program/Seksi AKAN membentuk Divisi atau Satuan Tugas Timur Tengah dan Satuan
Tugas Asia Pasifik.

Sementara itu pelayanan penempatan TKI ke luar negeri di daerah dilaksanakan oleh Kantor
Wilayah Depnakertranskop untuk tingkat provinsi dan Kantor Depnakertranskop Tingkat II
untuk Kabupaten. Kegiatan yang dinaungi oleh Dirjen Bina Guna ini berlangsung hingga
1986.

Selanjutnya pada 1986 terjadi penggabungan dua Direktorat Jenderal yaitu Direktorat
Jenderal Bina Guna dan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Perlindungan (Bina Lindung)
menjadi Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan (Binapenta).

Pada 1986 ini Seksi AKAN berubah menjadi "Pusat AKAN" yang berada di bawah
Sekretariat Jenderal Depnakertrans. Pusat AKAN dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II
dan bertugas melaksanakan penempatan TKI ke luar negeri.

Di daerah pada tingkat provinsi/Kanwil, kegiatan penempatan TKI dilaksanakan oleh "Balai
AKAN."

Pada 1994 Pusat AKAN dibubarkan dan fungsinya diganti Direktorat Ekspor Jasa TKI
(eselon II) di bawah Direktorat Jenderal Binapenta. Namun pada 1999 Direktorat Ekspor Jasa
TKI diubah menjadi Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN).

Dalam upaya meningkatan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan TKI telah
dibentuk pula Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) pada 16 April 1999 melalui
Keppres No 29/1999 yang keanggotannya terdiri 9 instansi terkait lintas sektoral pelayanan
TKI untuk meningkatkan program penempatan dan perlindungan tenaga kerja luar negeri
sesuai lingkup tugas masing-masing.

Pada tahun 2001 Direktorat Jenderal Binapenta dibubarkan dan diganti Direktorat Jenderal
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) sekaligus membubarkan
Direktorat PTKLN.

Direktorat Jenderal PPTKLN pun membentuk struktur Direktorat Sosialisasi dan Penempatan
untuk pelayanan penempatan TKI ke luar negeri.

Sejak kehadiran Direktorat Jenderal PPTKLN, pelayanan penempatan TKI di tingkat


provinsi/kanwil dijalankan oleh BP2TKI (Balai Pelayanan dan Penempatan TKI).

Pada 2004 lahir Undang-undang No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2) mengamanatkan
pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI). Kemudian disusul dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No 81/2006
tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur
instansi pemerintah pusat terkait pelayanan TKI, antara lain Kemenlu, Kemenhub,
Kemenakertrans, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam),
Sesneg, dan lain-lain.
Pada 2006 pemerintah mulai melaksanakan penempatan TKI program Government to
Government (G to G) atau antarpemerintah ke Korea Selatan melalui Direktorat Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) di bawah Direktorat Jenderal
PPTKLN Depnakertrans.

Pada 2007 awal ditunjuk Moh Jumhur hidayat sebagai Kepala BNP2TKI melalui Keppres No
02/2007, yang kewenangannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Tidak lama setelah Keppres pengangkatan itu yang disusul pelantikan Moh Jumhur Hidayat
selaku Kepala BNP2TKI, dikeluarkan Peraturan Kepala BNP2TKI No 01/2007 tentang
Struktur Organisasi BNP2TKI yang meliputi unsur-unsur intansi pemerintah tingkat pusat
terkait pelayanan TKI. Dasar peraturan ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2006
tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Dengan kehadiran BNP2TKI ini maka segala urusan kegiatan penempatan dan perlindungan
TKI berada dalam otoritas BNP2TKI, yang dikoordinasi Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi namun tanggung jawab tugasnya kepada presiden. Akibat kehadiran BNP2TKI
pula, keberadaan Direktorat Jenderal PPTKLN otomatis bubar berikut Direktorat PPTKLN
karena fungsinya telah beralih ke BNP2TKI.

Program penempatan TKI G to G ke Korea pun dilanjutkan oleh BNP2TKI, bahkan program
tersebut diperluas BNP2TKI bekerjasama pemerintah Jepang untuk penempatan G to G TKI
perawat pada 2008, baik untuk perawat rumahsakit maupun perawat lanjut usia.

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Nasional_Penempatan_dan_Perlindungan_Tenaga_Kerja
_Indonesia
Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia: Mulai Pengurusan Izin Hingga
Kewajiban Pemberi Kerja

Posted on February 3, 2016

Pada tahun 2016, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN memasuki sebuah era baru
yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Salah satu misi MEA adalah
meliberalisasi perdagangan dalam bidang barang dan jasa. Sehingga dengan berlakunya
MEA, arus masuk tenaga kerja asing serta professional asing ke Indonesia tidak dapat
dihindari lagi. Kedatangan tenaga kerja asing di satu sisi akan menciptakan iklim kompetitif
di Indonesia, memberikan ilmu dan/atau skill baru yang meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia, di sisi lain, kedatangan tenaga kerja asing dapat pula mengancam posisi tenaga
kerja Indonesia, karena tingkat kredibilitas dan kepercayaan yang lebih tinggi, kefasihan
penggunaan bahasa asing dan keahlian-keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh tenaga kerja
Indonesia.
Berkaitan dengan tenaga kerja asing, terdapat 2 (dua) peraturan yang patut diperhatikan,
yakni : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 16
Tahun 2015 dan Permenakertrans Nomor 35 Tahun 2015. Kedua peraturan tersebut
mewajibkan setiap tenaga kerja asing dan pemberi kerja melakukan pengurusan izin terlebih
dahulu, seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing (IMTA), Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan izin-izin lainnya.

Sebelum membahas mengenai izin-izin yang dibutuhkan, perlu diketahui terlebih dahulu
siapa yang dimaksud dengan tenaga kerja asing dan siapa saja yang dapat mempekerjakan
tenaga kerja asing. Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 35 Tahun 2015 jo.
Permenakertrans 35 2015 mendefinisikan tenaga kerja asing sebagai: warga negara asing
pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Sehingga, dapat dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan tenaga kerja asing adalah setiap orang yang:

1. Bukan Warga Negara Indonesia;


2. Memiliki visa; dan
3. Bermaksud untuk bekerja di Indonesia.

Dan yang dimaksud dengan pemberi kerja berdasarkan Pasal 1 angka 3 Permenakertrans
Nomor 16 Tahun 2015 jo. Permenakertrans 35 Tahun 2015 adalah badan hukum atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja asing dengan membayar upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1), terdapat 9
(Sembilan) subyek yang dapat mempekerjakan tenaga kerja asing, yakni:

1. Instansi pemerintah;
2. Badan-badan internasional;
3. Perwakilan negara asing;
4. Organisasi internasional;
5. Kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, kantor
perwakilan berita asing;
6. Perusahaan swasta asing, badan usaha asing yang terdaftar di instansi yang
berwenang;
7. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dalam bentuk Perseroan
Terbatas atau Yayasan;
8. Lembaga sosial, keagamaan, pendidikan, kebudayaan; dan
9. Usaha jasa impersariat.

Setelah memenuhi kriteria tersebut, pemberi kerja memulai pengurusan izin IMTA dengan
mengajukan RPTKA dan membayarkan Dana Kompensasi penggunaan tenaga kerja asing
sebesar US$100 per jabatan per bulannya. Setelah permohonan IMTA disetujui, pengurusan
izin berikutnya adalah KITAS agar orang asing dapat tinggal di wilayah Indonesia untuk
suatu waktu tertentu (biasanya selama melaksanakan pekerjaannya). Setelah mengurus kedua
izin tersebut, izin yang perlu diurus adalah izin-izin turunan lainnya seperti Kawat Visa
Kerja, ITAS Perairan, Perubahan status keimigrasian, serta izin-izin seperti wajib lapor
kepolisian dan kelurahan.

Menurut Permenakertrans No. 16 Tahun 2015 jo. PP No. 35 Tahun 2015, persetujuan
RPTKA harus diterbitkan maksimal 3 (tiga) hari setelah persetujuan kelayakan dan IMTA 3
(tiga) hari setelah permohonan diajukan dan izin-izin terkait lainnya membutuhkan waktu
sekitar 2 (dua) minggu. Dengan kata lain pengurusan izin tersebut akan memakan sekitar 45
60 (empat puluh lima sampai enam puluh) hari, kecuali izin dari instansi lainnya, seperti dari
Kantor Keimigrasian.

Selain mengatur mengenai prosedur pengurusan izin-izin tersebut, Permenakertrans No. 16


Tahun 2015 juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban pemberi kerja. Salah satu
kewajiban tersebut adalah menerapkan rasio penggunaan tenaga kerja asing dan tenaga kerja
Indonesia yakni 1:10 (satu banding sepuluh).

Artinya, setiap pemberi kerja yang mendatangkan 1 (satu) tenaga kerja asing, berkewajiban
untuk mempekerjakan 10 tenaga kerja Indonesia. Jadi, jika tenaga kerja asing dikontrak
selama 6 (enam) bulan, maka tenaga kerja Indonesiapun sekurang-kurangnya juga harus
dikontrak selama 6 (enam) bulan.

Pemberi kerja juga wajib menunjuk tenaga kerja pendamping (dari Indonesia) untuk alih
teknologi dan keahlian, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kualitas tenaga kerja Indonesia. Selain kewajiban-kewajiban tersebut, pemberi kerja juga
diwajibkan untuk memulangkan tenaga kerja asing, setelah pekerjaannya/jangka waktu
kerjanya telah selesai.

Dengan demikian, dari segi hukum, pemerintah telah mempersiapkan kebutuhan berbagai
pihak terkait penggunaan tenaga kerja asing. Hal tersebut terbukti melalui keberhasilan
pemerintah dalam memberikan kepastian kepada pemberi kerja dan tenaga kerja asing
dengan meminimalisir proses permohonan izin tenaga kerja asing, serta melindungi
kepentingan WNI melalui rasio penggunaan tenaga kerja. (RMA)

http://rmalegalpractice.com/penggunaan-tenaga-kerja-asing-di-indonesia-mulai-pengurusan-
izin-hingga-kewajiban-pemberi-kerja/

pdf http://repository.ut.ac.id/3492/1/fisip2015_18_anggraenip.pdf
SAMBUTAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

SELAKU KEYNOTE SPEECH

DALAM PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL PENEMPATAN TENAGA KERJA


ASING DI INDONESIA

Assalamualaikum warrahmatullahi wa barakatuh

Yth. Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya,

Para pejabat di lingkungan Pemerintah provinsi Jawa Timur,

Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Timur,

Para Penyaji, moderator dan peserta seminar yang berbahagia,

Dalam perkembangan pergaulan Internasional saat ini, tidak mungkin suatu Negara
dan atau bangsa tidak mengadakan kontak dengan bangsa dan atau Negara lain. Suatu Negara
tidak mungkin dapat maju dan berkembang apabila mengisolasi diri dari pergaulan
internasional, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan maupun kepentingan
lainnya, termasuk di bidang ketenagakerjaan.
Hadirin yang kami hormati,

Era perdagangan bebas telah melahirkan blok-blok perdagangan di tingkat global


maupun regional. Lahirnya World Trade Organization (WTO) pada tingkat global dan
ASEAN Free Trade Area (AFTA) di tingkat regional merupakan indikasi signifikan
globalisasi perdagangan dunia, yang termasuk juga di dalamnya globalisasi tenaga kerja.
Globalisasi ini menjadikan lalu lintas perdangan barang dan jasa serta perpindahan manusia
menjadi borderless atau hamper tanpa batas. Indikasi menguatnya globalisasi dan
regionalisasi ini semakin terlihat dengan dipercepatnya pelaksanaan AFTA dari tahun 2020
menjadi 2015. Untuk itu Indonesia perlu mengantisipasinya.

Hadirin yang kami hormati,

Perjanjian Umum Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS)


dalam perluasan akses pasar sektor jasa, menentukan bahwa setiap negara diminta menyusun
komitmen liberalisasi dan jadwal pelaksanaan untuk seberapa banyak pemasok jasa dari
luar dapat memberikan jasanya di wilayah lokal (nasional). Perjanjian GATS/WTO ini
mengikat secara hukum. Negara anggota yang tidak mematuhi perjanjian bisa diadukan oleh
Negara anggota lainnya karena merugikan mitra dagangnya, serta menghadapi sanksi
perdagangan yang diberlakukan oleh WTO. Karena itu sistem WTO bisa sangat berkuasa
terhadap anggotanya dan mampu memaksakan aturan-aturannya, karena anggota terikat
secara legal (legally-binding) dan keputusannya irreversible artinya tidak bisa ditarik
kembali.

Dalam perspektif GATS/WTO, peraturan ketenagakerjaan yang protektif, bisa


dianggap menyalahi aturan main WTO yang menginginkan adanya kebijakan tanpa
diskriminasi dalam semua hal. Tetapi bila kebijakan WTO yang tidak menginginkan adanya
proteksi bagi tenaga kerja lokal, serta diskriminasi terhadap tenaga kerja asing ini diikuti oleh
Indonesia maka tenaga kerja Indonesia tentu akan jauh tertinggal ketika harus bersaing
dengan tenaga kerja asing yang mempunyai skill dan pendidikan yang lebih baik.

Hadirin yang kami hormati,

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) juga menghendaki barang, jasa, modal, dan
investasi bergerak bebas melewati batas negara anggota MEA. Sayangnya Tenaga kerja tidak
trampil, yang menjadi "kekuatan" Indonesia, tidak termasuk sektor tenaga kerja yang
dibebaskan bergerak dalam MEA. Skim liberalisasi hanya berlaku untuk tenaga profesional,
seperti dokter, arsitek, akuntan, dan pengacara. Dengan demikian bukan tidak mungkin
dalam tahun-tahun mendatang pembatasan TKI semakin ketat di negara
tetangga. Sebaliknya, kita semakin banyak melihat tenaga profesional negara-negara
tetangga hilir mudik di sekeliling kita.

Hadirin yang kami hormati,


Pada dasarnya, kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia harus diarahkan untuk
memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga kerja Indonesia. Namun demikian,
sebagai bagian dari masyarakat internasional, ketentuan GATS/WTO tentang Natural
Movement of Persons perlu diadopsi dalam kebijakan penempatan tenaga kerja asing dengan
memperhatikan pengalaman penerapannya di negara-negara lain demi kepentingan tenaga
kerja Indonesia

Hadirin yang kami hormati,

Dalam perkembangan saat ini, beberapa RUU yang berkaitan dengan penempatan
tenaga kerja asing telah pula dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Beberapa di antarnya adalah RUU tentang Lalu Lintas Barang dan Jasa, RUU tentang
Perubahan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan RUU tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang di dalamnya diharapkan
akan memberikan pengaturan penempatan tenaga kerja asing yang tidak merugikan tenaga
kerja Indonesia, serta akan memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga kerja
Indonesia dan juga juga mampu memberikan iklim yang lebih kondusif bagi penempatan
tenaga kerja di industri-industri yang berada di wilayah Indonesia. RUU yang sedang dan
akan disusun ini harus pula mengantisipasi ketentuan-ketentuan globalisasi dan regionalisasi,
terutama dalam menghadapi AFTA pada 2015 nanti.

Hadirin yang kami hormati,


Globalisasi memang menimbulkan berbagai tantangan bagi Indonesia. Tetapi
globalisasi juga melahirkan berbagai peluang. Untuk itu Indonesia perlu memanfaatkan
peluang liberalisasi tenaga kerja dalam GATS/WTO dengan membangun struktur
ketenagakerjaan yang mendukung upaya tersebut. Mekanisme transfer of knowledge TKA
perlu diperbaiki agar lebih mendukung peningkatan kualitas TKI. Untuk bisa melakukan
semua itu maka Indonesia perlu meningkatkan koordinasi lembaga Pemerintah yang
berkaitan dengan hal ini, yaitu; Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri,
Depnakertrans dan Departemen Hukum dan HAM dalam penempatan tenaga kerja di era
globalisasi

Hadirin yang kami hormati,

Kita mengakui bahwa hingga saat ini terdapat banyak permasalahan di bidang
ketenagakerjaan. Untuk itu, diskusi ilmiah dalam bentuk seminar seperti ini perlu dilakukan,
khususnya dalam rangka memperkaya khasanah dan wacana bagi pembentukan dan
pembinaan hukum. Oleh karena itu dalam seminar yang akan dilaksanakan 2 (dua) hari ini
diharapkan lahir masukan-masukan konkrit dan rasional untuk mewujudkan pengaturan dan
regulasi di bidang ketenagakerjaan. Selain itu dalam kesempatan ini pula saya berharap
bahwa seminar ini dapat menampung ide-ide tentang bagaimana pengaturan tenaga kerja
asing di Indonesia ini dapat dilakukan.

Demikian sambutan saya dalam mengawali seminar ini. Dengan mengucapkan


Bismilahirrahamanirrahim, secara resmi seminar ini saya buka.
Surabaya, 4 Juli 2007

KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

PROF. DR. AHMAD M RAMLI, S.H.,M.H

http://bphn.go.id/data/documents/keynoot_speechrevisi.htm

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014: Bentuk Strategi atau Bentuk Ketidakpercayaan


Diri dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015?

Oleh: Amrina Rosyada (14010413130094)

ASEAN Economic Community 2015 akan mulai diberlakukan pada akhir tahun 2015. Setiap
negara anggotanya tengah bersiap untuk menyongsong AEC 2015 tersebut. Setiap negara
memiliki strategi tersendiri dalam menghadapi tantangan terhadap pemberlakuan AEC 2015
tersebut. Termasuk Indonesia juga melakukan persiapan, salah satunya dengan
mengesahkan dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 mengenai
Perdagangan. Melalui Undang-Undang tersebut, pemerintah Indonesia dihadapkan pada
pertanyaan : apakah UU Nomor 7 Tahun 2014 yang disahkan merupakan bentuk strategi
atau bentuk ketidakpercayaan diri dalam menghadapi AEC 2015? Berdasarkan pasal-pasal
yang tertuang dalam UU tersebut juga mempertegas jika Indonesia menggunakan sistem
ekonomi campuran. Dimana sektor perdagangan yang berkaitan dengan hajat hidup orang
banyak akan dikelola oleh pemerintah, namun juga terdapat penerimaan FDI terhadap
industri dalam negeri.
Kata Kunci : AEC 2015, tantangan, UU Nomor 7 Tahun 2014, sistem ekonomi campuran,
perdagangan.

Latar Belakang

Negara-negara anggota ASEAN kini tengah bersiap menyongsong pelaksanaan AEC (ASEAN
Economic Community) 2015. Di Indonesia AEC lebih dikenal dengan MEA atau Masyarakat
Ekonomi ASEAN yang merupakan suatu bentuk integrasi ekonomi. Terealisasinya integrasi
ekonomi regional tersebut merupakan salah satu tujuan dari ASEAN sejak awal
pembentukannya (Wangke 2014). ASEAN sendiri telah menciptakan Blueprint AEC 2015
pada 2007 sebagai pedoman dalam melaksanakan MEA 2015 (ASEAN Secretary 2008).
Keberadaan MEA semakin menunjukkan dunia yang berada dalam sistem kapitalisme.
Dimana terjadi perdagangan bebas diantara negara-negara ASEAN, dan menunjukkan jika
keberadaan pengusaha menjadi penting.

MEA sendiri merupakan integrasi ekonomi yang fundamentalnya adalah freedom (Kalloe
2014). Kemudian disebutkan dalam Blueprint MEA, jika terdapat beberapa kunci dari
perwujudan MEA, yaitu (1) pasar dan produksi tunggal; (2) wilayah ekonomi yang
kompetitif; (3) wilayah ekonomi dengan pengembangan merata; (4) dan integrasi wilayah
menuju ekonomi global. Maka yang terjadi adalah akan tercipta arus bebas dari barang, jasa,
tenaga kerja, kapital, dan investasi antara negara-negara ASEAN (ASEAN Secretary
2008). Hal tersebut juga berkenaan dengan hilangnya batas-batas tarif dan non-tarif masing-
masing negara. Dan juga menunjukkan jika semua masyarakat masing-masing negara
ASEAN akan berkompetisi dalam MEA ini. Karena setiap orang dapat bekerja ataupun
melakukan usaha di negara lain di Asia Tenggara.

Walaupun negara memiliki standarnya masing-masing terhadap pelaksanaan MEA 2015,


namun negara berkewajiban untuk bertindak adil dan non-diskriminasi terhadap seluruh
warga ASEAN (Kalloe 2014). Maka skill menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam bersaing
dengan pelaku ekonomi lain di ASEAN ini. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan
integrasi ekonomi ASEAN tentu akan menciptakan keuntungan tersendiri. Namun disisi lain,
masing-masing negara juga akan menghadapi tantangan-tantangan dalam pelaksanaannya.
Bagi negara yang telah mapan seperti Singapura bisa dipastikan jika tantangan yang
dihadapinya tidak terlalu berarti (Kalloe 2014). Namun bagi negara seperti Indonesia dengan
jumlah penduduk yang tinggi, MEA menimbulkan tantangan tersendiri.

Pemerintah Indonesia bergegas dan bersiap menjembatani masyarakat dalam menghadapi


MEA 2015. Pada tahun 2014, salah satu usaha dari pemerintah adalah dengan
mengesahkanan dan melaksanakan UU Nomor 7 tahun 2014 mengenai perdagangan (Akmail
2014). Undang-undang tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat meningkatkan daya saing
Indonesia dan melindungi produk dalam negeri. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan
apakah pelaksanaan UU No 7 Tahun 2014 tersebut merupakan bentuk strategi dalam
menghadapi MEA ataukah hasil dari sebuah bentuk ketidakpercayaan diri pemerintah
Indonesia dalam menghadapi MEA 2015? Maka dari itu, penulis akan cenderung membahas
MEA dari sisi perdagangan yang dilihat dari perspektif negara Indonesia sesuai undang-
undang perdagangan tersebut.

Persiapan Indonesia Menghadapi MEA 2015


Indonesia menjadi salah satu negara ASEAN yang menyetujui dan menandatangani MEA
2015 pada tahun 2013 di Pnom Pehn, Kamboja (Wangke 2014). Dengan meratifikasinya,
maka Indonesia harus turut serta dalam program integrasi ekonomi ASEAN dalam bentuk
MEA 2015. Sebagai negara kepulauan dengan penduduk lebih dari 240 juta jiwa, Indonesia
tentu memiliki tantangan tersendiri dalam menghadapi MEA 2015 ini. Persaingan yang
semakin kompetitif pada pasar bebas nantinya menciptakan tugas baru bagi pemerintah
Indonesia. Karena persaingan tersebut melibatkan seluruh warga ASEAN sehingga
pemerintah harus memastikan jika masyarakatnya mengetahui dan memahami MEA.

Selain itu, neraca perdagangan Indonesia dalam kegiatan ekspor impor pada 2010-2014
menunjukkan jika ekspor Indonesia tidak terlalu stabil (Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia t.thn.). Terlebih pada tahun 2011-2014 menunjukkan penurunan kegiatan
ekspornya. Berbanding terbalik, pada kegiatan impor terus terjadi peningkatan dari tahun
2010 hingga 2014. Sehingga pemerintah harus menemukan cara untuk menguatkan ekspor
dan membantu eksportir Indonesia untuk dapat bersaing dalam MEA. Tantangan selanjutnya
adalah mengubah paradigma masyarakat dari konsumtif menjadi produktif dan juga
mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi sesuai yang disyaratkan
oleh negara-negara ASEAN agar senantiasa mampu bersaing (Suryanto 2014).

Neraca Perdagangan Total

Tabel 1. Neraca Perdagangan Total Indonesia Tahun 2011-2015, Kemendag

Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, pemerintah melakukan beberapa persiapan.


Diantaranya melakukan sosialisasi secara masif mengenai MEA terlebih menggunakan
media. Selain itu pada tahun 2014 juga diberlakukan UU Nomor 7 Tahun 2014 mengenai
Perdagangan (Akmail 2014).

UU Nomor 7 Tahun 2014 : Bentuk Strategi atau Ketidakpercayaan Diri?

Undang-undang Nomor 7 tahun 2014 mengenai perdagangan disahkan pada 11 Maret 2014
(UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 2014). Disahkan pada masa pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono, undang-undang tersebut mengatur seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Berkenaan dengan
isu MEA 2015, pengesahan undang-undang tersebut menimbulkan pertanyaan tersendiri.
Apakah disahkannya UU tersebut merupakan strategi pemerintah dalam mempersiapkan
masyarakat Indonesia untuk menghadapi MEA 2015? Ataukah merupakan bentuk proteksi
ketidakpercayaan diri dalam menghadapi MEA 2015?

Munculnya pertanyaan kedua didasari atas berbagai tantangan yang di hadapi Indonesia
dengan persiapan yang hanya sedemikian rupa. Namun untuk mengetahui lebih detail maka
perlu adanya pemahaman butir-butir pasal dalam undang-undang tersebut. Perdagangan
menurut undang-undang tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam menggerakan
perekonomian Indonesia (UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 2014). Dimana jika
perekonomian Indonesia dalam posisi yang baik maka cita-cita bangsa untuk menciptakan
kesejahteraan umum akan lebih mudah tercapai.

Melalui UU perdagangan ini, pemerintah menunjukkan jika upaya menghadapi MEA 2015
juga harus diwujudkan dalam bentuk peraturan yang jelas dan mengikat pagi para pelaku
ekonomi terutama di ASEAN. Melalui perundangan tersebut, pemerintah berupaya untuk
meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan meningkatkan kualitas serta jumlah
ekspor para eksportir Indonesia. Cara-cara seperti sosialisasi, promosi, pemasaran, dan
kewajiban menggunakan produk dalam negeri, menjadi contoh upaya yang dilakukan dalam
rangka meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan sesuai dengan pasal 22 UU
Perdagangan 2014 (UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 2014). Pada undang-
undang tersebut juga menyangkut standarisasi yaitu dalam melakukan kegiatan perdagangan
harus sesuai dengan standar yang telah dibuat oleh pemerintah Inddonesia.

Selanjutnya dibahas pula perihal pengelolaan oleh pemerintah terhadap barang atau sektor
pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga melalui perundangan
tersebut berusaha untuk melindungi dan meningkatkan kemampuan eksportir, sehingga
barang-barang yang diekspor terutama terhadap negara-negara ASEAN sesuai dengan standar
ASEAN dan masing-masing negara di ASEAN (UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan 2014). Pemerintah juga mengatur mengenai pelabelan produk-produk yang
dijual di Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia (UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan 2014).

Undang-undang tersebut kemudian mengikat pelaku ekonomi dalam melakukan perdagangan


di dalam dan luar negeri. Upaya-upaya pemerintah yang tertulis dalam peraturan itu
menunjukkan jika pemerintah senantiasa berusaha melindungi kepentingan nasional
masyarakat Indonesia terutama dalam rangka meningkatkan persaingan yang kompetitif pada
MEA 2015. Namun sekaligus sebagai perlindungan terhadap masyarakatnya yang belum
seratus persen dipersiapkan dalam menghadap MEA 2015 ini.

Sistem Ekonomi Campuran dalam Dunia yang Kapitalis

MEA mendasari kegiatannya pada freedom, terutama berjalannya pasar bebas antara negara-
negara ASEAN. Hal itu sesuai dengan dunia yang kapitalis sekarang ini. Pengusaha dan
pemegang kapital menjadi unsur yang penting dalam pelaksanaan MEA. Pelaku ekonomi
dituntut untuk lebih kreatif dalam bersaing. Tidak hanya modal yang menjadi sangat penting,
namun skill dari pelaku ekonomi juga penting, karena tanpa skill yang baik maka akan sulit
untuk bersaing dalam pasar bebas tersebut. Jika dilihat di dunia yang kapitalis ini, maka
adanya pasar bebas di wilayah regional Asia Tenggara ini sangat menguntungkan bagi para
kapitalis.

Lalu jika dihubungkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2014, maka terlihat jelas jika Indonesia
tetap menggunakan sistem ekonomi campuran di dunia yang kapitalis ini. Pemerintah
mengelola sektor ekonomi dan bahan pokok yang berhubungan dengan hajat orang banyak,
namun tetap mengizinkan sektor swasta untuk ikut berpartisipasi dalam proses perekonomian
di Indonesiaa melalui MEA 2015. Peraturan mengenai perdagangan tersebut merupakan
proteksi yang dilakukan pemerintah terhaddap kepentingan masyarakat Indonesia. Hal itu
menunjukkan jika pemerintah masih memegang kendali yag cukup kuat. Dan dari situlah
terlihal sisi sosialisme dalam kepemerintahan di Indonesia. Sedangkan FDI (Foreign Direct
Investment) yang merupakan penanaman investasi asing di Indonesia dalam rangka MEA
2015 menunjukkan sisi kapitalisme di Indonesia.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan jika dalam menghadaapi MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN perlu
adanya kerjasama antarwarga negara Indonesia, kemudian antara warga dan pemerintah, serta
masyararakat dunia terutama pelaku ekonomi dalam MEA 2015. MEA yang merupakan
perwujudan integrasi ekonomi wilayah regional Asia Tenggara memberikan tantangan
tersendiri bagi masing-masing negara ASEAN terutama Indonesia. Pasar bebas tunggal yang
hendak terwujud menunjukkan bahwa kapitalisme masih mendominasi dunia saat ini. Namun
dalam menghadapi MEA 2015, Indonesia tetap menggunakan sistem ekonomi campurannya.
Sehingga disahkan dan diberlakukanlah UU Nomor 7 Tahun 2014 yang merupakan peraturan
terhadap perdagangan baik dalam dan luar negeri. Peraturan yang telah secara resmi berlaku
itu sebaiknya tidak hanya menjadi peraturan tertulis,melainkan dilakukan dan diterapkan
secara maksimal melalui prakten-praktek di masyarakat.

https://ideasforaec.wordpress.com/2015/10/18/undang-undang-nomor-7-tahun-2014-bentuk-
strategi-atau-bentuk-ketidakpercayaan-diri-dalam-menghadapi-asean-economic-community-
2015/

Tidak lama lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dilaksanakan. MEA merupakan
realisasi pasar bebas yang dilaksanakan oleh negara-negara Asia Tenggara diantaranya,
Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Myanmar, Vietnam, Laos, Kamboja dan
Indonesia. Tujuan dibuatnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yaitu untuk meningkatkan
stabilitas dan pertumbuhan perekonomian dikawasan ASEAN, sehingga dengan dibentuknya
kawasan ekonomi ASEAN 2015 ini diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah terutama
di bidang ekonomi antar negara ASEAN, dan untuk di Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi
krisis yang pernah terjadi di negara ini. Dengan dilaksanakannya MEA ini maka akan terjadi
pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja yang nantinya akan
berdampak pada aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa,
dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja, dan dampak arus bebas modal.
Dengan demikian, maka negara-negara yang masuk ke dalam MEA ini akan bersaing untuk
meningkatkan kualitas perekonomiannya masing-masing termasuk Indonesia. Indonesia
harus benar-benar memanfaatkan pasar bebas ini supaya perekonomian Indonesia dapat
tumbuh pesat dan bisa menikmati keuntungan dari MEA tersebut dan nantinya kesejahteraan
masyarakat Indonesia akan tercipta. Jika tidak, maka Indonesia akan kalah bersaing dengan
negara-negara lainnya. Dan masyarakatlah yang akan menjadi korbannya.. Peranan tenaga
kerja sangat penting dalam sector industry. Dalam pasar bebas ASEAN Indonesia harus
memperhatikan masalah tenaga kerjanya. Seperti diketahui bahwa kualitas tenaga kerja
Indonesia masih dinilai rendah atau bahkan kalah dengan dengan negara lainnya seperti
Singapura. Meskipun jumlah populasi Singapura yang hanya segelincir dari jumlah populasi
di Indonesia, akan tetapi secara kualitas tenaga kerja Singapura memliliki daya saing yang
tinggi dalam ketenaga kerjaan dalam Asia Tenggara atau bahkan dunia. Daya saing tenaga
kerja di Indonesia akan menjadi sandungan untuk keberhasilan dalam pemanfaatan MEA ini
jika pemerintah tidak meningkatkan kualitas tenaga kerjanya. Dengan demikian pemerintah
harus meluncurkan strategi untuk meningkatankualitas tenaga kerja yang sangat berpotensial
ini. Permasalahan tenaga kerja yang rendah ini tidak luput dari kualitas skill, tingkat
pendidikan ataupun tingkat keahlian masyarakat Indonesia yang belum memadai.Seperti
diketahui bahwa mayoritas pendidikan masyarakat Indonesia lulusannya masih dibawah
Sarjana atau bahkan tidak sedikit tenaga kerja yang hanya lulusan SD ataupun SMP. Dengan
kualitas yang seperti itu membuat masyarakat Indonesia sulit untuk berinovasi atau bahkan
mengembangkan ide-ide mereka. Perlu dipahami bahwa pasar bebas ASEAN ini tidak hanya
bersaing secara regional tetapi juga secara global. Memang secara kuantitas tenaga kerja
Indonesia sangat melimpah akan tetapi secara kualitas tenaga kerja Indonesia masih sangat
minim. Jika hal ini tidak berkembang maka bukan tidak mungkin kalau tenaga kerja
Indonesia hanya akan menjadi kacung atau bawahan dari tenaga kerja negara lain. Untuk itu
pemerintah harus menyiapkan strategi-strategi khusus untuk menghadapi MEA ini jika tidak
ingin semakin kalah bersaing dengan negara-negara lain terutama dalam kawasan ASEAN.
Karena MEA tidak hanya bertemunya semua anggota negara di ASEAN, namun MEA ini
juga sebagai ajang persaingan ekonomi antar Negara tersebut termasuk tenaga kerja.
Indonesia mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat melimpah dimana jumlah
tenaga kerja Indonesia jauh lebih tinggi dari Negara ASEAN lainnya ,apabila dapat dikelola
dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi pemenang dalam persaingan
pasar bebas ASEAN nantinya. Sebenarnya bukan hanya pemerintah yang harus siap untuk
menghadapi MEA ini tetapi masyarakat Indonesia juga harus ikut dalam mensukseskan
adanya pasar bebas ini. Karena keberadaan MEA ini tidak dapat dilepaskan dari seluruh
lapisan masyarakat. Dengan adanya MEA 2015 ini harusnya menjadi pendorong dan
penyemangat kita bahwa program ASEAN ini bisa menstabilkan pertumbuhan ekonomi
indonesia di masa yang akan dating yang nantinya akan mensejahterakan masyarakat
Indonesia. Selain itu kita harus menghilangkan keraguan dan kekhawatiran dengan tetap
fokus, berkomitmen, dan kerja keras dari semua pihak untuk bersama-sama mensukseskan
pemanfaatan dari Asean Economic Community 2015 mendatang.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/taufikbluez/masalah-tenaga-kerja-dalam-
mea_5562947d4023bd2f0e6df028
BANYAK pihak mengira pada 31 Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
langsung terimplementasi di ASEAN, termasuk di Indonesia.

Apakah benar seperti itu? Saat ini belum ada suatu perjanjian internasional mengikat secara
hukum bagi negara anggota ASEAN yang menyepakati MEA akan terbentuk pada 31
Desember 2015 atau di tahun 2015. Artinya apa? Tidak ada kewajiban secara hukum MEA
wajib terbentuk atau berlaku di 31 Desember 2015 atau di tahun 2015. Pada awalnya rencana
tahun terbentuknya MEA adalah pada 2020 (Declaration of ASEAN Concord II 2003).

Rencana tersebut direvisi menjadi 2015 pada Deklarasi Cebu 2007 dan Deklarasi Cetak Biru
MEA 2007 serta dipertegas oleh antara lain Deklarasi Nay Pyi Taw 2014. Terakhir, pada
Chairmans Statement of the 27th ASEAN Summit 21 November 2015 disepakati secara
formal MEA terbentuk pada 31 Desember 2015. Penting digarisbawahi deklarasi dan
pernyataan ini tidak mengikat secara hukum pada anggota negara ASEAN.

Dalam ASEAN Charter yang mengikat secara hukum bagi seluruh negara ASEAN tidak
disebutkan tanggal ataupun tahun MEA direncanakan terbentuk. Namun demikian, pada
Pasal 1 ayat 5 ASEAN Charter memang dikatakan tujuan ASEAN adalah menciptakan pasar
tunggal dengan konsep free flow di mana barang, jasa, investasi, dan modal bergerak bebas
di wilayah ASEAN.

Dengan konsep ini, ASEAN Charter mendukung fasilitasi pergerakan para pengusaha,
profesional, dan pekerja. Melalui konsep ini diharapkan oleh ASEAN Charter akan
menciptakan ekonomi ASEAN yang stabil dan makmur.
Terdapat sejumlah aspek penting yang harus diperhatikan terkait pembentukan dan
pelaksanaan MEA yang status hukumnya masih lemah ini.

Pertama, apakah negara di ASEAN, termasuk Indonesia, secara sukarela melaksanakan MEA
di negaranya masing-masing? Misalnya, apakah Indonesia secara sukarela membentuk
peraturan dan kebijakan pro MEA tanpa menunggu suatu perjanjian internasional tertentu
terkait MEA? Jika negara besar seperti Indonesia tidak secara sukarela melakukan poin
pertama, MEA akan terhambat secara signifikan.

Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar dan ekonomi terbesar di ASEAN. Tanpa
Indonesia MEA akan pincang. Bayangkan saja populasi Indonesia sekitar 252 juta jiwa (PBB,
2015) atau sekitar 38% dari jumlah populasi ASEAN yang kabarnya sudah mencapai 622 juta
jiwa (ASEAN Secretariat, 2015). Kedua, MEA sebetulnya secara langsung dan tidak
langsung didukung oleh perjanjian internasional yang disepakati oleh negara-negara ASEAN.

Misalnya, ASEAN punya perjanjian mengenai bea cukai yang sudah berlaku secara hukum
tahun 2014. ASEAN juga punya perjanjian mengenai pergerakan orang yang sampai saat ini
belum berlaku. Jika negara anggota ASEAN membuat sejumlah perjanjian yang mendukung
konsep MEA pada ASEAN Charter dan Cetak Biru MEA 2025 maka MEA akan menjadi
mengikat secara hukum melalui perjanjian-perjanjian internasional tersebut.

Alternatifnya, bisa saja negara anggota ASEAN membentuk perjanjian internasional khusus
mengenai MEA. Apabila hal ini akan dilakukan, perjanjian mengenai MEA harus menjadi
suatu perjanjian hidup yang didukung oleh protokol-protokol serta Konferensi Para Pihak
(Conference of the Parties/ COP) yang dapat melahirkan petunjuk pelaksanaan dari
perjanjian maupun protokol tersebut.

Konsep ini sudah dilakukan di sejumlah perjanjian multilateral di bidang lingkungan hidup,
misalnya terkait dengan perubahan iklim. Peran COP akan melengkapi ASEAN Economic
Community Council yang sudah diatur dalam ASEAN Charter. Ketiga, jikapun poin kedua
terwujud, implementasi teknisnya sangat tergantung dari negara anggota ASEAN. Misalnya,
perjanjian internasional mengenai bea cukai tidak akan terlaksana di lapangan apabila
Indonesia tidak membuat peraturan dan kebijakan pelaksana mengenai perjanjian
internasional tersebut.

http://ekbis.sindonews.com/read/1077130/39/status-hukum-mea-1452777473
Program Masyarakat Ekonomi ASEAN

Nama anggota dan NPM :


Lucky Parama Putra 170110130017

Hani Apriani 170110130039

Veranika Nurlisa 170110130075

Dinda Amalia Rizki 170110130079

Ratih Gustiana Agmer 170110130081

Kelas :A
Mata kuliah : Sistem Administrasi Negara Indonesia

Tema : Program kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi

Isu : Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

1. Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA adalah kesepakatan para pemimpin ASEAN
untuk membentuk sebuah pasar tunggal di kawan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang.
MEA ini memungkinkan satu Negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke Negara-
negara lain di seluruh Asia Teanggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.

2. Fokus Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015

1. Negara-negara ASEAN menjadi satu kesatuan pasar dan berbasis produksi.


2. Negara-negara ASEAN dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang
tinggi.
3. Agar negara-negara ASEAN menjadi kawasan yang perkembangan ekonominya merata.
4. Diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global.

3. Tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015

a. Ranah Internasional : dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara


ASEAN dalam bidang perekonomian.
b. Ranah Indonesia : kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan
cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada.
4. Landasan hukum Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 di Indonesia

Keputusan Presiden No.37 Th. 2014

Tentang komite persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA yang
selanjutnya disebut Komite Nasional.

Tugas komite nasional:

1. Mengkoordinasikan persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

2. Mengkoordinasikan percepatan peningkatan daya saing nasional dalam rangka pelaksanaan


Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

3. Mengambil langkah-langkah penyelesaian hambatan dan permasalahan dalam persiapan


dan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) serta peningkatan daya saing
nasional.

Mengkoordinasikan pelaksanaan sosialiasi kepada stakeholder terhadap persiapan dan


pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

5. Isu tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa


mengatakan agar Indonesia mempersiapkan sumber daya manusia dalam mengoperasikan
teknologi menjelang ASEAN Economic Community. "Pada era yang dimulai 2015 nanti,
anggota ASEAN akan memanfaatkan teknologi komunikasi untuk menyambut National
Single Window(NSW) bidang perdagangan," ucap Hatta setelah membuka ASEAN Chief
Information Officer di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada Senin, 10
Juni 2013.

Hatta menuturkan bahwa pada pertemuan kali ini isu digital device dan pada
akhirnya pembahasan mengenai software danhardware menjadi penting. "Masalah
teknologi, informasi, dan komunikasi menjadi masalah krusial yang akan dibahas."

Oleh sebab itu, kata Hatta, peningkatan sumber daya manusia menjadi penting untuk
mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan pemerintah untuk menghadapi pasar bebas
tersebut.
Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, sistem perdagangan di seluruh kawasan tersebut
didesain memakai NSW. "Jika ingin melakukan ekspor, suatu negara tidak perlu datang ke
pelabuhan untuk mengurus perizinan. "Mau melakukan ekspor-impor di mana akan mudah
dengan dengan memanfaatkan sistem NSW, tutur Hatta.

Dengan adanya NSW, kewenangan untuk melakukan perdagangan lintas negara akan
tertib. Tidak akan ada timpang tindih otoritas lagi dalam melakukan kegiatan ekspor-
impor.

Pasalnya, kewenangan dan kebijakan perdagangan tidak akan tercecer di kementerian-


kementerian, melainkan diletakkan dalam satu sistem. "Untuk proses ekspor-impor, para
pelaku usaha tidak perlu lagi bolak-balik ke masing-masing kementerian.

Jika sistem ini bekerja optimal dalam perdagangan internasional, maka tingkat efektivitas
dan efisiennya tinggi. Sistem ini memiliki peluang kecil manusia untuk berinteraksi. "Jadi, ini
less paper work dan kecil bersentuhan dengan manusia sehingga menjadi critical
reform.Kemungkinan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kecil."

Hatta juga mengatakan bahwa untuk mendukung upaya NSW ini, pemerintah telah
membangun broadband. Pemerintah membangun 50 ribu kilometer serat optic di beberapa
perairan dalam sebagai upaya konektivitas. "Ini adalah tulang punggung yang Indonesia
bangun habis-habisan," katanya.

Ia berharaap partisipasi swasta dalam persiapan NSW 2015 agar APBN tidak terlalu
terbebani. "Penting juga untuk menerapkan pola public private partnership karena ini
adalah program komersial."

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/06/10/090487023/Hadapi-Masyarakat-
Ekonomi-ASEAN-IT-Makin-Penting

Kesimpulan

Dari isu mengenai program kesejahteraan masyarakat yang kita ambil dari isu
masyarakat ekonomi Asean ini dititik beratkan dapat mensejahterakan rakyat yang berprofesi
sebagai wirausaha. Tetapi di balik itu program masyarakat ekonomi asean ini dapat
mensejahterakan masyarakat secara tidak langsung, seprti tujuannya di ranah nasional yang
memperkeil kesenjangan ekonomi di Negara berkembang. Artinya kemungkinan besar hal ini
dapat membuat kenaikan terhadap pendapatan perkapita di tiap-tiap daerah dan juga
membuka lapangan pekerjaan yang lebih lebar kembali. Program masyarakat ekonomi asean
ini dapat memudahkan industry menengah kebawah yang ditunjang oleh menteri koperasi
yang telah dilatih dan dipersiapkan untuk adanya MEA ini ditahun 2015 nanti.
Tetapi yang perlu dilihat kembali dan diperhatikan adalah dimana Indonesia sendiri
harus siap dan mampu dalam sumber daya manusianya untuk menjalankan MEA ini nanti.
Tidak hanya di sumber daya manusianya saja, tetapi teknologi yang menunjang cara kerja ke
depannya nanti ini juga perlu dipersiapkan kembali. Indonesia memang belum mempunyai
teknologi yang dapat dikatakan sebaga teknologi canggih untuk menunjang produksi-
produksi. Sumber daya manusia harus diatasi dengan serius guna mengatasi permasalahan
ekonomi, sosial, dan pemerintah juga turut siap dalam menghadapi pasar bebas MEA ini.

Sistem perdangan yang diterapkan MEA nantinya yaitu dengan NSW. NSW ini
sangat berpengaruh besar untuk sistem perdagangannya yang nantinya akan melakukan
perdagangan lintas Negara (ekspor-impor). Tidak hanya itu tapi juga pola public private
partnership yang pernah dijalankan dan diterapkan haruslah diterapkan kembali dalam
penerapan MEA nantinya agar tidak terjadi missed diantara pihak public and private di
Negara sendiri. Dari isu diatas lebih menitik beratkan bahwa yang perlu diperhatikan dan
dipersiapkan kembali untuk MEA ini adalah sumber daya manusianya disertai teknologi yang
bisa menyokong kegiatan MEA 2015 nantinya.

Kesejahteraannya dapat dilihat dari masyarakat industry menengah ke bawah hasil


produksinya nantinya dapat berkembang luas ke seluruh Negara ASEAN dan biayanya
produksinya pun disubsidi oleh pemerintah agar harganya dapat bersaing dengan produk
lainnya yang akan masuk ke Indonesia di masa MEA 2015 mendatang.

http://anafisipunpad13.blogspot.co.id/2014/09/masyarakat-ekonomi-asean.html

Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro


KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENINGKATAN DAYA SAING NASIONAL
DALAM RANGKA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
AMALIA HARITS
D3 AKUNTANSI A2
D3-0314-095

Jl. Padjadjaran No. 100 Bogor


Telp. 0251 836 0688

2014/0215

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas segala karunia, rahmat dan berkat-Nya, paper ini
dapat diselesaikan. Paper ini penulis sampaikan kepada pembina mata kuliah pengantar ilmu
ekonomi Ibu Yustiana Wardhani, M.M. sebagai salah satu syarat tugas mata kuliah tersebut.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa paper ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi
penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari ibu Yustiana Wardhani, M.M. guna
menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi penulis untuk lebih baik di masa yang akan
datang. Semoga paper ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Bogor, Desember 2014

Penulis
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN
LLatar Belakang............................................................................................... 1
2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
3 Tujuan............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2Posisi Indonesia di Pentas ASEAN............................................................... 3
2 Tantangan MEA 2015.................................................................................... 5
2 Kesiapan dan Kekuatan Indonesia Menghadapi MEA 2015........................ 7
2Bagaimana Mengembangkan SDM dan Jiwa Kewirausahaannya dalam menghadapi MEA
2015 11
2Upaya Pemerintah dalam Menghadapi MEA................................................ 12

Bab III PENUTUP


Kesimpulan.................................................................................................... 18
3Usul dan Saran............................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 20

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic
Community (AEC) pada tahun 2015 semakin dekat. AEC yang merupakan salah satu dari 3
pilar konsep ASEAN Integration telah disetujui bersama oleh Kepala Negara dari 10 negara
anggota ASEAN dalam pertemuan di Bali tahun 2003 yang dikukuhkan lewat Declaration of
ASEAN Concord II atau yang dikenal dengan BALI Concord II. Konsep utama dari
AEC adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi
dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta
penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya
melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan. Untuk itu terwujudnya AEC
memiliki peluang utama dimana posisi tawar ASEAN di perekonomian global menjadi lebih
kuat. Kemudian kesempaatan lainnya yang melihat dari tujuan AEC yang dideklarasikan
melalui Bali Concord II yaitu terciptanya wilayah ekonomi ASEAN yang stabil, makmur, dan
sangat kompetitif dimana terjadi aliran bebas atas barang, jasa, investasi dan modal,
pembangunan ekonomi yang merata dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi di tahun
2015.
Keputusan untuk mempercepat pembentukan AEC menjadi 2015 ditetapkan dalam
rangka memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapai kompetisi global dengan India
dan China, mengantisipasi potensi penurunan biaya produksi di ASEAN sebesar 10%-
20% untuk barang konsumsi sebagai dampak integrasi ekonomi, dan meningkatkan
kemampuan kawasan dalam implementasi standar dan praktik internasional.
Namun, dengan melihat pengalaman ACFTA dan situasi perekonomian terakhir, rasanya
Indonesia perlu hati-hati untuk melangkah mengingat konsekuensi dari pemberlakuan Pasar
Tunggal Asean ini tidaklah ringan. Secara teoritis, Indonesia mempunyai peluang yang baik
dengan adanya kesepakatan ini, tapi dengan melihat persoalan-persoalan ekonomi yang
muncul bisa jadi peluang itu menguap begitu saja. Tantangan terbesar masyarakat Indonesia
adalah dalam penguasaan bahasa Inggris yang masih jauh bila dibandingkan Singapore yang
telah terbiasa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Selain itu banyaknya
masyarakat Indonesia yang belum memahami apa itu AEC menjadi tantangan tersendiri
untuk pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan saya gunakan sebagai batasan masalah dalam
paper ini adalah :
1. Menghitung posisi Indonesia di pentas ASEAN
2. Tantangan apa saja yang harus dilalui mengenai kesiapan Indonesia menghadapi MEA
2015
3. Bagaimana kesiapan dan kekuatan Indonesia menghadapi MEA 2015
4. Bagaimana mengembangkan SDM dan jiwa kewirausahaannya dalam menghadapi MEA
2015
5. upaya pemerintah dalam menghadapi MEA 2015

1.3 Tujuan
Adapun tujuan kami dalam melakukan kegiatan observasi ini adalah :
1. Mengetahui apa yang di maksud dengan masyarakat ekonomi ASEAN
2. Mengetahui potensi Indonesia di pentas ASEAN
3. Mengetahui bagaimana cara menghadapi tantangan dalam MEA 2015

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Posisi Indonesia di Pentas ASEAN


KTT Asean yang pernah digelar di Jakarta menerbitkan banyak ragam pandangan,
khususnya mengenai terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pandangan tersebut
secara umum terbelah menjadi dua kutub, yakni pihak yang optimis dan pesimis. Pihak yang
optimis melihat Indonesia akan mendapatkan benefit yang besar dengan terjadinya basis
produksi dan pasar tunggal ASEAN, utamanya jika melihat potensi sumber ekonomi dan
jumlah penduduk. Sebaliknya, pihak yang pesimis yakin Indonesia akan makin tenggelam
perekonomiannya karena direndam oleh banjir produk-produk negara tetangga. Hal ini bisa
terjadi karena ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadang serbuan ekonomi luar
negeri, di samping kealpaan membangun ekonomi nasional secara sungguh-sungguh.
Masing-masing pihak itu barangkali punya kontribusi kebenaran dalam menganalis persoalan
ini, sehingga mengenali kedua sudut pandang tersebut menjadi sangat penting.
Tabulasi Masalah
Jika berbicara soal kompetisi perekonomian yang makin terbuka saat ini, sekurangnya
terdapat dua level masalah yang harus dilihat, yakni situasi ekonomi domestik dan peluang
yang bisa direbut. Dalam beberapa aspek, harus diakui perekonomian nasional telah
mencapai hal-hal positif dalam beberapa tahun terakhir, seperti stabilitas makro ekonomi,
ekspor yang makin maju, dan sektor keuangan yang kian mapan. Namun, di balik itu terdapat
soal-soal serius yang belum juga mengalami perbaikan berarti.
Pertama, perekonomian nasional makin menjauh dari sendi-sendi kegiatan produktif
yang menjadi nafas hidup sebagian besar masyarakat. Peranan dan pertumbuhan sektor
pertanian dan industri menuju lereng negatif dalam beberapa tahun terakhir, sehingga pondasi
ekonomi nasional menjadi keropos. Dukungan sektor keuangan (bank) terhadap kedua sektor
tersebut juga makin melorot. Bayangkan saja, pada 2000 sektor tradeable (pertanian,
industri, pertambangan) masih menyerap 47,96% dari total kredit, tapi pada 2010 menjadi
tinggal 24,22% (Indef, 2011).
Kedua, iklim investasi di Indonesia juga stagnan. Dalam beberapa aspek memang
terdapat perbaikan iklim investasi di Indonesia, seperti ditunjukkan biaya perizinan yang
makin murah, jumlah prosedur yang terus berkurang, dan waktu pengurusan yang kian cepat.
Namun, percepatan perbaikan itu kalah langkah ketimbang negara-negara tetangga sehingga
tetap saja membuat iklim investasi dan daya saing tertinggal di bagian bawah. Misalnya saja,
biaya memulai bisnis di Indonesia masih sebesar 26% dari pendapatan per kapita, sedangkan
di Singapura dan Malaysia masing-masing 0,7% dan 11,9%. Hal yang sama juga dalam hal
lama pengurusan izin usaha, di mana Indonesia hanya lebih bagus dari Filipina dan Laos pada
level Asean (Bank Dunia, 2010). Jika soal-soal ini tidak segera ditangani secara sigap dan
cepat, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara Asean di masa depan.
Ketiga, masih berkaitan dengan iklim investasi dan daya saing ekonomi adalah
ketersediaan infrastruktur. Serangkaian upaya sudah dilakukan pemerintah untuk memercepat
pembangunan infrastruktur. Di luar masalah pendanaan yang kerap disebut sebagai soal
utama, sebetulnya aspek yang jauh lebih jelas adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk
menindaklanjuti persetujuan investasi infrastruktur. Hasilnya, ketersediaan infrastruktur di
Indonesia jauh tertinggal daripada negara-negara sekawasan. Pada 2009, sekitar 101,2 juta
penduduk di Indonesia hidup tanpa akses listrik. Sementara itu, jalan aspal di Indonesia baru
58%, lebih rendah dari Brunei dan Filipina sekalipun (masing-masing 78% dan 81%) [Indef,
2011].
2.2 Tantangan MEA 2015
Tantangan yang mungkin dihadapi bangsa Indonesia dalam menghadapi MEA 2015,
antara lain:
1. Daya Saing Masyarakat
Indonesia yang mayoritas penduduknya 60% bekerja di sektor pertanian serta
sebagian lainnya berprofesi sebagai buruh manufaktur membuat Indonesia harus menghadapi
tantangan berat ketika MEA ini diterapkan. Ada beberapa hal penting dalam penerapan MEA
yang perlu dikaji lebih jauh yaitu adanya pasar tenaga kerja bebas yang mengindentifikasi
terjadinya liberalisasi bukan hanya pada bidang perdagangan namun terjadi juga pada transfer
tenaga lintas negara di ASEAN. Hal ini didukung oleh pemberlakuan sertifikasi atau identitas
pekerja ASEAN, sehingga seluruh orang memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja di
seluruh negara anggota ASEAN.
MEA merupakan suatu gagasan yang sangat baik dalam mendorong terciptanya
regionalis development dikawasan ASEAN. Namun, beberapa tantangan seperti jumlah
lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia hanya akan menaikan angka pengangguran itu
sendiri, karena tidak berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia,
khususnya buruh yang tidak memiliki sertifikasi pendidikan seperti buruh-buruh yang
didatangkan dari China, bahkan Vietnam yang tidak lebih baik tingkat kesejahteraan
pekerjanya dari Indonesia. Akibatnya secara struktural Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
yang tidak dipersiapkan secara matang justru akan menjadi tantangan berat bagi pengambil
kebijakan maupun bagi tenaga kerja Indonesia. Pada akhirnya, lowongan tenaga kerja yang
tersedia hanyalah buruh kontrak tanpa kejelasan jenjang karir dan jaminan sosial.
Untuk itu diperlukan tindakan proaktif dari masyarakat juga pemerintah dalam
meningkatkan kualitas serta profesionalisme masyarakat Indonesia agar menjadi masyarakat
yang berdaya saing tinggi, misalnya melalui kursus bahasa asing atau ketrampilan khusus
tertentu. Masyarakat Indonesia harus optimis dengan segala sumber daya yang dimiliki oleh
Indonesia, negara Indonesia akan bisa menjadi negara paling produktif di ASEAN dan bukan
lagi menjadi negara konsumtif yang hanya dijadikan pasar oleh negara-negara ASEAN yang
lain.
2. Kualitas Produk dalam Negeri
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN
yang memiliki hasil produksi terbaik bahkan sudah terkenal hingga ke seluruh dunia. Hanya
saja daya beli masyarakat dalam negeri masih sangat kurang. Masyarakat Indonesia
cenderung lebih percaya diri bila memakai produk dari luar negeri, yang secara tidak
langsung telah merugikan produsen dalam negeri. Berbagai kebijakan seperti pembebasan
pajak ekspor sedikit tidaknya telah membantu para pemilik Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) untuk bangkit dan bersaing dengan produk internasional. Dengan adanya MEA ini
diharapkan persaingan produk-produk Indonesia akan lebih mudah untuk dipasarkan
khusunya di negara-negara ASEAN. Sertifikasi dan persamaan standar dengan produk-
produk ASEAN lainnya niscaya juga akan mempermudah produk dalam negeri untuk
bersaing di kancah internasional.
3. Pemerintah Sebagai Pengambil Keputusan
Dibukanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mendorong banyaknya
investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Seperti yang diketahui Indonesia
merupakan lahan investasi yang paling potensial di Asia Tenggara dan disusul oleh Singapore
di urutan kedua. Berdasarkan data World Economic Forum, Indonesia masih menjadi negara
yang diminati investor asing untuk berinvestasi namun, Singapura selalu berada di posisi
kedua, dari data 2010 dan 2011, porsi investasi asing yang masuk ke Indonesia tahun 2010
dan 2011 adalah 15,2% dan 16,3% sedangkan porsi investasi asing yang masuk ke Singapura
tahun 2010 dan 2011 adalah 10,1% dan 7,01%.
Meskipun demikian pemerintah Indonesia tidak boleh begitu saja menerima setiap
bentuk investasi dari negara lain, harus diperhitungkan dampak jangka panjangnya agar tidak
merugikan bangsa dan negara itu sendiri. Kebebasan menanamkan modal juga harus bisa
dinikmati oleh masyarakat Indonesia, akan lebih baik kalau Indonesia bisa menguasai pasar
modal ASEAN apalagi bila dilihat belakangan ini tingkat perekonomian Indonesia relatif
stabil. Hal tersebut hanya akan terwujud dengan pemerintahan yang proaktif dalam
mendukung gerakan pro-job dan pro-poor untuk kesejahteraan bersama.

2.3 Kesiapan dan Kekuatan Indonesia menghadapi MEA 2015


Indonesia adalah salahsatu Negara terbesar populasinya yang ada di kawasan
ASEAN. Masyarakat Indonesia adalah Negara Heterogen dengn berbagai jenis suku, bahasa
dan adat istiadat yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Indonesia mempunyai
kekuatan ekonomi yang cukup bagus, pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia (4,5%) setelah
RRT dan India. Ini akan menjadi modal yang penting untuk mempersiapkan masyarakat
Indonesia menuju AEC tahun 2015.
Jika dilihat dari sisi demografi Sumber Daya Manusia-nya, Indonesia dalam
menghadapi ASEAN Economic Community ini sebenarnya merupakan salah satu Negara
yang produktif. Jika dilihat dari faktor usia, sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar
70% nya merupakan usia produktif. Jika kita lihat pada sisi ketenaga kerjaan kita memiliki
110 juta tenaga kerja (data BPS, tahun 2007), namun apakah sekarang ini kita utilize dengan
tenaga kerja kita yang berjumlah sekitar 110 juta itu.
Untuk itu kita harus mampu meningkatkan kepercayaan diri bahwa sebetulnya apabila
kita memiliki kekuatan untuk bisa bangkit dan terus menjaga kesinambungan stabilitas
ekonomi kita agar terus meningkat, angka kemiskinan dapat ditekan seminim mungkin, dan
progres dalam bidang ekonomi lainnya pun bisa mengalami kemajuan yang cukup
signifikan. Dengan hal tersebut banyak sekali yang bisa kita wujudkan terutama dengan
merealisasikan ASEAN Economy Community 2015 nanti. Stabilitas ekonomi Indonesia yang
kondusif ini merupakan sebuah opportunity dimana Indonesia akan menjadi sebuah kekuatan
tersendiri, apalagi dengan sumber daya alam yang begitu besar, maka akan sangat tidak
masuk akal apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu dengan hal tersebut.
Dari dalam negeri sendiri Indonesia telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan
ekonomi Kesenjangan antara pemerintah pusat dengan daerah lalu mengurangi kesenjangan
antara pengusaha besar dengan UKM dan peningkatan dalam beberapa sektor yang mungkin
masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing.

Berkaca pada salah satu statement ASEAN Community bahwa Masyarakat ASEAN
2015 adalah Warga ASEAN yang cukup sandang pangan, cukup lapangan pekerjaan,
pengangguran kecil tingkat kemiskinan berkurang melalui upaya penanggulangan kemiskinan
yang kongkrit. Pemerintah Indonesia sampai dengan pada saat ini terus berusaha untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia itu sendiri makmur dan berkecukupan sebelum memasuki
AEC kelak.
ASEAN Economic Community (AEC) sebenarnya merupakan bentuk integrasi
ekonomi yang sangat potensial di kawasan maupun dunia. Barang, jasa, modal dan investasi
akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional memang suatu
kecenderungan dan keharusan di era global saat ini. Hal ini menyiratkan aspek persaingan
yang menyodorkan peluang sekaligus tantangan bagi semua negara. Skema AEC 2015
tentang ketenagakerjaan, misalnya, memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional
papan atas, seperti dokter, insinyur, akuntan dsb. Celakanya tenaga kerja kasar yang
merupakan kekuatan Indonesia tidak termasuk dalam program liberalisasi ini. Justru tenaga
kerja informal yang selama ini merupakan sumber devisa non-migas yang cukup potensional
bagi Indonesia, cenderung dibatasi pergerakannya di era AEC 2015.
Ada tiga indikator untuk meraba posisi Indonesia dalam AEC 2015. Pertama, pangsa
ekspor Indonesia ke negara-negara utama ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina)
cukup besar yaitu 13.9% (2005) dari total ekspor. Dua indikator lainnya bisa menjadi
penghambat yaitu menurut penilaian beberapa institusi keuangan internasional - daya saing
ekonomi Indonesia jauh lebih rendah ketimbang Singapura, Malaysia dan Thailand.
Percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibanding dengan negara ASEAN lainnya.
Namun kekayaan sumber alam Indonesia yang tidak ada duanya di kawasan, merupakan
local-advantage yang tetap menjadi daya tarik kuat, di samping jumlah penduduknya terbesar
yang dapat menyediakan tenaga kerja murah.
Sisa krisis ekonomi 1998 yang belum juga hilang dari bumi pertiwi, masih berdampak
rendahnya pertumbuhan investasi baru (khususnya arus Foreign Direct Investment) atau
semakin merosotnya kepercayaan dunia usaha, yang pada gilirannya menghambat
pertumbuhan ekonomi nasional. Hal tersebut karena buruknya infrastruktur ekonomi,
instabilitas makro-ekonomi, ketidakpastian hukum dan kebijakan, ekonomi biaya tinggi dan
lain-lain. Pemerintah tidak bisa menunda lagi untuk segera berbenah diri, jika tidak ingin
menjadi sekedar pelengkap di AEC 2015. Keberhasilan tersebut harus didukung oleh
komponen-komponen lain di dalam negeri. Masyarakat bisnis Indonesia diharapkan
mengikuti gerak dan irama kegiatan diplomasi dan memanfaatkan peluang yang sudah
terbentuk ini. Diplomasi Indonesia tidak mungkin harus menunggu kesiapan di dalam negeri.
Peluang yang sudah terbuka ini, kalau tidak segera dimanfaatkan, kita akan tertinggal, karena
proses ini juga diikuti gerak negara lain dan hal itu terus bergulir. Kita harus segera berbenah
diri untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang kompetitif dan berkulitas
global.
Tantangan Indonesia kedepan adalah mewujudkan perubahan yang berarti bagi
kehidupan keseharian masyarakatnya. Semoga seluruh masyarakat Indonesia kita ini bisa
membantu untuk mewujudkan kehidupan ekonomi dan sosial yang layak agar kita bisa segera
mewujudkan masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2015.

2.4 Bagaimana mengembangkan SDM dan jiwa kewirausahaannya dalam menghadapi


MEA 2015
a. Memperluas gerakan kewirausahaan keseluruh Indonesia
Dengan memperluas gerakan kewirausahaaan di Indonesia diharapkan dapat
meningkatkan jumlah entreupneur yang ada di Indonesia. Tentunya di imbangi dengan
pelatiha-pelatihan dan pengawasan yang dilakukan secara berkala.
b. Menerapkan kurikulum kewirausahaan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan
tinggi
Pembekalan kewirausahaan sejak dini diharapkan dapat menjadikan bangsa
Indonesia siap bekerja, baik mengisi lowongan pekerjaan yang ada maupun bekerja mandiri
(wiraswasta). Dengan demikian permasalahan sosial ekonomi (kemiskinan, pengangguran,
akses pekerjaan/pendidikan yang terbatas, dll) dapat direduksi. Menimbang pentingnya
kewirausahaan, Orang-orang yang memiliki jiwa Wirausaha dan mengaplikasikan hakekat
Kewirausahaan dalam hidupnya memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi dalam
hidupnya. Secara epistimologis, sebenarnya kewirausahaan hakikatnya adalah suatu
kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber
daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat dan kiat dalam menghadapi tantangan hidup.
c. menciptakan UKM yang inovatif melalui peran inkubator Bisnis/Teknologi yang sesuai
dengan Perpres 27/2013 tentang Inkubator Wirausahaan
d. menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kewirausahaan baik bagi UKM
yang sudah ada maupun yang baru tumbuh.

2.5 Upaya Pemerintah dalam Menghadapi MEA 2015


Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya
saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas,
dengan terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September 2014. Melalui Inpres tersebut,
Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional
dan melakukan persiapan pelaksanaan MEA yang akan dimulai pada 2015.
Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan,
utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:
1. Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam
rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan pasar
dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah; pengembangan SDM dan
penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor
pertanian, dan peningkatan akses pasar.
3. Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan
posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan pasar
dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
4. Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan
pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru,
terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat
bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi
pengembangan infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan
perbankan; investasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan;
perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan.
Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di
Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui
masih terdapat berbagai kekurangan yang menjadi tugas bersama untuk terus
memperbaikinya.
Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia
atau World Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang merilis Indeks Daya Saing
Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi
peringkat 34 dari 144 negara di dunia.
Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia
(53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012
daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini
menempati urutan ke-34. Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh
prestasi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8 persen per tahun sejak 2005. Di
tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas lima
persen.
Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan
infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu
5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas. Kenaikan peringkat
daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam menghadapi
persaingan MEA 2015, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu
percepatan reformasi birokrasi.
Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya dukungan birokrasi dalam
mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan
kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.
Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan
birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan menjalankan bisnis di
Indonesia.
Hal ini kontraproduktif dengan proyeksi semakin meningkatnya kompleksitas
pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA 2015, yang memerlukan penguatan
dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan. Kapasitas
kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efisien, namun juga jajaran staf
birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.
Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat
kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan
kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi Indonesia ke
depannya.
Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi
seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga
yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan
kelembagaan yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi
sampai dengan level birokrasi di pemerintah daerah.
Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian
pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan pemodal atau
investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan
pelayanan yang baik.
Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional ASEAN, Asia, bahkan global,
akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka,
unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk
berkompetisi dengan birokrat dari negara-negara lain. Pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan
karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin
mengefisienkan roda birokrasi.
Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government dengan menata ulang
struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran
kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional. Dari sisi SDM, perlu terus
diupayakan membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open
recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan calon-calon yang kapabel
untuk memegang jabatan tertentu.
Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya menjadi prioritas pada
semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada
masa mendatang. Ketatnya persaingan akan menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi
sebagai "center of activity" yang menjamin akselerasi berbagai implementasi kebijakan dan
program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.
Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih dalam pemberdayaan masyarakat,
menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positif, menjadikan
birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan
regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.
Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi dapat menjadi alternatif
solusi dalam menjawab tantangan tersebut, mewirausahakan birokrasi sejatinya adalah
sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan
paralel dengan usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan
birokrasi yang ada.
Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun
pemerintahan yang kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi David
Osborne dan Ted Gaebler dalam buku "Reinventing Goverment" tampaknya layak
dipertimbangkan dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.
Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan
dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan
menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang
bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam
memasarkan potensi unggulan daerah, agar memiliki nilai tambah ekonomi tinggi.
Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship seyogyanya dapat
menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan kinerja birokrasi dalam
mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur
dan mengembangkan ekonomi kreatif. Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan
dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan
investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur,
hingga regulasi yang pro-investasi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC) atau yang lebih dikenal
sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN akan meberikan dampak yang sangat luas bagi bangsa
Indonesia baik dari sisi negative juga positifnya. Beberpa tantangan seperti persaingan
dengan tenaga kerja asing, tenggelamnya produk dalam negeri, serta kemungkinan investasi
yang tidak terkendali.
Namun masyarakat Indonesia tidak perlu pesimis dengan hal tersebut, karena
sebenarnya Indonesia memiliki kualitas yang patut untuk diwaspadai oleh negara-negara
lainnya di kawasan ASEAN. Kekuatan utama Indonesia ada di hasil alam serta pariwisatanya,
yang kemudian didukung oleh semangat berwirausaha dan proteksi dari pemerintah. Sebagai
sector multidimensi, pariwisata Indonesia diharapkan dapat memenangkan persaiangan
global sehingga dapat menggerakkan sektor-sektor lain seperti pertanian, perikanan, dan
perdagangan.

3.2 Usul dan Saran


Saran yang dapat disampaikan terkait uraian diatas yaitu:
1. Masyarakat Indonesia seharusnya meningkatkan kemampuan berbahasa asing, khusunya
bahasa Inggris dalam rangka antisipasi masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia.
2. Masyarakat Indonesia sebaiknya meningkatkan keahlian khusus dibidang tertentu untuk
meningkatkan kualitas mereka sebagai tenaga kerja yang professional melalui kursus atau
pelatihan-pelatihan.
3. Pemerintah harus membuat standarisasi yang jelas terkait ketenagakerjaan yang melibatkan
masyarakat ekonomi ASEAN, seperti melalui sertifikasi.
4. Pemerintah harus memberi perhatian khusus pada wirausahawan muda Indonesia untuk
mengembangkan usaha dan produknya.
5. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia tidak perlu pesimis dengan dibukanya MEA 2015.
Indonesia punya peluang besar untuk unggul dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain,
diantaranya dari kualitas sumber daya manusianya yang dapat dikategorikan pekerja keras,
kekayaan alam yang melimpah, budaya dan hospitality yang merupakan warisan nenek
moyang serta kondisi geografis yang strategis sebagai pusat lalu listas perdagangan dunia.
http://amaliaharits.blogspot.co.id/2015/04/kebijakan-pemerintah-tentang.html

Buruh, Tenaga Kerja, Pekerja, Karyawan, Majikan, Pengusaha & Perusahaan


Banyak istilah yang digunakan untuk buruh seperti : pekerja, tenaga kerja, karyawan dan man
power.
Istilah buruh merupakan peninggalan jaman feodal dimana orang melakukan pekerjaan
tangan atau pekerjaan kasar seperti kuli, tukang yang melakukan pekerjaan berat dan kotor,
yang lebih dikenal dengan nama blue collar.
Istilah tenaga kerja dan pekerja dapat dijumpai pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No.
13 Tahun 2003.
Istilah karyawan lebih lazim digunakan bagi orang yang bekerja pada lembaga negeri,
misalnya saja karyawan Universitas Diponegoro bukan saja buruh UNDIP.
Istilah man power banyak digunakan dibidang menejemen karena man termasuk didalamnya
tenaga kerja/buruh merupakan salah satu faktor produksi.
Dalam berbagai seminar yang pernah diadakan di Indonesia sering diperdebatkan tentang
istilah yang sebaiknya dipakai, apakah istilah buruh, tenaga kerja atau pekerja, namun belum
ada kesatuan pendapat tentang hal ini.
Sementara itu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah pekerja
untuk mengganti istilah buruh
Menurut hemat saya sebaiknya digunakan istilah tenaga kerja, karena didukung oleh
Undang-undang yang mengaturnya yakni Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun
2003. Hal ini juga sesuai dengan Departemen yang mengurusi dan membawahinya yakni
Departemen Tenaga Kerja yang sekarang (2007) digabung dengan Departemen Transmigrasi.
Demikian juga pelajaran yang diberikan diberbagai Fakultas Hukum di Indonesia
menggunakan nama Hukum Ketenagakerjaan.
Istilah majikan biasanya diperuntukkan bagi orang yang melakukan pekerjaan halus dan
mempunyai pangkat Belanda pada saat itu seperti klerk, komis mempunyai kedudukan
sebagai pegawai, priyayi atau pengusaha/employe. Istilah majikan dapat dijumpai pada
Undang-Undang lama yakni : Undang-Undang tentang Penyelesaiaan Perselisihan
Perburuhan No. 22 Tahun 1957.
Sedangkan istilah pengusaha dapat dilihat pada Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja No.3 Tahun 1992, pada Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21
Tahun 2002, dan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
Istilah perusahaan dapat dijumpai pada Undang-Undang tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja No. 3 Tahun 1992, pada Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21
Tahun 2000, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.

2. Pengertian : Buruh, Tenaga Kerja, Pekerja, Majikan, Pengusaha Dan Perusahaan


Buruh adalah barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah (Pasal 1 ayat 1
(1a) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan
masyarakat (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Majikan adalah orang atau badan hukum yang mampu mempekerjakan buruh (Pasal 1 ayat
(1b) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
Pengusaha adalah orang perorangan, persekutuan atau badan hukum :
- yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
- yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
- yang berada di wilayah Indonesia mewakili perusahaan milik sendiri maupun bukan
miliknya yang bekedudukan di Indonesia (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003).
Perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukm atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan
atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003).
Menurut Undang-Undang tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh No. 21 Tahun 2000,
perusahaan adalah :
Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan, persekutuan
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 8
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000).
Pengertian perusahaan menurut Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. 3 Tahun
1992 adalah :
Setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan mencari keuntungan
maupun tidak, baik milik swasta maupun milik negara (Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No.
3 Tahun 1992).
B. PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN/HUKUM KETENAGA-KERJAAN
Banyak rumusan Hukum Perburuhan/Hukum Ketenagakerjaan diberikan oleh para ahli
hukum, maupun pendapat yang satu dan yang lainnya berlainan bunyinya. Rumusan
diberikan antara lain dari :
1. MOLENAAR
Hukum perburuhan/ARBEIDSRECHT adalah bagian dari hukum yang berlaku, yang pada
pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan
antara buruh dengan penguasa. Pada pengertian tersebut hendaklah dibatasi pada hukum yang
bersangkutan dengan orang-orang yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja/bekerja pada
orang lain.
2. M.G. LEVENBACH
Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, di mana
pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang
bersangkut paut dengan hubungan kerja.
Dalam pengertian tersebut hubungan kerja tidak hanya mengatur mereka yang terikat pada
hubungan kerja saja, melainkan termasuk juga peraturan mengenai persiapan bagi hubungan
kerja. Contoh : peraturan untuk magang.
3. VAN ESVELD
Hukum Perburuhan tidak membatasi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan di bawah
pimpinan saja, tetapi juga meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swa pekerja yang
melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.
4. MOK
Hukum Perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di
bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandenngan
dengan pekerjaan itu.
5. Prof. IMAN SOEPOMO
Hukum Perburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan
dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Himpunan peraturan tersebut hendaknya jangan diartikan seolah-olah peraturan perburuhan
telah lengkap dan telah dihimpun secara sistematis dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perburuhan Peraturan yang tertulis seperti : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan lain-
lainya tentu tidak akan fleksibel dalam setiap waktu. Sehubungan dengan itu banyak
ketentuan tentang perburuhan harus ditemukan dalam aturan yang tidak tertulis yang
berbentuk kebiasaan. Peraturan-peraturan itu baik dalam arti formil maupun materiil ada yang
ditetapkan oleh penguasa dari pusat yang sifatnya heteronoom dan ada pula yang timbul di
dunia perburuhan sendiri ditetapkan oleh buruh dan majikan atau ditetapkan oleh majikan
sendiri yang sifatnya otonoom.

C. OBYEK, SIFAT HAKEKAT, KEDUDUKAN HUKUM KETENAGA-KERJAAN


Secara yuridis buruh/tenaga kerja memang bebas memilih dan menentukan nasibnya, bebas
memilih dan menentukan pekerjaan yang disukainya. Hal ini dapat dipahami karena prinsip
di negara kita adalah : tidak seorangpun boleh diperbudak, diperulur dan diperhamba.
Perbudakan dan perhambaan merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia.
Namun secara sosiologis/kemasyarakatan buruh/tenaga kerja merupa-kan orang yang tidak
bebas, karena ia terpaksa bekerja dan mengikuti majikannya/pengusahanya di mana ia
berada. Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja yang tidak
mempunyai bekal hidup yang berupa keahlian dan ketrampilan, selain tenaganya.
Majikan/pengusaha yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja bahkan dapat
dikatakan pengusahalah yang menentukan hidup dan matinya tenaga kerja.
Dalam prakteknya baik secara jasmaniah dan rohaniah tenaga kerja merupakan pihak yang
tidak bebas. Untuk melindungi tenaga kerja yang demikian tadi ada perlindungan yang
diterapkan dengan cara :
a. Menetapkan peraturan dari penguasa/pemerintah yang bersifat heteronoom.
b. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha bersama-sama dengan Serikat Pekerja
yang disebut Perjanjian Kerja Bersama/PKB.
c. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha yang disebut peraturan perusahaan yang
bersifat otonoom.
Dalam hal ini peraturan jenis kedua dan ketiga tidak boleh bertentangan dengan jenis
pertama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat hukum ketenaga-kerjaan adalah :
1. Melindungi pihak yang lemah dan menempatkan mereka pada kedudukan yang layak bagi
kemanusiaan.
2. Untuk mendapatkan keadaan sosial dalam lapangan perburuhan atau ketenagakerjaan yang
pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan
pengusaha yang tidak terbatas.

KEDUDUKAN HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN


Bila diikuti sistem Belanda, di negara tersebut hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dahulu
dijadikan bagian dari hukum perdata, dan secara tradisional hukum
perburuhan/ketenagakerjaan selalu digolongkan pada hukum sipil. Gagasan ini berasal dari
zaman di mana dianggap bahwa buruh/ tenaga kerja dan majikan/pengusaha bebas
mengadakan perjanjian kerja satu dengan yang lainnya (Pasal 1338 KUH. Perdata) dan
Pemerintah dilarang mencampuri kemerdekaan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut.
Namun perkembangan teknologi dalam bidang produksi telah memaksa pemerintah untuk
terus menerus mencampuri urusan perburuhan/ketenaga-kerjaan dan ada kalanya demi
kepentingan umum dan ada kalanya untuk kepentingan buruh/tenaga kerja itu sendiri yang
selalu berada dalam posisi yang lemah.
Dalam kenyataannya sifat sipil makin menyempit dan sifat publik makin meluas dalam
bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu dalam kurikulum Fakultas Hukum dewasa ini
hukum perburuhan/ketenagakerjaan dimasukkan ke dalam Jurusan Hukum Administrasi
Negara (HAN) walaupun pada beberapa Fakultas Hukum di Indonesia ada yang dimasukkan
pada Jurusan Hukum Perdata atau Jurusan Hukum Tata Negara.

D. SEJARAH HUKUM PERBURUHAN/KETENGAKERJAAN


Di dalam Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan, jika orang melihat Undang-Undang saja
sudah dapat melihat/mengerti pertumbuhan/ perkembangan hukum
perburuhan/ketenagakerjaan, maka orang tersebut tidak akan puas. Hendaknya orang melihat
sejarah hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dengan mengaitkan pada sejarah umum yang ada
di Indonesia. Sejarah hukum perburuhan/ketenagakerjaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Sebelum Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Setelah Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

SEBELUM KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945


Sejarah hukum perburuhan/ketenagakerjaan sebelum Kemerdekaan 1945 dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu :
1. Zaman perbudakan.
2. Zaman rodi.
3. Zaman poenale sanksi.
1. ZAMAN PERBUDAKAN
Zaman perbudakan adalah zaman dimana orang melakukan pekerjaan di bawah peimpinan
orang lain. Ciri yang menonjol adalah buruh/tenaga kerja tidak mempunyai hak apapun,
bahkan hak atas hidupnya juga ditentukan oleh tuannya. Yang dipunyai hanya kewajiban
bekerja dan mengikuti perintah dan petunjuk tuannya. Yang sangat menyedihkan pada saat
itu adalah belum ada peraturan dari pemerintah yang menetapkan bahwa pemeliharaan budak
menjadi kewajiban pemiliknya. Baru pada Tahun 1817 Pemerintah Hindia Belanda mengatur
mengenai perbudakan dengan menetapkan peraturan-peraturan sebagai berikut :
a. Mengadakan larangan memasukkan budak-budak ke pulau Jawa.
b. Harus diadakan pendaftaran budak.
c. Mengadakan pajak atas pemilikan budak.
d. Melarang pengangkutan budak yang masih anak-anak.
e. Mengadakan peraturan tentang pendaftaran anak budak.
Kenyataannya, kelima peraturan tersebut diatas belum dapat merubah nasib para budak. Pada
tahun 1825 diadakan perbaikan peraturan yang diharapkan dapat merubah nasib para budak
tersbut yang intinya adalah : bahwa hubungan pemilik dan budak tidak terletak pada baik
buruknya perlakuan pemilik budak, tetapi terletak pada hekekat hukum perburuhan itu
sendiri, yaitu mendudukan mereka pada kedudukan yang merdeka secara yuridis, sosiologis
dan ekonomis.
Secara Yuridis berarti : budak menjalankan kewajiban dan diberi haknya sesuai dengan
ketentuan peraturan yang ada. Sedangkan secara sosiologis berarti : hak dan kewajiban yang
diterapkan tersebut diakui dalam masyarakat. Secara ekonomis berarti : hak yang diberikan
pada budak tersebut mendapatkan imbalan yang cukup baginya.
Pada zaman pemerintahan Raffles antara tahun 1818 sampai dengan 1825, ia berusaha
memperbaiki nasib para budak dengan mendirikan lembaga yang bernama Java Bnevolent
Institution. Maksud baik Raffles ini ditentang pemilik budak yang berpendirian bahwa :
penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran terhadap hak para pemilik budak.
Pendapat ini dapat mengesampingkan pendapat pihak lain, yang berbunyi : perbudakan
adalah kezaliman yang besar terhadap kemanusiaan, merendahkan manusia menjadi barang
milik.
Pada tahun 1854 perbudakan mulai dikikis dan pada tahun 1860 tepatnya 1 Januari 1860
perbudakan di Indonesia dihapuskan, namun tidak berarti perbudakan hapus sama sekali,
karena perbudakan dari segi mental tetap masih ada.
Di luar pulau Jawa perbudakan disebut perhambaan (Sumatra) dan peruluran (Pulau Banda).
- Perhambaan/pandelingschap yaitu memberikan piutang/gadai pada seseorang, dan bila tidak
dapat mengembalikan, maka sipenerima gadai harus bekerja pada pemberi gadai sampai
hutang dan bunganya terlunasi. Orang yang diberi gadai tadi diperlakukan sebagai hamba,
maka terwujudlah perhambaan.
- Peruluran terjadi di pulau Banda yang terkenal sebagai pulau penghasil rempah-rempah.
Tanah di pulau tersebut dikuasai oleh penduduk asli, kemudian Gubernur Jendral Hindia
Belanda mengambil alih, pemilik tanah di pulau tersebut banyak yang dibunuh. Tanah yang
dikuasai di bagikan pada pegawai kompeni dan disuruh menanami rempah-rempah. Tanah
yang dikerjakan pegawai kompeni tersebut terkenal dengan nama Perk, dan orang yang
mengerjakan disebut Perkenier.
Terikatnya pegawai kompeni untuk menanami rempah-rempah di pulau Banda itu disebut
Peruluran.

2. ZAMAN RODI (KERJA PAKSA)


Mula-mula bentuknya adalah melakukan pekerjaan secara bersama-sama antara budak-budak
atau anggota masyarakat desa. Namun karena berbagai alasan dan keadaan, kerja bersama
tersebut berubah menjadi kerja paksa untuk kepentingan seseorang dengan menerima upah.
Kemudian kepentingan tersebut beralih lagi yakni untuk Gubernemen. Pekerjaan yang
dilakukan para budak tersebut merupakan kerja paksa atau rodi. Misalnya, pekerjaan untuk
mendirikan benteng, pabrik gula, jalan raya (Anyer sampai Panarukan yang biasa disebut
jalan Daendels).
Guna melakukan kepentingan tersebut banyak pekerja yang mati. Pada Tahun 1813 Raffles
berusaha menghapuskan rodi namun usahanya menemui kegagalan.
Setelah Indonesia dikembalikan pada Nederlands, kerja rodi bahkan makin diperhebat dan
digolongkan menjadi beberapa kelompok yakni :
a. Rodi Gubernemen : budak yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda tanpa bayaran.
b. Rodi perorangan, yang bekerja pada pembesar-pembesar Belanda / Raja-raja di Indonesia.
c. Rodi Desa untuk pekerjaan di Desa
Proses hapusnya rodi ini memakan waktu yang lama dan pada Tahun 1938 rodi baru dapat
dihapuskan.

3. ZAMAN POENALE SANKSI


Zaman ini merupakan perkembangan kerja rodi untuk Gubernemen. Gubervemen adalah
penguasa pemerintah Hindia Belanda yang menyewakan tanah pada orang-orang swasta
(bukan orang Indonesia asli). Guna menggarap tanah yang disewakan tersebut Gubervemen
mengambil pekerjanya dari rodi desa dengan menghubungi kepala desa yang bersangkutan.
Pekerja dipekerjakan pada tanah yang disewakan. Mereka dikontrak selama 5 tahun dengan
kontrak kerja secara tertulis.
Perjanjian kontrak tersebut memuat tentang :
a. Besarnya upah.
b. Besarnya uang makan.
c. Perumahan.
d. Macamnya pekerjaan.
e. Penetapan hari kerja.
Penetapan hari kerja tersebut diatur gunanya supaya orang yang dipekerjakan pada tanah-
tanah swasta mempunyai kesempatan untuk mengerjakan sawahnya.
Pada tahun 1870 lahirlah Agarische Wet yang hal ini mendorong tumbuhnya perkebunan-
perkebunan besar seperti perkebunan karet, tembakau, cengkeh dan sebagainya. Sehubungan
dengan tumbuhnya perkebunan-perkebunan tadi, masalah perburuhan menjadi semakin
penting, karena semakin banyak buruh yang dipekerjakan. Namun juga ada yang menolak
untuk dikirim ke perkebunan di Sumatra Timur yang ditanami tembakau. Orang yang
menolak untuk dipekerjakan diperkebunan dipidana dengan hukuman badan yang disebut
dengan poenale sanksi.
Kejadian tersebut mendapat pertentangan dari Parlemen Belanda di Nederland dengan
pernyataannya sebagai berikut: kalau buruh di Indonesia menyalahi perjanjian/melakukan
kesalahan maka tidak seharusnya dipidana dengan pidana yang mengarah pada hukuman
badan, khususnya di daerah Sumatra Timur.
Pernyataan ini kemudian diwujudkan dengan dikeluarkannya Koeli Ordonantie pada tahun
1880, yaitu peraturan yang digunakan untuk buruh jangan sampai diberi pidana yang
mengarah pada pidana badan.
Pada Tahun 1930 keadaan buruh di Sumatra Timur tambah jelek karena ada pemerasan,
penganiayan dan penyalah-gunaan wewenang yang dilakukan penguasa. Kemudian tahun
1904 diadakan/dibentuk instansi pengawasan perbudakan (Arbeids Inspectie).
Baru pada tanggal 1 Januari 1942 Poenale Sanksi lenyap dari dunia perburuhan di
perkebunan Indonesia.
SESUDAH KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945
Sesudah kemerdekaan Republik Indonesia, masalah perburuhan lebih diperhatikan yaitu
dengan adanya PANCA KRIDA HUKUM PERBURUHAN yang menurut Prof. Iman
Soepomo meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan dan perhambaan.
2. Membebaskan penduduk Indonesia dari rodi atau kerja paksa.
3. Membebaskan buruh Indonesia dari Poenale Sanksi.
4. Membebaskan buruh Indonesia dari rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaan secara
semena-mena.
5. Memberikan kedudukan hukum yang seimbang (bukan sama) kepada buruh dan memberi
penghidupan yang layak bagi buruh.
Sesuai dengan uraian diatas, jika disimpulkan terdapat keadaan sebagai berikut :
Keadaan hukum perburuhan sebelum kemerdekaan :
1. Pandangan hukum perburuhan terletak pada kontrak sosial yang bebas artinya nasib buruh
bergantung dari perorangan yang menggunakan buruh tersebut.
2. Sifat peraturan yang ada, adalah privat rechtelyk.
Keadaan Hukum Perburuhan Setelah Kemerdekaan
1. Peraturan yang sifatnya privat recktelyk beralih pada publik recktelyk.
2. Peraturan hukum perburuhan mempunyai sanksi pidana yang jelas.

E. SUMBER-SUMBER HUKUM PERBURUHAN


Sumber hukum perburuhan adalah : segala sesuatu dimana kita dapat menemukan ketentuan-
ketentuan atau aturan-aturan mengenai permasalahan perburuhan, yang dapat dijadikan
sebagai patokan untuk menyelesaikan permasalahan perburuhan.
Sumber hukum perburuhan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
- Sumber hukum yang tertulis.
- Sumber hukum yang tidak tertulis.
SUMBER HUKUM YANG TERTULIS
Menurut Prof. Iman Soepomo sumber hukum yang tertulis ada 5 macam yakni :
1. Undang-Undang.
2. Peraturan-Peraturan.
3. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
4. Perjanjian.
5. Traktat/Konvensi.

SUMBER HUKUM YANG TIDAK TERTULIS


1. Kebiasaan
Ad. 1 UNDANG-UNDANG
Dipandang dari sudut kekuatan hukum, Undang-Undang merupakan sumber hukum yang
tertinggi dan terpenting menurut hukum perburuhan, dibuat oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Contoh : Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.

Selain Undang-undang ada juga Perpu/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,


yang membuat adalah Presiden dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Perpu tersebut
harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat pada sidang berikutnya.

Ad. 2 PERATURAN-PERATURAN
Peraturan merupakan pelaksanaan Undang-Undang yang dibuat oleh Presiden dan Menteri
Tenaga Kerja. Peraturan ini dapat berwujud P.P (Peraturan Pemerintah), Keputusan Menteri
Tenaga Kerja, Keputusan Presiden.
Contoh : Peraturan Pemerintah R.I No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
Contoh : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. No.102 Tahun 2004 tentang
Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Ad. 3 PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang berada pada lingkungan
peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa,
mengadili dan memutus :
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.
- Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.
- Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja dalam satu
perusahaan.
Putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial ini dapat menjadi sumber hukum bagi pihak-
pihak yang berselisih.

Ad. 4 PERJANJIAN
Yang dimaksud perjanjian sebagai sumber hukum perburuhan ini adalah Perjanjian Kerja dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara para pihak (pekerja) dengan pengusaha yang dibuat
secara tertulis mengenai syarat-syarat kerja. Perjanjian tersebut memuat :
a. nama, alamat perusahaan, jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
c. jabatan/jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayaran;
f. hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian dibuat;
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh Serikat Pekerja atau beberapa
Serikat Pekerja yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Baik perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama dapat menjadi sumber hukum
perburuhan bila ada masalah perburuhan diantara pekerja/Serikat Pekerja dengan
pengusaha/beberapa pengusaha.

Ad. 5 TRAKTAT/KONVENSI
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara di dunia ini mengenai
permasalahan perburuhan.
Negara-negara tersebut menjadi Anggota International Labour Organization (ILO).
Sampai dengan Tahun 2001 ILO telah menghasilkan 184 konveksi, 12 diantaranya telah
diratifikasi Indonesia. Dari 12 konveksi tersebut ada yang diratifikasi pemerintah Hindia
Belanda dan pemerintah Republik Indonesia.
a. Konveksi yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda
1. Konvensi No.19 Tahun 1925 tentang Equality of Treatment (Accident Compensation) =
Perlakuan yang sama bagi pekerja nasional dan asing dalam hal tunjangan kecelakaan. Diatur
dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2. Konvensi No. 27 Tahun 1929 tentang Marking of Weight (Packages Transported by
Vessel) = Pemberian tanda berat pada barang-barang besar yang diangkut dengan kapal.
3. Konvensi No. 29 Tahun 1929 tentang Foroed Labour = Wajib kerja.
4. Konvensi No. 45 Tahun 1945 tentang Underground Work (Women) = Kerja wanita
dalam semua macam tambang dibawah tanah.
b. Konvensi yang Diartifikasi Pemerintah Republik Indonesia
1. Konvensi No.98 Tahun 1949 tentang Right to Organized & Collective Emergency =
Berlakunya dasar-dasar hak berorganisasi dan berunding bersama. Diratifikasi dengan
Undang-Undang No.18 Tahun 1956 dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Konvensi No.100 Tahun 1951 tentang Equal Penumaration = Pengupahan yang sama
bagi pekerja laki-laki dan wanita yang mempunyai nilai yang sama.
3. Konvensi No.106 Tahun 1957 tentang Weekly Rest/Commerce & Office = Istirahat
mingguan diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal
79 ayat (2a)
4. Konvensi No.120 Tahun 1964 tentang Hygiene (Commerce & Office)
Hygiene dalam perniagaan dan kantor diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja.
5. Konvensi No.105 Tahun 1957 tentang Abolition of Foroed Labour = Penghapusan Kerja
Paksa diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
6. Konvensi No.138 Tahun 1973 tentang Minimum Age for Administration of Employment
= Usia minimum untuk diperbolehkan bekerja diatur dalam Undang-Undang No.20 Tahun
1999 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
7. Konvensi No.111 Tahun 1958 tentang Discrimination in Respect of Employment &
Occupation = Deskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Diatur dalam Undang-Undang
No.21 Tahun 2001 tentang Diskriminasi dalam Pekerjan dan Jabatan.
8. Konvensi No.182 Tahun 1999 tentang Prohibition and Immediate Action for the
Elimination Of The Worst Form Of Child Labour = Pelarangan dan tindakan segera
penghapusan bentuk-bentuk pekerjan terburuk untuk anak. Diatur dalam Undang-Undang
No.1 Tahun 2001 tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

SUMBER HUKUM YANG TIDAK TERTULIS


Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan. Kebiasaan tersebut tumbuh subur setelah
Perang Dunia II dengan alasan karena :
1. Pembentukan Undang-Undang atau peraturan perburuhan tidak dapat dilakukan secepat
perkembangan permasalahan perburuhan yang harus diatur.
2. Peraturan dari zaman Hindia Belanda dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan rasa
keadilan masyarakat di Indonesia

https://www.facebook.com/permalink.php?id=372952162727420&story_fbid=79650493037
2139
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat


kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga tidak pernah mencapai 7- 8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis
penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja
yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-
4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencarikerja
mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa pencari kerja
yang tidak memperoleh pekerjaan dan menimbulkan jumlah pengangguran diIndonesia
bertambah.
Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta.
Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan
2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001:
usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta),
penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah
penganggur sukarela (24,422 juta). Pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja
(100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta),
setengah penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela tidak diketahui
jumlah pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah banyak pengangguran, apalagi di tahun 2003
hingga 2015 pasti jumlah penggangguran semakin bertambah dan mengakibatkan
kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia.
Dalam hal data di atas, indonesia juga akang menghadapi MEA 2015 yang banayk
kalangan mengatakan Indonesia belum siap dalam menghadapinya dikarenakan
ketenagakerjaan Indonesia yang belum mampu bersaing secara optimal dengan negara-
negara lain.
Atas dasar di atas penyusun akan mencoba mejelaskan secara ilmiah dengan data-
data yang ada dan menjawab apakah ketenagakerjaan Indonesia perlu mendapatkan
perhatian yang lebih lagi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Konsep Ketenagakerjaan itu?


2. Bagaimanakah Teori Ketenagakerjaan Menjelaskan Masalah Ketenagakerjaan?
3. Bagaimana Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia Terutama dalam Menghadapi MEA 2015?
4. Bagaimana Solusi Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia?

C. Tujuan

1. Mengetahui Bagaimanakah Konsep Ketenagakerjaan itu?


2. Mengetahui Bagaimanakah Teori Ketenagakerjaan Menjelaskan Masalah Ketenagakerjaan?
3. Mengetahui Bagaimana Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia Terutama dalam Menghadapi
MEA 2015?
4. Mengetahui Bagaimana Solusi Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Ketenagakerjaan
Salah satu persoalan mendasar dalam aspek ketenagakerjaan adalah
pengangguran. Pengangguran terbuka (open unemployment) adalah orang yang masuk
dalam angkatan kerja (15 tahun keatas) yang sedang mencari pekerjaan, yang
mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena mesara tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan
(sebelumnya dikatagorikan sebagai bukan angkatan kerja), dan yang sudah punya
pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikatagorikan pekerjaan bekerja), dan
pada waktu yang bersamaan mereka tak bekerja. Selain pengangguran terbuka, juga
dikenal istilah Setengah Pengangguran (Under Unemployment) yaitu tenaga kerja yang
tidak bekerja secara optimal yang bekrja kurang dari 35 jam selama seminggu.
Permasalahan pengangguran dan setengah pengguran ini merupakan persoalan serius
karena dapat menyebabkan tingkat pendapatan Nasional dan tingkat kemakmuran
masyarakat tidak mencapai potensi maksimal. Diilihat dari penyebabnya, pengangguran
dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian :
1. Pengangguran struktural yaitu : pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam
struktur perekonomian. Penduduk tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk memesuki
sektor baru sehingga mereka menganggur. Contoh para petani kehilangan pekerjaan
karena adanya berubahan dari daerah agraris menjadi daerah industri.
2. Pengangguran siklus adalah pengangguran yang terjadi karena menurunnya
kegiatan perekonomian (misal terjadi resesi) sehingga menyebabkan
berkurangnya permintaan masyarakat (aggrerat demand).
3. Pengangguran musiman adalah pengangguran yang terjadi karena adanya
pergantian musin misalnya pergantian musim tanam ke musim panen.
4. Pengangguran friksional adalah Pengangguran yang muncul akibat adanya
ketidaksesuaian antara pemberi kerja dan pencari kerja.
5. Pengangguran teknologi adalah Pengangguran yang terjadi karena adanya
penggunaan alat-alat teknologi yang semakin modern yang menggantikan
tenaga krja manusia.

Data tentang situasi ketenaga kerjaan merupakan salah satu data pokok yang
dapat mengambarkan kondisi perekonomian, sosial, bahkan tingkat kesejahteraan
penduduk di suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Salah satu isu penting dalam
ketenagakerjaan, disamping keadaan angkatan kerja (economically active population) dan
struktur ketenagakerjaan adalah isu pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi
merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang
tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap para
pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalah-masalah di
bidang ekonomi saja melainkan juga menimbulkan berbagi masalah di bidang sosial seperti
kemiskinan dan kerawanan sosial.
Untuk memenuhi kebutuhan data ketenagakerjaan, Badan Pusat Statistk (BPS)
melaksanakan pengumpulan data ketenagakerjaan melalui berbagai kegiatan sensus dan
suevei antara lain Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar Sensus (Supas), Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).
Sakernas merupakan survei yang dirancang khusus untuk mengumpulkan data
ketenagakerjaan dengan pendekatan rumah tangga.

Dalam mengumpulkan data menyajikan data ketenagakerjaan, BPS selalu


menggunakan konsep/definisi yang direkomendasikan oleh Internasional Labor Organization
(ILO). Hal ini dimaksudkan terutama agar data ketenagakerjaan yang dihasilkan dari
berbagai survei di Indonesia dapat dibandingkan secara Internasional, tanpa
mengesampingkan kondisi ketenaga kerjaan spesifik Indonesia. Menurut Konsep Labor
Ferce Framework, penduduk dibagi dalam beberapa kelompok.

Beberapa konsep/definisi yang digunakan dalam ketenagakerjaan adalah sbb:

1. Penduduk
Semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama enam bulan
atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk
menetap.
2. Usia kerja
Indonesia menggunakan batas bawah usia kerja (economically active population) 15 tahun
(meskipun dalam survei dikumpulkan informasi mulai dari usia 10 tahun) dan tanpa batas
atas usia kerja.
3. Angkatan Kerja
Konsep angkatan kerja merujuk pada kegiatan utama yang dilakukan oleh penduduk usia
kerja selama periode tertentu. Angkatan Kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja,
atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran.
4. Bukan angkatan kerja
Penduduk usia kerja tidak termasuk angkatan kerja mencakup penduduk yang bersekolah,
mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainya.
5. Bekerja
Kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu
memperoleh pendapatan atau keuntingan paling sedikit 1(satu) jam secara tidak terputus
selama seminggu yang lalu. Kegiatan bekerja ini mencakup, baik yang sedang bekerja
maupun yang punya pekerjaan tetapi dalam seminggu yang lalu sementara tidak bekerja,
misal karena cuti, sakit dan sejenisnya.
Kriteria satu jam (the one-hour criterion) digunakan dengan pertimbangan untuk
mencakup semua jenis pekerjaan yang mungkin ada pada suatu negara, termasuk
didalamnya adalah pekerja dengan waktu singkat (short-time work), pekerja bebas, stand-by
work dan pekerja yang tak beraturah lainnya.

Kriteria satu jam juga dikaitkan dengan definisi bekerja dan pengangguran yang
digunakan, dimana pengangguran adalah situasi dari ketiadaan pekerja secra total,
sehingga jika batas minimum dari jumlah jam kerja dinaikkan maka akan mengubah definisi
pengangguran yaitu bukan lagi ketiadaan pekerjaan secara total.

Di samping itu, juga untuk memastikan bahwa pada suatu tingkat agregasi tertentu
input tenaga kerja total berkaitan langsung dengan produksi total. Hal ini diperlukan
terutama ketika dilakukan join analysis antara statistik ketenagakerjaan dan statistik
produksi. Kriteria satu jam ini bisa berarti satu jam per minggu maupun satu jam per hari.

Berdasarkan sktivitas/kegiatan ekonomi yang merujuk pada the United National


System of National Accounts (SNA), penduduk usia kerja dikatagorikan sebagai
bekerja/memepunyai pekerjaan jika yang bersangkutan bekerja (meskipun hanya bekerja
satu jam dalam periode referensi) atau mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak
bekerja. Sejalan dengan the labour force framework, definisi internasional untuk bekerja
didasarkan pada periode referensi yang pendek (satu minggu atau satu hari).

Bekerja dibedakan menjadi :

1. Bekerja dengan jam kerja normal (35jam)


2. Setengah pengangguran

Penduduk yang bekerja kurang dari jam kerja norma l( dalam hal ini 35 jam
seminggu, tidak termasuk yang sementara tidak bekerja) dikatagorikan sebagai setengah
pengangguran.

Setengah pengangguran dibedakan menjadi dua yaitu :

Setengah pengangguran terpaksa


Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normak (kurang dari 35 jam seminggu), dan masih
mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.
Setengah pengangguran sukarela
Mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), tetapi tidak
mencari pekerjaan tau tidak bersedia menerima pekerjaan lain.

6. Pengangguran
Definisi untuk pengangguran adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, bersedia
untuk bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Definisi ini digunakan pada pelaksanaan
Sakernas 1986 sampai dengan 2000, sedangkan sejak tahun 2001 definisi pengangguran
mengalami penyesuaian/perluasan menjadi sebagai berikut ;
Pengangguran adalah mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan (sebelumnya dikatagorikan sebagai bukan angkatan kerja), yang
sudak punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikatagorikan sebagai
bekerja), dan pada waktu yang bersamaan mereka tak bekerja (jobless). Pengangguran
dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai pengangguran terbuka (open
unemployment).

Secara spesifik, pengangguran terbuka dalam Sakernas, terdiri dari:


Mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan,
Mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha,

Mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan, dan

Mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja,
tetapi belum mulai bekerja.

Tingkat Pengangguran Terbuka dihitung sbb;

TPT = (UE/AK) * 100

Dimana :

TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka

UE = Peduduk 15+ mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak


mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, yang sudah
punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.

AK = Angkatan Kerja

B. Teori-teori Ketenagakerjaan
1. Teori Klasik Adam Smith
Adam smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian
dikenal sebagai aliran klasik. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith juga melihat bahwa
alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi. Setelah
ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkan untuk menjaga agar
ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber daya manusia yang efektif merupakan
syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.
2. Teori Malthus
Sesudah Adam Smith, Thomas Robert Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir
klasik yang sangat berjasa dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Thomas
Robert Malthus mengungkapkan bahwa manusia berkembang jauh lebih cepat
dibandingkan dengan produksi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Manusia berkembang sesuai dengan deret ukur, sedangkan produksi makanan hanya
meningkat sesuai dengan deret hitung.
Jika hal ini tidak dilakukan maka pengurangan penduduk akan diselesaikan secara alamiah
antara lain akan timbul perang, epidemi, kekurangan pangan dan sebagainya.
3. Teori Keynes
John Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa dalam kenyataan pasar tenaga
kerja tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik. Dimanapun para pekerja mempunyai
semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan
buruh dari penurunan tingkat upah.
Kalaupun tingkat upah diturunkan tetapi kemungkinan ini dinilai keynes kecil sekali, tingkat
pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota
masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan
menyebabkan konsumsi secara keseluruhan berkurang. Berkurangnya daya beli
masyarakat akan mendorong turunya harga-harga.
Kalau harga-harga turun, maka kurva nilai produktivitas marjinal labor ( marginal value of
productivity of labor) yang dijadikan sebagai patokan oleh pengusaha dalam
mempekerjakan labor akan turun. Jika penurunan harga tidak begitu besar maka kurva nilai
produktivitas hanya turun sedikit. Meskipun demikian jumlah tenaga kerja yang bertambah
tetap saja lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Lebih parah lagi kalau harga-
harga turun drastis, ini menyebabkan kurva nilai produktivitas marjinal labor turun drastis
pula, dan jumlah tenaga kerja yang tertampung menjadi semakin kecil dan pengangguran
menjadi semakin luas.
4. Teori Harrod-domar
Teori Harod-domar (1946) dikenal sebagai teori pertumbuhan. Menurut teori ini investasi
tidak hanya menciptakan permintaan, tapi juga memperbesar kapasitas produksi. Kapasitas
produksi yang membesar membutuhkan permintaan yang lebih besar pula agar produksi
tidak menurun. Jika kapasitas yang membesar tidak diikuti dengan permintaan yang besar,
surplus akan muncul dan disusul penurunan jumlah produksi.
5. Teori Tentang Tenaga Kerja
Salah satu masalah yang biasa muncul dalam bidang angkatan kerja seperti yang sudah
dibukakan dalam Latar belakang dari pemelihan judul ini adalah ketidak seimbangan akan
permintaan tenaga kerja (demand for labor) dan penawaran tenaga kerja (supply of labor),
pada suatu tingkat upah. Ketidakseimbangan tersebut penawaran yang lebih besar dari
permintaan terhadap tenaga kerja (excess supply of labor) atau lebih besarnya permintaan
dibanding penawaran tenaga kerja (excess demand for labor) dalam pasar tenaga kerja.
C. Kondisi Tenaga Kerja Di Indonesia
Tiga masalah ketenagakerjaan Indonesia dalam menghadapi MEA 2015:

1. Kesempatan kerja yang terbatas,


Terbatasnya kesempatan kerja membuat belum tertampungnya seluruh pencari kerja yang
ada, baik yang baru menyelesaikan pendidikan, pengangguran dan yang ingin bekerja
kembali.
2. Rendahnya kualitas angkatan kerja,
Rendahnya kualitas angkatan kerja terlihat dari sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik
pada 2014 dimana tenaga kerja yang pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar masih dominan
mencapai mencapai 46,9%
3. Tingginya tingkat pengangguran
Tingginya tingkat penggangguran berdasarkan data BPS mencapai 7,4%
(Wakil Ketua Umum Bidang Tenaga Kerja Kamar Dagang dan Industri Indonesia Benny
Soetrisno)

D. Solusi masalah ketenagakerjaan di Indonesia


Secara umum kita dapat mengatasi berbagai masalah ketenagakerjaan melalui berbagai
upaya praktis seperti berikut:
1. Peta Perencanaan dan Pengelolaan Ketenagakerjaan
Pemerintah diharapkan untuk menyusun peta perencanaan dan pengelolaan
ketenagakerjaan di Tanah Air sebagai upaya mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean.

2. Mendorong Investasi
Mengharapkan investasi dari luar negeri kenyataannya belum menunjukkan hasil yang
berarti selama tahun 2006 lalu. Para investor asing mungkin masih menunggu adanya
perbaikan iklim investasi dan beberapa peraturan yang menyangkut aspek perburuhan.
Kalau upaya terobosan lain tidak dilakukan, khawatir masalah pengangguran ini akan
bertambah terus pada tahun-tahun mendatang.
Beberapa produk perikanan dan kelautan juga sangat potensial untuk dikembangkan seperti
udang, ikan kerapu dan rumput laut dan beberapa jenis budidaya perikanan dan kelautan
lainnya. Sektor industri manufaktur dan kerajinan, khususnya untuk industri penunjang -
supporting industries seperti komponen otomotif, elektronika, furnitur, garmen dan produk
alas kaki juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan dan penyerapan tenaga
kerja. Penulis juga mencermati banyak sekali produkproduk IT dan industri manufaktur yang
sangat dibutuhkan, baik untuk pasar domestik, maupun untuk pasar ekspor. Di samping
kedua sektor tersebut, sector jasa keuangan, persewaan, jasa konsultasi bisnis dan jasa
lainnya juga memiliki prospek baik untuk dikembangkan.
3. Memperbaiki daya saing
Daya saing ekspor Indonesia bergantung pada kebijakan perdagangan yang terus menjaga
keterbukaan, disamping menciptakan fasilitasi bagi pembentukan struktur ekspor yang
sesuai dengan ketatnya kompetisi dunia. Dalam jangka pendek, Indonesia dapat
mendorong ekspor dengan mengurangi berbagai biaya yang terkait dengan ekspor itu
sendiri serta meningkatkan akses kepada pasar internasional. Kebijakan yang dapat dipakai
untuk mengontrol biaya-biaya tersebut diantaranya i) Menjaga kestabilan dan daya saing
nilai tukar ii) Memastikan peningkatan tingkat upah yang moderat sejalan dengan
peningkatan produktifitas iii) Akselerasi proses restitusi PPn dan restitusi bea masuk impor
bagi para eksportir dan iv) Meningkatkan kemampuan fasilitas pelabuhan dan bandara dan
infrastruktur jalan untuk mengurangi biaya transportasi.
Pemerintah dapat berupaya lebih keras lagi dalam menegosiasikan akses yang lebih besar
ke pasar internasional pada pembicaraan perdagangan multilateral Putaran Doha terbaru.
Karena Indonesia telah mempunyai kebijakan rezim perdagangan yang sangat terbuka,
pemerintah dapat meminta pemotongan bea masuk dan pembebasan atas berbagai
pengenaan bea masuk bukan ad-valorem oleh negara-negara maju, dengan dampak yang
kecil bagi kebijakan proteksi Indonesia sendiri.
4. Meningkatkan Fleksibilitas tenaga kerja
Indonesia memiliki aturan ketenagakerjaan yang paling kaku serta menimbulkan biaya
paling tinggi di Asia Timur. Sebagai contoh, biaya untuk mengeluarkan pekerja sangatlah
tinggi; pesangon yang harus dibayarkan mencapai 9 bulan gaji. Tentunya kebijakan pasar
tenaga kerja harus berimbang antara penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel dengan
kebutuhan untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi tenaga kerja.
Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan fleksibilitas
tenaga kerja antara lain:
Menyelesaikan pelaksanaan perundang-undangan tenaga kerja dan berkonsentrasi pada
dua isu utama yang mendapat perhatian para pengusaha yaitu: i) keleluasaan dalam
mempekerjakan pekerja kontrak dan ii) keleluasaan dalam melakukan outsourcing, dengan
menekankan para sub-kontraktor untuk memenuhi hak-hak pekerja mereka.
Menciptakan peradilan tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
perselisihan hubungan industrial. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses
penyelesaian perselisihan tenaga kerja.
Membentuk tim ahli dalam menentukan tingkat upah minimum. Pemerintah pusat dapat
menjalankan kewenangan untuk membatasi peningkatan upah minimum di daerah.
Jika diperlukan, merevisi Undang-undang mengenai Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional
yang baru disahkan dan membentuk komisi tingkat tinggi yang bertugas mendesain sistem
kesejahteraan nasional. Sistem ini harus dapat dilaksanakan dan mendukung penciptaan
lapangan pekerjaan.

5. Peningkatan Keahlian Pekerja


Pemerintah seharusnya dapat meningkatkan kemampuan angkatan kerja. Lemahnya
kemampuan pekerja Indonesia dirasakan sebagai kendala utama bagi investor. Rendahnya
keahlian ini akan mempersempit ruang bagi kebijakan Indonesia untuk meningkatkan
struktur produksinya. Walaupun pada saat sebelum krisis pendidikan di Indonesia mencapai
kemajuan yang luar biasa, dalam segi kuantitas, kualitas pendidikan masih tertinggal
dibandingkan dengan negara-negara pesaing lainnya. Pemerintah harus lebih menekankan
pencapaian tujuan di bidang pendidikan formal dengan mereformasi sistem pendidikan,
sesuai dengan prinsip dan manfaat dari proses desentralisasi.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Kondisi ketenagakerjaan di indonesia amatlah kurang dari harapan. Angka pengangguran
masih sangat tinggi, kualitas pekerja yang kurang memadai dan berbagai factor lain yang
turut memburuk kondisi tenaga kerja di Indonesia. Kebijakan pemerintah berkenaan dengan
ketenagakerjaan Indonesia belumlah cukup untuk mengentaskan para pekerja dari
kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

http://kartika-s-n-fisip08.web.unair.ac.id/artikel_detail-37092-
hardskill%20PERENCANAAN%20TENAGA%20KERJA%20DALAM%20ORGANISASI%20.
html

https://www.academia.edu/7148920/Menganalisis_Permasalahan_Ketenagakerjaan_di_Indo
nesia

http://industri.bisnis.com/read/20141202/12/379243/mea-2015-indonesia-hadapi-3-masalah-
ketenagakerjaan

http://seshakri-ariezuya.blogspot.co.id/2012/06/ventor-12.html

http://fattakhy.blogspot.co.id/2011/01/makalah-ketenagakerjaan-dan.html

http://www.slideshare.net/andreawburhana/ekonomi-ketenagakerjaan-ppt?related=1

http://underground-paper.blogspot.co.id/2013/06/makalah-ketenagakerjaan-di-
indonesia.html

http://www.bps.go.id/index.php/pencarian?keywordforsearching=pengangguran&yt1=Cari

http://www.bps.go.id/index.php/brs/1196

Sumber : http://myirfanberbagi.blogspot.co.id/2016/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html

Anda mungkin juga menyukai