Anda di halaman 1dari 11

Dokter Asing dan Globalisasi Kesehatan

banjarhits.ID - Kehadiran dokter asing praktik di Indonesia sampai sekarang masih terus
menimbulkan saling-silang pendapat pro dan kontra di kalangan dokter. Kelompok yang pro
menganggap itu perlu jika kita ingin survive di iptek kedokteran.
Dengan demikian, kita terpacu meningkatkan mutu dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia. Kelompok yang kontra berpendapat kehadiran dokter asing ke Indonesia banyak dilatari
tekanan bisnis. Sasaran mereka tentu saja masyarakat kota besar yang mampu.
Sungguhpun demikian, berbagai kalangan tampaknya sependapat bahwa pada saatnya, kehadiran
dokter asing di Indonesia tidak mungkin dibendung lagi. Kita tidak bisa menghindari masuknya
mereka ke sini mengingat hal tersebut merupakan salah satu implikasi General Agreement of Trade
in Services (GATS).
Selain itu, kebijakan Indonesia yang ditetapkan melalui Kepres nomor 18 Tahun 2000 menyatakan
bahwa Indonesia terbuka untuk investasi asing di bidang perumahsakitan, evaluasi dan transportasi
pasien, medical check up dan pengobatan khusus. Ke depan, jangan heran kalau nanti mereka
membeli tanah dan membangun rumah sakit.
Selanjutnya karena tenaga dokter kita kurang bermutu, mereka juga akan mendatangkan dokter dari
sana. Mereka masuk bukan saja dengan industri kesehatannya, tapi dibarengi jasa asuransi
kesehatan. Perusahaan besar asuransi mereka akan diboyong ke Indonesia dan membangun
multicompany besar.
Berbicara soal pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini sebetulnya kualitas dokter dan rumah sakit
kita sudah baik meski masih ribuan dokter tidak lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program
Pendidikan Dokter (UKMPPD). Bahkan, banyak rumah sakit swasta kita yang baru konon lebih baik
daripada rumah sakit di Singapura. Akan tetapi, karena pelayanan mereka lebih baik dari dokter
kita, orang Indonesia tetap saja pergi kesana.
Mereka (baca: pasien kaya) umumnya lebih kritis dan banyak bertanya. Celakanya, dokter asing
memahami betul masalah ini karena mereka sudah terbiasa menghadapinya.
Singkatnya jika kita tidak menyadari hal ini dan terlambat mengambil langkah antisipasi, bisa-bisa
nanti kita jadi kuli-kuli mereka di negeri sendiri. Hal ini tampak pada kurikulum pendidikan
kedokteran dan kemampuan kita untuk mencetak dokter berikut spesialisasinya yang sangat
lamban. Lalu apa sebenarnya dampak yang riil dari praktek dokter asing di Indonesia?
Sebetulnya, dampak utama praktek dokter asing di Indonesia sebagai akibat pasar bebas adalah
tersedianya tenaga dokter yang berkualitas tinggi. Kalau kita sakit dan ada pilihan dokter yang luar
biasa baiknya, tentu saja akan menguntungkan. Lebih dari itu, hal tersebut akan menjadi pemicu
peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Sebab kalau semua pintu ditutup, tentunya pelayanan
kesehatan yang diberikan seenaknya sendiri.
Dampak lain adalah akan terjadi persaingan antara rumah sakit. Rumah sakit akan semakin
komersial dan melupakan pelayanan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (baca: pasien
miskin). Hal ini sulit dihindari. Belum lagi, masalah bajak-membajak tenaga medis akan sulit
dibendung. Memang harus diakui dengan masuknya dokter dan fasilitas kesehatan asing di
Indonesia awalnya akan menimbulkan frustasi karena kemampuan bersaing kita yang masih rendah
walau setelah itu, semuanya akan berjalan biasa-biasa saja. Timbul pertanyaan, lantas apa yang
harus dilakukan?
Alternatif terbaik saat ini adalah membangun kemitraan dengan mereka. Kita harus melakukan
kerjasama agar terjadi peningkatan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia kita. Dengan
uang, kita memang dapat membeli teknologi, namun tidak menguasainya. Akan tetapi, tentu
kemitraan saja mungkin belum cukup.
Dukungan penuh dari pemerintah menjadi faktor penting di sini. Untuk itu sebaiknya pemerintah
tidak menerapkan standar ganda. Mereka juga harus dikenai peraturan yang sama dengan para
dokter umum atau spesialis kita sekarang. Misalnya, harus magang dulu kemudian ujian kompetensi
nasional dan juga wajib kerja dokter spesialis bila lulus di wilayah republik ini, selain harus mengerti
bahasa, pola penyakit, dan budaya bangsa Indonesia.
Ini perlu. Sebab permasalahan globalisasi pelayanan kesehatan tidak ringan, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan pemerintah seperti: Pertama, ketidakseimbangan sarana prasarana dan tenaga
kesehatan di seluruh kawasan Indonesia. Kenyataan hampir semua tenaga kesehatan menumpuk di
kota-kota besar seperti Jakarta , Surabaya, dan Pulau Jawa.
Kedua, tidak adanya sistem pelayanan kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat. Sistem
pelayanan kesehatan yang ada sekarang (BPJS bidang kesehatan) masih banyak kendala walau
warga miskin iurannya dibayar oleh pemerintah .
Ketiga, sistem peningkatan mutu pelayanan terutama yang dikaitkan dengan profesionalisme
(kompetensi dan etika) belum berjalan dengan baik. Ini karena hingga kini belum ada wewenang
dari konsil kedokteran yang bertugas menjaga profesionalisme para dokter yang praktek di
Indonesia.
Padahal teknologi kesehatan berkembang secara luar biasa, kompetensi harus dapat diuji dan
dibuktikan sehingga pelayanan yang diberikan benar-benar akan melindungi masyarakat yang
membutuhkan.
Ketiga hal ini perlu dijadikan pertimbangan pemerintah bila ada dokter asing yang mau praktik di
Indonesia. Jika tidak demikian, kita hanya bisa gigit jari karena pangsa pasar kita diambil dokter
asing.
_______ Penulis: Pribakti B (Dokter RSUD Ulin Kota Banjarmasin dan Dosen FK
Universitas Lambung Mangkurat). Artikel ini tulisan pribadi yang dikirim ke
banjarhits.ID
Dokter Asing Bisa Praktik di
Batam
Penulis

Redaksi Tanjungpinang Pos

11 Maret 2019

227
dokter spesialis anak RSUP Kepri sedang melayani pasiennya, belum lama ini. f-
andri/tanjungpinang pos

Status FTZ Membuat Perbedaan Di Bidang Kesehatan

Larangan dokter asing melakukan praktik medis di Indonesia tidak berlaku


di Batam sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ). Dengan
demikian, investor bidang kesehatan, seperti investor rumah sakit
dipersilahkan masuk.

BATAM – Bahkan bidang ini menjadi salah satu program prioritas di Batam
ke depan. Ini juga sudah dibicarakan dengan Menteri Kesehatan, Nila
Moeloek.

Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Edy Putra Irawady, saat dialog
dengan pengusaha mengungkapkan hal itu. Disampaikan terkait program
prioritas mereka, salah satunya, terkait world class health care/medical
service.

”Saya sudah bicara dengan Bu Moeloek. Dengan ini, dokter asing bisa bawa
ke Batam. Kalau kawan-kawan (pengusaha) mau bangun rumah sakit
internasional, silahkan,” tegas Edy.

Tidak hanya bicara sama Menkes, Edy juga mengaku sudah bicara dengan
BPOM. Pembicaraan itu terkait dengan kemungkinan masuknya obat
intenasional di rumah sakit internasional, nantinya.

”Saya mau pakai obat internasional, tidak perlu BPOM. Penting itu di FTZ.
Saya sudah ngomong sama BPOM juga. Kalau ada kawan-kawan (investor)
mau masuk, bawa kita kasih (lahan),” tegas Edy lagi.

Pernyataan itu disampaikan Edy saat ada pengusaha dalam pertemuan


dengan BP beberapa hari lalu, mengeluhkan aturan larangan praktik dokter
asing.

Larangan itu muncul di tengah AFTA (ASEAN Free Trade Area). Dengan AFTA
ini, membebaskan tenaga dokter praktik di negara lain yang masuk AFTA.

”Waktu itu ada yang mau membangun rumah sakit internasional di Batam.
Tapi kebentur dokter asing tak boleh masuk,” ceritanya.

Menurutnya, jika dokter asing diperbolehkan masuk Batam, terutama dari


negara yang masuk dalam AFTA, maka investasi bidang kesehatan akan
masuk.

”Kalau investasi tidak akan susah. Makanya mereka minta, agar dibuka
peluang dokter asing, bisa masuk ke Batam,” katanya.
Kata dia, peluang investasi asing di bidang kesehatan sangat besar. Potensi
itu terlihat dari tingkat hunian rumah sakit di Malaysia, oleh orang-orang
Indonesia. Terutama dari Riau dan Kepri.

”Potensi kita (bidang kesehatan) sangat besar. Orang kita ke Malaysia. Saya
ketemu dokter Malaysia, mereka mencari kerja sama untuk Kepri. Agar orang
Kepri medical cekup di Malaysia. Jadi mereka mengajak warga Kepri berobat
di Malaysia,” ceritanya.

Ajakan berobat ke Malaysia muncul karena kendala dokter negara tetangga


itu masuk Batam. Jangankan praktik kedokteran, untuk mengobati dengan
program baksos dari rumah sakit di Malaysia ke Batam juga dilarang.

”Mereka mau baksos di Batam, tidak bisa karena tidak boleh masuk. Pada
hal sudah AFTA saat itu,” jelasnya.

Pada tahun 2018 lalu, keluhan senada disampaikan Vice President Johor
Corp, yang membawahi KJP Hospital, Mohd Sahir Rahmad.

Disebutkan, dokter Malaysia merasa dihalangi untuk melakukan praktik di


Indonesia. Mereka hanya diperbolehkan menjadi pembicara seminar dan
diskusi di Indonesia.

Harusnya, saat masyarakat Asean (MEA) atau AFTA diberlakukan, larangan


itu tidak berlaku. Kendala itu ditenggarai datang dari dokter yang bergabung
di IDI.

”Kalau dokter asing diberikan izin praktik di Indonesia, kami akan bantu
masyarakat Indonesia,” kata Sahir

Disebutkan, jika dokter dari Malaysia diberikan izin praktek di Indonesia,


masyarakat Indonesia akan terbantu. Dengan dokter Malaysia diperbolehkan
di Indonesia, diperkirakan cabang rumah sakit mereka di Indonesia akan
bertambah. Sehingga warga Indonesia tidak perlu berobat ke Malaysia.

”Kalau dokter asing diberikan izin, warga Indonesia tak perlu susah ke Johor.
Jadi masih ada indikasi kendala-kendala dari persatuan dokter di Indonesia,”
jelasnya.

Ke depan diharapkan akan ada diskusi antara IDI dengan persatuan dokter di
Malaysia. Di Malaysia juga ada persatuan dokter Malaysia. Jadi ini perlu
diperbincangkan. ”Bisa individu yang memprotes. Saya pernah ke Indonesia
tapi ikut rapat saja,” cetusnya.

Demikian juga disampaikan dari dokter Azhar di KPJ Health Care. Dia
membenarkan kondisi itu, yang mengindikasikan larangan dari IDI agar
dokter Malaysia tidak praktik di Indonesia.

”Jadi kalau kami ke perwakilan KPJ Health Care di Jakarta, kami hanya bisa
menjadi pembicara. Indikasi larangan dari IDI. Tidak bisa memberikan
pelayanan pengobatan,” sambungnya.(MARTUA)

Penjelasan Kemenkes Soal MEA dan


Dokter Asing di Indonesia
Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Foto: thinkstock

Jakarta - Kementerian Kesehatan mengatakan berlakunya Masyarakat


Ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini tidak terlalu berpengaruh. Masuknya
pengaruh asing di dunia kesehatan sudah terjadi bahkan sebelum MEA
diberlakukan.

"Pertukaran informasi, dari luar negeri ke Indonesia atau Indonesia ke


luar negeri kan tidak bisa dicegah. Tanpa MEA pun itu sudah terjadi,"
tutur drg Usman Sumantri, MSc, Kepala Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, di Kantor
Kementerian Kesehatan, Jl HR Rasuna Said, Rabu (13/1/2016).

Oleh karena itu drg Usman mengatakan tidak ada yang perlu
ditakutkan dengan berlakunya MEA tahun ini. Belum ada keputusan
bersama yang dihasilkan oleh negara-negara ASEAN terkait tenaga
kerja kesehatan.
Dijelaskan drg Usman, belum ada mutual recognition agreement (MRA)
antara negara-negara ASEAN. Jika MRA belum disetujui, maka masing-
masing negara berhak membuat peraturan tentang tenaga kesehatan
asing yang ingin bekerja di negaranya.

"Jadi bukan tenaga kerja asing bebas bolak-balik kerja di sini, nggak
begitu. Setiap negara berhak membuat regulasinya masing-masing. Di
Indonesia bisa saja berbeda dengan Malaysia atau Singapura,"
paparnya lagi.

Baca juga: Ini Dua Tipe Praktik Ilegal Dokter Asing di Indonesia

Jika sudah adapun, dokter asing belum bisa langsung praktik. Mereka
diwajibkan untuk mendaftarkan diri ke Konsil Kedokteran Indonesia,
dan diuji kompetensinya, dilihat izinnya, dan terakhir dianalisis
kebutuhan tenaga dokter tersebut, berdasarkan daerah.

"Jadi misalnya dia masuk pun, ortopedi misalnya, nggak bisa langsung
praktik di Jakarta karena penuh. Kalau dia mau ke Papua atau NTT
misalnya nah itu baru boleh," tambahnya lagi.

drg Usman mengatakan dengan adanya MEA, maka ada dua nilai
positif yang bisa diambil. Pertama adalah terjadinya kompetisi yang
membuat peningkatan standar mutu semakin cepat. Dan kedua adalah
terbukanya kesempatan tenaga kesehatan Indonesia bekerja di luar
negeri.

"Kalau dokter asing mau kerja di Indonesia, dibayar setara dokter kita
ya bagus dong. Jadinya ada kompetisi mutu, dan semakin banyak
masyarakat yang terlayani," paparnya.

Baca juga: Menkes Harap Dinas Kesehatan Bergerak Awasi Praktik


Dokter Asing (mrs/vit)

Pada Era MEA, Bolehkah Dokter Asing Praktik di Indonesia?


JAKARTA, KOMPAS.com — Era masyarakat ekonomi ASEAN ( MEA) memungkinkan banyak
dokter asing berpraktik di Indonesia. Meski demikian, dokter asing tak bisa sembarangan melakukan
praktik atau bekerja di Indonesia. Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan Usman Sumantri mengatakan, setiap negara akan
memiliki regulasi domestik untuk pasar bebas ASEAN ini. Menurut Usman, salah satu aturan yang
akan diterapkan di Indonesia adalah dokter asing harus memiliki keahlian tertentu yang belum
maksimal bisa dilakukan oleh dokter di Indonesia. "Kalau tenaga kesehatan yang enggak punya
keahlian apa-apa atau keahliannya juga ada di kita (Indonesia) untuk apa dia masuk?" kata Usman
di sela-sela Diskusi Panel Dies Natalis ke-67 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di
Gedung Aula FKUI, Jakarta, Rabu (8/2/2017). Untuk itu, dokter asing yang akan berpraktik juga
harus melalui uji kompetensi, lalu mengantongi izin praktik. Dokter asing yang ingin praktik pun
harus paham kondisi penyakit di Indonesia yang mungkin berbeda dari negara asal dokter asing
tersebut. Usman mengatakan, beberapa regulasi yang bakal diterapkan dalam MEA ini sebenarnya
juga sudah diatur dalam UU Praktik Kedokteran tahun 2009, misalnya, direktur rumah sakit harus
warga negara Indonesia. Meski demikian, hingga saat ini belum ada persetujuan bersama untuk
standar aturan di ASEAN. Setiap negara masih menyusun regulasi untuk tenaga kesehatan asing
pada era MEA. Sejauh ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) belum mengeluarkan izin untuk dokter
asing bekerja di Indonesia atau melakukan tindakan langsung terhadap pasien. Mereka masuk ke
Indonesia sebatas untuk menjadi narasumber atau transfer ilmu, mengikuti pelatihan dan
pendidikan, melakukan penelitian, hingga bakti sosial. "Apabila banyak dokter asing bekerja di mal,
di kota besar, itu mereka ilegal," ujar Wakil Ketua 1 KKI, Laksmi D.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pada Era MEA, Bolehkah Dokter Asing Praktik
di
Indonesia?", https://lifestyle.kompas.com/read/2017/02/08/160000723/pada.era.mea.bolehkah.dokte
r.asing.praktik.di.indonesia..
Penulis : Dian Maharani

IDI: Dokter Indonesia Harus Setara


Dokter Asing Untuk Hadapi Tantangan
MEA
Share

Abdul Hadi.25 April 2019

Seminar Nasional Masyarakat Ekonomi ASEAN

Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara yang ikut


menandatangani kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
dituntut harus siap dalam menjadi subyek yang berperan penting
dalam kerja sama regional.
antvklik.com - Salah satu bidang yang menjadi bagian dari skema kerja
sama MEA adalah kesehatan dengan memiliki cakupan luas, mulai dari
investasi pembangunan dan penyediaan fasilitas kesehatan, alat
kesehatan, obat serta sumber daya manusia.
Prof. Dr. Budi Wiweko, SpOG(K), MPH, selaku Ketua Bidang Hubungan
Internasional dan Kerja Sama MEA Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
mengatakan, Indonesia harus setara dalam kompetensi serta pemberian
lisensi praktik dan mobilitas tenaga ahli di wilayah ASEAN.
"Bukan berarti dokter Indonesia akan berpraktik di luar negeri di ASEAN,
tetapi kita harus siap ketika nantinya terjadi mobilisasi tenaga kesehatan
di negara-negara ASEAN, bahwa dokter-dokter kita itu memiliki
kemampuan, kompetensi, profesionalisme yang sama dengan dokter-
dokter di negara tetangga seperti dari Singapura, Malaysia, Brunei,
Vietnam, Thailand, atau negara lainnya," terang Budi saat ditemui dalam
kegiatan Seminar Nasional MEA, di Hotel Westin, Jakarta, Rabu
(24/4/2019).
Bicara mengenai tantangan dan peluang akan adanya MEA, Budi
mengatakan peluang yang bisa dimanfaatkan adalah membangun
semangat peningkatan kualitas dari mulai pendidikan sampai pelayanan
dengan menetapkan standard kualitas dan pelayanan.
"Untuk tantangan, saat ini investasi asing di bidang kesehatan sudah
terbuka. Dengan adanya MEA ini saat ini regulasi memungkinkan asing
untuk melakukan investasi pembangunan rumah sakit dan klinik, tapi
memang tidak diizinkan manajemen atau dokter asing masuk," tutur pria
yang saat ini menjadi kandidat Rektor Universitas Indonesia (UI).
Menurut Budi, rumah sakit yang dimiliki asing tentunya ingin memiliki
tenaga dokter yang berkualitas, oleh karena itu dokter Indonesia harus
memiliki kualitas yang sama dengan dokter asing.
Sementara itu, terkait dirinya dijadikan sebagai salah satu kandidat
Rektor UI, Budi mengatakan akan menekankan pembangunan bangsa
dengan menjadikan UI sebagai universitas 80 besar dunia.
"Tugas mulia Universitas Indonesia adalah membangun ideologi dan
teknologi melalui pendidikan. Untuk itu Universitas Indonesia harus
dibangun menjadi sense response and lean organize untuk menjawab
tantangan pembangunan sains dan teknologi di era revolusi industri
4.0," pungkas Budi yang juga sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran
Indonesia (FKUI) dan sebagai profesor termuda.

Anda mungkin juga menyukai