2.1 PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit jamur kulit superfisial yang menyerang
jaringan dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku,
yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Infeksi dermatofitosis dikenal dengan
nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi.1 Tinea kruris adalah salah satu dermatofitosis yang
ditemukan pada pangkal paha, genital, pubis, serta perineum dan kulit perianal.2 Penyakit ini
juga dikenal sebagai jock itch, crotch itch, dhobie itch, eczema marginatum, dan ringworm of
the groin.3
Tinea korporis dan kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum di
seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti Indonesia.2,4,5 Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk klinis tersering di Indonesia dan ditemui terutama pada musim
panas dengan tingkat kelembaban tinggi.3 Menurut penelitian Budimuldja tahun 1997, tinea
kruris menduduki peringkat kedua tersering dari seluruh penyakit jamur kulit di Departemen
Dermatologi dan Venereologi Universitas Indonesia.6
Tinea korporis dan kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat diderita seumur
hidup.1 Tinea kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan menyerang
laki-laki tiga kali lebih sering dibanding wanita, salah satu alasannya karena skrotum
menciptakan kondisi yang hangat dan lembab. Penularan tinea kruris dapat melalui kontak
langsung, baik dengan manusia maupun binatang, dan dari serpihan jamur pada pakaian,
handuk, dan lain-lain.2,4,5 Faktor predisposisi lain yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris,
antara lain obesitas dan derajat perspirasi yang berlebih.5
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, kompetensi dokter umum
dalam menangani tinea kruris adalah 4A, yang artinya lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.7
2.2 ETIOPATOGENESIS
Tinea korporis dan kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut Budimulja
tahun 2010, dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton, mempunyai sifat mencerna keratin.1
Penyebab tersering tinea kruris adalah Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton
rubrum dan Tricophyton mentagrophytes.2,4
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon2 pejamu.5 Pertama adalah berhasil
melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil fragmentasi hifa, ke
permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain
asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik dan kompetisi
dengan flora normal.2 Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak,
pertumbuhan dan invasi spora mulai berlangsung.2,4
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini dibantu oleh
sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Trauma dan
maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang
terkandung dalam dinding sel dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit
dan respon imunitas seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh
status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau
Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang peranan yang sangat penting dalam
melawan dermatofita. Respon inflamasi dari reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan
penyembuhan pasien. Respon imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses
penyakit yang kronis dan berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga
diduga berpengaruh terhadap kronisitas.2,3
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel Langerhans
epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Sel Langerhans bekerja
sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu melakukan fungsi fagosit, memproduksi
IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di
dalam kulit membawa antigen ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya
dengan limfosit yang spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh
sel endotel pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini
kemudian menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang
mengaktifkan makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis kelamin, usia,
obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif. Kulit di lipat paha yang
basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga
memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan
terjadinya tinea kruris, misalnya tinea pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa
higiene sanitasi dan lokasi geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit jamur.2,4
Gambar 1. Plak eritematosa dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis 2
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala umum yang
menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi maserasi dan infeksi
sekunder.2,5 Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan bagian tengah tampak seperti
menyembuh (central clearing). Pada tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul,
terkadang terlihat erosi disertai keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat
ditemukan adanya likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).1,3,10
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah) 3
2. Pemeriksaan kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga
yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis
dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon
pada pengobatan sistemik. Kultur dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun
spesies dari jamur penyebab tinea kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan
spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung.
Media biakan yang digunakan adalah agar dekstrosa Sabourraud yang ditambah
antibiotik, contohnya kloramfenikol, dan sikloheksimid untuk menekan pertumbuhan
jamur kontaminan/ saprofit (contohnya jamur non-Candida albicans, Cryptococcus,
Prototheca sp., P.werneckii, Scytalidium sp., Ochroconis gallopava), disimpan pada
suhu kamar 25-30oC selama tujuh hari, maksimal selama empat pekan dan dibuang
jika tidak ada pertumbuhan.9,12
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea kruris 2
E. floccosum
T. interdigitale
2.6 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, tinea kruris umumnya ditandai dengan adanya
keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau kronis,
bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat berkeringat,
dengan bentuk lesi polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif.
Dari pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis pemeriksaan elemen
jamur dengan KOH. Dan pemeriksaan metode kuktur jamur dapat dilakukan, namun
membutuhkan waktu yang lama.
2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana umum dan khusus.
Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana topikal dan
sistemik.
Tatalaksana Umum
Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah infeksi berulang.
Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber infeksi serta
mencegah pemakaian peralatan mandi bersama.4,5,10 Pengurangan keringat dan penguapan
dari daerah lipat paha, seperti penggunaan pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga
penting dalam pencegahan agar daerah lipat paha tetap kering. Pencucian rutin pakaian, sprei,
handuk yang terkontaminasi dan penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga
dapat dilakukan. Infeksi berulang pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi
reservoir lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (tinea pedis, tinea unguium) sehingga
penting untuk dilakukan eradikasi.4,11
Tatalaksana Khusus
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja. Terapi
sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh dan tidak sembuh
dengan obat topikal yang sudah adekuat.9,10 Beberapa pilihan obat antijamur topikal dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pilihan obat antijamur topikal1,10,11
Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur topikal umumnya sampai 1-2
pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungistatik, pengobatan
dilanjutkan 1-2 pekan setelah lesi hilang/sembuh. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan sehingga pengobatan diberikan selama sekurang-kurangnya 3-4
pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungisidal, pengobatan
cukup diberikan selama 1-2 pekan, tidak perlu diteruskan 1-2 pekan setelah lesi hilang/
sembuh.11,12
Sebelum dioles, daerah yang akan diolesi obat dibersihkan dan dikeringkan. Obat dioles
di atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi paling sedikit sampai 3 cm ke arah luar
lesi. Obat digunakan 2 kali sehari, kecuali butenafin, terbinafin, sertakonazol hanya dioles 1
kali sehari. Hasil maksimal bila lesi dijaga tetap bersih, kering dan sejuk, misalnya dengan
menggunakan celana yang tidak sempit dan menyerap keringat.11
Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat digunakan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik1,10,11
Imidazol
- itrakonazol - Bersifat fungistatik
- Interaksi dengan obat lain cukup banyak
- Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml
- Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak)
1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah, S, eds. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
Hal. 89-100
2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012. p.2277-97
3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
4. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In: Bolognia,
Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1. Philadelphia:
Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62
5. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, eds. In: Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Ed: Volume 2. Australia:
Blackwell Publishing. p 36.20-34
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
10. Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In: Fitzpatrick’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York: McGraw Hill; 2009.
11. Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono, Kusmarinah,
dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74
12. Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2): 2015. Hal. 122-28
13. Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012. p.22-37