Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

TINEA CRURIS ET CORPORIS

Disusun oleh:
Alif Fariz Jazmi 150070200011129
Galih Tri Wicaksono 150070200011113
Januardi Indra Jaya 150070200011056
Mochammad Febryan K 160070200011011
Naya Adi Dharmesta 150070200011104
Shelby Amrus Ernanda 160070200011027

PEMBIMBING:
dr. Sinta Murlistyarini, Sp.KK

LAB/SMF ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN


RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 2

1.3. Tujuan .......................................................................................... 2

BAB 2 LAPORAN KASUS ........................................................................... 2

2.1. Identitas Pasien ............................................................................ 2

2.2. Anamnesis .................................................................................... 2

2.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................ 4

2.4. Diagnosis Banding ........................................................................ 6

2.5. Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 6

2.6. Diagnosis...................................................................................... 6

2.7. Terapi ........................................................................................... 6

2.8. Monitoring dan Edukasi ................................................................ 6

2.9. Prognosis ..................................................................................... 7

BAB 3 PEMBAHASAN ................................................................................ 8

3.1. Diagnosis...................................................................................... 8

2.2. Penatalaksanaan .......................................................................... 10

2.3. Prognosis ..................................................................................... 11

BAB 4 RINGKASAN .................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 13

Lampiran 1 ................................................................................................... 14

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Foto Klinis Pasien ....................................................................... 5

Gambar 2. Pemeriksaan dengan KOH 10% pada Lesi. ................................ 6

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jamur pada manusia adalah hal yang alami dan memang selalu ada pada
manusia seperti di daerah mulut, tenggorokan, vagina dan pada sistem
pencernaan lainnya. Namun, jamur dapat bersifat patogen yangi dibagi menjadi 3
bentuk yaitu superficial, subcutaneous, dan systemic. Ketiganya dibedakan
berdasarkan sedalam apa jamur ini menjadi patogen pada bagian tubuh host.1,2

Dermatofitosis merupakan berbagai kelompok infeksi yang disebabkan


oleh dermatofit, yaitu jamur yang menginfeksi jaringan berkeratin seperti kulit,
rambut, dan kuku yang merupakan salah satu dari jamur superfisial. Spesies dari
dermatofit sendiri terdiri dari 3 genera: Epidermophyton, Microsporum, dan
Trichophyton, dimana sebagiannya merupakan Antropophilic, yaitu spesies yang
telah beradaptasi pada kondisi kulit manusia sebagai tempat inangnya.2

Dermatofitosis terdiri dari berbagai macam nama dengan ciri khas


gejalanya masing-masing yang disesuaikan dengan bagian tubuh yang terkena.
Dermatofitosis pada area selangkangan, area sekitar alat kelamin, dan pantat
disebut sebagai tinea kruris dan bila terdapat dermatofitosis pada area lain di luar
telapak tangan dan kaki disebut tinea korporis, bila keduanya terjadi bersamaan
maka disebut sebagai tinea cruris et corporis.2

Distribusi penyebaran spesies penyebab dan karakteristik tinea cruris


dan tinea corporis bervariasi bergantung berbagai faktor, yaitu kondisi
geografi, iklim, populasi, gaya hidup, migrasi, kultur budaya, tingkat
pendidikan dan sosioekonomi2. Dermatofita tumbuh optimal pada suhu 15-
35°C,,sehingga dermatofitosis umumnya lebih banyak ditemukan di negara
tropis dan subtropis. Dematofitosis dapat pula diperberat oleh penggunaan
pakaian yang tertutup rapat, kelembapan tinggi, keadaan sosioekonomi yang
rendah, lingkungan tempat tinggal yang padat, dan higiene yang rendah.3

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis. Kondisi geografis


Indonesia sebagai Negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi
memudahkan tumbuhnya jamur. Hal tersebut menyebabkan prevalensi penyakit
infeksi jamur yaitu dermatofitosis di Indonesia cukup tinggi. Studi menyebutkan

1
20% -25% orang dewasa di seluruh dunia terinfeksi oleh dermatofitosis. Pada
Indonesia sendiri kasus 52% dari kasus dermatoitosis adalah tinea cruris dan
tinea korporis dengan persentase tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%),
tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe
lainnya.4

Laporan kasus ini membahas sebuah kasus dermatofitosis. Pada laporan


kasus ini, telah dilaporkan seorang wanita usia 18 tahun dengan diagnosis Tinea
cruris et corporis.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. F A
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Raya Jenggolo RW 2 Malang
Status : Belum Menikah
No.RM : 11325xxx
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 22 September 2017

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan Utama
Munculnya bercak merah yang gatal

Riwayat Penyakit Sekarang


Muncul bercak merah disertai rasa gatal pada daerah pantat, kemaluan,
lipat paha, punggung tangan kanan dan kiri serta puggung kaki kiri. Awalnya
bercak merah muncul pada lipat paha 1 bulan yang lalu, menyebar ke pantat dan
daerah kemaluan 3 minggu yang lalu, kemudian muncul pada tangan dan kaki 1
minggu yang lalu. Rasa gatal pada bercak bisa muncul kapan saja, hilang timbul,
namun terasa sangat gatal apabila terkena keringat atau pakaian lembab. Gatal
hanya muncul pada lokasi bercak saja. Pasien mengaku tidak menyentuh benda
iritan sebelum keluhan muncul.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami keluhan serupa sekitar 1 tahun yang lalu. Pasien
rutin kontrol ke poli RSSA selama 2 bulan. Pasien kemudian berhenti kontrol
karena pasien merasa gatal dan bercak merah sudah hilang.

3
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak meminum atau memakai obat oles apapun selama 1 bulan
ini. Pasien riwayat meminum obat fluconazole 150 mg seminggu sekali selama 2
bulan kontrol di poli RSSA ketika memiliki keluhan serupa 1 tahun yang lalu.

Riwayat Atopi
Pasien memiliki alergi udang dengan gejala kulit menjadi kemerahan

Riwayat Keluarga
Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat gejala
yang serupa dengan pasien. Ayah pasien memiliki alergi udang dengan gejala
kulit menjadi kemerahan.

Riwayat Sosial
Pasien seorang mahasiswa, tinggal di pondok. Pasien mengaku teman-
teman satu pondok tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien mandi
dengan air sumur. Pasien memiliki banyak kegiatan. Pasien mengganti pakaian
setiap hari

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS 456
Hygine : Tampak terawat (pakaian, rambut, kuku bersih)
Tanda Vital : Tekanan Darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
RR : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala/Leher : Pemeriksaan KGB: Tidak dilakukan pemeriksaan
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Edema -/-
-/-
Status Dermatologis

4
 Lokasi: Regio inguinal dextra-sinistra, regio pubis dextra-sinistra, regio
gluteal dextra-sinistra, regio palmar dextra-sinistra, dan regio pedis dextra
 Distribusi: Tersebar
 Ruam: Plak eritema, multipel, berkonfluens, bentuk anuler, ukuran
bervariasi, batas tegas, tertutup skuama tipis di tepi lesi, terdapat central
healing dan coup d’ongle of beisner (-)

Gambar 1. Foto Klinis Pasien. Keterangan: Plak eritema, multipel, berkonfluens,


bentuk anuler, ukuran bervariasi, batas tegas, dan tertutup skuama tipis lembab,
terdapat central healing dan coup d’onglel of beisner (-) pada Regio iinguinal dextra-
sinistra, regio pubis dextra-sinistra, regio gluteal dextra-sinistra, regio palmar dextra-
sinistra, dan regio pedis dextra

5
2.4 Diagnosis Banding
1. Tinea cruris et corporis
2. Cutaneous candidiasis

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan KOH 10% pada skuama: ditemukan hifa panjang, bersepta.

Gambar 2. Pemeriksaan dengan KOH 10% pada Lesi. Ditemukan hifa panjang,
bersepta

2.6 Diagnosis
Tinea cruris et corporis

2.7 Terapi
 Fluconazole tab 150mg diminum 1x/minggu, diminum selama 4 minggu.
 Ketoconazole cream 2 % dioleskan 2x sehari (pagi malam) di area lesi,
selama 4 minggu.
 Kontrol 2 minggu

2.8 Monitoring dan Edukasi


1. Penjelasan tentang penyakit pasien, penyebab (infeksi jamur), faktor
pencetus (kelembaban, kondisi imunocompromised), dan rencana terapi.
2. Penjelasan bahwa sebaiknya pasien menghindari faktor pencetus dengan
cara menjaga area selangkangan dan lipatan kulit lain supaya tidak

6
lembab, menghentikan penggunaan imunosupresan jika tidak ada
indikasi.
3. Jangan memakai pakaian, handuk atau barang sejenisnya yang kontak
dengan kulit secara bergantian untuk mencegah penularan.
4. Menjelaskan cara pemakaian obat, obat tablet diminum 1x setiap 1
minggu, obat cream dioleskan dari 2cm di luar lesi kemudian dioleskan
secara sirkular ke dalam hingga menutupi semua bagian lesi.
2.9 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikam : dubia ad malam

7
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1. Diagnosis
Tinea cruris adalah dermatofitosis pada pangkal paha, genitalia, area
kemaluan, kulit perineum dan perianal.5 Dermatofit sendiri adalah kelompok
jamur yang menginvasi dan bermultiplikasi pada jaringan yang memiliki keratin.6
Penyebutan cruris secara bahasa memang keliru, karena dalam bahasa Latin
"cruris" berarti kaki. Ini adalah jenis dermatofitosis kedua yang paling umum di
seluruh dunia.5 Sama seperti tinea corporis, tinea cruris menyebar melalui kontak
langsung atau fomita.5 Infeksi ini diperburuk oleh oklusi pada kulit dan iklim
lembab. Tinea kruris tiga kali lebih sering terjadi pada pria, dan orang dewasa
lebih sering terkena daripada anak-anak. Sebagian besar tinea cruris disebabkan
oleh T. rubrum dan E. floccosum. E. floccosum paling sering bertanggung jawab
atas epidemi tinea cruris. T. interdigitale dan T. verrucosum lebih jarang
menyebabkan Tinea cruris.5
Tinea cruris nampak secara klasik sebagai plak annular dengan batas
yang bersisik dan membentang dari lipatan inguinal ke paha bagian dalam,
seringkali secara bilateral.5 Bercak erythematous bersisik dengan papula dan
vesikula pada paha bagian dalam juga merupakan presentasi umum namun
mungkin kurang jelas.5 Pruritus biasa terjadi, dan dapat muncul rasa sakit saat
plak ditekan atau ada infeksi sekunder. Plak tinea cruris karena E. floccosum
lebih cenderung menunjukkan central healing yang lebih jelas, dan lebih sering
terbatas pada lipatan genitoklasik dan paha atas medial.5 Sebaliknya, plak pada
tinea cruris karena T. rubrum seringkali menyebar lebih luas ke area kemaluan,
perianal, pantat, dan daerah perut bagian bawah. Genitalia termasuk skrotum
jarang terpengaruh.5 Biasanya munculnya lesi T. cruris pada daerah predileksi
disertai juga denganunculnya lesi yang serupa didaerah lain seperti pada pada
tangan dan kaki (menggambarkan infeksi T.corporis) sehingga disebut sebagai
Tinea cruris et corporis.

Penegakan diagnosis T. cruris ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.5 Pada anamnesis akan
didapatkan pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien datang dengan
keluhan muncul bercak merah bersisik yang gatal dan adanya riwayat kontak

8
dengan orang yang mengalami dermatofitosis.5 Selain itu dapat ditemukan faktor
risiko berupa:
1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
3. Obesitas
4. Diabetes Melitus
Pada hasil Pemeriksaan Fisik biasanya didapatkan lesi berbentuk infiltrat
eritematosa, berbatas tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif daripada
7
bagian tengah, dan konfigurasi polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit
berambut terminal, berambut velus (glabrosa) dan kuku. Sebagai pemeriksaan
penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH dan akan
ditemukan hifa panjang dan artrospora.7
Pada pasien ini, dari anamnesa didapatkan keluhan utama bercak merah
gatal dan disertai gatal pada daerah pantat, kemaluan, lipat paha, punggung
tangan kanan dan kiri serta punggung kaki kiri. Pada awalnya bercak muncul
pada lipatan paha 1 bulan yang lalu, lalu menyebar pantat dan daerah kemaluan
3 minggu yang lalu, kemudian muncul pada tangan dan kaki 1 minggu yang lalu.
Rasa gatal dapat muncul kapan saja, hilang timbul. Gatal dirasakan hanya pada
daerah lesi saja. Pada kondisi lembab, gatal dirasakan semakin meningkat
disertai rasa perih pada bercak. Pasien menyangkal menyentuh benda yang
iritan sebelum muncul bercak merah.
Pasien sebelumnya pernah mengalami hal yang serupa kurang lebih 1
tahun yang lalu, pasien rutin kontrol ke poli RSSA malang selama 2 bulan.
Setalah bercak merah dan gatal menghilang pasien berhenti kontrol ke poli
RSSA malang.
Pasien juga sebelumnya diresepkan fluconazole 150 mg diminum
seminggu sekali selama 2 bulan, dan kontrol ke poli RSSA malang. Pasien juga
mempunyai alergi terhadap udang, karena setelah makan udang kulit menjadi
merah. Hal ini serupa dialami oleh ayah dan kulit menjadi merah setelah makan
udang.
Pasien adalah seorang mahasiswa dan tinggal dipondok, mandi biasanya
di sumur dan selalu ganti baju setiap hari.

9
3.2. Penatalaksanaan
Pada fasilitas kesehatan primer, dilakukan penatalaksanaan sebagai
berikut:
1. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan:
a. antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2
minggu kemudian untuk mencegah rekurensi.7 Pemberian
antifungal topikal dilebihkan hingga sekitar 2 cm di luar area lesi.8
2. Untuk penyakit yang tersebar luas, resisten terhadap terapi topikal7,
pasien imunokompromais4, atau didapatkan gejala sistemik (demam)8
dilakukan pengobatan sistemik dengan:
a. Golongan azol, yaitu Fluconazole pada dosis 50-100 mg/hari atau
150 mg sekali seminggu untuk 2-4 minggu memberikan hasil yang
baik.8 Dapat pula diberikan Itrakonazol: 100 mg/hari selama 1
minggu.7
b. Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk
orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk anak-anak atau 10-
25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.7
c. atau Terbinafin: 250 mg/hari.7
Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari setelah makan.7
3. Selanjutnya setelah ditentukan regimen pengobatan, diberikan konseling
dan edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi
pasien dan keluarga juga penting untuk menjaga higiene tubuh, namun
juga perlu dijelaskan bahwa penyakit ini bukan merupakan penyakit yang
berbahaya. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian
secara bersamaan harus dihindari.7

Terdapat beberapa kriteria untuk penderita Tinea cruris untuk dirujuk pada
fasilitas kesehatan tingkat sekunder. Yaitu pasien apabila penyakit tidak sembuh
dalam 10-14 hari setelah terapi, terdapat imunodefisiensi, atau terdapat penyakit
penyerta yang menggunakan multifarmaka.7 Sehingga perlu disampaikan pada
pasien untuk kontrol ke fasilitias kesehatan setelah 14 hari pasca pengobatan.
Pada pasien dalam kasus ini diberikan tatalaksana yaitu dengan
diberikannya pengobatan sistemik karena lesi banyak tersebar di tubuh pasien
dengan fluconazole 1x150 mg diminum seminggu sekali. Dan disarankan untuk

10
menghindari hal-hal yang dapat menyebar maupun memperburuk lesi pasien
dengan segera mengganti pakaian yang sudah lembab, apabila badan
berkeringat segera dilap dan dibersihkan agar tidak lembab, jangan memakai
handuk, pakaian secara bergantian, dan jangan menggunakan salep maupun
obat diluar dari yang diresepkan oleh dokter.

3.3 Prognosis
Tinea cruris bukanlah penyakit yang mengancam jiwa. Pasien Tinea
cruris dalam kondisi imunokompeten umumnya memiliki bonam (baik).
Sedangkan pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi
dubia ad bonam. Adapun pasien dalam kasus ini memiliki prognosis bonam
karena tidak didapatkan tanda-tanda imunokompromais.

11
BAB 4
RINGKASAN

Telah dilaporkan kasus Tinea cruris et corporis pada wanita usia 18


tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis ditemukan bahwa pasien berkunjung ke Poli Kulit
dan Kelamin RSSA dengan keluhan munculnya bercak merah yang gatal pada
daerah pantat, kemaluan, lipat paha, punggung tangan kanan dan kiri, serta
punggung kaki kiri dan semakin gatal bila berkeringat. Pasien tinggal di
pesantren dan memiliki banyak kegiatan. Pada pemeriksaan fisik terdapat Plak
eritema pada Regio inguinal dextra-sinistra, regio pubis dextra-sinistra, regio
gluteal dextra-sinistra, regio palmar dextra-sinistra, dan regio pedis dextra,
multipel, berkonfluens, bentuk anuler, ukuran bervariasi, batas tegas, tertutup
skuama tipis di tepi lesi, terdapat central healing dan coup d’ongle of beisner (-).
Pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan KOH, tampak gambaran hifa
panjang bersepta

Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan terapi farmakologis melalui


pemberian obat antifungal oral fluconazole tab 150 mg diminum 1x/minggu dan
topikal ketoconazole cream 2% 2x sehari pagi malam. Terapi non farmakologis
dari pasien ini adalah dengan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pasien
mengenai penyakit, perjalanan penyakit, penyebab, dan hal hal yang harus
dilakukan dan dihindari. Pasien dianjurkan untuk meningkatkan kebersihan
daerah selangkangan dan menjaga agar daerah tersebut tidak lembab dan
menghindari penggunaan obat tanpa saran dokter serta upaya mencegah
penularan. Selain itu, pasien memerlukan kontrol ke Poli Kulit dan Kelamin RSSA
setelah 2 minggu.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Seru, RS, Suling, PL., Pandeleke, HE., 2013. Profil Kandidiasis Kutis Di
Poliklinik Kulit Dan kelamin. Journal e-Biomedik(eBM), Vol 1, Nomor 1,
Maret 2013.
2. Goldsmith, Lowell A., et al. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine 8th Ed. Volume Two. New York: McGrawHill General Inc.
3. Agrawal RD, Sharma SK, Sharma P. Effect on temperature and pH
combinations on growth pattern of dermatophytes isolated from HIV
positive patients. Asian J Biochem and Pharmaceu Res.
2011;3(1):307-12
4. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2009.
5. Wolff, K, Goldsmith, L, Katz, S, Gilchrest, B, Paller, AS & Leffell, D
2011, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Edition.
McGraw-Hill, New York. p2289
6. Sahoo, A. K., & Mahajan, R. (2016). Management of tinea corporis,
tinea cruris, and tinea pedis: A comprehensive review. Indian
Dermatology Online Journal, 7(2), 77–86.
http://doi.org/10.4103/2229-5178.178099
7. Ikatan Dokter Indonesia. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Hal. 448-450
8. Lesher, Jack L, Richard P Vinson, Rosalie Elenitsas, Dirk M Elston,
Janet Fairley. (2017). Tinea Corporis Treatment & Management.
Dapat diakses online dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1091473-treatment.
[diakses pada 27 September 2017]

13
Lampiran 1 : Status Dokter Muda

14
15

Anda mungkin juga menyukai