Disusun oleh:
Alif Fariz Jazmi 150070200011129
Galih Tri Wicaksono 150070200011113
Januardi Indra Jaya 150070200011056
Mochammad Febryan K 160070200011011
Naya Adi Dharmesta 150070200011104
Shelby Amrus Ernanda 160070200011027
PEMBIMBING:
dr. Sinta Murlistyarini, Sp.KK
2.6. Diagnosis...................................................................................... 6
3.1. Diagnosis...................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 13
Lampiran 1 ................................................................................................... 14
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Jamur pada manusia adalah hal yang alami dan memang selalu ada pada
manusia seperti di daerah mulut, tenggorokan, vagina dan pada sistem
pencernaan lainnya. Namun, jamur dapat bersifat patogen yangi dibagi menjadi 3
bentuk yaitu superficial, subcutaneous, dan systemic. Ketiganya dibedakan
berdasarkan sedalam apa jamur ini menjadi patogen pada bagian tubuh host.1,2
1
20% -25% orang dewasa di seluruh dunia terinfeksi oleh dermatofitosis. Pada
Indonesia sendiri kasus 52% dari kasus dermatoitosis adalah tinea cruris dan
tinea korporis dengan persentase tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%),
tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe
lainnya.4
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
3
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak meminum atau memakai obat oles apapun selama 1 bulan
ini. Pasien riwayat meminum obat fluconazole 150 mg seminggu sekali selama 2
bulan kontrol di poli RSSA ketika memiliki keluhan serupa 1 tahun yang lalu.
Riwayat Atopi
Pasien memiliki alergi udang dengan gejala kulit menjadi kemerahan
Riwayat Keluarga
Pasien menyangkal adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat gejala
yang serupa dengan pasien. Ayah pasien memiliki alergi udang dengan gejala
kulit menjadi kemerahan.
Riwayat Sosial
Pasien seorang mahasiswa, tinggal di pondok. Pasien mengaku teman-
teman satu pondok tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien mandi
dengan air sumur. Pasien memiliki banyak kegiatan. Pasien mengganti pakaian
setiap hari
4
Lokasi: Regio inguinal dextra-sinistra, regio pubis dextra-sinistra, regio
gluteal dextra-sinistra, regio palmar dextra-sinistra, dan regio pedis dextra
Distribusi: Tersebar
Ruam: Plak eritema, multipel, berkonfluens, bentuk anuler, ukuran
bervariasi, batas tegas, tertutup skuama tipis di tepi lesi, terdapat central
healing dan coup d’ongle of beisner (-)
5
2.4 Diagnosis Banding
1. Tinea cruris et corporis
2. Cutaneous candidiasis
Gambar 2. Pemeriksaan dengan KOH 10% pada Lesi. Ditemukan hifa panjang,
bersepta
2.6 Diagnosis
Tinea cruris et corporis
2.7 Terapi
Fluconazole tab 150mg diminum 1x/minggu, diminum selama 4 minggu.
Ketoconazole cream 2 % dioleskan 2x sehari (pagi malam) di area lesi,
selama 4 minggu.
Kontrol 2 minggu
6
lembab, menghentikan penggunaan imunosupresan jika tidak ada
indikasi.
3. Jangan memakai pakaian, handuk atau barang sejenisnya yang kontak
dengan kulit secara bergantian untuk mencegah penularan.
4. Menjelaskan cara pemakaian obat, obat tablet diminum 1x setiap 1
minggu, obat cream dioleskan dari 2cm di luar lesi kemudian dioleskan
secara sirkular ke dalam hingga menutupi semua bagian lesi.
2.9 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikam : dubia ad malam
7
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1. Diagnosis
Tinea cruris adalah dermatofitosis pada pangkal paha, genitalia, area
kemaluan, kulit perineum dan perianal.5 Dermatofit sendiri adalah kelompok
jamur yang menginvasi dan bermultiplikasi pada jaringan yang memiliki keratin.6
Penyebutan cruris secara bahasa memang keliru, karena dalam bahasa Latin
"cruris" berarti kaki. Ini adalah jenis dermatofitosis kedua yang paling umum di
seluruh dunia.5 Sama seperti tinea corporis, tinea cruris menyebar melalui kontak
langsung atau fomita.5 Infeksi ini diperburuk oleh oklusi pada kulit dan iklim
lembab. Tinea kruris tiga kali lebih sering terjadi pada pria, dan orang dewasa
lebih sering terkena daripada anak-anak. Sebagian besar tinea cruris disebabkan
oleh T. rubrum dan E. floccosum. E. floccosum paling sering bertanggung jawab
atas epidemi tinea cruris. T. interdigitale dan T. verrucosum lebih jarang
menyebabkan Tinea cruris.5
Tinea cruris nampak secara klasik sebagai plak annular dengan batas
yang bersisik dan membentang dari lipatan inguinal ke paha bagian dalam,
seringkali secara bilateral.5 Bercak erythematous bersisik dengan papula dan
vesikula pada paha bagian dalam juga merupakan presentasi umum namun
mungkin kurang jelas.5 Pruritus biasa terjadi, dan dapat muncul rasa sakit saat
plak ditekan atau ada infeksi sekunder. Plak tinea cruris karena E. floccosum
lebih cenderung menunjukkan central healing yang lebih jelas, dan lebih sering
terbatas pada lipatan genitoklasik dan paha atas medial.5 Sebaliknya, plak pada
tinea cruris karena T. rubrum seringkali menyebar lebih luas ke area kemaluan,
perianal, pantat, dan daerah perut bagian bawah. Genitalia termasuk skrotum
jarang terpengaruh.5 Biasanya munculnya lesi T. cruris pada daerah predileksi
disertai juga denganunculnya lesi yang serupa didaerah lain seperti pada pada
tangan dan kaki (menggambarkan infeksi T.corporis) sehingga disebut sebagai
Tinea cruris et corporis.
8
dengan orang yang mengalami dermatofitosis.5 Selain itu dapat ditemukan faktor
risiko berupa:
1. Lingkungan yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
3. Obesitas
4. Diabetes Melitus
Pada hasil Pemeriksaan Fisik biasanya didapatkan lesi berbentuk infiltrat
eritematosa, berbatas tegas, dengan bagian tepi yang lebih aktif daripada
7
bagian tengah, dan konfigurasi polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit
berambut terminal, berambut velus (glabrosa) dan kuku. Sebagai pemeriksaan
penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH dan akan
ditemukan hifa panjang dan artrospora.7
Pada pasien ini, dari anamnesa didapatkan keluhan utama bercak merah
gatal dan disertai gatal pada daerah pantat, kemaluan, lipat paha, punggung
tangan kanan dan kiri serta punggung kaki kiri. Pada awalnya bercak muncul
pada lipatan paha 1 bulan yang lalu, lalu menyebar pantat dan daerah kemaluan
3 minggu yang lalu, kemudian muncul pada tangan dan kaki 1 minggu yang lalu.
Rasa gatal dapat muncul kapan saja, hilang timbul. Gatal dirasakan hanya pada
daerah lesi saja. Pada kondisi lembab, gatal dirasakan semakin meningkat
disertai rasa perih pada bercak. Pasien menyangkal menyentuh benda yang
iritan sebelum muncul bercak merah.
Pasien sebelumnya pernah mengalami hal yang serupa kurang lebih 1
tahun yang lalu, pasien rutin kontrol ke poli RSSA malang selama 2 bulan.
Setalah bercak merah dan gatal menghilang pasien berhenti kontrol ke poli
RSSA malang.
Pasien juga sebelumnya diresepkan fluconazole 150 mg diminum
seminggu sekali selama 2 bulan, dan kontrol ke poli RSSA malang. Pasien juga
mempunyai alergi terhadap udang, karena setelah makan udang kulit menjadi
merah. Hal ini serupa dialami oleh ayah dan kulit menjadi merah setelah makan
udang.
Pasien adalah seorang mahasiswa dan tinggal dipondok, mandi biasanya
di sumur dan selalu ganti baju setiap hari.
9
3.2. Penatalaksanaan
Pada fasilitas kesehatan primer, dilakukan penatalaksanaan sebagai
berikut:
1. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu dengan:
a. antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2
minggu kemudian untuk mencegah rekurensi.7 Pemberian
antifungal topikal dilebihkan hingga sekitar 2 cm di luar area lesi.8
2. Untuk penyakit yang tersebar luas, resisten terhadap terapi topikal7,
pasien imunokompromais4, atau didapatkan gejala sistemik (demam)8
dilakukan pengobatan sistemik dengan:
a. Golongan azol, yaitu Fluconazole pada dosis 50-100 mg/hari atau
150 mg sekali seminggu untuk 2-4 minggu memberikan hasil yang
baik.8 Dapat pula diberikan Itrakonazol: 100 mg/hari selama 1
minggu.7
b. Griseofulvin dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk
orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g per hari untuk anak-anak atau 10-
25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.7
c. atau Terbinafin: 250 mg/hari.7
Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari setelah makan.7
3. Selanjutnya setelah ditentukan regimen pengobatan, diberikan konseling
dan edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit. Edukasi
pasien dan keluarga juga penting untuk menjaga higiene tubuh, namun
juga perlu dijelaskan bahwa penyakit ini bukan merupakan penyakit yang
berbahaya. Higiene diri harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian
secara bersamaan harus dihindari.7
Terdapat beberapa kriteria untuk penderita Tinea cruris untuk dirujuk pada
fasilitas kesehatan tingkat sekunder. Yaitu pasien apabila penyakit tidak sembuh
dalam 10-14 hari setelah terapi, terdapat imunodefisiensi, atau terdapat penyakit
penyerta yang menggunakan multifarmaka.7 Sehingga perlu disampaikan pada
pasien untuk kontrol ke fasilitias kesehatan setelah 14 hari pasca pengobatan.
Pada pasien dalam kasus ini diberikan tatalaksana yaitu dengan
diberikannya pengobatan sistemik karena lesi banyak tersebar di tubuh pasien
dengan fluconazole 1x150 mg diminum seminggu sekali. Dan disarankan untuk
10
menghindari hal-hal yang dapat menyebar maupun memperburuk lesi pasien
dengan segera mengganti pakaian yang sudah lembab, apabila badan
berkeringat segera dilap dan dibersihkan agar tidak lembab, jangan memakai
handuk, pakaian secara bergantian, dan jangan menggunakan salep maupun
obat diluar dari yang diresepkan oleh dokter.
3.3 Prognosis
Tinea cruris bukanlah penyakit yang mengancam jiwa. Pasien Tinea
cruris dalam kondisi imunokompeten umumnya memiliki bonam (baik).
Sedangkan pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi
dubia ad bonam. Adapun pasien dalam kasus ini memiliki prognosis bonam
karena tidak didapatkan tanda-tanda imunokompromais.
11
BAB 4
RINGKASAN
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Seru, RS, Suling, PL., Pandeleke, HE., 2013. Profil Kandidiasis Kutis Di
Poliklinik Kulit Dan kelamin. Journal e-Biomedik(eBM), Vol 1, Nomor 1,
Maret 2013.
2. Goldsmith, Lowell A., et al. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine 8th Ed. Volume Two. New York: McGrawHill General Inc.
3. Agrawal RD, Sharma SK, Sharma P. Effect on temperature and pH
combinations on growth pattern of dermatophytes isolated from HIV
positive patients. Asian J Biochem and Pharmaceu Res.
2011;3(1):307-12
4. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2009.
5. Wolff, K, Goldsmith, L, Katz, S, Gilchrest, B, Paller, AS & Leffell, D
2011, Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 8th Edition.
McGraw-Hill, New York. p2289
6. Sahoo, A. K., & Mahajan, R. (2016). Management of tinea corporis,
tinea cruris, and tinea pedis: A comprehensive review. Indian
Dermatology Online Journal, 7(2), 77–86.
http://doi.org/10.4103/2229-5178.178099
7. Ikatan Dokter Indonesia. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Hal. 448-450
8. Lesher, Jack L, Richard P Vinson, Rosalie Elenitsas, Dirk M Elston,
Janet Fairley. (2017). Tinea Corporis Treatment & Management.
Dapat diakses online dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1091473-treatment.
[diakses pada 27 September 2017]
13
Lampiran 1 : Status Dokter Muda
14
15