Anda di halaman 1dari 19

Sesak disertai bentuk dada tong

Seorang laki – laki berusia 50 tahun datang ke poli umum RS dengan keluhan nafas terasa berat jika
beraktivitas berat. Keluhan tidak timbul jika aktivitas normal sehari-hari. Keluhan tidak disertai
batuk berdahak. Pada tanda vital ditemukan TD 110/70, RR : 22x/menit, HR : 88 x/menit, t: 36,50C.
Pemeriksaan fisik paru didapatkan - Inspeksi : dada seperti tong, sela iga melebar, kontraksi otot
bantu nafas(-). - - Palpasi : stem fremitus menurun - - Perkusi : Hipersonor, pekak jantung
menyempit. - - Auskultasi : Ekspirasi tidak memanjang, Wheezing (-). - Pasien sudah membawa
hasil foto thorax dengan gambaran thorax emfisematous, hiperluscen, sela iga melebar, diafragma
mendatar, jantung seperti pendulum. - Pasien adalah perokok dan saat ini bekerja di pabrik
keramik. - Dokter merencanakan untuk pemeriksaan spirometri dan enzim alfa antitripsin. Dokter
menjelaskan pada pasien mengenai kemungkinan penyakit, memberikan edukasi dan obat yang
diminum bila sesak. Perawat menegakkan diagnosis keperawatan ketidakefektifan pola nafas dan
selanjutnya mengajarkan teknik pursed lips breathing kepada pasien. Bila perlu dapat dilakukan
sendiri oleh pasien dirumah. Apoteker memberikan informasi obat dan melakukan konseling obat
terkait drug related problems dan memantau monitoring efek samping dari penggunaan obat yang
diterima pasien.
STEP 1
1. Emfisematous
Nama lain barrel chest , bentuk dada menggembung, diameter anteroposterio lebih dari diameter
lateral , biasanya disertai skoliosis.
2. Hiperluscent
- Gambaran di photothorax, berwarna sangat hitam, banyak udara  mudah ditembus sinar
3. Teknik pursed lips breathing
- Teknik tarik naafs dalam melalui hidung, dihembuskan melalui mulut secara perlahan lahan
- Latihan pernafasan dengan cara duduk dan inspirasi dalam saat ekspirasi penderita
menghembuskan melalui mulut hampir tertutup seperti bersiul secara perlahan
- Mulut terkuncup, out  saat ekspirasi ; in  saat inspirasi, pada penderita gagal nafas kronik
4. Enzim alfa antitripsin
- Yang menghambat tidak terkontrolnya proteolisis, menghambat sifat imunomodulator

STEP 3

1. Mengapa nafas terasa berat ketika aktivitas berat ?


Dyspnea diartikan sebagai kesulitan bernapas, dapat disertai suara mengi (wheezing) saat
ekspirasi. Dyspnea muncul akibat produksi lendir/mukus pada saluran pernapasan dalam jumlah
besar sehingga menyebabkan hambatan jalan napas. Pasien akan tampak memiliki frekuensi
pernapasan diatas normal (hiperventilasi) sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen
jaringan. Pada PPOK berat, dapat dijumpai gejala sianosis pada pasien (Kenny, 2014).

2. Mengapa pada pasien ditemukan dada tong dan sela iga melebar ?
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan aliran keluar udara dari
paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar
paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang
adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu inflasi.
Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-
otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada
persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan
elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk
mengembang.
Orang yang merokok dapat mengakibatkan peradangan sehingga menyebabkan pelepasan enzim
proteolitik (protease), sementara bersamaan dengan itu oksidan dan asap menghambat enzim alfa-1
antiprotease. Makrofag yang memfagositosis antigen mengeluarkan protease. Tetapi, karena enzim
alfa-1 antiprotease yang bertugas menghambat protease dihambat oleh oksidan dari asap tembakau,
maka perusakan jaringan paru sekitar tidak dapat dicegah sehingga membawa penderita pada
emfisema dan bronchitis kronis. Ini yang menyebabkan gambaran paru emfisematus.
Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, PDPI, Jakarta, 2003:1.

3. Mengapa pada palpasi ditemukan sterm femnitus menurun ?


STEM FREMITUS MENURUN
Fremitus adalah pemeriksaan untuk mengetahui getaran suara dari saluran napas. Untuk
mengetahuinya dapat dilakukan dengan cara palpasi taktil atau dengan stetoskop.
Pemeriksaan fremitus (resonansi vocal) terjadi sebagai akibat getaran fonasi yang berjalan
sepanjang cabang trakeobronkial melalui parenkim paru. Secara fisiologis paru normal yang
terisi udara akan meneruskan bunyi dengan frekuensi rendah dan menyaring bunyi
dengan frekuensi tinggi. Namun pada resonansi vocal menurun dikarenakan berkurangnya
densitas (karena bunyi akan lebih tersaring) seperti pada keadaan asma, emfisema,
pneumothorax atau efusi pleura.

4. Mengapa pada perkusi ditemukan hipersonor, pekak jantung menyempit ? ( cari batas2 pekak pada
jantung )
5. Mengapa pada gambaran thorax terdapat emfisema, hiperluscent, diafragma mendatarm dan jantung
seperti pendulum ? cari gambar radiologi
- Hiperluscent  karena jumlah udara dalam paru paru meningkat
- Diafragma mendatar  karena timbul dada tong  difargma tidak dapat kembali ke bentuk
semula
- Jantung tidak dapat disangga lagi oleh diafragma, jantung timbul pembesaran dari atrium dan
ventrikel bagian kanan  jantung seperti pendulum
Sitokin menyerang dinding alveolus  kapiler hilang  tekanan meningkat  tekanan hipertensi
pulmoner  jantung pompa darah menuju ke paru dari ventrikel kanan kerusakannya pada
bagian kanan
6. Bagaimana hubungan pasien merokok dengan keadaan yang dirasakan saat ini ?
- Mekanisme tersering  pelepasan enzim tripsin yang dihasilkan oleh makrofag  dikarenakan
adanya pajanan oleh alergen  biasanya pada pasien perokok  makrofag akan melepaskan
enzim tripsin yang berlebihan . Normalnya kalo ada alergen akan diserang oleh enzim tripsin dan
dihamnbat oleh enzim antitripsin. Karena ada peningkatan pelepasan pada makrofag  enzim
tripsin tidak hanya menyerang antigen, tetapi juga menyerang jaringan jaringan yang ada di paru
 mengakibatkan alveolus kolaps
- Penyebab jarang  ketidak mampuan tubuh untuk menghasilkan enzim anti tripsin  dominansi
enzim tripsin menjadi tinggi. Jadi walaupu bukan perokok, juga bisa merusak karena enzim tripsin
7. Apa hubungan penyakit pasien dengan pekerjaannya di pabrik keramik ?
- Penyebab bisa karena polusi, adanya zat zat kimia berbahaya yang akan mengganggu pergerakan
silia. Bahan kimia masuk  makrofag aktif  sekresi sitokin banyak  kalo terlalu lama dapat
berefek emfisema
8. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan spirometri dan enzim alfa antitripsin ? hasil spirometri ,
normal seperti apa, dalam kasus interpretasi gimana
- Spirometri  untuk memeriksa faal paru
- Ingin melihat jumlah enzim alfa anti tripsin, dan untuk melihat apakah si pasien terkena emfisema
karena pelepasan enzim tripsin berlebihan atau tidak dapat menghasilkan antitripsin
9. Apa faktor resiko dari skenario tersebut ?
Fx resiko
a. Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan
genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah
defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik
pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok.
Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.1

b. Paparan Partikel Inhalasi.


Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya.
Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap
perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung
terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia
yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka
yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain
environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga.
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda
yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya
perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati
berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan
pada 3 tahun pertama menjadi meningkat.1,16 Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat
menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat
didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi.
PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI
39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak
mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok
justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang
lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih
tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%, p<0,02).
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait
dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini
tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK,
tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III
didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 3075 tahun menderita PPOK terkait karena
pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada
pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK. Polusi udara dalam
ruangan yang dapat berupa kayukayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap
dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita.
Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK
menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida
(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil
(Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.1,17

c. Pertumbuhan dan perkembangan paru.


Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada
saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi
yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa
dewasanya.

d. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh
paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara
enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan
yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon
inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan
yang penting terhadap patogenesis PPOK.1

e. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada
beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada
Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan
bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat
beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap
rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih
banyak yang merupakan perokok saat ini.24

f. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga
dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas
berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya
eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya
obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.

g. Status sosioekonomi dan nutrisi.


Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor
maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan
kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status
sisioekonomi.

h. Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu
penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang
dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.
Ejournal USU

10. Bagaimana patofisiologi dari skenario ?

 Emfisema sentrilobular (CLE) :


Menyerang bagian bronkiolus respiratorius & duktus alveolaris.
Ciri2 :
- dinding mulai berlubang, membesar, bergabung  integrasi.
- Tersebar tidak merata
- lebih banyak ditemukan pada pria
 Emfisema panlobular (LPE) / emfisema panasinar
Alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan
merata (mengenai bagian asinua yg sentral maupun perifer).
Gambaran khas : tersebar merata.

Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi ed 6 vol 2. EGC.


 Pembengkakan karena proses inflamasipenyempitan dinding bronkus
 Adanya hipersekresi mukus menghambat aliran udara.
 Batuk kronis menahun  mengakibatkan kerusakan dinding bronkus.
 Atropi alveolus.
 Bronkospasme

11. Apa manifestasi klinis dari penyakit emfisema ?

- Dispnea biasanya merupakan gejala pertama; dispnea awalnya tidak terasa namun progresif. Pada
pasien dengan riwayat bronkitis kronik atau bronkitis asmatik kronik, batuk dan megap-megap dapat
menjadi keluhan awal. Berat badan turun sering terjadi dan dapat sangat berat sehingga dikira
sebagai tumor ganas yang tersembunyi. Uji fungsi paru menunjukkan berkurangnya FEVi disertai FVC
yang normal atau hampir normal. Sehingga rasio FEVI terhadap FV- berkurang.
- pasien dengan barrel-chest (dada seperti tong) dan dispnea, disertai ekspirasi memanjang yang jelas,
dengan posisi berdiri agak maju dan membungkuk, untuk mengeluarkan udara dari paru pada setiap
upaya ekspirasi. Pada pasien-pasien ini, pembesaran rongga udara terjadi sangat berat dan kapasitas
difusi menjadi rendah. Dispnea dan hiperventilasi sangat nyata sehingga pada kondisi penyakit yang
sangat lanjut pun pertukaran gas masih adekuat dan nilai gas darah relatif normal.
- pasien yang juga menderita bronkitis kronik yang berat dan riwayat infeksi rekuren disertai sputum
purulen. Dispnea biasanya tidak terlalu jelas, disertai dorongan pernapasan yang berkurang, sehingga
pasien meretensi karbon dioksida, menjadi hipoksik, dan seringkali sianotik.
- perlahan-lahan terjadi hipertensi paru sekunder, yang terjadi akibat spasme vaskular paru yang
diinduksi oleh hipoksia dan hilangnya area permukaan kapiler paru akibat destruksi alveolus.

Robbin’s Basic Pathology 9th ed – hal 466

Batuk berdahak
Sputum putih / mukoid  inflamasi tidak ada infeksi  hipersekresi mukus  warnanya putih
Sesak nafas  karena obstruksi yang disebabkan hipersekresi mukus(mukus yang kental).
Hipoksia : kondisi dimana tekanan partial / konsentrasi O2 darah arteri < 8kPa atau 60mmHg
dengan tekanan partial / konsentrasi Co2 darah arteri normal atau menurun.
 Hiperkapnia : suatu kondisi dimana tekanan partial / konsentrasi CO2 darah arteri lebih dari
6.7kPa / 50 mmHg dengan disertai hipoksia.
 Serangan awal
- Serangan permulaan terjadi pelan2 (15%kasus) termasuk tibul sejak anak2
- Gejala :
o Batuk2 ringan
o Sesak napas (tidak dipengaruhi aktivitas)
o Mengi (wheezing)
o Pada tahap lanjut  sesak napas dipengaruhi aktivitas
 Serangan kambuh
Terjadi dg adanya :
- Serangan batuk 7 sesak napas, “no-effort dependent dyspneu” dyspneu d’effort
- Serangan pneumonia berulang
- Serangan bronchitis berulangbronkitis kronis
- Menimbulkan kerusakan paru

Apabila penyakit PPOK berkembang sempurna akan dijumpai beberapa fase :


1. Fase I
Belum ditemukan keluhan, belum terdapat tanda2 fisik yg jelas
2. Fase II
Terjadi kelainan2 & timbul perubahan ventilasi paru :
Keluhan2 :
- Batuk2 lama (bronchitis kronis)
- Dyspneu d’effort
- Pernapasan mengi (wheezing)

Kelainan fisik :
- Perkusi dada hipersonor
- Suara napas melemah
- Ekspirasi diperpanjang
- Ronchi kering/ronchi basah halus (+)
- Wheezing (+)
- Suara jantung lebih redupjantung tertutup oleh paru yg mengembang

Kelainan radiologic :
- Translucency bertambah
- Diafragma rendah, mendatar
- Jantung memanjang (vertikal)

Kelainan fungsi paru :


- CV ↓
- FEV1 ↓
- MEFR ↓
- MMEFR ↓
- MBC/MVV ↓
- RV ↑
- Intraluminary gas mixing mulai abnormal
- Resistensi sal napas ↑
3. Fase III
Sudah terjadi gejal hipoksemi yg lebih nyata.
Keluhan :
- Sama pada fase sebelumnya
- Ditambah :
o Nafsu makan ↓
o BB ↓
o Badan terasa sangat lemah

Kelainan fisik :
- Sama dg fase II
- Ditambah sianosis & plethora

Kelainan Lab :
- Polisitemia sekunder
- PaO2 / saturasi O2 ↓. PaO2 tetap turun walaopun penderita beristirahat
- Kapasitas difusi paru ↓
4. Fase IV
Timbul hiperkapnia.
Keadaan umum :
- Gelisah
- Mudah tersinggung
- Kelainan mental : marah, somnolen

Kelainan fisik :
- Sama dg fase III
- Ditambah :
o Iritabilitas otot bertambah
o Kesadaran somnolen—koma
o Dapat timbul edem papil

Kelainan lab :
- Pa CO2 ↑ (hiperkapnia)
- pH darah ↓ (asidosis)
5. Fase V
Fase emfisema paru dg kelainan jantung, terjadi kor pulmonale kronik yg masih terkompensasi.
Rontgen dada :
- Jantung tampak membesar
- Hilus sangat melebarkarena a. pulmonalis & cabang2nya melebar

Kateterisasi jantung : kenaikan tekanan dalam a.pulmonalis (hipertensi pulmonal)


Selanjutnya penderita masuk dlm kor pulmonale kronik deompensatamati & gagal napas.
Prof. dr. H. Pasiyan Rachmatullah. Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi) jilid 1. FK Undip.

12. Apa tujuan dan teknik pursed lips breathing ?


13. Apa diagnosa keperawatan selain di kasus ?
14. Apa hubungan dari PPOK dan pneumonia ?
15. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari skenario ?
a. Diagnosis
 Anamnesis
 PF
 P.Penunjang : Radiologi, Analisis gas darah, EKG, Faal Paru, Kultur sputum
PPOK tipe A (emfisema) PPOK tipe B (bronkitis)
Umum : Umum :
- Tampak malnutrisi (kurus) - Nutrisi baik
- Cachectis - Kebanyakan obesitas
- Penampakan : kemerahan - Penampakan : biru (cyanotik)
PF : PF :
- Dada besar (barrel - Dada bentuk normal
chest)overdistention - Daerah pekak jantung jelaslebih luas
- Daerah pekak jantung mengecil/hilang - Suara napas kasar
- Suara napas lemah, ekspirasi - Ronchi basah halus/kering pada
diperpanjang ekspirasi/inspirasi (+), yg berubah dg
- Suara tambahan paru tidak ada batuk
- Jantung : bentuk kecil, vertical, jarang - Jantung : bentuk besar, terdapat payah
ada payah jantung kanan jantung kanan
- Kematian : karena gagal napas - Kematian : sering karena gagal jtg
Lab (darah) : Lab (darah) :
- Polisitemi : jarang - Polisitemi : sering timbul
- Analisa gas darah : PaO2 normal atau - Analisa gas darah : PaO2 rendah,
rendah, PaCo2 rendah PaCo2 tinggi
Radiologik : Radiologik :
- Jantung tampak kecil, - Jantung besar, ada tanda2 bendungan
memanjang/vertical paru
- Diafragma letak rendah, mendatar - Bronchovasculer marking bertambah
- Bronchovasculer marking tidak meluas (pada paru bawah)
sampai pinggir paru
Gambaran EKG : Gambaran EKG :
- Mungkin ada gelombang P pulmonal - Terdapat RVH, gelombang P pulmonal
(+)
Uji faal paru : Uji faal paru :
- Obstruksi sal napas (irreversible) - Obstruksi sal napas reversible
- TLC ↑ (sebagian kasus)
- Kapasitas difusi ↓ - TLC normal/sedikit↑
- Kapasitas difusi normal
Prof. dr. H. Pasiyan Rachmatullah. Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi) jilid 1. FK Undip.
b. DD
 Asma Bronkial
 Bronkiektasis
 TB.Paru  terdapat sindroma obstruktif difus
 Penyakit parenkim paru/intersisial difus (pneumonia, silicosis, TB paru milier)

Prof. dr. H. Pasiyan Rachmatullah. Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi) jilid 1. FK Undip.
Diagnosis Banding :
Asma Bronkial
Bronkitis Kronik
Emfisema Paru
Bronkiektasis
Perbedaan Bronkitis Kronik Emfisema Paru Asma Bronkial Bronkiektasis

Definisi Suatu gangguan klinis Suatu perubahan Suatu penyakit Dilatasi abnormal
yang ditandai oleh anatomis parenkim episodik yang bronkus dan
pembentukan mukus paru yang ditandai ditandai dengan bronkiolus
yang berlebihan dalam oleh pembesaran hipersensitivitas berukuran sedang
bronkus dan alveolus dan duktus cabang disertai peradangan
bermanifestasi alveolaris abnormal, trakeobronkial dan infeksi.
sebagai batuk kronik serta destruksi terhadap berbagai
dan pembentukan dinding alveolar. rangsangan yang
sputum selama bermanifestasi
sedikitnya 3 bulan sebagai penyempitan
dalam setahun, saluran napas
sekurang-kuranggnya reversibel yang
dalam dua bulan disebabkan oleh
berturut-turut. bronkospasme
Didiagnosis Batuk kronik dengan Dilatasi dan destruksi Sesak napas tidak Batuk kronik
berdasarkan pengeluaran sputum rongga udara sebelah sembuh jika istirahat, dengan produksi
minimum 3 bulan distal bronkiolus wheezing. sputum
setiap tahunnya. terminalis, duktus mukopurulen yang
alveolaris dan banyak, sputum
dinding alveolar. yang berbau busuk,
malnutrisi.

SUMBER : Buku PATOFISIOLOGI Sylvia A. Price Ed. 6 Vol. 2

16. Apa saja komplikasi dari kasus pada skeanario ?


17. Bagaimana pemeriksaan penunjang ? tujuan dari pemeriksaan tsb
a. Pemeriksaan rutin
- Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK
dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian
pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
< 200 ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
- Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
Timbulnya polisitemia menunjukan adanya hipoksia kronik
- Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar - Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
- Faal paru
 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,
 VR/KPT meningkat
 DLCO menurun pada emfisema
 Raw meningkat pada bronkitis kronik
 Sgaw meningkat
 Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
- Uji latih kardiopulmoner
 Sepeda statis (ergocycle)
 Jentera (treadmill)
 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
- Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivititas bronkus derajat ringan
- Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid
- Analisis gas darah
 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Radiologi
 CT - Scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
 terdeteksi oleh foto toraks polos
 Scan ventilasi perfusi
 Mengetahui fungsi respirasi paru

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

- Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan.
- Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
- bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
- Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan PPOK di Indonesia
18. Bagaimana intervensi dari kasus diatas ? (tujuan, rencana tindakan, rasionalisasi, evaluasi )
19. Bagaimana tatalaksana ?
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia ; PDPI – hal. 19

20. Apa edukasi yang tepat untuk pasien ?


21. Obat apa yang diminum jika pasien merasa sesak ?

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala priority
bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu
saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen


5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
2. Obat – obatan
PENATALAKSANAAN DI PUSKESMAS
Obat-obatan yang digunakan
- Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan golongan xantin.
Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit
sebagai dosis pemeliharaan.
Misal :
Dosis : aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg
- Kortokosteroid
Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk oral, setiap hari atau
selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama bagi penderita dengan uji steroid positif.
- Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
- Mukolitik
Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid
- Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu
Obat-obatan eksaserbasi akut
1. Penambahan dosis bronkodilator dan frekuensi pemberiannya. Bila terjadi eksaserbasi berat
obat diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau per drip, misal :
- Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali setiap 1 jam dan dapat dilanjutkan
dengan pemberian perdrip 3 ampul per 24 jam
- Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan hati-hati
- Aminofilin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) dilanjutkan dengan perdrip 0,5-0,8
mg/kgBB/jam
- Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol cairan infus
yang dipergunakan adalah Dektrose 5%, Na Cl 0,9% atau Ringer laktat
2. Kortikosteroid diberikan dalam dosis maksimal, 30 mg/hari dalam 2 minggu bila perlu dengan
dosis turut bertahap (tappering off)
3. Antibiotik diberikan dengan dosis dan lama pemberian yang adekuat (minimal 10 hari dapat
sampai 2 minggu), dengan kombinasi dari obat yang tersedia. Pemilihan jenis antibiotik
disesuaikan dengan efek obat terhadap kuman Gram negatif dan Gram positif serta kuman
atipik.
Di Puskesmas dapat diberikan
Lini I : ampisilin
Kontrimoksasol
Eritromisin
Lini II : ampisilin kombinasi kloramfenikol,
eritromisin
Kombinasi kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan eritromisin
sebagai makrolid.
4. Diuretik
Diuretik pada PPOK derajat sedang-berat dengan gagal jantung kanan atau kelebihan cairan
5. Cairan
Pemberian cairan harus seimbang, pada PPOK sering disertai kor pulmonal sehingga
pemberian cairan harus hati-hati.
2. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain

Macam terapi oksigen :


- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1
- 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi
bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse
oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen


- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah
pada waktu tersebut.
3. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
> ventilasi mekanik dengan intubasi: Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi
mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
misalnya pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
> ventilasi mekanik tanpa intubasi: digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat
digunakan selama di rumah.
5. Nutrisi
Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian
yang lebih sering
6. Rehabilitasi
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan
 Latihan fisis
• Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
• Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan diubah setiap
hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan
latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan
ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang beban
latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah ergometri dan
walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan,
latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.
Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit.
Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-
30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat
diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :


- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi
atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan

 Psikososial
psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat 3.
 Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi
pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot
abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot
ekstrimiti.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia ; PDPI – hal. 16
asinus : struktur yang terletak distal dari bronkiolus terminalis
lobulus : kumpulan tiga hingga lima asinus

Klasifikasi emfisema menurut distribusi anatomik di dalam lobulus:

 Emfisema Sentriasinar (Sentrilobular)


Gambaran khas emfisema sentriasinar (sentrilobular) adalah pola keterlibatan lobul:
yang terkena adalah bagian tengah atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus
respiratorik, sedangkan alveoli distal tidak terkena. Sehingga, baik rongga udara yang
emfisematosa dan normal ditemukan di dalam asinus dan lobul yang sama (Gambar 12-
6, B). Lesi yang lebih sering dan parah ialah pada lobus atas, terutama pada segmen
apeks. Pada emfisema sentriasinar berat, asinus distal juga dapat terlibat, sehingga, sulit
dibedakan dengan emfisema panasinar. Tipe emfisema ini paling sering terlihat sebagai
akibat merokok pada orang-orang yang tidak memiliki defisiensi antitripsin α1
kongenital.
 Emfisema Panasinar (Panlobular)
Pada emfisema panasinar (panlobular), asinus membesar secara seragam, mulai dari
bronkiolus respiratorik sampai alveolus terminal yang buntu (Gambar 12-6, C).
Perbedaan yang kontras dengan emfisema sentriasinar ialah bahwa emfisema panasinar
cenderung terjadi pada bagian bawah paru dan merupakan tipe emfisema yang terjadi
pada orang dengan defisiensi antitripsin-α1.
 Emfisema Asinar Distal (Paraseptal)
Pada emfisema asinar distal (paraseptal), bagian proksimal asinus masih normal tetapi
bagian distal yang terutama terlibat. Emfisema lebih jelas terlihat di dekat pleura, di
sepanjang jaringan ikat septum lobulus, dan di tepi lobulus. Emfisema ini terjadi di dekat
daerah fibrosis, skar, atau atelektasis dan biasanya lebih berat pada separuh bagian atas
paru. Temuan yang khas ialah adanya rongga udara yang membesar, multipel dan
sambungmenyambung dengan diameter berkisar antara kurang dari 0,5 mm hingga
lebih dari 2,0 cm, kadang-kadang membentuk struktur kistik, yang jika membesar
progresif, disebut sebagai bula. Penyebab emfisema tipe ini belum diketahui; paling
sering terlihat pada kasus pneumotoraks spontan pada orang dewasa muda.
 Emfisema Iregular Emfisema irregular
Disebut demikian karena asinus yang telibat tidak teratur, dan hampir seluruhnya
berkaitan dengan skar, misalnya akibat penyembuhan penyakit inflamasi. Meskipun
secara klinis asimptomatik, tipe ini mungkin merupakan bentuk emfisema yang paling
sering.

Robbin’s Basic Pathology 9th ed – hal 464

Anda mungkin juga menyukai