Eksistensi negara Indonesia tidak lepas dari keberadaan bahasa Indonesia sebagai
salah satu jati diri yang menunjukkan harga diri bangsa. Bahasa Indonesia yang diikrarkan
pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 telah menjadi bahasa nasional dan merupakan
manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa dan sebagai wujud
kesatuan dalam keragaman budaya. Hingga saat ini, keberadaan bahasa Indonesia telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Sebagai landasan hukum, Undang-Undang
tersebut menjelaskan tentang bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan. Bab
ketiga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menjelaskan secara mendalam
mengenai penggunaan, pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa Indonesia
hingga peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pada dasarnya,
pembuatan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 ini berdasar pada Pasal 36 UUD 1945
yang menyebutkan bahwa bahasa resmi negara adalah bahasa Indonesia. Pasal tersebut
merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh negara tentang penggunaan
bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan kekuatan nasional.
Berbanding terbalik dengan Negara lain diluar sana, mereka justru bangga dan mulai
mempelajari bahasa Indonesia. Contohnya Negara Vietnam yang dengan terang-terangan
mendeklarasikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua mereka setelah Bahasa
Vietnam, dan disetarakan dengan bahasa resmi lain seperti Jepang, Inggris, dan Prancis.
Sementara itu di benua Afrika, Mesir tercatat sebagai negara yang paling utama
mengembangkan bahasa Indonesia. di negara yang paling pertama mengakui kemerdekaan
dan kedaulatan Indonesia itu baru saja dibangun Pusat Studi Indonesia. Pusat Studi ini ada di
Suez Canal University, dan merupakan langkah awal untuk lebih mendalami Indonesia dari
semua aspek, mencakup ideologi, politik, sosial dan budaya, ekonomi dan pertahanan
keamanannya.
Bahasa Indonesia tenyata memiliki popularitas yang tinggi di negara asing, dan
negara asing pun memiliki apresiasi yang tinggi pula terhadap bahasa resmi kita itu. Bahasa
Indonesia bukan hanya menjadi bahasa persatuan dalam Negara Indonesia saja, namun juga
berlaku untuk berbagai negara.
Sesungguhnya pemakaian bahasa asing dan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-
hari bukanlah suatu masalah besar yang berkembang di Indonesia. Di sisi lain, ini dapat
berarti Indonesia mampu melakukan akulturasi budaya yang baik di era globalisasi karena
masyarakat mampu mengikuti perkembangan dunia dengan mempelajari bahasa asing namun
tetap melestarikan budayanya sebagai ciri khas. Namun, ini menjadi masalah saat pemakaian
Bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar ditinggalkan oleh masyarakat
Indonesia. Betapa menyedihkan melihat kenyataan Bahasa Indonesia amat dijunjung oleh
negara lain namun kurang dihargai di negara sendiri.
Konon saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa Indonesia, seperti
Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa
Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?
Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta seharusnya bahasa Indonesia mampu
menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga
asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga. Pada kenyataannya bahasa Indonesia
tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur. Atau bahasa Jerman
yang hanya memiliki 96 juta penutur. Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008 10 bahasa
paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika adalah: Spanyol, Perancis, Jerman,
Itali, Jepang, Cina/Mandarin, Latin, Rusia, Arab dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang
tertarik di bidang geopolitiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi dan
Indonesia, karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini
sangat diminati oleh FBI(Federal Bureau of Investigation).
Sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling
populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar
Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden kantor
berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari
tahun 2001 hingga 2007 penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia
yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Sementara
jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh
sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, Korea (15,3
persen), dan Jepang (1,5 persen).
Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin
sedikit. Akibatnya banyak Universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia.
Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia
karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik
Indonesia di Australia. Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer
di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan John Howard, pemberlakuan
peringatan perjalanan atau ‘travel advisory’ yang dikeluarkan pemerintah Australia setelah
peristiwa bom bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi
Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari
pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di
negara itu juga membuat pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru
bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah
lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.
Dr. James Sneddon, associate professor dari Griffith Unversity yang kini sudah
pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang
dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya
bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok dipelajari oleh orang-orang
yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon, yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran
bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya
dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar
bahasa Inggris, Perancis dan lain-lain.
Selain itu kemahiran perdana menteri Australia, Kevin Rudd, berbahasa Mandarin
kini ikut mempengaruhi melonjaknya minat orang Australia belajar bahasa Cina.
Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa
karena tidak dapat menggunakannya ketika berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan
yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Diglosia di dalam
bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Baru beberapa tahun terakhir saja bahasa informal
mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan formal banyak para penutur di
Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan cenderung
bebas. Hal ini menimbulkan kebingungan, kata mereka.