Anda di halaman 1dari 10

Komplikasi pada Anestesi Neuraxial

Gallego Molina MB,


Loras Borraz P,
Guerrero-Orriach Jose L,
Ramirez-Fernandez A,
Ramirez Aliaga M,
Escalona-Belmonte Juan J,
Rodriguez-Capitán MJ ,
Toledo-Medina C,
Bermudez L, Biteri A, Rubio
Navarro M and Cruz Manas J

Bagian Anestesi, Rumah Sakit


Virgen de la Victoria, Málaga, Spanyol

Penulis Korespondensi:
Jose Luis Guerrero Orriach
Bagian Anestesi, Rumah Sakit
Virgen de la Victoria, Málaga, Spanyol

Pendahuluan

Berbagai kejadian yang berhubungan dengan teknik anestesi neuraxial/epidural berkisar dari
ketidaknyamanan hingga kelumpuhan atau kematian. Hal ini dapat terjadi karena teknik atau obat yang
digunakan, dan komplikasi tersebut bisa saja terjadi di awal atau setelah tindakan.

Adanya kondisi medis tertentu yang mendasari, seperti psoriasis, diabetes, leukemia, atau penyakit saraf
yang pernah diderita, meningkatkan resiko komplikasi. Bahkan ketika banyak komplikasi disebabkan oleh
teknik anestesi, harus dipertimbangkan juga pengaruh beberapa variabel lain seperti cara tindakan atau
jenis operasi, karena kelainan pada saraf sangat sering disebabkan oleh faktor – faktor tersebut dan tidak
berhubungan secara langsung dengan tindakan anestesi.

Komplikasi terkait Blok Saraf Anestesi Lokal

Hipotensi dan Bradikardia

Kedua komplikasi yang disebutkan diatas merupakan komplikasi yang paling sering terjadi sehubungan
dengan blok saraf anestesi lokal preganglionik. Kalkulasi menunjukkan bahwa insiden hipotensi berkisar
dari 8% hingga 33%, tergantung dari paramenter yang digunakan (tekanan darah sistolik, biasanya <80-
90mmHg) atau 30% redukasi dari tekanan darah sistolik awal.
Hipotensi yang terjadi saat anestesi neuraxial merupakan salah satu faktor etiologi terpenting untuk
mual muntah. Faktor risiko hipotensi pada anestesi spinal juga disebabkan oleh adanya hipertensi,
tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 120 mmHg, usia lanjut (> 40tahun), indeks massa tubuh yang
tinggi, peningkatan berat janin, anestesi spinal yang berhubungan dengan anestesi umum, tingkat
denyut di atas L2-L3, penambahan anestesi lokal fenilefrin, konsumsi alkohol kronis, keadaan darurat
operasi dan blokade tingkat tinggi.

Blokade di bawah T10 tidak memodifikasi kemampuan resisten periferal karena tingkatan sistem saraf
simpatik yang tidak dianestesi menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

Hipotensi dapat dicegah dengan pre-hidrasi yang baik (menggunakan larutan koloid atau kristaloid, atau
dapat dihilangkan dengan menggunakan obat – obatan yang mempengaruhi tekanan darah dalam dosis
kecil, misalnya menggunakan efedrin.

Bradikardia adalah akibat dari penyumbatan pembuluh denyut jantung atau dari penurunan aliran balik
vena. Ada beberapa faktor resiko tertentu dalam bradikardia: denyut jantung di bawah 60 bpm, ASA I,
Beta-blocker, tingkat blokade diatas T6, umur di bawah 50 tahun dan interval PR yang lebih panjang.

Blokade Tingkat Tinggi

Blokade tingkat tinggi merupakan penyebaran penguncian yang berlebihan pada dermatom, dan dapat
terjadi pada anestesi spinal atau epidural. Pada umunya, hal ini ditunjukkan sebagai difusi tulang
belakang atau subdural anestesi lokal yang menyebabkan efek hemodinamik dan pernafasan.

Blokade total pada tulang belakang merupakan ekspresi penuh dari blokade tingkat tinggi, yang
berhubungan dengan blokade total pada saraf simpatik dan pada system pernafasan.

Tingkat tusukan dan dosis merupakan faktor yang penting yang menentukan ketinggian analgesik.
Kecepatan injeksi dan tinggi badan serta umur pasien juga berpengaruh, tetapi lebih sedikit.

Kehamilan memodifikasi penyebaran dari anestesi lokal yang disuntikkan ke tulang belakang, epidural,
atau ruang subdural. Pada kasus seperti ini, jumlah dari anestesi lokal yang dimasukkan harus diturunkan
secara konsekuen.

Tingkat blokade yang sensitif dan berhati – hati sangat penting dalam hal ini. Jika tingkat blokade
melampaui T4, pembuluh akselerator jantung dapat diblok karena dapat menyebabkan hipotensi dan
bradikardia.

Gejala – gejala blokade tingkat tinggi adalah kesulitan bernapas, mati rasa, serta lumpuh pada tubuh
bagian atas. Rasa mual juga muncul bersamaan dengan hipotensi. Ketika blokade mencapai tingkat
serviks dan terjadi berbarengan dengan hipotensi, bradikardia, dan kesulitan bernapas, harus diberikan
bantuan nafas dan intubasi orotrakeal.
Hipotensi harus dirawat dengan cairan intravena, memposisikan kepala pasien lebih rendah daripada
kaki, dan obat – obatan vasopresor. Ko-hidrasi lebih efisien dibandingkan dengan pre-hidrasi, dan larutan
koloid juga sangat efektif untuk pemeliharaan denyut jantung dan tekanan darah.

Bradikardia harus dirawat dengan atropine dan efedrin. Dalam beberapa kasus, adrenalin juga
direkomendasikan.

Pada wanita hamil, efedrin menembus membran plasenta, menstimulasi reseptor beta-adrenergic, dan
meracuni darah janin, tetapi hal ini tidak terjadi dengan fenilefrin. Sebenarnya, masalah ini sedang
dipelajari karena banyak studi berbeda belum juga menemukan perbedaan signifikan antara keduanya
terhadap janin. Pemberian dosis anestesi lokal subdural atau intratekal untuk epidural maupun
intervensi tulang ekor dapat menyebabkan konsekuensi yang buruk, yaitu blokade tingkat tinggi atau
blokade total pada saraf tulang belakang, (bila diperluas ke saraf cranial), dengan gejala dan perawatan
yang dipaparkan.

Gagal Jantung

Bradikardia berat dan gagal jantung merupakan komplikasi paling serius yang terkait dengan anestesi
spinal. Keduanya banyak ditemukan dalam blok anestesi spinal umum. Insiden gagal jantung secara
signifikan lebih tinggi pada anestesi subaraknoid setelah epidural dan bervariasi menurut studi yang
berbeda – beda. Baru – baru ini, kejadian gagal jantung selama anestesi regional berjumlah 2,73/10.000
pasien. Pasien pada umumnya sehat, ASA I atau II, pria dan dengan nada vagal basal yang meningkat.
Dalam kebanyakan kasus, tingkat yang lebih tinggi dari T2 terdeteksi dengan midriasis bilateral setelah
gagal jantung.

Pengaruh serat cardioaceleradoras memiliki peran penting dalam menjaga tekanan darah dan detak
jantung, sehingga kuncian otot, penurunan volume intravaskular atau asupan cairan yang tidak cukup
dan adanya sedasi dalam dianggap sebagai faktor risiko.

Pembedahan juga dapat memicu bradikardia dan gagal jantung yang memproduksi syok vagal atau
embolisasi. Pengobatan didasarkan pada atropin dan efedrin, dan jika tidak ada solusi yang terdeteksi,
adrenalin seharusnya diberikan sejak awal.

Gagal jantung dan gagal napas bisa saja terkait dengan injeksi larutan anestesi ke intravaskular secara
tidak sengaja, tingkat intratekal atau subdural selama pemberian dosis epidural.
Tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada pasien dengan serangan jantung yang diamati selama
anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum.

Retensi urin
Anestesi spinal mempengaruhi kemampuan buang air kecil dengan menghalangi serabut saraf (S2- S4),
akibatnya pasien tidak merasakan kandung kemih yang penuh atau urgensi kencing. Dengan kata lain,
artinya penghapusan miksi refleks. Kandung kemih yang penuh menghasilkan rasa tidak nyaman pasca
operasi dan jika tidak diselesaikan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius seperti kerusakan
permanen pada detrusor. Beberapa penelitian menunjukkan fungsi otot detrusor urologi pulih setelah
sekitar 100 menit untuk memulihkan level sensorik di S2-S3.

Retensi urin adalah komplikasi umum pada pria diatas umur 50 tahun dengan masalah urologis.
Insidensinya lebih tinggi dalam operasi anorektal, hernia inguinalis, bedah ortopedi (pinggul), operasi
perut dan operasi ginekologis. Penggunaan aditif untuk anestesi lokal seperti opioid atau epinefrin dapat
menambah waktu buang air kecil. Opioid hidrofilik berkontribusi lebih banyak dalam meta-analisis untuk
retensi urin daripada lipofilik.

Selain anestesi neuraxial, beberapa intraoperatif atau faktor-faktor yang berhubungan dengan anestesi
yang memperpanjang waktu anestesi atau operasi, meningkatkan volume cairan intraoperatif (> 750 ml),
persyaratan atropin, penurunan suhu dan penggunaan opioid, yang juga dapat meningkatkan retensi
urin. Kateterisasi urin diperlukan pada perioperatif atau segera setelah operasi.

Sindrom Horner
Sindrom Horner memiliki insiden variabel yang kadang-kadang berlangsung tanpa disadari, yang
menjadikan komplikasi yang jarang terjadi. Sindrom ini meningkat di anestesi epidural yang diberikan
kepada pasien hamil, karena ruang epidural mereka dikurangi dengan pembengkakan vena epidural
akibat kompresi rahim gravid pada pembuluh. Fenomena ini dijelaskan oleh penyebaran anestesi lokal
subdural dari ruang peridurla dan terungkap ketika serat simpatis preganglionik yang menginervasi
dilator iris otot, kelopak mata atas, konjungtiva, dan wajah dicapai dan dikunci, menghasilkan miosis,
ptosis, dan enophthalmos. Sindrom ini jarang dikaitkan dengan hipotensi.

Komplikasi Terkait Efek Obat


Insiden toksisitas sistemik akibat anestesi lokal diperkirakan terjadi sekitar 0,01%. Insiden ini telah
berkurang secara signifikan selama 30 tahun terakhir, dengan blok saraf perifer, yaitu terkait dengan
insiden yang lebih tinggi dari reaksi toksik yang berhubungan dengan agen anestesi, bahan pembantu,
laju injeksi, penyerapan dan distribusi, konsentrasi dan dosis total lokal anestesi, serta rute pemberian
dan karakteristik pasien.

Toksisitas Lokal
Toksisitas lokal mencakup spektrum manifestasi yang luas, mulai dari reaksi alergi lokal hingga asam
para-aminobenzoic (metabolit ester) ke mikotoksisitas dan neurotoksisitas. Mikotoksisitas
mempengaruhi otot polos dan lurik tergantung dari jumlah dosisnya. Untuk membahas masalah ini,
harus ada kerusakan neurologis persisten, mengesampingkan trauma yang disebabkan oleh
jarum. Komplikasi ini terkait erat dengan pemberian lidokain intratekal konsentrasi tinggi (5%), dan
penggunaan mikrokateter.
Kasus toksisitas lokal lainnya adalah gejala neurologis sementara dan iritasi radikular sementara, yang
ditandai dengan nyeri punggung yang menjalar ke kaki tanpa defisit sensorik atau motorik setelah
resolusi anestesi spinal dan menghilang secara spontan setelah beberapa hari. Kejadian tertinggi terjadi
dengan penggunaan lidokain hiperbarik, pada pria, dan pada posisi litotomi.

Toksisitas sistemik
Toksisitas sistemik berkisar dari gejala neurologis dan kardiovaskular hingga anafilaksis. Sistem saraf
pusat lebih sensitif, jadi dosis dan konsentrasi darah yang diperlukan untuk menghasilkan efek toksisitas
pada darah lebih kecil. Namun, kegagalan kardiovaskular dapat terjadi tanpa ada
perubahan neurologis sebelumnya. Toksisitas SSP umumnya digambarkan dalam dua tahap, yaitu,
fase rangsang awal yang diikuti oleh fase depresi. Awal gejalanya termasuk mati rasa pada wajah atau
lidah, rasa logam dan tinitus, diikuti oleh kebingungan atau agitasi untuk kejang.

Gejala-gejala ini diikuti oleh fase depresi dengan koma dan depresi pernapasan. Toksisitas kardiovaskular
dijelaskan dalam tiga fase. Fase awal dengan hipertensi dan takikardia, fase kedua dengan depresi dan
hipotensi miokard, dan yang ketiga dengan vasodilatasi intens, hipotensi dan beragam aritmia seperti
bradikardia sinus, blok konduksi, ventrikel tachyarrhythmias dan asystole.

Anafilaksis jarang terjadi dan paling sering terjadi dengan lokal anestesi tipe ester amida.

Methemoglobinemia adalah komplikasi lain yang mungkin muncul setelah pemberian prilocaine. Tiga
kasus dari tahun 1997 hingga 2007 telah dijelaskan setelah pemberian EMLA Cream (Lidokain 25 mg / ml
dan prilokain 25 mg / dl) yang digunakan untuk laser penghilang bulu. Manifestasi klinis utama dari
methemoglobinemia yang didapat adalah sianosis yang tidak responsif terhadap suplemen oksigen pada
aliran tinggi, meskipun saturasi rendah dalam arteri. Dalam kasus yang parah, ditangani dengan metilen
biru intravena, dan mendapatkan respons yang baik.

Komplikasi Terkait Penempatan Jarum / Kanula

Sakit punggung
Kejadian sakit punggung setelah spinal atau anestesi umum kira-kira dirasakan sama oleh pasien.
Bahkan, 25-30% pasien yang menjalani anestesi umum mengeluh sakit punggung [1]. Peneliti mengamati
bahwa kejadian sakit punggung berjumlah sekitar 18% dalam operasi yang berlangsung kurang dari 1
jam hingga 50% ketika operasi berlangsung 4 hingga 5 jam.

Cedera diskus intervertebralis disorot sebagai penyebab hal ini, begotu pula dengan hematoma kulit,
pelonggaran lordosis muskulatur paraspinal, kejang otot, administrasi berlebihan dari anestesi lokal di
ruang epidural, juga penggunaan zat tambahan seperti EDTA untuk kloroprokain di anestesi epidural.

Komplikasi ini biasanya berlangsung beberapa hari atau minggu, dan pengobatan harus didasarkan pada
obat-obatan anti-inflamasi non-steroid dan kompres dingin atau panas. Bahkan, biarpun saat ini dirasa
tidak berbahaya, ada kemungkinan yang menunjukkan abses epidural atau hematoma, jadi yang
pertama dilakukan adalah mengesampingkan komplikasi serius ini. Faktor terpenting yang terkait dengan
nyeri punggung adalah durasi operasi, terlepas dari teknik anestesi yang digunakan.

Pungsi dural, injeksi subdural, dan post dural puncture headache (PDPH) atau sakit kepala pasca
pungsi dural

Ketika jarum kecil digunakan, insiden normal dari PDPH adalah 0% -14,5%.

Penyebab migrain adalah kebocoran CSF post-pungsi dari cacat dural dan hipotensi intrakranial, yang
mungkin terjadi setelah anestesi spinal atau tusukan dural setelah jarum epidural, ketika aliran keluar
CSF melalui jarum Tuohy. Sakit kepala pasca pungsi dural juga dapat terjadi setelah tusukan dural yang
tidak disengaja atau dengan hanya merobek dural dengan jarum tanpa keluaran LCR.

Telah diketahui secara luas bahwa desain jarum telah mengurangi risiko PDPH terkait dengan anestesi
spinal secara signifikan hingga sekitar 1%. Dalam studi prevalensi oleh Lambert et al. diamati bahwa
probabilitas PDPH secara signifikan lebih rendah ketika Jarum 25G Whitacre digunakan dibandingkan
dengan 27G Quincke, dan nilai absolut membutuhkan perawatan patch darah yang lebih sedikit.

Thorbjon S. et al. dalam sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa kejadian PDPH secara
signifikan lebih rendah dengan penggunaan ujung jarum tipe sprotte atau kaliber 25G Whitacre
dibandingkan dengan penggunaan 22G Quincke untuk melakukan tusukan lumbar, dengan tingkat
kehilangan hari kerja yang jauh lebih rendah, waktu rawat inap yang lebih singkat, dan jumlah patch
darah yang juga lebih sedikit.

Hammond et al juga menyimpulkan bahwa penggunaan jarum yang lebih kecil dan tidak bersifat
memotong memiliki kemungkinan insiden PDPH yang lebih rendah.

Pertolongan pertama untuk komplikasi ini adalah pasien dibaringkan dengan posisi terlentang, hidrasi,
analgesik, kortikotropin, dan kafein, bahkan jika pada 24-48 jam setelah dimulainya pengobatan Tory
juga membutuhkan penggunaan patch darah dengan 10 ml darah autolog.

Sebuah kasus juga telah dijelaskan mengenai resolusi PDPH setelah operasi perbaikan dural.
Beberapa faktor risiko lain yang terkait dengan sakit kepala akibat tusukan postural juga telah ditemukan,
terlepas dari ukuran jarum, usia, jenis kelamin, kehamilan, dan desain bevel atau orientasi bevel.

Diplopia dan tinitus juga terkait dengan hipotensi intrakranial. Diplopia memiliki insiden mulai dari 1
banding 400 hingga 1 banding 8.000. Periode jendela untuk kelumpuhan otot ekstraokular (EOMP)
sampai termanifestasikan adalah dari 1 hari hingga 3 minggu setelah tusukan dural, tetapi paling sering
terjadi 4 hingga 10 hari setelah tusukan dural.
Patofisiologi yang spesifik masih kurang jelas, dan mekanisme lesi saraf yang paling umum diterima
seperti neurapraxia atau axonotmesis yang disebabkan oleh peregangan dan / atau kompresi sekunder
ke hipotensi intrakranial akibat kebocoran cairan serebrospinal (CSF). Struktur utama yang rusak adalah
saraf kranial VI, tetapi dapat dibarengi dengan kelumpuhan saraf okulomotor (saraf kranial III) atau saraf
troklear (saraf kranial IV).

Kejadian ini terjadi secara sepihak pada 80% kasus. Kesalahan sering terjadi pada saat diagnosis,
terutama ketika diplopia muncul setelah resolusi kotak PDPH. Tusukan dural karena diplopia perlu
dicatat, dan historis harus diperiksa karena kadang-kadang tenaga medis dapat jatuh ke dalam kesalahan
diagnosis sebagai pachymeningitis atau diagnosa tusukan lumbar yang menyebabkan hipotensi lebih
lanjut dan memperburuk gambar neurologis yang dibuat. Pengobatan sakit kepala pasca pungsi dengan
patch darah tidak ada hubungannya dengan evolusi dan prognosis diplopia. Pengobatan komplikasi ini
konservatif, pasien dapat pulih dari 2 minggu hingga 8 bulan.

Komplikasi neurologis
Sudah berulang kali terdeteksi bahwa trauma jarum dan neurotoksisitas anestetik lokal adalah sumber
dari sebagian besar komplikasi neurologis. Brull et al. melaporkan bahwa kejadian cedera neurologis
permanen setelah anestesi spinal bervariasi antara 0-4,2 per 10.000 pasien. Hal ini harus dipisahkan
terlebih dahulu dari hematoma atau abses epidural.

Dalam sebuah survei di Perancis, insiden seperti ini terjadi di hampir setengah dari jumlah pasien
kebidanan dibandingkan dengan pasien non-kebidanan. Trauma jarum langsung terlihat sebagai salah
satu alasan yang dapat dicegah untuk komplikasi neurologis.

Auroy et al. dan Moen et al. melaporkan bahwa Trauma jarum langsung atau yang diinduksi kateter
jarang menyebabkan cedera neurologis permanen atau berat. Pada kenyataannya, ada frekuensi
paresthesia / radikulopati persisten yang lebih rendah mengikuti teknik epidural, yang biasanya terkait
dengan penempatan kateter, dibandingkan dengan injeksi tunggal anestesi spinal. Auroy et al. juga
mengamati bahwa dua pertiga dari pasien dengan komplikasi neurologis mengalami nyeri selama
penempatan jarum atau injeksi anestesi lokal. Sangat mudah untuk menarik jarum dalam kasus par
aestesi untuk menghindari radikulopati pasca operasi. Injeksi anestesi lokal berulang juga harus dihindari
demi mencegah konsentrasi toksik di sumsum tulang belakang.

Conus medullaris mengalami cedera


Kemungkinan cauda equina atau tusukan tulang belakang rendah jika diasumsikan sebagai tusukan di
bawah L3. Moen et al. melaporkan bahwa prosedur ini dianggap sebagai tingkat pemasangan di bawah
L1 dalam semua kasus cedera conus medullaris. Tidak mudah untuk menentukan garis Tuffier pada
pasien yang mengalami obesitas atau di ranah kebidanan. Karena itu, Reynolds et al menganggap Tuffier
line tidak dapat diandalkan untuk mengidentifikasi level tulang belakang yang benar.
Injeksi langsung ke sumsum tulang belakang dapat menyebabkan paraplegia. Kerusakan kerucut meduler
dapat menyebabkan sindrom cauda equine dengan defisit sensorik dan gangguan usus serta kandung
kemih. Namun tidak diyakini bahwa penggunaan panduan USG dapat menurunkan resiko komplikasi ini.

Anestesi neuroaxial dan kondisi neurologis


Patologi atau penyakit tulang belakang yang sudah diderita sebelumnya seperti multiple sclerosis,
amyotrophic lateral sclerosis, kondisi post polio atau sindrom Guillen Barre berperan dalam peningkatan
kejadian komplikasi neurologis pasca operasi setelah blokade neuraxial.

Trauma mekanik, toksisitas oleh anestesi lokal, iskemia saraf karena zat aditif dan stres dapat
memperburuk status neurologis pasien. Faktor-faktor ini dapat memunculkan kebingungan dengan
prosedur yang menyebabkan cedera saraf. Risiko-manfaat anestesi lokoregional dibandingkan dengan
anestesi umum harus dinilai, dengan tidak mempertimbangkan faktor – faktor ini sebagai kontraindikasi
absolut.

Multiple sclerosis
Multiple sclerosis adalah gangguan sistem saraf pusat yang mengalami demielinasi kondisi neurologis di
mana terdeteksi gangguan dalam jumlah dan distribusi natrium yang mengubah konduksi saraf.

Serangkaian oligopeptida dalam cairan serebrospinal dengan pemblokiran aktivitas saluran natrium yang
telah diisolasi, bertindak sebagai anestesi lokal dan bertanggung jawab atas gejala negatif penyakit ini.

Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa anestesi lokal intravena yang dikelola secara sistematis dapat
membuka demielinasi plak dan menghasilkan gejala sementara. Penggunaan metode ini sudah dibahas
sebagai tes untuk diagnosis awal MS. Namun, anestesi lokal dapat memperbaiki gejala positif seperti
kelenturan dan parestesia dengan menghalangi impuls ektopik. Karena itu, lidokain intravena menjadi
pilihan pengobatan gejala-gejala ini. Tampaknya ada peningkatan dalam durasi anestesi spinal, dan
peningkatan kekambuhan lebih relative disebabkan oleh stres seperti menghadapi operasi atau
postpartum dibandingkan dengan teknik anestesi itu sendiri. Dalmas et al. menunjukkan bahwa anestesi
epidural dalam konteks ini tidak berbahaya, jadi diagnosa sebelumnya dari kondisi ini bukan merupakan
kontraindikasi untuk epidural atau anestesi spinal. Keputusan akhir harus diambil oleh pasien dan dokter.

Hematoma tulang belakang atau epidural


Hematoma tulang belakang setelah anestesi spinal adalah komplikasi parah yang memerlukan intervensi
bedah dini untuk mencegah kerusakan neurologis permanen. Kasus insiden adalah sekitar 1: 150.000
dalam anestesi epidural dan di atas 1: 200.000 dalam anestesi spinal, dan cenderung meningkat. Kasus
ini lebih sering terjadi pada anestesi epidural atau penempatan kateter karena peningkatan vaskularisasi
ruang epidural pada pasien dengan gangguan koagulasi, dan juga adanya pemberian antikoagulan atau
obat antiagregan, jenis kelamin wanita, atau faktor usia lanjut.

Gejala komplikasi ini disebabkan oleh kompresi langsung dan iskemia sumsum tulang belakang atau saraf
tulang belakang, kaki, atau punggung, kelemahan motorik, dan disfungsi sfingter. MRI sebaiknya
dilakukan pada hematoma epidural atau tulang belakang. Pemulihan fungsional setelah dekompresi
tulang belakang saat ini dilakukan dalam 8 atau 12 jam pertama setelah pungsi.

Anestesi spinal tampaknya aman pada pasien yang diketahui menderita gangguan perdarahan, selama
mengacu kepada status koagulasi yang terpantau. Bahkan ketika tidak ada konsensus tentang
penghitungan yang aman, 50.000 hingga 80.000 jumlah trombosit pada umumnya dianggap penting
untuk anestesi spinal atau epidural.

Meningitis dan abses epidural


Infeksi bakteri pada neuraxis sentral dapat muncul sebagai meningitis atau kompresi tali pusat akibat
pembentukan abses.

Masuknya bakteri Meningitis adalah keadaan darurat medis. Kematian mencapai sekitar 30% bahkan
ketika terapi antibiotik telah diberikan. Meningitis setelah blok neuraxial jarang terjadi tetapi seringkali
berakhir fatal sebagai efek yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi yang tidak disengaja dari inokulasi
kimia mikroorganisme (virus atau bakteri) atau bahan kimia ke dalam cairan serebrospinal.

Insidensi rendah (sekitar 0 hingga 2 kasus setiap 10.000 prosedur) dan hanya 30 dari kasus ini
dipertimbangkan di daftar pustaka. Adanya demam dan gangguan neurologis dapat menyebabkan
diferensiasi dari PDPH.

Meningitis postanestetik tulang belakang dapat diklasifikasikan secara etiologis dalam septik, aseptik dan
virus. Bakteri diproduksi terlebih dahulu.

Berbagai kasus telah dipaparkan: Staphylococcus aureus, Enterococcus faecalis, Pseudomonas


aeruginosa, Streptococcus agalactiae dan Listeria monocytogenes.

Jenis Streptococcus adalah agen yang paling umum. Bakteri ini biasanya tidak muncul pada manusia,
kecuali terjadi imunosupresi iatrogenik baik lokal, umum, atau spontan.

Streptococcus salivarius, yang termasuk dalam kelompok viridans, menyebabkan lebih dari 60%
meningitis iatrogenik dan lebih dari 90% meningitis tulang belakang. Bakteri ini umumnya ada pada kulit,
rongga mulut, saluran pencernaan traktat, traktus genitourinari, dan sinus, dengan kecenderungan juga
pada permukaan lidah dan air liur. Gambaran klinis dapat muncul dengan tanda-tanda klasik
meningismus. CSF tampak keruh dengan sebagian besar polimorfonuklear pleositosis, peningkatan
protein dan reduksi glukosa menjadi 40- 50% dari glukosa darah. GRAM dan kultur menunjukkan
pertumbuhan bakteri (sensitivitas 80% untuk kultur bakteri).

Meningitis aseptik disebabkan oleh peradangan pada meninges melalui berbagai mekanisme, seperti
injeksi benda asing atau deterjen ke dalam ruang subarachnoid, bahan kimia yang bereaksi terhadap
komponen campuran obat yang disuntikkan, pungsi traumatis, atau gangguan sistemik bawaan atau
penyakit neurologis seperti multiple sclerosis. Ada laporan tentang kasus yang dihasilkan oleh NSAID
yang dikelola secara sistemik, seperti ranitidine atau obat carbamazepine, yang secara klinis
dimanifestasikan oleh gejala seperti demam, sakit kepala di lokasi oksipital, fotofobia, kebingungan,
tingkat kesadaran yang berubah, dan kekakuan leher dengan tanda-tanda meningismus. Gejala – gejala
ini biasanya memiliki prognosis yang baik dan terbatas.

LCR ditandai dengan adanya dominasi leukositosis polimorfonuklear, peningkatan protein dan atau
glukosa rendah atau normal.

Perubahan biokimia ini tidak jauh dari yang ditemukan pada bakteri meningitis septik, dan hal ini dapat
dengan mudah dilihat. Karena itu, lebih mudah untuk memastikan tidak adanya mikroorganisme di
GRAM dan kultur untuk memilah meningitis aseptik. Namun, ada kemungkinan pasien tersebut
menerima antibiotik profilaksis dan perawatan perioperatif untuk mencegah tenaga medis memastikan
bahwa ada meningitis septik yang dipenggal.

Meningitis yang disebabkan oleh virus setelah teknik neuraxial biasanya jinak,yang menjadi yang
terendah dalam frekuensi. Ada juga laporan virus coxsackie B. Persiapan media yang optimal untuk
prosedur neuraxial adalah 0,5% chlorhexidine dalam alkohol 70%. Konsentrasi di atas 0,5% mungkin
tidak didukung: terbukti efektif, tetapi pada akhirnya akan meningkatkan risiko neurotoksisitas yang
berasal dari kontaminasi yang tidak disengaja, dan karena itu harus dihindari.

Ada beberapa pertimbangan tentang demam dan pasien yang terpapar bakteri yang tidak menjadi
indikasi absolut. Meski saling bertentangan hasil, banyak ahli menyarankan bahwa blok neuron sentral
tidak harus dilakukan pada pasien dengan infeksi sistemik yang tidak dapat diobati, kecuali keadaan yang
sangat tidak biasa. Data yang tersedia menunjukkan bahwa pasien dengan bukti infeksi sistemik dapat
dengan aman menjalani anestesi spinal, asalkan sesuai terapi antibiotik yang dimulai sebelum tusukan
dural dan pasien telah menunjukkan respons terhadap terapi, seperti penurunan demam (penempatan
kateter epidural yang menetap di dalam tubuh (atau intratekal) dalam kelompok pasien ini masih
kontroversial).

Kesimpulan

Anestesi spinal adalah teknik anestesi yang aman. Namun demikian, komplikasi dan perlunya perawatan
dini dapat memberi dampak besar kepada pasien. Memberi pengetahuan pada pasien, penanganan
lebih awal (biasanya faktor prognostik yang paling penting dalam perkembangan keadaan pasien) dan
kebutuhan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan sangat diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai