PENDAHULUAN
1
Hasil penelitian Xiang Y Han (The Universityof Texas MD. Anderson Cancer
Center Houston Texas) terhadap 9 penderita abses serebri yang diperolehnya
selama 14 tahun (1989-2002), menunjukkan bahwa perbandingan jumlah
penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (7:2), berusia sekitar
38-78 tahun dengan rasio kematian 55% (Hakim AA, 2005).
Pemeriksaan terbaik yang dilakukan pada abses serebri adalah CT scan
dan MRI. Pilihan utama pada pasien abses serebri adalah MRI dengan atau tanpa
kontras gadolinium. Hasil diagnostik serupa juga diharapkan pada CT scan
tengkorak dengan atau tanpa pemberian kontras iodine intravena. Kedua
pencitraan membantu mendeteksi efek massa abses, namun MRI dengan protocol
difusi memberikan hasil lebih spesifik dalam membedakan tumor serebral, stroke,
dan abses. (Hakim AA, 2005; Nadalo L. A., 2017).Berdasarkan uraian diatas
penulis bertujuan membuat referat dengan judul “Abses Serebri”.
2
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Manfaat Ilmiah
Referat ini diharapkan dapat digunakan untuk :
1. Menambah informasi di bidang Ilmu Bedah dan Ilmu Penyakit Saraf
mengenai abses serebri.
2. Menambah informasi di bidang Ilmu Radiologi terutama mengenai
gambaran radiologisCT Scan danMRI pada abses serebri.
1.3.2 Manfaat Bagi Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana untuk :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai lesi otak dan
gambaran radiologisCT Scan danMRI pada abses serebri.
2. Mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama pembelajaran di
bidang Ilmu Bedah, Ilmu Penyakit Saraf dan Ilmu Radiologi terkait abses
serebri.
3. Menambah wawasan peneliti mengenai tata cara melakukanpenulisan
referat secara baik dan benar.
3
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Abses serebri merupakan suatu proses infeksi dengan pernanahan yang
terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi
bakteri, fungus dan protozoa (Robert H.A, 2004).
2.2 Etiologi
Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada abses serebri, yaitu
bakteri, jamur dan parasit.Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha
hemolyticus, E. coli dan Bacteroides(Patel K. dan Clifford D.B., 2014).
Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis
media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya
adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus
influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan
komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya
oleh Streptococcus anaerob. Penyakit jantung bawaan sianotik dengan pirau dari
kanan ke kiri. (misalnya pada Tetralogy of Fallot), terutama pada anak berusia
lebih dari 2 tahun, merupakan factor predisposisi terjadinya abses serebri(Patel K.
dan Clifford D.B., 2014).
Jamur penyebab abses serebri antara lain Nocardia asteroides,
Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang,
Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan abses serebri
secara hematogen (Patel K. dan Clifford D.B., 2014).
Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis)hampir setengah
dari jumlah penyebab abses serebri serta Komplikasi infeksi lainnya seperti ; paru-
paru (bronkiektaksis, abses paru, empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis,
gigi dan kulit (Patel K. dan Clifford D.B., 2014).
4
2.3 Epidemiologi
Abses serebri menyumbang 1500-2500 kasus di Amerika Serikat setiap
tahun. Insiden itu diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang per tahun. Rasio laki-
laki dan perempuan berkisar rasio 2:1 sampai 3:1 dengan usia rata-rata 30 sampai
40 tahun, meskipun distribusi usia bervariasi tergantung pada predisposisi yang
menyebabkan pembentukan abses (Mustafa et al, 2014).
2.4 Patogenesis
Fase awal abses serebri ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari
atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus.
Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh
otak dan bisa timbul meningitis.
Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus
infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau
secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi
oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering
pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum
biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi
meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan abses
serebri yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama
menyebabkan abses serebri lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus
parietalis biasanya terjadi secara hematogen. (Olsen W.L., 2007)
Abses serebri bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya
ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri
akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi
polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya
lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat
trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan.
Karena adanya shunt kanan ke kiri maka bakteremi yang biasanya dibersihkan
oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang
5
kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua
pertiga abses serebri adalah soliter, hanya sepertiga abses serebri adalah multipel.
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak
dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak,
kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu
rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang
nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan
fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal
kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
2.5 Klasifikasi
Beberapa ahli membagi perubahan patologi abses serebri dalam 4 stadium
yaitu (Olsen W.L., 2007):
1. Stadium cerebritis dini (Early Cerebritis) (hari ke 1 – 3)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit
dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari
pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi.
Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak
dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
6
3. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation) (hari ke 10 –
14)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast
meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman
retikulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding
sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih
dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses
cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul,
terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,
reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
7
1) Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
kesadaran yang menurun me-nunjukkan prognosis yang kurang baik karena
biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel
2) Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan
mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral
dan hemianopsia komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota
gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif
asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal
adalah gejala sensorimotorik
3) Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan
gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus.
4) Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen dan
berakibat fatal.
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu
penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat
keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit,
onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit
yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya (Robert H.A, 2004;
Goodkin H.P. et al, 2004).
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status
mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks
patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan
meningen. (Robert H.A, 2004)
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
muskuloskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota
gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal. (Robert H.A,
2004)
8
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju
endap darah (Robert H.A, 2004; Goodkin H.P. et al, 2004). Pemeriksaan cairan
serebrospinal pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa
didapatkan kadar protein yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa
dalam batas normal atau sedikit berkurang, kecuali bila terjadi perforasi dalam
ruangan ventrikel (Robert H.A, 2004; Goodkin H.P. et al, 2004).
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial,
dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan
pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG
terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG
memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan
frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses (Robert H.A, 2004; Goodkin H.P. et al,
2004).
CT Scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk diagnosis. Gambaran
CT scan pada abses intracranial tergantung pada stadium pembentukan abses
(Nadalo L. A., 2017). Pada stadium awal (stadium 1 dan 2) hanya didapatkan
daerah hipodens dan daerah irregular yang tidak menyerap kontras. Pada stadium
lanjut (stadium 3 dan 4) didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang
menyerap kontras (gambaran ring enchancement) (Brook I., 2015)
9
Gambar 2.1 Early Cerebritis Pada CT Scan
10
Gambar 2.2 Late Cerebritis Pada CT Scan
11
Gambar 2.3 Early Capsule Pada CT Scan
Pada gambar diatas, tampak kapsul berdinding tipis pada CT Scan dengan
penggunaan zat kontras. (International Society of Pediatric Neurosurgery, 2017)
12
Gambar 2.4 LateCapsule Pada CT Scan
Pada gambar CT Scan diatas, tampak kapsul berdinding tebal dengan ring
enchancement yang terang. (International Society of Pediatric Neurosurgery,
2017)
13
Magnetic Resonance Imaging (MRI) saat ini banyak digunakan, selain
memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat dari CT Scan, MRI juga
dapat mendeteksi cerebritis dengan lebihbaik, kontras yang lebih baik antara
edema serebri dan jaringan otak, deteksi dini lesi satelit dan perluasan inflamasi ke
dalam ventrikel dan ruang subaraknoid (Brook I., 2015).
Peningkatan kontras dengan gadolinium dietilenetriaminepentaasetat
(paramagnetic agent) membantu membedakan abses, enhancement ring, dan
edema serebral di sekitar abses. Gambaran T1-weighted meningkatkan kapsul
abses, dan gambaranT2-weighted dapat menunjukkan zona edema di sekitar abses.
(Brook I., 2015).
14
Gambar 2.6Late Cerebritis Pada MRI (Tortori-Donati P. et al, 2005)
15
Gambar 2.7T1-weighted gadolinium-enhanced axial MRI of young abscess
Pada gambar diatas, tampak lesi hipodens dengan enchanced ring (kapsul
abses) lebih tebal (International Society of Pediatric Neurosurgery, 2017).
16
Gambar 2.9T2-weighted MRI of brain abscess
Pada gambar diatas abses dan edema disekitar tampak lebih hiperintens.
(International Society of Pediatric Neurosurgery, 2017)
17
Gambar 2.10 Gambaran Abses Serebri
18
Pada MRI terdapat pula sekuens diffusion-weighted imaging (DWI) untuk
membantu diagnosis banding lesi ring enhancing lainnya seperti glioblastoma,
limfoma, atau metastasis dan abses. Berbeda dengan tumor otak nekrotik atau
kistik yang tampak hipointens pada MRI diffusion-weighted imaging,absestampak
hipeintens pada pemeriksaan ini. (International Society of Pediatric
Neurosurgery, 2017)
Gambar 2.11 Beberapa Diagnosa Banding Abses Serebri Dengan Gambaran Ring-
Enhancing Lesion
Gambar 2.12 Perbedaan Gambaran Abses Serebri dan Tumor Metastasis Pada
MRI diffusion-weighted imaging
19
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding abses serebri (Brook I., 2015):
1. Meningitis bakterial
2. Tumor otak (primer atau metastasis)
3. Cryptococcosis
4. Cysticerosis
5. Abses Epidural
6. Ensefalitis fokal
7. Aneurisma Miotik
8. Septic cerebral emboli causing infarction
9. Septic dural sinus trombosis
2.9 Komplikasi
2.10 Penatalaksanaan
20
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika
terdapat riwayat cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan
kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga
dan juga metronidazole.
Antibiotik terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas
telah tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma penetrasi,cedera kepala, atau
sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin,
cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengan
meropenem yang terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob,
stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana alternatif. Sementara itu
pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan
penisilin dan metronidazole.
Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan
vancomycin dan ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang
menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia
telah resisten terhadap penissilin. Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan
bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga,
yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien
dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterics.(Brouwer et al,2014).
21
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Serebri
50-100 mg/KgBBt/Hari IV
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari IV
Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,
2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV
22
and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang
otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan,
seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.
Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna
diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi
eksisi dalam mengurangi risiko kejang.
Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi
mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi
efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan
ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal.
Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses
berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang
berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Dan harus ditatalaksanakan
dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.
Pembedahan secara eksisi pada abses serebri jarang digunakan, karena
prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan
dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter
lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng
terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi,
seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan
pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme
dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6
minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan
posisinya terhadap korteks.Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan
tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada
tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging).
Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah
mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian
antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita
selanjutnya.
23
2.11 Prognosis
Prognosis pasien dengan abses serebri telah membaik selama 50 tahun
terakhir, karena perbaikan dalam teknik pencitraan,terapi pengobatan antimikroba,
dan tindakan invasif minimal dari prosedur operasi bedah saraf. Saat ini, 70% dari
pasien dengan abses serebri memiliki prognosis yang baik, dengan tidak ada atau
minimal gejala sisa neurologis (Brouwer et al,2014).
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abses serebri merupakan suatu proses infeksi dengan pernanahan yang
terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan berbagai mikroorganisme
dapat ditemukan pada abses serebri, yaitu bakteri, jamur dan parasit. Prevalensi
diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000 orang per tahun. Rasio laki-laki dan perempuan
berkisar rasio 2:1 sampai 3:1 dengan usia rata-rata 30 sampai 40 tahun.
Patogenesis abses serebri dari jalur masuknya infeksi telinga, mulut, hematogen,
post tindakan bedah saraf, post trauma penetrasi. Proses abses dimulai dari
cerebritis awal (early cerebritis) kemudian lanjut ke pembentukan kapsul hingga
matang.Gambaran klinik abses serebri tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi
seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan
intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan
terbaik yang dilakukan pada abses serebri adalah CT scan dan MRI. Diagnosis
banding abses serebri antara lainmeningitis bakterial, tumor otak (primer atau
metastasis), cryptococcosis, cysticerosis, abses epidural, ensefalitis fokal,
aneurisma miotik, septic cerebral emboli causing infarction, septic dural sinus
thrombosis.Komplikasi abses serebri seperti robeknya kapsul abses ke dalam
ventrikel atau ruang subaraknoid, penyumbatan cairan serebrospinal yang
menyebabkan hidrosefalus, edema otak dan herniasi oleh massa abses
serebri.Penatalaksaan dibagi menjadi medikamentosa dan bedah, medikamentosa
sesuai dengan bakteri etiologi, tindakan bedah seperti eksisi dan drainase abses.
70% dari pasien dengan abses serebri memiliki prognosis yang baik, dengan tidak
ada atau minimal gejala sisa neurologis.
25
3.2 Saran
Berdasarkan referat yang telah dibuat, penulis mengajukan saran kepada
penulis-penulis referat selanjutnya agar dapat mengangkat topik abses serebri
yang ditinjau dari sudut pemeriksaan radiologi dengan modalitas lain. Topik
tentang abses serebri juga dapat diangkat untuk memperkaya pengetahuan dokter
muda terkait pemeriksaan radiologi lesi otak.
26
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, M.C., Tunkel, A.R., McKhan, G.M et al. (2014). “Brain Abcess.” The
New England Medical Journal.Vol.371. No.5
Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. (2004). Prevalence, Symptoms, and
Prognosis of Intracerebral Abscess. American Academy of Pediatrics.
Available at http://aapgrandrounds.aappublications.org diakses pada17
Oktober 2017.
Hakim, A.A., (2005). Kasus-kasus Tumor Otak di Rumah Sakit H.Adam Malik
dan Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2003–2004. Majalah Kedokteran
Nusantara.vol 38
27
Patel, K. and Clifford, D. B. (2014). Bacterial Brain Abscess. The
Neurohospitalist. Diunduh pada 15 Oktober 2017 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4212419
28