Anda di halaman 1dari 9

Komplikasi Pasca Pembedahan TURP (Trans Urethral Resection of the

Prostate)

Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit yang berhubungan dengan


penuaan yang paling sering terjadi pada pria. Gejala yang dirasakan dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari yang normal dan menganggu pola tidur. Gejala yang dialami biasanya
berupa peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, penururnan aliran air kencing dan adanya
rasa tidak puas setelah buang air kecil. Tatalaksana BPH mencakup tatalaksana non bedah
dan pembedahan.
Salah satu pembedahan yang sering dilakukan adalah Transurethral Rectoplasty of the
Prostate (TURP). TURP masih merupakan salah satu terapi standar dari Hipertropi Prostat
Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah dikerjakan mulai
beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan makin majunya
peralatan yang dipakai. Tapi di Indonesia ini relatif baru. Terapi ini populer karena trauma
operasi pada TURP jauh lebih rendah dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka.
Dalam TURP dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan
secara visual. Dalam TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan
untuk menjaga visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena seringnya tindakan
ini dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi makin banyak diketahui.
Komplikasi pasca TUR dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu komplikasi
jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut adalah ruptur dari vesika
urinaria, perforasi rectal, inkontinensia, insisi pada orifisum uretra sehingga dapat terbentuk
striktura, perdarahan, epididimitis, sepsis dan TUR syndrome. Sementara itu komplikasi
jangka panjang yang dapat terjadi antara lain adalah: ejakulasi retrograd, gangguan ereksi,
inkontinensia, perlunya operasi ulang.
Komplikasi Akut

1. Sindroma TUR
a. Definisi
Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala
akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh
diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul
prostat yang terjadi selama operasi
b. Angka kejadian
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP mengalami Sindrom TUR dari
berbagai tingkat. Suatu penelitian yang dilakukan di Filipina menunjukkan angka
kekerapan sebesar 6%. Penelitian yang lain menunjukkan frekuensi Sindoma TUR
sampai 10%. Penelitian Marrero menunjukkan frekuensi Sindrom TUR meningkat
bila:
1) Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr
2) Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
3) Pasien yang mengalami hiponatremi relatif
4) Cairan irigasi 30 liter atau lebih
Karena itu TURP hanya boleh dilakukan kalau ahli bedah yakin bahwa operasi
pasti dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit. Tetapi menurut penelitian ternyata
Sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang berlangsung 30 menit. Sebaliknya
risiko Sindrom TUR akan menurun bila:
1) Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik)
2) Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin
c. Gejala
Sindrom TUR dapat terjadi kapanpun dalam fase perioperatif dan dapat terjadi
beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai
pembedahan. Penderita dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan
sebagai berikut:
 Pusing
 Sakit kepala
 Mual
 Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
 Napas pendek
 Gelisah
 Bingung
 Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun. Bila penderita tidak
segera di terapi maka penderita menjadi sianotik, hipotensif dan dapat terjadi cardiac
arrest. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula mengalami
letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik
klonik dan dapat berakhir dengan koma. Bila pasien mengalami anestesi umum, maka
diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda
adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak dapat diterangkan sebabnya.
Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya
gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang mengalami sindrom
TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat
terlambat.
d. Patogenesis
Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi terutama bila sinus vena
terbuka secara dini atau bila operasi berlangsung lama. Rata-rata diperkirakan terjadi
penyerapan 20cc cairan permenit atau kira-kira 1000-1200cc pada 1 jam pertama
operasi, sepertiga bagian di antaranya diserap langsung ke dalam sistem vena. Dan hal
ini akan menimbulkan hiponatremia dilusional
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah circulatory
overload, keracunan air, dan hiponatremia
Circulatory Overload
Dengan adanya circulatory overload, volume darah meningkat, tekanan darah
sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah jantung. Cairan yang diserap
akan menyebabkan pengenceran kadar protein serum, menurunnya tekanan osmotik
darah. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan tekanan darah dan cairan di dorong
dari pembuluh darah ke dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan
cerebri. Di samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar
cairan dapat terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga peritoneal. Setiap
100 cc cairan yang masuk ke dalam cairan interstitial akan membawa 10-15 ml eq Na.
Lamanya pembedahan berhubungan dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas
dan mortalitas terbukti tinggi bila pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit.
Penyerapan cairan intravaskuler berhubungan dengan besarnya prostat sedang
penyerapan cairan interstitial tergantung dengan integritas kapsul prostat. Circulatory
overload sering terjadi bila prostat lebih dari 45 gram. Faktor penting yang
berhubungan dengan kecepatan penyerapan cairan adalah tekanan hidrostatik dalam
jaringan prostat. Tekanan ini berhubungan dengan tingginya tekanan cairan irigasi dan
tekanan dalam kandung kencing selama pembedahan. Tinggi dari cairan irigasi adalah
60 cm yang dapat memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit dengan visualisasi
yang baik
Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari keracunan air
karena meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita menjadi somnolen, inkoheren
dan gelisah. Dapat terjadi kejang-kejang dan koma, dan posisi desereberate. Dapat
terjadi klonus dan refleks babinsky yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis.
Gejala keracunan air terjadi bila kadar Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal.
Hiponatremia
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan kejang-kejang.
Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan penurunan kontraktilitas
otot jantung. BIla kadar Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks
QRS yang melebar, gelombang ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik.
Di bawah 100 meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel,
fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
e. Pilihan Cairan Irigasi
Untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam cairan irigasi. Salin tidak dapat
dipakai karena cairan ini merupakan penghantar listrik dan akan mengganggu proses
pemotongan dan kauterisasi. Di samping itu arus listrik dapat dihantarkan ke alat
resektoskop dan dapat mengenai ahli bedah. Belakangan ini telah ditemukan mesin
resektoskop yang lebih moderen yang dapat menggunakan salin sebagai cairan
irigasinya tapi alat tersebut masih sangat mahal. Salin merupakan cairan irigasi yang
ideal karena sifatnya yang isotonik sehingga tidak mengganggu bila terserap.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di negara maju air
steril sudah jarang dipakai karena jika diserap dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra vaskuler dan hiperkalemia. Karena itu
sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak dipakai. Sorbitol/manitol atau glisin dapat
mencegah hemolisis intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah hiponatremia
dilusional karena bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa
penambahan natrium.
Cairan yang banyak dipakai di luar negeri adalah glisin. Tetapi penyerapan glisin
dalam jumlah besar dapat menyebabkan beberapa akibat dan sebenarnya cairan
sorbitol dan manitol lebih baik dibandingkan dengan glisin. Tetapi harganya lebih
mahal. Cairan non ionik yang dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk
negara yang sedang berkembang, Collins dan kawan-kawannya menganjurkan
pemakaian dektrose 5% yang lebih ekonomik dibandingkan dengan cairan glisin dan
lebih jarang menimbulkan hemolisis serta lebih aman dibandingkan air steril. Tetapi
larutan dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan hipoglikemi tissue charring
pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada sarung tangan ahli bedah dan
peralatan. Di Amerika Serikat, cairan irigasi yang paling banyak dipakai adalah Cytal
yang merupakan campuran antara sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%.
f. Terapi
Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan
infus normosalin mungkin sudah cukup. Tindakan ini akan menurunkan kelebihan
beban cairan melalui diuresis dan menjaga kadar Na dalam batas normal. Pemberian
furosemide sebaiknya dimulai selama pasien masih di dalam kamar operasi kalau
terjadi perdarahan yang banyak dan waktu operasi lebih dari 90 menit atau bila kadar
natrium menurun. Pada kasus hiponatremi berat diberikan infus 3% saline sebanyak
150-200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai furosemide
intravena, terutama pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif.
Pemberian hipertonik saline ini dapat diulangi bila perlu.
Selama pemberian saline hipertonik, kadar elektrolit harus diperikasa tiap 2-4 jam
untuk mencegah terjadinya hipernatremia. Pada penderita hiponatremia yang
menunjukkan gejala, gejala itu bisa dihilangkan dengan peningkatan kadar natrium 4-
6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama, hanya setengah dari kekurangan kadar
natrium yang perlu diatasi dengan pemberian saline 3%. Setelah itu, pemberian saline
3% sebaiknya segera digantikan dengan normal saline.
Jangan meningkatkan kadar natrium lebih dari 20 meq/liter dalam waktu 24 jam.
Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara perlahan. Karena pemberian saline
3% hanya dipakai untuk tidak lebih dari separuh dari penggantian kalium, maka pada
pasien dengan hiponatremia berat hanya memerlukan 300-500cc saline 3%.
Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan
positif dengan menggunakan oksigen 100%. Bila terjadi kehilangan darah yang
banyak maka transfusi dilakukan dengan menggunakan Packed Red Cells (PRC). Bila
terjadi DIC diberikan fibrinogen sebanyak 3-4 gram intravena diikuti dengan
pemberian heparin 2000 unit secara bolus dan diikuti 500 unit per jam. Dapat juga
diberikan fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari profil koagulasi.
g. Pencegahan
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah
manifestasi berat dan fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi
endoskopik. Bila diketahui adanya hiponatremi yang terjadi sebelum operasi terutama
pada pasien-pasien yang mendapat diuretik dan diet rendah garam harus segera
dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi TUR perlu dilakukan.
Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran penting dalam
pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan penyakit
jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya operasi TURP
tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih dari 1 jam, maka TURP
sebaiknya dilakukan bertahap. Pemeriksaan natrium serum sebaiknya dilakukan tiap
30 menit dan perlu dilakukan koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu
dilakukan pemberian furosemid profilaksis untuk mencegah overload cairan. Bila
perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan dengan PRC bukan dengan
whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya dengan menghangatkan
cairan irigasi sampai 37˚C
2. Perdarahan
Komplikasi tersering pasca TURP adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan
oleh spasme prostat ataupun pergerakan. Teknik hemostasis saat pembedahan yang baik
dan pemasangan kateter dan inflasi balon yang cukup dapat mengontrol perdarahan yang
terjadi. Sumber perdarahan umumnya berasal dari pembuluh darah vena. Tindakan yang
dapat dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini adalah : pemeriksaan tanda vital tiap
4 jam, observasi jumlah dan warna urin tiap 2 jam, tingkatkan irigasi dari kandung kemih
untuk mencegah terjadinya obstruksi.
Pasien dapat diminta untuk tetap berbaring atau seapruh duduk. Hal ini dikarenakan
posisi duduk dapat mengakibatkan peningkatan aliran balik dan tekanan kandung
kemihsehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan. Tatalksana yang dilakukan adalah
penggantian darah yang terbuang, dapat fengan tranfusi atau cairan intra vena lainnya.
Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik.
Perdarahan dapat pula terjadi setelang selang beberapa hari hingga minggu pasca
operasi. Hal ini dapat terjadi akibat aktivitas fisik yang berat atau kontraksi dari vasika
urinaria. Untuk mencegahnya, pasien diindtruksikan untuk meminum air minimal 12
gelas per hari dam menghindari konsumsi alkohol, kafein dan makanan pedas yang dapat
menstimulasi kandung kencing. Pasein hendaknya tidak melakukan aktivitas yang berat
selama paling tidak 2 minggu. Juga pasien hendaknya diminta untuk kembali ke dokter
apabila perdarahan yang terjadi tidak berhenti dalam 1 jam setelah penghentian aktivitas
maupun peningkatan frekuensi minum.
3. Infeksi-Bakteremia
Bakteri yang berada di saluran kencing dapat memasuki sirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah prostat yang terbuka saat pembedahan. Pasien-pasien berkateter memilki
resiko 50% lebih tinggi. Semakin lama kateter terpasang, semakin besar pula resiko
terjadinya infeksi. Dilaporkan bahwa terdapat bakteri pada urin pasien yang telah 10 hari
dipasngi kateter. Kejadian infeksi saluran kemih bisanya terjadi pada saat 2 minggu
pasca operasi. Bila pemasangan kateter jangka opanjang diperlukan pasca TURP, maka
perlu dilakukan perwatan yang seksama dan hati-hati. Komplikasi terberat adalah berupa
syok septik yang terjadi pada saat bakteri berhadil memasuki sirkulasi sitemik.
Bakteremia dapat diatasi dengan pemberian antibiotik aminoglikosida sebelum
pembedahan. Irigasi dari kateter harus selalu menjadi perhatian. Tanda-tanda dari syok
septik yang perlu diwaspadai antara alin adalah : mengigil, hipotensi yang mendadak,
takikardi dan hipertermia.
4. Obstruksi Kateter
Kateter urin dapat tersumbat oleh bekuan darah atau sisa sisa jaringan. Untuk
mengatasinya dapat dilakukan irigasi untuk membuang bekuan dan debris. Pembersihan
bekuan juga dapat dilakukan dengan memindah-mindahkan posisi berbaring pasien.
Irigasi dapat dialkukan secara berkala (intermitten blader irigation) atau terus menerus
(continous blader irrigation). Cairan yang digunakan adalah normal salin. Irigasi
dilakukan hingga didapatkan cairan yang keluar berwarena jerbih atau merah terang.

Komplikasi Jangka Panjang


Sebagian besar pasien tidak mengalami masalah jangka panjang setelah menjalani TURP.
Namun beberapa efek jangka panjang yang dapat dialami setelaha menjalani TURP antara
alin adalah :
1. Ejakulasi retrograd
Salah satu komplikasi pasca operasi TURP adalah “dry orgasm” atau ejakulsai
retrograd. Kondisi ini terjadi pada 65% pasien. Saat ejakulasi terjadi, sememn yang
diproduksi justru dikeluarkan ke arah kandung kemih, bukannya ke arah penis seperti
sebagaimana mestinya. Kondisi ini tidak berbahaya. Semen akan dikeluarkan saat pasien
buang air kecil. Gairah seksual dan pencapaian orgasme tidak terganggu.
2. Disfungsi ereksi
Nervus yang mengendalikan ereksi secara anatomis terletak dio dekat kelenjar prostat.
Nervus ini bisa saja rusak saat operasi dilakukan. Namun banyak penelitian menyatakan
bahwa TURP tidak mengakibatkan gangguan ereksi. Beberapa trial justru menyatakan
bahwa fungsi ereksi justru membaik pasca dilakukannya TURP.
3. Kelenjar prostat yang membesar lagi
Komplikasi lainnya adalah terbentuknya jaringan fibrotik. Hal ini dapat
mengakibatkan terajdinya striktura uretra atau kontraski dari leher kandung
kemih.kurang dari 7% pasien yang mengalamikomplikasi ini. Intervensi bedah
diperlukan untuk mengatasi komplikasi ini. Selain itu, kelenjar prostat juga dapat
mengalami pembesaran kembali setelah dilakukannya operasi. Hal ini terjadi pada 5 %
pasien yang menjalani TURP. Hal ini dapat mengakibatkan seorang pasien dapat
menjalani TURP lebih dari satu kali. Dari hasil penelitian didapatkan hanya 15% pasien
yang memerlukan pembedahan lagi pasa\ca ditangani dengan TURP.
4. Inkontinensia
1 dari 50 pasien yang menjalani TURP mengalami inkontinensia. Inkontinensia dapat
terjadi bila otot sphincter di leher kandung kemih rusak saat operasi dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai