Anda di halaman 1dari 15

2016

Koleksi Pribadi

User

[SERPIHAN PUZZLE
PEMIKIRAN SYAFI’I MA’ARIF]
[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents
of the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary
of the contents of the document.]
Buta di Sini, Buta di Sana (1)

Oleh : Ahmad Syafii Maarif


REPUBLIKA.CO.ID, Judul ini didasarkan pada Alquran surat al-Isrâ’(17) ayat 72 yang makna
lengkapnya adalah: “Barangsiapa yang buta di sini [di dunia], maka dia akan buta pula di akhirat, bahkan
perjalanannya lebih sesat lagi.” Saya sudah buka beberapa tafsir, Arab, Indonesia, dan Inggris, tidak satu
pun yang mengaitkan ayat itu dengan kejatuhan peradaban Muslim, saat umat ini terkapar dengan hina di
depan umat lain, seperti yang tengah berlaku sekarang. Semuanya mengartikan perkataan buta (a’mâ)
sebagai buta hati terhadap kebenaran yang datang dari Allah melalui wahyu. Tentu tidak salah tafsiran itu,
tetapi apakah bukan karena buta terhadap realitas sejarah, umat ini telah kehilangan jati-dirinya sebagai
manusia beriman yang tulus?
Atau apakah ungkapan buta itu tidak dapat dikaitkan dengan kelumpuhan Muslim dalam
perlombaan hidup duniawi di tengah persaingan global yang tunakasih-sayang dan tunakeadilan?
Sebagian kita cenderung menghibur diri dengan asyik mendengarkan para da’i yang meninabobokkan,
sambil mengusap airmata. Tahukah tuan dan puan, dalam situasi kejatuhan sebuah peradaban, curahan
airmata bukanlah dewa penolong, gunanya sekadar obat penenang. Dan hanya akan semakin
mempertinggi tempat jatuh.
Jika tafsiran yang saya ajukan dimungkinkan, maka logikanya menjadi: “Lumpuh di sini, lumpuh di
sana, atau tersungkur di sini, tersungkur di sana.” Dalam bacaan saya, kelumpuhan umat ini sama sekali
tidak masuk di nalar jika Alquran dijadikan rujukan dalam ungkapan “kuntum khaira umma ukhrijat li al-nâs”
(kamu adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia), seperti yang tersebut dalam surat Âli ‘Îmrân
ayat 110. Tidak nalar, tetapi itulah yang berlaku, semata-mata karena kebodohan dan kecerobohan kita
sebagai umat yang hobinya berpecah-belah sambil menguras energi untuk sesuatu yang sia-sia.
Syarat untuk merebut posisi umat terbaik itu menurut lanjutan ayat adalah: kemampuan
memerintahkan kebaikan (al-ma’rûf), kesigapan mencegah yang buruk (al-munkar), dan beriman kepada
Allah. Tiga kualitas itu harus berjalan bersama dalam susunan gerak yang menyatu, tidak boleh dipisah-
pisahkan. Iman sebagai landasan spiritual yang teramat kokoh mesti membuahkan kemampuan
menegakkan kebaikan dan keberanian mencegah keburukan. Jika tidak demikian, maka iman itu sedang
berada pada posisi mandul, tak bertenaga. Bagaimana mungkin orang akan dapat memerintahkan
kebaikan sementara kondisi dirinya jauh kebaikan. Bagaimana mungkin orang akan mampu mencegah
yang buruk, jika dirinya berkubang dalam keburukan dan kebodohan.
Kebaikan itu bisa berupa tegaknya keadilan dan nilai-nilai kemanusian yang luhur, terwujudnya
persaudaraan sejati dalam lingkungan iman yang sama atau dalam lingkungan iman yang berbeda.
Bahkan persaudaraan itu juga harus tampak dalam komunitas orang beriman dan komunitas orang tidak
beriman, karena kita semua melangsungkan hidup di atas planet bumi yang satu. Tidak seorang pun
punya hak monopoli di planet yang satu ini. Ini di antara hasil bacaan saya dalam memahami benang-
merah Alquran, kumpulan wahyu terakhir sebagai pedoman hidup manusia sejagat.
Dalam Resonansi, 30 Agustus, telah diungkapkan betapa tajamnya kesenjangan sosial-ekonomi
pada tataran global dan pada tataran nasional. Kemudian, tengoklah penduduk Muslim dengan jumlah
sekitar 1,6 miliar manusia di seluruh dunia adalah di antara umat yang lumpuh dan hina, tidak mampu
berbuat apa-apa untuk mempertautkan kesenjangan itu, karena masalah internal mereka benar-benar
sangat memprihatinkan. Secara teologis, umat ini terpecah-pecah dalam berbagai sekte sebagai buah
pahit dari sengketa politik elite Arab Muslim di abad-abad permulaan. Adalah sebuah ironi yang
memalukan, mengapa kemudian dalam bilangan kurun yang panjang, sengketa elite Arab itu diekspor ke
seluruh komunitas Muslim di muka bumi sampai hari ini, termasuk ke Indonesia?
Logika Alquran memastikan bahwa sebuah perubahan ke arah perbaikan dan kemajuan hanya
mungkin berlaku jika umat ini cerdas dalam mengambil inisiatif. Ayat yang sering dikutip oleh banyak
orang: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi sebuah kaum, sampai kaum itu sendiri mau
mengubah apa yang ada pada diri mereka” (surat al-Ra’d (13): 11).

Posisi umat yang hina ini yang telah lama dimainkan pihak lain tidak akan berubah selama mereka

tidak membuka mata lebar-lebar untuk melihat dan mengoreksi keadaan diri secara jujur dan berani,

kemudian siap bangkit dengan penuh percaya diri. Ucapkan selamat tinggal kepada borok-borok sejarah

masa silam yang menyebabkan kita terkapar berkeping-keping seperti sekarang ini. Bahwa untuk

mengubah sikap mental yang sudah karatan selama berabad-abad memang sangat sukar, saya setuju.

Tetapi apakah ada cara lain untuk bangkit secara sejati untuk jadi umat yang gagah dan bermartabat

tinggi?

Penyair Iqbal sudah sejak abad ke-19 berupaya melalui bahasa puisi yang tajam bagaimana

menyadarkan umat agar bangkit dari kejatuhan melalui persatuan dan persaudaraan. Puisinya memang

dihafal dan dibaca, tetapi perubahan mendasar tidak kunjung menjadi kenyataan. Puisi tinggal puisi,

kelakuan tidak juga membaik. Pakistan yang mengklaim Iqbal sebagai miliknya, malah nyaris jagi negara

gagal. Ikuti bait ini:

Sekalipun satu keluarga, kita merasa asing satu sama lain,

Ikat kembali dedaunan yang berserakan ini,

Hidupkan lagi hukum cinta!

(Lih. M. Moizuddin, The World of Iqbal. Lahore: Iqbal Academy, 1982, hlm. 34).

Tengoklah apa yang sedang berlaku di Turki, sesama golongan santri sedang adu jotos, etnis

Kurdi pun diperangi, sukar sekali menyatu. “… kita merasa asing satu sama lain,” tegur Iqbal. Dedaunan itu

tetap saja berserakan, hukum cinta sudah kehilangan tenaga.

Kemudian layangkan pulalah pandangan pada apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak,

Afganistan, Palestina, Nigeria, dan di belahan bumi lain. Perpecahan akibat gesekan kesukuan telah

melumpuhkan hukum cinta. Apakah kita masih saja berhak meneriakkan slogan sebagai “umat yang

terbaik yang ditampilkan untuk manusia?” Umat terbaik tidak mungkin diobok-obok pihak lain penaka

binatang ternak. Itu belum lagi kita bicara tentang nasib TKI Indonesia yang menyabung nyawa di negeri

jiran, kemudian diusir karena surat-surat perjalanan tidak ada. Tidak jarang yang terkapar dalam

perjalanan mengais rejeki.

Tentu ada saja titik-titik terang di ranah-ranah tertentu yang tidak dihambat oleh sekte-sekte

teologis. Gerakan Dompet Dhu’afa di Indonesia, misalnya, adalah salah satu terobosan untuk memperbaiki
kondisi umat. Begitu juga gerakan Lazis Muhammadiyah dan MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat)

PP Muhammadiyah telah melakukan sesuatu yang patut dipuji bagi kepentingan masyarakat yang

terpinggirkan. Masalahnya, karena mereka yang terpinggirkan itu merupakan gelombang besar, maka

jangkauan gerakan-gerakan sosial kemanusiaan ini masih terbatas. Semestinya negara yang harus

berbuat lebih banyak karena semuanya itu menjadi kewajiban konstitusionalnya.

Tetapi hampir semua negara di bumi Muslim, karena asyik bermain di panggung kekuasaan,

sering benar tidak hadir membela rakyatnya yang tertindas dan kesakitan. Gerakan musim semi Arab yang

gagal itu adalah contoh dramatis yang banyak membawa korban, sedangkan penguasa yang masih

bertahan tetap saja tidak punya kepekaan untuk melancarkan perubahan ke arah tegaknya keadilan dan

kebersamaan, karena agama penguasa itu adalah nafsu kekuasaan yang dibalut dengan baju teologis.

Jutaan pengungsi Suriah yang lari ke berbagai belahan bumi rupanya belum cukup kuat untuk

menggugah batin elite Arab untuk mengoreksi kesalahan politik mereka yang anti keadilan. Warisan

sengketa lama politik kesukuan mereka seperti tidak lagi mampu ditembus Islam sebagai agama yang

resmi mereka peluk. Puak sunni dan syi’ah sama-sama terlibat dalam dosa sejarah itu. Situasi buruk ini

akan tetap saja berlangsung selama mereka tidak patuh mengikuti logika Alquran dalam surat al-Ra’d di

atas.

Akhirnya, agar tidak “buta di sini dan tidak buta di sana,” bagunan keislaman dan keimanan kita

perlu dikoreksi dan dipertanyakan kembali, apakah sudah benar dan autentik diukur dengan benang merah

Alquran dan missi kenabian! Dan sentana sisa-sisa keikhlasan dalam beragama masih terpelihara dalam

diri kita, mestinya mengapa sulit amat mengikat kembali “dedaunan yang berserakan,” untuk meminjam

ungkapan Iqbal di atas.


Islam Ditelikung oleh Kelompok Elitenya
2

REPUBLIKA.CO.ID, Telikung (bahasa Jawa) diberi awalan me menjadi menelikung berati


“mengikat kaki dan tangan” sehingga tidak bisa bergerak bebas, apakah itu manusia, hewan, atau pun
sesuatu yang bersifat abstrak, seperti agama, ideologi, dan sebagainya. Maka Islam menjadi sesuatu yang
tersandera karena ditelikung oleh kelompok elite umatnya sendiri yang telah berhenti berfikir kreatif.
Akibatnya, agama ini telah berubah menjadi fosil, membeku, tidak lagi menawarkan solusi bagi
penyelesaian masalah-masalah sosial kemanusiaan. Adapun diktum Alquran tentang misi kenabian
sebagai “rahmat bagi alam semesta” (s. al-Anbiyâ’: 107) telah menjadi hampa di tangan elite Muslim yang
tuna kejujuran, tuna kreativitas, dan tuna inisiatif.
Diktum ini masih dikutip berulang-ulang oleh berbagai kalangan, tetapi tanpa pemahaman yang
benar dan dalam. Diktum ini telah kehilangan dinamika pemahaman yang segar akibat telikungan yang
demikian dahsyat dalam baju teologis, faham politik, sukuisme, dan sektarianisme. Benar, secara teoretik,
Islam adalah agama pembela keadilan dan persaudaraan sejati sebagai wujud ajaran tauhid dalam
kehidupan kolektif manusia. Lain teori, lain pula kenyataan. Godaan duniawi berupa benda dan kekuasaan
yang melingkari kelompok elite ini (penguasa dan ulama) dalam kurun yang panjang telah menjadikan
umat ini seperti ayam kehilangan induk. Bukti yang teranyar, tengoklah tanah Suria dan Irak, tak ubahnya
seperti kepingan neraka yang dipindahkan ke bumi.
Ulama yang biasa menyebut dirinya sebagai “ahli waris para nabi” tidak jarang bersekongkol
dengan penguasa yang busuk sekalipun. Untaian tasbih dan jubah panjang tidak jarang dipakai sebagai
tameng suci untuk mengelabui umat yang buta politik, buta agama, dan minus pendidikan. Munculnya
ulama sunni, ulama syi’ah, ulama khawarij dengan klaim kebenarannya masing-masing adalah akibat
belaka dari perseteruan elite Arab Muslim yang berebut kuasa di masa awal, sebagaimana yang pernah
ditulis di ruang ini.
Jalan ke luarnya adalah agar Islam kenabian dipisahkan dari sektarianisme Arabisme politik
kekuasaan yang telah menelikung agama ini tanpa perasaan dosa. Tidak ada yang perlu dicemaskan,
selama al-Qur’an dijadikan pedoman pertama dan utama. Nabi Muhammad sebagai pelanjut risalah nabi
Ibrahim dengan susah payah telah meruntuhkan norma-norma sektarisnisme, sukuisme, dan kebanggaan
atas ajaran leluhur yang lepas dari kawalan tauhid dan cita-cita tentang keadilan. Adalah sebuah ironi yang
sangat melelahkan, ajaran yang begini universal, anggun, dan humanis, telah dicemari oleh daki-daki
sektarianisme dan sukuisme yang membunuh cita-cita suci Islam.
Semestinya elite Arab Muslim menyadari bahwa Islam itu bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk
kemanusiaan sejagat. Tidak ada hak mereka untuk memenopoli kebenaran Islam sebagaimana yang
terkesan dari faham Wahabisme, bentuk ekstrem sunnisme, dan syi’sme. Gerakan al-Qaedah dan ISIS
tidak lain dari Wahabisme radikal yang kini sedang menggali kuburan masa depan Islam. Adapun pihak
Barat yang ikut bermain untuk melumpuhkan dunia Arab Muslim yang telah mereka peras selama ini
adalah akibat belaka dari suasana internal Arab yang semakin merapuh dan tak kunjung sadarkan diri.
Islam yang dibungkus dalam mantel sektarianisme dan sukuisme jelas berkhianat terhadap al-Qur’an dan
cita-cita kenabian.
Memang tidaklah mudah mengurai benang kusut yang sudah berusia berabad-abad, tetapi jika
Alquran difahami secara benar dan tulus, benang kusut itu pasti bisa diurai. Masalahnya tidaklah rumit
amat dan bahkan sederhana: bersediakah kita menundukkan egoisme dan subjektivisme kita kepada
perintah Alquran tentang kesatuan dan persaudaraan umat beriman? Selama egoisme dan subjektivisme
yang jadi sesembahan, selama itu pulah malapetaka dan palu godam sejarah akan senantiasa mengejar
kita sehingga umat ini luluh berkeping-keping. Saya teringat ucapan Prof. Fazlur Rahman: “Jika bahan
bakar lenyap dari bumi pasti akan ada gantinya. Tetapi jika Islam yang hilang, tidak akan ada gantinya.”
Ucapan ini teramat dalam dan tajam yang menembus relung-relung saraf mereka yang masih punya
kepekaan ruhani.
Akhirnya, Alquran dalam surat al-Shaff (61):4 menggambarkan mereka yang berjuang di jalan
Allah dalam barisan yang rapi, “mereka seperti sebuah bangunan yang kokoh dan kompak.” Sekarang
tengoklah situasi dunia Muslim, jangankan penaka bangunan yang kokoh, bangunan itu sendiri telah roboh
di tangan elitenya yang merasa benar di jalan yang sesat. Lalu, siapa kita sebenarnya? Inilah peta global
umat Muhammad yang mesti diubah dengan pemahaman agama yang benar dan perbuatan yang konkret.
Jalan lain adalah jalan kehancuran!
Noam Chomsky, Donald Trump, dan
Badut
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA.CO.ID, Sengaja judulnya diperhalus, sebabnya aslinya terbaca, “Noam Chomsky
slams Trump: Hes a clown-literally, he could be in the circus” (Noam Chomsky kecam Trump: Dia seorang
badut-secara harfiah, dia semestinya dalam sirkus). Di mata Chomsky, semakin Trump mengeluarkan
pernyataan kasar dan menjijikkan, semakin tinggi popularitasnya. Yang jadi kambing hitam kemudian
adalah orang Meksiko dan orang Muslim. Mengapa? Simak Chomsky di bawah ini.
Nama lengkapnya Avram Noam Chomsky, kelahiran Philadelphia, 7 Desember 1928. Ayahnya
seorang sarjana bahasa Yahudi terkenal, William Chomsky, kelahiran Ukraina pada 1896, minggat ke
Amerika pada 1913 untuk menghindari wajib militer.
Dalam usia lanjutnya, Noam Chomsky, tanpa lelah, terus saja berteriak untuk sebuah dunia yang
lebih adil dan demokratis, sesuatu yang belum juga terwujud, termasuk di Amerika Serikat, negeri
kelahirannya. Energi intelektualnya seolah tidak pernah mengendur, di tengah dunia kemanusiaan global
yang membisu, tidak hirau dengan penderitaan manusia miskin yang jumlahnya miliaran itu.
Seorang pengagumnya, penulis Arthur Naiman, pada tahun 2011 menurunkan ungkapan ini
tentang Chomsky: “Saya berharap dia akan hidup sampai 100 tahun. Anda juga demikian. Dunia akan
menjadi tempat yang lebih kosong, lebih sunyi, dan kurang adil tanpa dia.” (Lih. Arthur Naiman (ed.), Noam
Chomsky: How the World Works. London: the Penguin Group, 2011, hlm 5). Saya hanya mengamini
ungkapan pujian ini. Chomsky, seorang Yahudi, sangat bersikap kritis terhadap Israel, sebagaimana
banyak intelektual Yahudi lainnya mengambil sikap serupa.
Hubungan komunitas liberal Amerika dengan Israel pasca-Perang 1967 digambarkan Chomsky
pada 1992 sebagai berikut: “Komunitas liberal Amerika sejak 1967 telah dimobilisasi hampir sampai tingkat
fanatik dalam mendukung sebuah Israel yang ekspansionis, mereka secara konsisten menentang
penyelesaian politik apa pun. Mereka senang sekali atas perluasan kekuasaan Israel.” Dengan kata lain,
kemenangan Israel dalam perang melawan Arab pada 1967 telah membius komunitas Amerika untuk
selalu pro-Israel tanpa pertimbangan rasional.
Trump bagi Chomsky. Kegusaran Chomsky jika Trump terpilih jadi presiden Amerika telah
disampaikan dalam berbagai kesempatan. Tuan dan puan dapat dengan gampang menelusurinya
via Google. Sekalipun berpenampilan sebagai badut, mengapa Trump juga punya pendukung yang
lumayan?
Menurut Chomsky, karena rezim-rezim Amerika selama ini lebih mementingkan politik kekuasaan
pribadi dan partai, sedangkan kesejahteraan rakyat tidak mendapat perhatian serius, maka perasaan
marah dan cemas adalah risikonya. Perasaan ini terutama berjangkit di kalangan lelaki kulit putih,
kelompok minoritas, kaum buruh, dan lain-lain.
Situasi ini dimanfaatkan Trump untuk agitasi politiknya. Kita kutip Chomsky: “The American politics
is merely a struggle for ideological conformity and party unity, not a struggle for the general welfare of the
nation.” (Politik Amerika hanyalah perjuangan untuk keserasian ideologis dan persatuan partai, bukan
perjuangan untuk kesejahteraan umum bagi bangsa).
Di mata Chomsky, baik Partai Republik maupun Partai Demokrat tidak ada bedanya dalam
membentuk politik Amerika. Kedua partai sama-sama mendapat dukungan dari pemilik uang besar, demi
menang dalam pemilihan. Dengan demikian, pengaruh uang demikian dahsyat dalam perpolitikan Amerika.
Trump adalah salah seorang miliarder Amerika, sekalipun tingkah politiknya sangat irasional.
Tetapi, untuk jadi presiden Amerika, menurut Chomsky, Trump sangat tidak layak. Menurut
Alexandra Rosenmann dari Alternet, setidaknya ada lima alasan utama di mata Chomsky, yang
disampaikan pada 7 Maret 2016, mengapa Trump harus dikalahkan dalam pilpres Amerika.
Pertama, pemanasan global akan berlanjut menimpa daerah-daerah yang rentan karena Trump
tidak peduli dengan bahaya itu. Kedua, penyiksaan akan bertambah karena Trump mengatakan: “Fine, lets
torture people,”(Baik, mari kita siksa manusia). Ketiga, pengungsi tidak perlu diperhatikan karena hal itu
adalah masalah eksternal.
Trump punya reaksi radikal atas serangan di Paris tahun yang lalu: “Usir Muslim dari negeri itu.”
Dan “Mari kita bangun sebuah dinding, atau bahkan biarlah Meksiko membangun sebuah dinding, demi
menghalangi orang lari ke Amerika Serikat.” Chomsky mengingatkan: “Sekarang, dari mana mereka lari?
Sebagian besar lari dari Amerika Tengah akibat kebijakan kita [Amerika Serikat].”
Keempat, hubungan ras akan jungkir balik. Chomsky mencatat: “Orang-orang yang mengitari
bendera Trump adalah mereka yang tingkat kematiannya benar-benar parah.” Kelompok ini sudah putus
asa menghadapi masa depannya yang tanpa martabat.
Kelima, perang dunia semakin membayang. “Sebuah polling Amerika menunjukkan bahwa
Amerika Serikat adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dunia. Sekarang dengan munculnya Trump
sebagai calon presiden Partai Republik, maka kekhawatiran dunia bisa dibenarkan.
Chomsky mengatakan: “... untuk punya seseorang sejenis manusia liar ini dengan jarinya
menekan tombol dapat menghancurkan dunia atau membuat keputusan dengan pengaruh yang luas
adalah sebuah prospek yang benar-benar menakutkan.”
Itulah si badut yang pencalonannya justru didukung oleh Rusia, Korea Utara, Cina, dan bahkan
ISIS. Bagi ISIS, tujuannya jelas, agar Amerika rusak dari dalam melalui kekuasaan Trump.
Negara Pancasila dan Kesenjangan
Sosial
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA.CO.ID, Sudah cukup banyak pihak yang meneriakkan isu kesenjangan sosial-ekonomi di
Indonesia. Ironisnya, di sebuah negara Pancasila dengan cita-cita keadilannya demikian dahsyat, semakin
diteriakkan, justru kesenjangan itu semakin tajam. Maka pada tanggal 28 Agustus 2016, saya pinjam otoritas
ekonom Faisal Basri melalui pertanyaan berikut:
“Bung Faisal, jika kesenjangan sosial-ekonomi semakin memburuk, apakah negeri ini punya masa
depan? Pancasila tersandra di tangan para kroni tunamoral.”
Jawaban Bung Faisal adalah ini: “Buya, alhamdulillah sudah lama baca, juga para pengritik dan
pendukungnya. Berpulang kepada pemimpin puncak apakah menyadari bahaya ini. Desain pembangunan yang
lebih berkeadilan bisa diimplementasikan jika ada kehendak kuat. Masih ada secercah cahaya di ujung
terowongan dan kita harus terus menyuarakan. Salam takzim.”
Jawaban Bung Faisal ini mengingatkan saya kepada pernyataan Prof. Peter Edelman dari Universitas
George Town, Amerika Serikat, penulis buku terkenal So Rich So Poor (2012). Dalam buku ini Peter dengan
sangat vokal telah menyoroti angka kemiskinan yang cukup tinggi, yaitu 103 juta rakyat Amerika adalah miskin
dan mendekati kemiskinan; dan ada enam juta tidak punya penghasilan samasekali, kecuali dibantu melalui
makanan yang distempel, khusus untuk si penganggur. Tetapi Peter masih optimistis akan ada perbaikan dari
waktu ke waktu. Maksudnya persis sama dengan ungkapan Faisal Basri di atas: “Masih ada secercah cahaya di
ujung lorong…”
Tentang fenomena kemiskinan global, pada tanggal 10 Nopember 2014, melalui Liputan6.com, terbaca
berita ini: “Kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin telah menjadi ketakutan terbesar para pemimpin
negara di seluruh dunia dalam 20 tahun terakhir. Bahkan kini, 85 orang terkaya memiliki jumlah uang yang setara
dengan uang yang dimiliki oleh 3,5 miliar penduduk miskin di dunia.” Dilanjutkan: “…organisasi donasi
internasional Oxfam mencatat orang terkaya di dunia itu termasuk Bill Gates, Carlos Slim, dan Mark
Zuckerberg…Dengan jumlah harta yang sudah melimpah, setiap hari, para miliarder terus menambah
kekayaannya.
Bagaimana tidak, setiap harinya, harta para miliarder itu bertambah rata-rata US$ 668 juta per
hari.” Lalu apa solusinya? Peter memberi resep: “Satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan orang
miskin, menstabilkan jumlah penduduk kelas menengah, dan melindungi demokrasi adalah dengan
mengharuskan orang kaya membayar lebih ongkos pemerintahan di sebuah negara yang kontribusinya mengalir
pada para penduduk miskin.” Dalam sistem kapitalis, saya tidak yakin saran Peter itu mau masuk ke telinga para
miliarder itu yang punya uang tanpa seri itu, tidak terkecuali tentunya para taipan Indonesia.
Bagaimana dengan Indonesia? Ini berita teranyar: “Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan
menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah
Rusia dan Thailand. Satu per sen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Semakin
parah jika melihat penguasaan 10 persen terkaya yang menguasai 77 persen kekayaan nasional. Jadi 90 persen
penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional.”
Amerika yang kapitalis berbeda dengan Indonesia, karena negara kita punya dasar filosfi Pancasila
dengan segala nilai-nilai luhurnya. Tetapi, sadarkah tuan dan puan, bahwa Pancasila itu sejak proklamasi
kemerdekaan tidak pernah dijadikan pedoman utama dalam strategi pembangunan nasional, kecuali dalam kata,
tidak dalam perbuatan.
Angka-angka ketimpangan di atas adalah fakta telanjang yang sangat berbahaya, jika tidak cepat
disadari oleh pemerintah JKW/JK dan oleh kita semua. Quo vadis pembangunan Indonesia? Maka, sebelum
segala sesuatu berada di luar kontrol, aksi cepat amat-amat diperlukan dengan penuh kejujuran, tidak dengan
sikap pura-pura, sekadar membangun citra yang memuakkan. Bagaimana Bung Faisal dengan “pemimpin
puncak” kita sekarang? Atau, sebagai pengkhianat, Bung Faisal, kita benamkan saja Pancasila itu dan Pasal 33
UUD jauh ke kerak bumi, karena telah kehabisan daya untuk membawa bangsa ini meraih tujuan kemerdekaan?
Karya James R Rush tentang Hamka
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Jika Anda pernah membaca Resonansi bertanggal 18 Juni 2013, di bawah
judul "Hamkas Great Story: Islam for Indonesia", tentu akan cepat menangkap ke mana arah tulisan kali
ini.
Resonansi itu adalah hasil pembicraan saya pada 8 Juni 2013 dengan Prof James R Rush di
suatu tempat di Jakarta yang pada waktu itu sudah menyiapkan sebuah karya tentang Hamka (1908-
1981), semacam biografi dan alur fikir tentang sosok manusia Indonesia multitalenta ini.
Rush adalah guru besar sejarah pada Universitas Arizona, Amerika Serikat. Karya tentang Hamka ini
semula diharapkan terbit pada 2014. Baru tahun ini menjadi kenyataan. Mengapa dimunculkan lagi karya
ini? Tentu ada pemicunya.
Pada 16 Agustus 2016 saya menerima email dari James Rush dengan penyesalan karena
karyanya dengan judul lengkap: Hamkas Great Story, A Masters Vision of Islam for Modern Indonesia
(University of Wisconsin Press, Juni 2016) telah dikirim ke alamat saya di Yogyakarta, tetapi tidak sampai.
Menurut Rush, kiriman itu telah dirusak oleh imigrasi di Indonesia, mungkin karena biaya pengiriman tidak
cukup, sesuatu yang tidak disadari oleh penulisnya sebelum itu. Tentu saja berita ini tidak sedap dibaca,
tetapi demikian itulah yang berlaku.
Karena kejadian itu, Rush menulis; "I shall hope to deliver a copy in person the next time I am in
Indonesia." Sebagai tanda terima kasih kepada Prof Rush, saya jawab begini: "It seems the Indonesian
customs have no intellectual sensitivity on Hamka, unfortunately. Im sorry to say that. Thanks a million."
Semoga karya penting ini akan segera diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana
yang telah saya sampaikan kepada penulisnya pada 8 Juni 2013. Adapun tentang imigrasi yang merusak
kiriman itu, tidak perlu dipermasalahkan karena mungkin aturannya memang demikian.
Hamka adalah ibarat sumur dalam yang jernih airnya dan tidak akan pernah habis ditimba oleh
siapa pun. Semakin ditimba, semakin pahamlah kita bahwa air sumur ini bersumber jauh di dunia hakekat.
Entah sudah berapa tesis dan disertasi tentang pemikiran tokoh yang tidak tamat sekolah dasar ini telah
ditulis oleh para peneliti.
"Berbahagialah Engkau, Hamka di alam sana. Karya tulis yang dicetak ulang dan suara engkau
yang serak-serak basah dalam kaset danYoutube masih tetap saja dibaca dan didengar oleh para
penggemarmu di dunia Melayu dan di kalangan bangsa asing. Sungguh batang usiamu yang penuh makna
merupakan sumbangan besar bagi Islam dan Indonesia. Bangsa ini berutang budi kepada Engkau,
Hamka!"
Menurut Rush, dalam pemikiran keislaman, Hamka mengambil jalan tengah antara kutub
Muktazilah dan kutub Asyariyah: dua mazhab teologis kelasik yang masih saja mempengaruhi cara berfikir
dunia Muslim sampai hari ini.
Sebenarnya yang ingin segera saya telusuri adalah penilaian Rush tentang karya besar Hamka
berupa Tafsir al-Azhar genap 30 juz. Karena kiriman Rush mengalami kecelakaan di jalan, saya jadi
penasaran.Lalu internet dibuka.
Ternyata memang sudah ada bagian-bagian dari karya Rush itu ditampilkan, tetapi belum
menyentuh Tafsir al-Azhar. Sekitar sepertiga dari isi karya yang tebalnya lebih sedikit dari 300 halaman itu
barulah membicarakan karya-karya Hamka yang lain, seperti novel-novel, Ayahku, dan lainnya.
Untuk menimbang pentingnya karya Rush ini, kesaksian Indonesianis Amerika, Robert W Hefner
dari Universitas Boston, diturunkan berikut ini: Dalam sejarah modern Indonesia, selain Hamka, sedikit
intelektual dan aktivis Muslim yang mendapat tempat demikian luas. Dalam karya tulis yang kaya, rinci,
dan elok ini, James Rush telah melengkapi sebuah laporan yang hidup, tajam tentang manusia yang rumit
ini. Ini adalah sumbangan penting bagi pemahaman kita tentang Indonesia dan Islam Indonesia.
Kesaksian lain ditulis oleh Eric Tagliacozzo (Universitas Kornel, Amerika): "A tour de force of
historical writing. This is an epic work that will prove very important." (Sebuah kekuatan penulisan sejarah.
Ini adalah sebuah karya hebat yang jelas sangat penting).
Dengan catatan ini, Resonansi ini ingin menggoda tuan dan puan untuk suatu ketika membaca
karya Rush tentang Hamka ini.
Kemerdekaan Bangsa dan Nasib Petani
Indonesia
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA.CO.ID, Besok pagi Rabu, tanggal 17 Agustus 2016. Hari keramat bagi usia 71 tahun
Indonesia merdeka. Selama rentang waktu itu, banyak yang sudah dicapai oleh bangsa ini, sekalipun
dengan mengorbankan lingkungan alam yang sudah sangat rusak. Kerusakan itu sudah mencapai sekitar
50 persen, sebuah kondisi yang pasti mengancam masa depan anak cucu kita. Pola pembangunan
nasional yang kapitalistik jelas mengkhianati nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi pemicu utama bagi
kerusakan lingkungan itu. Jumlah kelas menengah yang semakin membesar berdampingan dengan
kesenjangan sosial yang sangat tajam. Petani Indonesia adalah di antara korban pola pembangunan yang
antikeadilan itu. Sebuah ironi di negara agraris ini.
Di era 1940an/1950-an, di kampung saya, Sumpur Kudus, petani sudah dianggap kaya jika hasil
panennya mencapai sekitar 3.000 gantang gabah atau sekitar 1.600 liter beras per tahun, sebab musim
panen saat itu hanya sekali setahun. Jika dirupiahkan sekarang menjadi 1.600 x Rp 9.000=Rp 14.400.000.
Angka ini masih dipotong zakat harta 10 persen = Rp 1.440.000. Belum lagi upah yang harus dikeluarkan
untuk penggarapan sawah, katakanlah mencapai Rp 2.960.000. Hasil bersih per tahun hanyalah Rp 10
juta. Untuk mengetahui penghasilan per bulan, jumlah ini dibagi 12 menjadi Rp 833,333.333 (delapan ratus
tiga puluh tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah).
Bandingkan dengan gaji PNS terendah sekarang, pasti di atas Rp 2 juta per bulan. Dengan
perbandingan ini, tahulah kita bahwa nasib petani di kampung saya, mungkin tidak berbeda situasinya di
seluruh Indonesia, sudah jatuh ditimpa tangga, karena harga gabah sudah dipatok pemerintah melalui
Bulog. Petani tidak mungkin menentukan harga gabahnya sendiri. Dengan kata lain, desa yang miskin
harus menghidupi kota dengan regulasi harga gabah dari Bulog itu. Akibatnya sangat fatal, petani tidak
mungkin lagi menggantungkan hidupnya kepada kebaikan sawah, sekalipun bisa dipanen tiga kali setahun.
Ujungnya, tidak sedikit petani yang mengadu nasib di kawasan perkotaan dengan segala
ketidakpastiannya itu. Di Jawa sudah banyak lahan pertanian yang dijual, karena sama sekali tidak lagi
menjanjikan. Mantan pemilik lahan biasanya pergi ke kota atau menjadi TKI/TKW, atau tidak jarang jatuh
menjadi buruh tani dengan menggarap lahan orang lain dengan lilitan kemiskinan yang semakin parah.
Nasib petani ini tidak pernah cerah sejak bangsa ini merdeka, 71 tahun yang lalu. Tuan dan puan
jangan bermimpi untuk menjejerkan petani Indonesia dengan petani Jepang yang bisa menjadi kaya raya
karena negara sangat peduli dengan nasib mereka melalui berbagai subsidi. Di negeri ini, mendapatkan
pupuk saja tidak jarang setengah mati, harganya pun sering dipermainkan oleh para tengkulak yang
tunamoral. Jeritan para petani ini sudah diteriakkan sejak puluhan tahun yang lalu oleh para pakar
pertanian, wartawan, dan mereka yang menuntut keadilan, tetapi telinga penguasa masih saja terkunci.
Pemerintah JKW/JK pun sudah berbicara tentang swasembada pangan, tetapi tetap saja perhatian
terhadap pertanian tidak pernah sungguh-sungguh. UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5/1960
sudah berusia 56 tahun, pelaksanaannya tidak terwujud sampai hari, sementara konflik agraria sudah
merebak di berbagai kawasan.
Kamadjaja Lie, pengusaha yang akrab dengan petani tebu, pada 23 September 2014 melukiskan
nasib para petani ini: “Mereka sudah kerja keras banting tulang setahun penuh, begitu panen yang ada
utangnya bertumpuk. Makanya mereka akan berpikir mencari pekerjaan lain. Buat apa capek-capek
banting tulang.” Krtitik keras senada ini dapat dibaca di berbagai media, tetapi belum bisa menembus
perhatian pemerintah. Kamadjaja sangat prihatin dengan kondisi para petani: “Selain daya saing rendah,
hasil pertanian mereka juga terus dihantam produk-produk impor dengan harga murah. Karena itu, menjadi
sulit bagi para petani untuk mengakhiri keterpurukan.”
Demikian itulah gambaran kasar tentang nasib petani Indonesia, mungkin belum pernah membaik
sejak zaman VOC. Akankah situasi buruk ini berlanjut terus setelah kita merayakan hari kemerdekaan
yang ke-71? Semoga bagi kaum tani, negara merdeka ini bukan sebagai perpanjangan tangan VOC.

Anda mungkin juga menyukai