Koleksi Pribadi
User
[SERPIHAN PUZZLE
PEMIKIRAN SYAFI’I MA’ARIF]
[Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary of the contents
of the document. Type the abstract of the document here. The abstract is typically a short summary
of the contents of the document.]
Buta di Sini, Buta di Sana (1)
Posisi umat yang hina ini yang telah lama dimainkan pihak lain tidak akan berubah selama mereka
tidak membuka mata lebar-lebar untuk melihat dan mengoreksi keadaan diri secara jujur dan berani,
kemudian siap bangkit dengan penuh percaya diri. Ucapkan selamat tinggal kepada borok-borok sejarah
masa silam yang menyebabkan kita terkapar berkeping-keping seperti sekarang ini. Bahwa untuk
mengubah sikap mental yang sudah karatan selama berabad-abad memang sangat sukar, saya setuju.
Tetapi apakah ada cara lain untuk bangkit secara sejati untuk jadi umat yang gagah dan bermartabat
tinggi?
Penyair Iqbal sudah sejak abad ke-19 berupaya melalui bahasa puisi yang tajam bagaimana
menyadarkan umat agar bangkit dari kejatuhan melalui persatuan dan persaudaraan. Puisinya memang
dihafal dan dibaca, tetapi perubahan mendasar tidak kunjung menjadi kenyataan. Puisi tinggal puisi,
kelakuan tidak juga membaik. Pakistan yang mengklaim Iqbal sebagai miliknya, malah nyaris jagi negara
(Lih. M. Moizuddin, The World of Iqbal. Lahore: Iqbal Academy, 1982, hlm. 34).
Tengoklah apa yang sedang berlaku di Turki, sesama golongan santri sedang adu jotos, etnis
Kurdi pun diperangi, sukar sekali menyatu. “… kita merasa asing satu sama lain,” tegur Iqbal. Dedaunan itu
Kemudian layangkan pulalah pandangan pada apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak,
Afganistan, Palestina, Nigeria, dan di belahan bumi lain. Perpecahan akibat gesekan kesukuan telah
melumpuhkan hukum cinta. Apakah kita masih saja berhak meneriakkan slogan sebagai “umat yang
terbaik yang ditampilkan untuk manusia?” Umat terbaik tidak mungkin diobok-obok pihak lain penaka
binatang ternak. Itu belum lagi kita bicara tentang nasib TKI Indonesia yang menyabung nyawa di negeri
jiran, kemudian diusir karena surat-surat perjalanan tidak ada. Tidak jarang yang terkapar dalam
Tentu ada saja titik-titik terang di ranah-ranah tertentu yang tidak dihambat oleh sekte-sekte
teologis. Gerakan Dompet Dhu’afa di Indonesia, misalnya, adalah salah satu terobosan untuk memperbaiki
kondisi umat. Begitu juga gerakan Lazis Muhammadiyah dan MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat)
PP Muhammadiyah telah melakukan sesuatu yang patut dipuji bagi kepentingan masyarakat yang
terpinggirkan. Masalahnya, karena mereka yang terpinggirkan itu merupakan gelombang besar, maka
jangkauan gerakan-gerakan sosial kemanusiaan ini masih terbatas. Semestinya negara yang harus
Tetapi hampir semua negara di bumi Muslim, karena asyik bermain di panggung kekuasaan,
sering benar tidak hadir membela rakyatnya yang tertindas dan kesakitan. Gerakan musim semi Arab yang
gagal itu adalah contoh dramatis yang banyak membawa korban, sedangkan penguasa yang masih
bertahan tetap saja tidak punya kepekaan untuk melancarkan perubahan ke arah tegaknya keadilan dan
kebersamaan, karena agama penguasa itu adalah nafsu kekuasaan yang dibalut dengan baju teologis.
Jutaan pengungsi Suriah yang lari ke berbagai belahan bumi rupanya belum cukup kuat untuk
menggugah batin elite Arab untuk mengoreksi kesalahan politik mereka yang anti keadilan. Warisan
sengketa lama politik kesukuan mereka seperti tidak lagi mampu ditembus Islam sebagai agama yang
resmi mereka peluk. Puak sunni dan syi’ah sama-sama terlibat dalam dosa sejarah itu. Situasi buruk ini
akan tetap saja berlangsung selama mereka tidak patuh mengikuti logika Alquran dalam surat al-Ra’d di
atas.
Akhirnya, agar tidak “buta di sini dan tidak buta di sana,” bagunan keislaman dan keimanan kita
perlu dikoreksi dan dipertanyakan kembali, apakah sudah benar dan autentik diukur dengan benang merah
Alquran dan missi kenabian! Dan sentana sisa-sisa keikhlasan dalam beragama masih terpelihara dalam
diri kita, mestinya mengapa sulit amat mengikat kembali “dedaunan yang berserakan,” untuk meminjam
REPUBLIKA.CO.ID, Jika Anda pernah membaca Resonansi bertanggal 18 Juni 2013, di bawah
judul "Hamkas Great Story: Islam for Indonesia", tentu akan cepat menangkap ke mana arah tulisan kali
ini.
Resonansi itu adalah hasil pembicraan saya pada 8 Juni 2013 dengan Prof James R Rush di
suatu tempat di Jakarta yang pada waktu itu sudah menyiapkan sebuah karya tentang Hamka (1908-
1981), semacam biografi dan alur fikir tentang sosok manusia Indonesia multitalenta ini.
Rush adalah guru besar sejarah pada Universitas Arizona, Amerika Serikat. Karya tentang Hamka ini
semula diharapkan terbit pada 2014. Baru tahun ini menjadi kenyataan. Mengapa dimunculkan lagi karya
ini? Tentu ada pemicunya.
Pada 16 Agustus 2016 saya menerima email dari James Rush dengan penyesalan karena
karyanya dengan judul lengkap: Hamkas Great Story, A Masters Vision of Islam for Modern Indonesia
(University of Wisconsin Press, Juni 2016) telah dikirim ke alamat saya di Yogyakarta, tetapi tidak sampai.
Menurut Rush, kiriman itu telah dirusak oleh imigrasi di Indonesia, mungkin karena biaya pengiriman tidak
cukup, sesuatu yang tidak disadari oleh penulisnya sebelum itu. Tentu saja berita ini tidak sedap dibaca,
tetapi demikian itulah yang berlaku.
Karena kejadian itu, Rush menulis; "I shall hope to deliver a copy in person the next time I am in
Indonesia." Sebagai tanda terima kasih kepada Prof Rush, saya jawab begini: "It seems the Indonesian
customs have no intellectual sensitivity on Hamka, unfortunately. Im sorry to say that. Thanks a million."
Semoga karya penting ini akan segera diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebagaimana
yang telah saya sampaikan kepada penulisnya pada 8 Juni 2013. Adapun tentang imigrasi yang merusak
kiriman itu, tidak perlu dipermasalahkan karena mungkin aturannya memang demikian.
Hamka adalah ibarat sumur dalam yang jernih airnya dan tidak akan pernah habis ditimba oleh
siapa pun. Semakin ditimba, semakin pahamlah kita bahwa air sumur ini bersumber jauh di dunia hakekat.
Entah sudah berapa tesis dan disertasi tentang pemikiran tokoh yang tidak tamat sekolah dasar ini telah
ditulis oleh para peneliti.
"Berbahagialah Engkau, Hamka di alam sana. Karya tulis yang dicetak ulang dan suara engkau
yang serak-serak basah dalam kaset danYoutube masih tetap saja dibaca dan didengar oleh para
penggemarmu di dunia Melayu dan di kalangan bangsa asing. Sungguh batang usiamu yang penuh makna
merupakan sumbangan besar bagi Islam dan Indonesia. Bangsa ini berutang budi kepada Engkau,
Hamka!"
Menurut Rush, dalam pemikiran keislaman, Hamka mengambil jalan tengah antara kutub
Muktazilah dan kutub Asyariyah: dua mazhab teologis kelasik yang masih saja mempengaruhi cara berfikir
dunia Muslim sampai hari ini.
Sebenarnya yang ingin segera saya telusuri adalah penilaian Rush tentang karya besar Hamka
berupa Tafsir al-Azhar genap 30 juz. Karena kiriman Rush mengalami kecelakaan di jalan, saya jadi
penasaran.Lalu internet dibuka.
Ternyata memang sudah ada bagian-bagian dari karya Rush itu ditampilkan, tetapi belum
menyentuh Tafsir al-Azhar. Sekitar sepertiga dari isi karya yang tebalnya lebih sedikit dari 300 halaman itu
barulah membicarakan karya-karya Hamka yang lain, seperti novel-novel, Ayahku, dan lainnya.
Untuk menimbang pentingnya karya Rush ini, kesaksian Indonesianis Amerika, Robert W Hefner
dari Universitas Boston, diturunkan berikut ini: Dalam sejarah modern Indonesia, selain Hamka, sedikit
intelektual dan aktivis Muslim yang mendapat tempat demikian luas. Dalam karya tulis yang kaya, rinci,
dan elok ini, James Rush telah melengkapi sebuah laporan yang hidup, tajam tentang manusia yang rumit
ini. Ini adalah sumbangan penting bagi pemahaman kita tentang Indonesia dan Islam Indonesia.
Kesaksian lain ditulis oleh Eric Tagliacozzo (Universitas Kornel, Amerika): "A tour de force of
historical writing. This is an epic work that will prove very important." (Sebuah kekuatan penulisan sejarah.
Ini adalah sebuah karya hebat yang jelas sangat penting).
Dengan catatan ini, Resonansi ini ingin menggoda tuan dan puan untuk suatu ketika membaca
karya Rush tentang Hamka ini.
Kemerdekaan Bangsa dan Nasib Petani
Indonesia
Oleh : Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA.CO.ID, Besok pagi Rabu, tanggal 17 Agustus 2016. Hari keramat bagi usia 71 tahun
Indonesia merdeka. Selama rentang waktu itu, banyak yang sudah dicapai oleh bangsa ini, sekalipun
dengan mengorbankan lingkungan alam yang sudah sangat rusak. Kerusakan itu sudah mencapai sekitar
50 persen, sebuah kondisi yang pasti mengancam masa depan anak cucu kita. Pola pembangunan
nasional yang kapitalistik jelas mengkhianati nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi pemicu utama bagi
kerusakan lingkungan itu. Jumlah kelas menengah yang semakin membesar berdampingan dengan
kesenjangan sosial yang sangat tajam. Petani Indonesia adalah di antara korban pola pembangunan yang
antikeadilan itu. Sebuah ironi di negara agraris ini.
Di era 1940an/1950-an, di kampung saya, Sumpur Kudus, petani sudah dianggap kaya jika hasil
panennya mencapai sekitar 3.000 gantang gabah atau sekitar 1.600 liter beras per tahun, sebab musim
panen saat itu hanya sekali setahun. Jika dirupiahkan sekarang menjadi 1.600 x Rp 9.000=Rp 14.400.000.
Angka ini masih dipotong zakat harta 10 persen = Rp 1.440.000. Belum lagi upah yang harus dikeluarkan
untuk penggarapan sawah, katakanlah mencapai Rp 2.960.000. Hasil bersih per tahun hanyalah Rp 10
juta. Untuk mengetahui penghasilan per bulan, jumlah ini dibagi 12 menjadi Rp 833,333.333 (delapan ratus
tiga puluh tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga rupiah).
Bandingkan dengan gaji PNS terendah sekarang, pasti di atas Rp 2 juta per bulan. Dengan
perbandingan ini, tahulah kita bahwa nasib petani di kampung saya, mungkin tidak berbeda situasinya di
seluruh Indonesia, sudah jatuh ditimpa tangga, karena harga gabah sudah dipatok pemerintah melalui
Bulog. Petani tidak mungkin menentukan harga gabahnya sendiri. Dengan kata lain, desa yang miskin
harus menghidupi kota dengan regulasi harga gabah dari Bulog itu. Akibatnya sangat fatal, petani tidak
mungkin lagi menggantungkan hidupnya kepada kebaikan sawah, sekalipun bisa dipanen tiga kali setahun.
Ujungnya, tidak sedikit petani yang mengadu nasib di kawasan perkotaan dengan segala
ketidakpastiannya itu. Di Jawa sudah banyak lahan pertanian yang dijual, karena sama sekali tidak lagi
menjanjikan. Mantan pemilik lahan biasanya pergi ke kota atau menjadi TKI/TKW, atau tidak jarang jatuh
menjadi buruh tani dengan menggarap lahan orang lain dengan lilitan kemiskinan yang semakin parah.
Nasib petani ini tidak pernah cerah sejak bangsa ini merdeka, 71 tahun yang lalu. Tuan dan puan
jangan bermimpi untuk menjejerkan petani Indonesia dengan petani Jepang yang bisa menjadi kaya raya
karena negara sangat peduli dengan nasib mereka melalui berbagai subsidi. Di negeri ini, mendapatkan
pupuk saja tidak jarang setengah mati, harganya pun sering dipermainkan oleh para tengkulak yang
tunamoral. Jeritan para petani ini sudah diteriakkan sejak puluhan tahun yang lalu oleh para pakar
pertanian, wartawan, dan mereka yang menuntut keadilan, tetapi telinga penguasa masih saja terkunci.
Pemerintah JKW/JK pun sudah berbicara tentang swasembada pangan, tetapi tetap saja perhatian
terhadap pertanian tidak pernah sungguh-sungguh. UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5/1960
sudah berusia 56 tahun, pelaksanaannya tidak terwujud sampai hari, sementara konflik agraria sudah
merebak di berbagai kawasan.
Kamadjaja Lie, pengusaha yang akrab dengan petani tebu, pada 23 September 2014 melukiskan
nasib para petani ini: “Mereka sudah kerja keras banting tulang setahun penuh, begitu panen yang ada
utangnya bertumpuk. Makanya mereka akan berpikir mencari pekerjaan lain. Buat apa capek-capek
banting tulang.” Krtitik keras senada ini dapat dibaca di berbagai media, tetapi belum bisa menembus
perhatian pemerintah. Kamadjaja sangat prihatin dengan kondisi para petani: “Selain daya saing rendah,
hasil pertanian mereka juga terus dihantam produk-produk impor dengan harga murah. Karena itu, menjadi
sulit bagi para petani untuk mengakhiri keterpurukan.”
Demikian itulah gambaran kasar tentang nasib petani Indonesia, mungkin belum pernah membaik
sejak zaman VOC. Akankah situasi buruk ini berlanjut terus setelah kita merayakan hari kemerdekaan
yang ke-71? Semoga bagi kaum tani, negara merdeka ini bukan sebagai perpanjangan tangan VOC.