Anda di halaman 1dari 19

UNDAANG – UNDANG NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Narkotika, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika (“UU 35/2009”), adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.

Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika (“UU 5/1997”), pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Kemudian, menjawab pertanyaan Anda apakah UU 35/2009 hanya menggantikan


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (“UU 22/1997”), atau juga
menggantikan UU 5/1997. Mengenai hal itu, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 153 UU
35/2009 yang menyebutkan bahwa:

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik


Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3698); dan

b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana


tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika
Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 153 UU 35/2009 tersebut, dapat diketahui bahwa UU


35/2009 mencabut UU 22/1997, dan tidak mencabut UU 5/1997. Akan tetapi, Lampiran UU
5/1997 mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II telah dicabut, karena telah
ditetapkan sebagai Narkotika Golongan I dalam UU 35/2009.

Di dalam penjelasan umum UU 5/1997 disebutkan bahwa psikotropika terbagi menjadi


4 golongan. Dengan berlakunya UU 35/2009, UU 5/1997 beserta Lampirannya masih berlaku,
kecuali Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II.

(1)Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, bentuk pelanggaran


dan penerapan sanksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri. (2)Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB XI
PEMUSNAHAN
Pasal 53
(1) Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal : berhubungan dengan tindak pidana;
b.diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika;
c.kadaluarsa;
d.tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.
(2) Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud :
a..pada ayat (1) butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pejabat yang mewakili
departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan ditambah
pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidana tersebut, dalam waktu
tujuh hari setelah mendapat kekuatan hukum tetap;
b.pada ayat (1) butir a, khusus golongan I, wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah dilakukan penyitaan; dan
c.pada ayat (1) butir b, butir c, dab butir d dilakukan Pemerintah, orang atau badan yang
bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran psikotropika, sarana kesehatan tertentu,
serta lembaga pendidikan dan/atau lembaga penelitian dengan disaksikan oleh pejabat
departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
mendapat kepastian sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut.
(3)Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemusnahan psikotropika ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 54
(1)Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan
undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang
psikotopika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.
(3) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan jaminan keamanan dan
perlindungan dari pihak yang berwenang.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 55
Selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209), Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia dapat :
a. melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik
pembelian terselubung;
b. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan
lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut
psikotropika yang sedang dalam penyidikan;
c.menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika lainnya
yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang
berhubungan dengan tindak pidana psikotropika . Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk
paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 56
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri
sipil tertentu diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lemabaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
dibidang psikotropika;
b.melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dibidang
psikotropika;
c.meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana dibidang psikotropika;
d.melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana dibidang psikotropika;
e.melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti yang disita dalam perkara
tindak pidana dibidang psikotropika;
f.melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana dibidang
psikotropika;
g.membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan
lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika
yangsedang dalam penyidikan;
h.meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang
psikotropika;
i.menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.
(3)Hal-hal yang belum diatur dalam kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, terutama mengenai tata cara
penyidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 57
(1)Didepan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang
dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal-hal yang memberikan
kemungkinan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Pada saat pemeriksaan disidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan
terlebih dahulu kepada saksi dan/atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak
pidana psikotropika, untuk tidak menyebut identitas pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Pasal 58
Perkara psikotropika, temasuk perkara yang lebih didahulukan daripada perkara
lain untuk diajukan ke pengadilan guna pemeriksaan dan penyelesaian
secapatnya.

BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 59
(1) Barangsiapa : a.menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2); atau b.memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan
I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau c.mengedarkan psikotropika golongan I
tidakmemenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(3); atau d.mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
atau e.secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan
paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (2)Jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3)Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan korporasi, maka disamping dipidananya pelaku
tindak pidana, kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).

Pasal 60
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
(1)Barangsiapa :
a.memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b.memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)Barangsiapan menyalurkan psikotropika selaun yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat 2
dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal
14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama
3(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5)Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima
penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 61
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
(1).Barangsiapa :
a.mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16; atau
b.mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat
persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
c.melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(2) atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Barangsiapa tidak
menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada yang bertanggung jawab atas pengangkutan
ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).

Pasal 62
Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki dan/atau membawa psikotropika dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 63
(1)Barangsipa :
a.melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
b.melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24; atau
c.melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)Barangsiapa :
a.tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29; atau
b.mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c.mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); atau
d.melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 64
DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Barangsiapa :
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan
dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b.menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000.00 (dua puluh
jutrupiah).

Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat
terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 67
(1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah selesai
menjalani hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran ke luar wilayah negara
Replublik Indonesia.
(2)Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke Indonesia setelah
jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.
Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini adalah kejahatan
Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana sama dengan jika tindak
pidana tersebut dilakukan.

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN


Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63, dan
Pasal 64 dilakukan korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada
korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak
pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Pasal 71
(1) Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu,
menyuruh untuk melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana sebagai
pemufakatan jahat.
(2)Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah
sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di
bawah pengampunan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua
tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku
untuk tindak pidana tersebut.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 73
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur psikotropika masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan\atau belum diganti dengan peraturan
yang baru berdasarkan undang-undang ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
UNDANG – UNDANG OBAT KERAS

( St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 )

PASAL I Undang – undang obat keras ( St. 1937 No. 541) ditetapkan kembali sebagai
berikut : Pasal 1

(1) Yang dimaksud dalam ordonansi ini dengan :

a. “ Obat-obat keras “ yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik,
yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-
lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van
Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid, menurut ketentuan pada Pasal 2.

b.“Apoteker “ : Mereka yang sesuai dengan peraturan yang berlaku mempunyai


wewenang untuk menjalankan praktek peracikan obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker
sambil memimpin sebuah Apotek.

c.“Dokter pemimpin Apotek” : yaitu Dokter-dokter yang memimpin Apotek Dokter


sesuai dengan Pasal 49 dari “Reglement D.V. G”

d.“Dokter-dokter” : Mereka yang menjalankan praktek-praktek pengobatan dan yang


memegang wewenang menurut peraturan-peraturan yang berlaku

e.“Dokter-dokter Gigi” : Mereka yang menjalankan praktek-praktek pengobatan Gigi


dan yang memegang wewenang menurut peraturan-peraturan yang berlaku.

f..“Dokter-dokter Hewan” :

1. Mereka yang menjalankan pekerjaan Kedokteran Hewan di Indonesia dan berijazah


Dokter Hewan Belanda.

2. Mereka yang menjalankan kedokteran Hewan di Indonesia yang memegang Ijazah


dari Negara lain dan kemudian diberi izin menjalankan praktek di tanah Belanda atau dapat
diangkat sebagai Dokter Hewan pemerintah.

3. Mereka yang menjalankan pekerjaan Kedokteran Hewan di Indonesia dan berijazah


Dokter Hewan Bogor.

g. ”Pedagang-pedagang Kecil yang diakui” : Mereka yang bukan AApoteker atau


Dokter, atau Dokter Hewan yang sesuai dengan Pasal 6

memperoleh izin dan berwenang untuk menyerahkan obat-obat keras tertentuh.

h.“Pedagang-pedagang Besar yang diakui” : Mereka yanmg bukan Apoteker yang sesuai
dengan Pasal 7 berwenang untuk menyerahkan segala macam obat-obat keras sesuai dengan
Ordonansi ini.
i.“Menyerahkan” : Termasuk penjualan, menawarkan untuk penjualan dan penjualan
keliling.

j.“Secretarist van St” : Secretarist van staat, Kepala D.V.D. jakartak.

k.“Obat-obatan G” : oabta-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar obat-
obatan berbahaya (gevaarlijk; daftar G)

l.“Obatan-obatan W” : Obat-obat keras yang oleh Sec.V.St. didaftar pada daftar


peringatan

(1)Dalam Ordonansi ini nyang dimaksudkan dengan H.P.B. pada daerah-daerah tanpa
tugas semacam ini, yaitu seorang petugas yang ditunjuk oleh Residen.

Pasal 2

(1). Sec. V. St. mempunyai wewenang untuk menetapkan bahan-bahan sebagai obat-
obat keras.

(2). Penetapan ini dijalankan denganb menempatkan bahan-bahan itu pada suatu daftar
G ataudaftar W.

(3). Daftar G dan W beserta tambahan-tambahannya diumumkan oleh Sec. V. St. dalam
Javase-Courant.

(4). Penetapan ini dianggap telah berlaku untuk/Jawa dan madura mulai hari yang ke 30
dan untuk daerah-daerah lain di Indonesia mulai hari yang ke 100 setelah pengumuman dari
daftar-daftar dan tambahan-tambahan di javase Courant.

Pasal 3

(1). Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari
bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan
pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar
yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.

(2). Penyerahan dari bahan-bahan G, yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi,
Dokter Hewan dilarang, larantgan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada
Pedagang – pedagang Besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-
dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada
Pasal 7 ayat 5

(3). Larang-larang yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut diatas tidak berlaku untuk
penyerahan obat-obat sebagaimana dimaksudkan Pasal 49 ayat 3 dan 4 dan Pasal 51 dari
“Reglement D.V.D.”
(4). Sec.V.St. dapat menetapkan bahwa sesuatu peraturan sebagaimana dimaksudkan
pada ayat 2, jika berhubungan dengan penyerahan obat-obata G yang tertentu yang ditunjukan
olehnya harus ikut ditandatangani oleh seorang petugas khusus yang ditunjuk. Jika tanda
tangan petugas ini tidak terdapat maka penyerahan obat-obatan G itu dilarang.

Pasal 4

(1). Penyerahan, persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dan
bahan-bahan W, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukan
pemakaian pribadi, adalah dilarang, larangan ini tidak berlaku untuk Pedagang-pedagang Besar
yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter, yang memimpin Apotek, Dokter hewan dan
Pedagang kecil yang diakui di dalam daerah mereka yang resmi.

(2). Peraturan larangan ini tidak berlaku terhadap penyerahan obat-obatan


sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 ayat 3 dan 4 Pasal 51 dari “Reglement DVG”.

(3). Peraturan larangan ini juga tidak berlaku untuk penyerahan-penyerahan


berdasarkan Pasal 6 Ayat 6 dan pasal 5 Ayat 3 dari Undang-undang Obat Keras ini.

Pasal 5

(1). Pemasukan, Pengeluaran, Pengangkutan, atau suruh mengangkut bahan-bahan G


dilarang, terkecuali dalam jumlah yang sedemikian rupa sehingga secara normal dapat diterima
bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi.

(2).Laranagn ini tidak berlaku jika tindakan ini dijalankan oleh pemerintah atau
Pedagang-pedagang besar yang diakui atau pengangkutan-pengangkutan oleh Apoteker-
apoteker, Dokter-dokter yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan.

(3). Dalam soal-soal khsus, Inspektur Farmasi D.V.G. di jakarta dapat memberikan
kelonggaran penuh atau sebagian terhadap larangan ini.

Pasal 6

(1). Mereka yang ingin menjad pedagang kecil diakui harus memasukkan permohonan
izin tertlis kepada Pemerintah setempat. Baik permintaan untuk izin maupun izinnya sendiri
dibebaskan dari meterai. Izin ini berisi nama yang bersangkutan dan tidak boleh dipindahkan
kepada orang lain dan hanya berlaku untuk tempat atau daerah yang tertera dalam izin
tersebut . izin ini batal dengan meninggalnya pemegang izin atau dengan kepindahannya dari
daerah dimana izin berlaku. Jika izin diberikan kepada rechtspersoon, maka izin batal pada saat
batalnya rechtspersoon dari tempat atau daerah, dimana izin berlaku. Sebelum memutuskan
permintaan permohonan, pemerintah setempat mohon nasehat dari kepala Dinas Kesehatan
dari wailayah dimana yang bersangktan hendak menjual obat-obat W.
(2). Izin yang dimaksudkan pada Ayat yang pertama dapat ditolak dengan diberitahukan
alasannya, atau dapat diikat dengan ketentuan-ketentuan tertentu atau dapat diberikan untuk
hanya beberapa obat-obat W yang tertentu.

(3). Izin yang telah diberikan oleh kepala Pemerintah setempat setelah diperoleh saran-
saran dari kepala Kesehatan dalam ayat 1 dapat dicabut dengan suatu keputusan di mana
dinyatakan alas an-alasannya, atau dapat diikat dengan ketentuan tertentu atau suatu jangka
waktu yang tertentu atau dapat dibatasi kepada hanya obat-obat W yang tertentu.

(4). Kepala Pemerintahan setempat mengirim kepada Sec.V.St. suatu salinan dan semua
pemberian izin, pencabutan izin, dan Pembatasan izin.

(5). Sec. V. St. memegang wewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan umum


yang harus ditaati oleh pemegang-pemegang izin sebagai akibat pencabutan izin mereka.
Peraturan ini berlaku setelah diumumkan dalam Javase Courant.

(6). Pada pembatalan, pencabutan atau pembatasan dari izin-izin maka(bekas)


pemegang izin atau wakil mereka yan berwenang untuk menyerahkanobat-obat yang
bersangkutan yang masih ada dalam persediaan mereka dalam jangka waktu 3 bulan kepada
seorang Apoteker, Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan, Pedagang Besar yang diakui atau dalam
daerah kerjanya kepada seorang Pedagang kecil yang diakui. Jangka waktu tersebut dalam
keadaan khusus dapat diperpanjang oleh kepala Pemerintah setempat dalam Ayat 1. (7).
Setelah jangka waktu yang dimaksudkan dalam ayat 6 obat-obat tersebut harus diserahkan
untuk dihancurkan kepada seorang petugas yang ditentukan oleh Secretaris Van Staat.

Pasal 7

(1). Mereka yang inin menjadi Pedagang Besar yang diakui, harus memasukan
permohonan tertulis untuk surat kuasa dari Sec. V. St. surat kuasa ini berisi nama yang
bersangkutan dan tidak boleh dipindahkan kepada orang lain. Kuasa ini batal dengan
meninggalnya pemegang surat kuasa atau ia meninggalkan Indonesia atau jika surat kuasa ini
diberikan kepada suatu rechtspersoon maka surat kuasapun batal pada saat batalnya
rechtspersoon atau berpindahnya tempat kedudukan yang sebenarnya dari rechtspersoon ke
tempat lain di luar Indonesia.

(2). Kuasa yang dimaksudkan pada Ayat 1 dapat ditolak dengan diberikan alas an-
alasannya.

(3). Kuasa yang telah diberikan dapat dicabut oleh Sec.V.St. jika pemegang surat kuasa
melanggar ketentuan-ketentuan dari Ordonansi ini atau, tidak mentaati sewajarnya syarat-
syarat dala Ayat berikut.

(4). Surat kuas berlaku untuk semua bahan-bahan yang ditetapkan oleh Ordonansi dan
tidak dikenakan pembatasan-pembatasan lain dari pada syarat-syarat yang sama untuk semua
pemegang surat kuasa yang ditentukan oleh Sec.V.St. syarat-syarat ini baru berlaku setelah
diumumkan dalam Javase Courant.
(5). Pada pembatalan atau pencabtan dari surat-surat kuasa maka bekas pemegang izin
atau wakil mereka berwenang untuk menyerahkan obat-obat yang bersangkutan yang masih
ada dalam persediaan mereka dalam jangka waktu waktu 3 bulan kepada seorang Apoteker ,
atau Pedagang Besar yang diakui. Jangka waktu tersebut dalam keadaan khusus dapat
diperpanjang oleh Secretaris Van Staat.

(6). Setelah jangka waktu yang dimaksudkan dalam Ayat 5 maka obat tersebut harus
diserhkan untuk dihancurkan kepada seorang yang ditentukan oleh Secretaris Van Staat.

Pasal 8

(1). Pada penyerahan kepada konsumen dari obat-obat W oleh penjual harus diserhkan suatu
peringatan tertlis dengan bentuk, warna, etiket, dan cara mwenempelkan diatas bungkusan
khusus atas petunjuk dari Sec. V. St. dan berlainan untuk setiap jenis obat.

(2). Sec.V.St. berwenang untuk menentukan bahwa penyerahan kepada para konsumen dari
oabta-obat G dan W hanya dapat dilaksanakan dalam jumlah yang tertentu.

(3). Peraturan-peraturan yang tersebut pada Ayat 1 dan 2 baru berlaku setelah diumumkan
dalam Javase Courant.

Pasal 9

(1). Mereka yang mempunyai persediaan bahan G dan W untuk menyerahkan pada saat
tersebut pada pasal 2 Ayat 4 dan berdasarkan Ordonansi ini tidak berwenang atau dinayatakn
tidak berwenang untuk penyerahan bahan – bahan ini diwajibkan dalam jangka waktu 3 bulan
setelah saat tersebut memberitahukan persediaan ini kepada Pemerintah setempat di dalam
resort mana obat-obat ini terdapat bersama daftar jumlah terperinci dari obat-obat itu.

(2). Berhubung dengan jumlah yang didaftarkan, maka mereka yang tersebut dalam ayat 1
mempunyai wewenang untuk menyerahkan bahan-bahan ini dalam jangka waktu 6 bulan
setelah saat yang dimaksudkan dalam Pasal 2 Ayat 4 kepada orang-orang yang berhak
menerima penyerahan ini.

(3). Setelah berlakunya jangka waktu dalam Ayat 2 maka bahan-bahan yang telah didaftar jika
tidak diserahkan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat yang sama, harus diserahkan
untuk dihancurkan kepada petugas yang ditentukan oleh Secretaris van Staat.

Pasal 10

(1). Ditetapkan suatu “Komisi Obat-obatan” yang mempunyai tugas memberikan keterangan
kepada Sec.V.St. mengenai soal-soal yang berhubungan dengan Ordonansi ini.

(2). Komisi tersebut terdiri dari setinggi-tingginya 9 orang anggota, termasuk Inspektur Farmasi
dari D.V.G. di jakarta yang duduk secara fungsi sebagai Ketua. Anggota-anggota lain ditetapkan
oleh Hoge Vertegenwoordigervan de Kroon di Indonesia atas petunjuk Sec. V. St.
Pasal 11

(1). Peraturan-peraturan selanjutnya yang diperlukan untuk melaksanakan Ordonansi ini


dikeluarkan dengan Verrordening Pemerintah.

(2). Dalam soal-soal khusus Hoge V.V.d.Kr. di Indonesia dapat memberikan pembebasan
terhadap peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Ordonansi ini.

Pasal 12

(1). Hukuman penjara setinggi-tingginya 6 bulan atau denda uang setinggi-tingginya


5.000 gulden dikenakan kepada : a. a.Mereka yang melanggar peraturan-peraturan larangan
yang dimaksudkan dalam Pasal 3, 4 dan 5. b. b.Pedagang kecil yang diakui yang berdagang
berlawanan dengan Ayat-ayat khusus yang ditentukan pada surat izinnya atau bertentangan
dengan peraturan umum yang dimaksud dalam Pasal 6 Ayat 5. c. c.Pedagang Besar yang diakui
yang berdagang bertentangan dengan syarat-syarat yang dimaksud kan dalam Pasl 7 Ayat 4. d.
d.Merka yang berdagang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pada Pasal 8 Ayat 1. e.
e.Merka yang berdagang bertentangan dengan Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
Sec.V.St. sesuai dengan Pasal 8 Ayat 2. f. f.Mereka yang tidak mentaati ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 6 Ayat 7; Pasal 7 Ayat 6 atau Pasal 9 Ayat 1 dan 3.

(2). Obat-obat keras dengan mana atau terhadap mana dilakukan pelanggaran dapat
dinyatakan disita.

(3). Jika tindakan-tindakan yang dapat dihukum dijalankan oleh seorang Pedagang kecil
atau Pedagang Besar yang diakui maka sebagai tambahan perdagangan dalam obat keras dapat
dilarang untuk jangka waktu setinggi-tinggnya 2 tahun.

(4). Tindakan-tindakan yang dapat dihukum dalam Pasal ini dianggap sebagai
pelanggaran.

Pasal 13

(1). Jika suatu tindakan yang dapat dihukum dalam Ordonansi ini dilakukan oleh
rechtspersoon maka diadakan penuntutan hukuman dan hukuman dijatuhkan kepada anggota-
anggota pengurus yang berkedudukan diIndonesia atau jika tidak berada ditempat, terhadap
wakil-wakil dari rechtspersoon tersebut di Indonesia.

(2). Ketentuan kepada ayat 1 berlaku dengan cara yang sama terhadap rechtspersoon
yang bertindak sebagai pengurus atau wakil dari rechtspersoon yang lain.

Pasal 14

(1). Penyelidikan terhadap pelanggaran-pelanggaran dari Ordonansi ini terkecuali


kepada petugas-petugas yang pada umumnya melakukan penyelidikan dari tindakan-tindakan
yang dapat dihukum, juga ditugaskan kepada pegawai yang diserahkan tugas atas pengawasan
dari Kesehatan Rakyat, dan kepada pegawai – pegawai dari Jawatan Bea dan Cukai.
Pasal 15

(1). Orang-orang yang diserahkan tugas penyelidikan dari tindakan-tindakan yang dapat
dihukum menurut Ordonansi ini mempunyai wewenang untuk mengadakan pemeriksaan-
pemeriksaan rumah, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 dari Ordonansi tanggal 20 Agustus
1865 (St.No. 84), ditambah dengan Ordonansi tanggal 9 Agustus 1874 ( St. No. 201) dan
Ordonansi tanggal 10 Oktober 1876 (St. No. 262) sedangkan juga berlaku ketentuan Pasal 2, 3
dan 4 Ordonenasi yang disebut pertama.

(2). Orang-orang yang dimaksudkan dalam Ayat 1, terlepas dari wewenang bersama
dengan mereka yang menyertai mereka, setiap waktu bebas memasuki semua tempat di mana
diduga terdapat obat-obat keras yang dimaksudkan dengan Ordonansi ini.

(3). Jika mereka ditolak untuk memasuki tempat itu, mereka dapat menjalankan tugas
mereka dengan banuan alat-alat Pemerintah yang berwajib.

Pasal 16

(1). Ordonansi ini dapat ditunjuk dengan nama “ Undang-Undang (Ordonansi) obat-obat
keras 1949 “. Ordonansi ini juga dapat berlaku terhadap orang-orang di bawah kekuasaan
Hukum dari Hakim, yang mengadili berdasarkan Ordonansi 18 Pebruari 1932 (St. No.80).

PASAL II

(1). Obat-obat keras yang ditunjuk, surat-surat kuasa yang diberikan dan peraturan-
peraturan, syarat-syarat atau tindakan-tindakan lain yang ditetapkan oleh Kepala D.v.G.
sebelum saat berlakunya Ordonansi ini, untuk melaksankan “Ordonansi Obat-obat Keras”, jika
belum dicabut atau belum batal dianggap telah ditunjuk , diberikan atau ditetapkan oleh Sec. V.
St. sesuai dengan peraturan-peraturan dari Ordonansi ini.

(2). Mereka yang pada saat berlakunya Ordonansi Obat Keras ini memiliki obat-obat
keras tanpa wewenang sesuai dengan Pasal 3 dan 4, harus menyerahkan obat-obat ini dalam
jangka waktu 1 bulan setelah berlakunya Ordonansi ini kepada orang-orang yang mempunyai
wewenang. (3). Mereka kepada siapa saat berlakunya Ordonansi ini telah dikirimi obat-obat
keras, yang menurut Pasal 5 pemasukannya, pengeluarannya, pengangkutannya, atau
menyuruh mengangkutnya dilarang, dapat berhubungan dengan Inspektur Farmasi dari D.V.G.
di jakarta, yang berwenang untuk mengeluarkan berdasarkan pendangannya suatu izin
pemasukan khusus (jika telah tiba pengeluaran dari Luar Negeri) atau izin untuk pengeluaran
atau untuk pengangkutan atau untuk menyuruh mengangkutnya di dalam Wilayah Indonesia.

PASAL III

Ordonansi ini mulai berlaku satu hari setelah pengumumannya. Dan agar tidak ada
orang menganggap tidak mengetahuinya, Ordonansi ini akan dimasukkan dalam St. dari
Indonesia
UNDANG – UNDANG PEMBERIAN OBAT TANPA RESEP

Sesuai Permenkes 35/2014,; Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep
atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas
terbatas yang sesuai.

Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada


masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(PP 51/2009)

Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan


Kefarmasian (“PP Farmasi”) mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi,
distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi.[Pasal 2 ayat (1) PP Farmasi]

Yang dimaksud dengan sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan
kosmetika.[Pasal 1 angka 2 PP Farmasi]

Jadi, PP Farmasi ini lebih mengatur kepada pekerjaan dan tenaga kefarmasian yang akan
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sediaan farmasi, termasuk obat.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 919/Menkes/Per/X/1993


Tahun 1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep (“Permenkes
919/1993”)mengatur secara khusus tentang obat yang tidak perlu menggunakan resep dokter.

Isi dari Pasal 29 PP Farmasi 51/2009 tersebut sebagai berikut:”Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan Peraturan Menteri.”

Pasal 29 PP Farmasi ini mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut dari Pasal 27 PP Farmasi
diatur dalam peraturan menteri. Isi Pasal 27 PP Farmasi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:“Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan
fungsinya.”

Mengenai Pertanyaan Apotik dan Apoteker yg menjual Obat Tanpa Resep Dokter.Yang
telah diatur dalam PP Farmasi adalah bahwa dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan
psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[Pasal 24 huruf c PP Farmasi]

Selain itu, penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh
Apoteker.[Pasal 21 ayat (2) PP Farmasi]Sedangkan sebagaimana telah disebutkan di atas,
Permenkes 919/1993 mengatur secara khusus tentang obat yang tidak perlu menggunakan
resep dokter.

Haruskah Obat Keras Menggunakan Resep?

Mengenai apa yang dimaksud dengan obat keras, berdasarkan Pedoman Penggunaan Obat
Bebas Dan Bebas Terbatas yang disusun oleh Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, obat keras adalah obat
yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter.

Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi
berwarna hitam. Contohnya Asam Mefenamat.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, PP Farmasi mengatur bahwa dalam melakukan


Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan
obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.[Pasal 24 huruf c PP Farmasi]

Ini berarti bahwa obat keras tidak bisa dibeli tanpa adanya resep dokter.

Hal ini juga dapat dilihat dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G (“Kepmenkes
2396/1986”). Dalam peraturan ini dapat dilihat bahwa obat keras hanya dapat diberikan
dengan resep dokter, yaitu dalam Pasal 2 Kepmenkes 2396/1986:

(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan secara
jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan mencantumkan
kalimat “Harus dengan resep dokter” yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.
(3) Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blister, strip, aluminium/selofan, vial, ampul,
tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah tersebut dikemas dalam bungkus luar.

Kemudian mengenai obat yang dapat diserahkan tanpa resep, dalam Permenkes 919/1993,
diatur mengenai obat tersebut harus memenuhi kriteria:[Pasal 2 Permenkes 919/1993]

a.Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun
dan orang tua di atas 65 tahun.
b.Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
c.Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
d.Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
e.Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
pengobatan sendiri.
Jadi, pada dasarnya untuk dapat membeli obat keras, dibutuhkan resep dari dokter.

Perlu diketahui, tidak hanya obat keras yang memerlukan resep dokter. Prekursor
farmasi obat keras juga hanya dapat diberikan atas resep dokter. Ini diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, Dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi (“Permenkes
3/2015”).

Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau
produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine,
pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau
Potasium Permanganat.[Pasal 1 angka 3 Permenkes 3/2015]

Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya
dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep
dokter.[Pasal 22 ayat (3) Permenkes 3/2015]

Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik
sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut
keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/
MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :

1. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing – masing dua bulan.
2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA
disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
3. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :

a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).


b. Undang-Undang No. 40 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Selain itu, dalam hal memberikan obat, sebagai pelaku usaha, apoteker salah satunya dilarang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.[Pasal 8 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen]
Jika pelaku usaha melanggar kewajiban ini, maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).[Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen]
“TUGAS UNDANG – UNDANG FARMASI”

“UNDANG – UNDANG NARKOTIKA,PSIKOTROPIKA,DAFTAR G &PEMBERIAN OBAT TANPA RESEP”

DI SUSUN OLEH

NAMA : Mutiara Natasya M F

KELAS : AMBON

NPM :4820118106

PRODI :FARMASI

SEMESTER :III (TIGA)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

STIKES MALUKU HUSADA

KAIRATU

2019

Anda mungkin juga menyukai