Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Bethesda Elrika Simanjuntak (Kelompok 5)

NIM : 170903147 (67)

MATKUL : Etika Administrasi Publik (A)

Merdeka dari Korupsi, Bisakah?

Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar
biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem
perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan
tatanan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja
banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bahkan sudah
dianggap sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap dibiarkan berlangsung maka cepat atau
lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini.

Korupsi menurut UU No. 31/1999 & UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 2 : Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau oranglain atau suatu korporasi yang dapat
merugikaan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara maksimal 20 tahun
dan denda maksimal Rp 1 milyar.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
setiap orang, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau
sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya seperti memberi atau
menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam
jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/ penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi pun berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat.
Penyebab terjadinya korupsi bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi, yaitu
rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan gaya
hidup yang konsumtif, budaya memberi tips, budaya malu yang rendah, sanksi hukum lemah
yang tidak mampu menimbulkan efek jera, penerapan hukum yang tidak konsisten dari
institusi penegak hukum, dan kurangnya pengawasan hukum.

Korupsi harus diberantas, baik dengan cara preventif maupun represif. Penanganan kasus
korupsi harus mampu memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Tidak hanya
demikian, sebagai warga Indonesia kita wajib memiliki budaya malu yang tinggi agar segala
tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dapat diminimalisir.

Adapun 5 cara preventif untuk mengatasi korupsi yaitu : Pertama, memilih pemimpin yang
amanah. Implementasinya dengan lelang jabatan. Tanpa sogok sana dan sogok sini, dan
dilaksanakan secara transparan. Lelang jabatan harus dilakukan secara transparan dan
akuntabel. Masyarakat harus ikut mengawasi agar akuntabilitasnya dapat dilaksanakan secara
terbuka. Jangan main tunjuk tanpa melihat kompetensi. Kuncinya demokratis, transparan, dan
akuntabel.

Kedua, optimalkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Optimalisasi


LHKPN melalui PPATK sangat strategis, dan bersifat preventif. Jika berdasarkan laporan
tersebut harta penyelenggara negara sudah melebihi angka normal, maka LHKPN tersebut
sudah harus diumumkan dan ditindaklanjuti dari mana uang ada sebanyak itu. Jangan sampai
menunggu pejabat tersebut melakukan korupsi yang lebih besar lagi.

Ketiga, gerakan nasional transparansi. Dengan transparansi nasional, maka semua masyarakat
dengan bebas dapat melakukan pengawasan dengan menggunakan HP-nya, dan dengan HP-
nya masyarakat dapat melaporkan kepada petugas pengawasan, petugas hukum, termasuk
KPK. Gerakan nasional transparasi ini dapat melalui proses penyelenggaraan pendidikan,
seperti dengan memberikan mata pelajaran atau mata kuliah “pendidikan anti korupsi’ atau
“pendidikan moral dan karakter”, “kantin kejujuran” dan sebagainya. Sehingga dari gerakan
ini, masyarakat akan terpengaruh untuk tidak melakukan korupsi karena sudah ditanamkan
melalui hal-hal kecil seperti “kantin kejujuran” tadi.

Keempat, mengumumkan anggaran secara terbuka. Untuk mendukung gerakan transparansi


nasional, setiap awal tahun anggaran, semua satuan kerja berkewajiban untuk mengumumkan
kepada masyarakat tentang program kegiatannya di media massa, atau dipampang di papan
pengumuman di depan kantor. Dengan tranparansi ini, masyarakat akan mengatahui uang
rakyat tersebut digunakan untuk apa saja, dan dengan cara apa.

Kelima, pelibatan komponen masyarakat dalam perencanaan. Proses penyusunan anggaran


harus lebih terbuka lagi. Selain DPR, sebagai wakil rakyat secara formal, perlu dilibatkan
wakil rakyat secara informal, misalnya organisasi massa yang ada di tingkat pusat sebagai
mitra kementerian, seperti Dewan Pendidikan Nasional (DPN) sebagai mitra Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga komponen masyarakat sebagai mitra
Kementerian lain.

Apabila korupsi sudah terlanjur dilakukan, maka ada cara represif. Represif adalah upaya
penindakan hukum untuk menyeret koruptor ke pengadilan. Adapun cara-cara represif yaitu :
Pertama, perlu penayangan wajah koruptor di televisi, media cetak, facebook, youtube,
email agar orang-orang yang korupsi atau keluarga mereka merasa malu disorot di depan
umum.

Kedua, pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat. Kekayaan pejabat harus dipantau oleh
lembaga khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan terhadap kekayaan pejabat ini
bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah dan lain lain. Ini
bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus segera ditelusuri.

Penegakan hukum para koruptor perlu diberi hukuman seberat-beratnya yang membuat
mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap terhambat dengan sikap para
penegak hukum itu sendiri yang tidak serius menegakkan hukum dan undang undang. Para
pelaku hukum malah memanfaatkan hukum itu sendiri untuk mencari keuntungan pribadi,
ujungnya juga pada tindakan korupsi. Alih alih muncullah istilah mafia hukum, yakni mereka
yng diharapkan mampu menegakkan mampu menegakkan masalah hukum malah mencari
hidup dari penegakan hukum tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/3-strategi-
pemberantasan-korupsi

Anda mungkin juga menyukai