3. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia
berdasarkan Depkes RI (2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri
dari : pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59
tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia
resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia
potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial
ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.
4. Karakteristik Lansia
Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60
tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan),
kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi
(Maryam dkk, 2008).
5. Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho
2000 dalam Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1) Tipe Arif Bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
2) Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3) Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
4) Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
5) Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta
tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
6. Proses Penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan
suatu fenomena yang kompleks multidimensional yang dapat diobservasi
di dalam satu sel dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem
(Stanley, 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan
yang maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan
berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya,
tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan.
Itulah yang dikatakan proses penuaan (Maryam dkk, 2008).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis
yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang. Menua
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual)
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti serta
mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap
cedera, termasuk adanya infeksi.
Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai
dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot,
susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi
sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa
kondisi kesehatan seseorang mulai menurun. Setiap orang memiliki
fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal
pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya
fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun.
Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi
tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai
dengan bertambahnya usia (Mubarak, 2009).
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik
secara biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang,
maka kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat
mengakibat kan kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher, 2009).
Oleh karena itu, perlu perlu membantu individu lansia untuk menjaga
harkat dan otonomi maksimal meskipun dalam keadaan kehilangan fisik,
sosial dan psikologis.
7. Teori-Teori Proses Penuaan
Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan
dengan proses penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial,
dan teori spiritual.
1) Teori Biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow
theory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
Teori Genetik dan Mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara
genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai
akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-
molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami
mutasi.
Immunology Slow Theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif
dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh
yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Teori Stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-
sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan
usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen
bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini
menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.
Teori Rantai Silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel
yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas
kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
2) Teori Psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya
penurunan dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan
kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka
sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi
pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan
merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi
yang berbeda dari stimulus yang ada.
3) Teori Sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan,
yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan
diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori
kesinambungan (continuity theory), teori perkembangan
(development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification
theory).
Teori Interaksi Sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada
suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang
sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang,
yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk
mengikuti perintah.
Teori Penarikan Diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia
secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
Teori Aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan
aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting
dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.
Teori Kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat
merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal
ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan
seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi
lansia.
Teori Perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia
terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif
ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan
bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang
seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
Teori Stratifikasi Usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang
dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk
mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro.
Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan
keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya
adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia
secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks
dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok
etnik.
4) Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu
tentang arti kehidupan.
8. Tugas Perkembangan Lansia
Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang
terjadi seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada
tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan
penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak
dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal.
Adanya penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan atau
dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah : beradaptasi
terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap
masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian
pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan
kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan
anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas
hidup (Potter & Perry, 2009).
3. Etiologi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik
(idiopatik). Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output
atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi :
1) Genetik : Respon neurologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau
transport Na.
2) Obesitas : terkait dengan level insulin yang tinggi yang
mengakibatkan tekanan darah meningkat.
3) Stress Lingkungan.
4) Hilangnya Elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua
serta pelebaran pembuluh darah.
4. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis
di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan
rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini
cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan
structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung
dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2006).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi
palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi
oleh Cuff Sphygmomanometer (Darmojo, 2008).
Menurunnya tonus vaskuler merangsang saraf simpatis yang
diteruskan ke sel jugularis. Dari sel jugularis ini bisa meningkatkan
tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan
mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan
Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada angiotensinogen II
berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah, sehingga
terjadi kenaikan tekanan darah.Selain itu juga dapat meningkatkan
hormone aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut
akan berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan peningkatan
tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ-organ
seperti jantung. ( Suyono, Slamet. 2004 ).
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah :
1) Peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg 2.
2) Sakit kepala
3) Pusing / migraine
4) Rasa berat ditengkuk
5) Penyempitan pembuluh darah
6) Sukar tidur
7) Lemah dan lelah
8) Nokturia
9) Azotemia
10) Sulit bernafas saat beraktivitas
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
1) Pemeriksaan yang segera seperti :
Darah rutin (Hematokrit/Hemoglobin) : untuk mengkaji hubungan
dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan factor resiko seperti: hipokoagulabilitas,
anemia.
Blood Unit Nitrogen/kreatinin : memberikan informasi tentang
perfusi / fungsi ginjal.
Glukosa : Hiperglikemi (Diabetes Melitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran Kadar
ketokolamin (meningkatkan hipertensi).
Kalium serum : Hipokalemia dapat megindikasikan adanya
aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi
diuretik.
Kalsium serum : Peningkatan kadar kalsium serum dapat
menyebabkan hipertensi
Kolesterol dan trigliserid serum : Peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/ adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
Pemeriksaan tiroid : Hipertiroidisme dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi
Kadar aldosteron urin/serum : untuk mengkaji aldosteronisme
primer (penyebab)
Urinalisa: Darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
Asam urat : Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko
hipertensi
Steroid urin : Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya
hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner dengan
menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
Foto dada: apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana) untuk menunjukan destruksi kalsifikasi
pada area katup, pembesaran jantung.
2) Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama) :
IVP : Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti
penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti: Batu
ginjal,
perbaikan ginjal.
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal
tab, CAT scan.
(USG) untuk melihat struktur gunjal dilaksanakan sesuai kondisi
klinis pasien
8. Komplikasi
Efek pada organ :
1) Otak
Pemekaran pembuluh darah
Perdarahan
Kematian sel otak : stroke
2) Ginjal
Malam banyak kencing
Kerusakan sel ginjal
Gagal ginjal
3) Jantung
Membesar
Sesak nafas (Dyspnoe)
Cepat lelah
Gagal jantung
9. Penatalaksanaan
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan
pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui
kegiatan pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dapat pasien
guna mengetahui berbagai permasalahan yang ada (Aziz Alimul. 2009 : h 85).
Adapun pengkajian pada pasien hipertensi menurut Doengoes, et al
(2009) adalah
1) Aktivitas istirahat
Gejala :
Kelelahan umum, kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
Tanda :
Frekuensi jantung meningkat
Perubahan trauma jantung (takipnea)
2) Sirkulasi
Gejala :
Riwayat hipertensi ateros klerosis, penyakit jantung koroner / katup
dan penyakit screbiovakuolar, episode palpitasi, perpirasi.
Tanda :
Kenaikan TD (pengukuran serial dan kenaikan TD diperlukan untuk
menaikkan diagnosis
Hipotensi postural (mungkin berhubungan dengan regimen otak)
Nada denyutan jelas dari karotis, juguralis, radialis
Denyut apical : Pm, kemungkinan bergeser dan sangat kuat
Frekuensi/irama : Tarikardia berbagai distrimia
Bunyi, jantung terdengar S2 pada dasar S3 (CHF dini)
S4 (pengerasan vertikel kiri / hipertrofi vertical kiri).
3) Integritas ego
Gejala :
Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi eufuria atau jarah
kronis (dapat mengidentifikasi kerusakan serebral ) faktor-faktor
inulhfel, hubungan keuangan yang berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda :
Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontiniu perhatian,
tangisan yang meledak, gerak tangan empeti otot muka tegang
(khususnya sekitar mata) gerakkan fisik cepat, pernafasan
mengelam peningkatan pola bicara.
4) Eliminasi
Gejala :
Gangguan ginjal sakit ini atau yang lalu
5) Makanan/Cairan
Gejala :
Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi
garam, tinggi lemak, tinggi kolestrol, mual, muntah, perubahan
berat badan (meningkatkan/menurun) riwayat pengguna diuretik.
Tanda :
Berat badan normal atau obesitas
Adanya edema (mungkin umum atau tertentu)
Kongestiva
Glikosuria (hampir 10% hipertensi adalah diabetik).
6) Neurosensori
Gejala :
Keluhan pening/pusing
Berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan
menghilang secara spontan setelah beberapa jam)
Episode kebas dan kelemahan pada satu sisi tubuh
Gangguan penglihatan
Episode epistaksis
Tanda :
Status mental perubahan keterjagaan orientasi, pola isi bicara, efek,
proses fikir atau memori.
7) Nyeri/Ketidak nyamanan
Gejala :
Angma (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung
Nyeri hilang timbul pada tungkai/klaudikasi
Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
Nyeri abdomen / massa
8) Pernapasan
Gejala :
Dispenea yang berkaitan dengan aktivitas kerja
Riwayat merokok, batuk dengan / tanpa seputum
Tanda :
Distres respirasi
Bunyi nafas tambahan
Sianosis
9) Keamanan
Gejala :
Gangguan koordinas / cara berjalan
Hipotesia pastural
Tanda :
Frekuensi jantung meningkat
Perubahan trauma jantung (takipnea)
10) Pembelajaran/Penyebab
Gejala :
Faktor resiko keluarga : hipertensi, aterosporosis, penyakit jantung,
DM
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang,
keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial. (Aziz Alimul, 2009 : h 92)
Nanda menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik
tentang respon individu. Keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan
aktual atau potensial. Sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk
mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat.
Semua diagnosa keperawatan harus didukung oleh data. Dimana menurut
Nanda diartikan sebagai defensial arakteristik definisi karakteristik tersebut
dinamakan tanda dan gejala suatu yang dapat diobservasi dan gejala sesuai
yang dirasakan oleh klien.
Menurut Doengoes, et al (2006), diagnosa keperawatan yang mungkin
ditemukan pada pasien dengan hipertensi adalah :
1) Nyeri (akut), sakit kepala b/d peningkatan tekanan vaskuler selebral d/d
melaporkan tentang nyeri berdenyut yang terletak pada regiu
suboksipital. Terjadi pada saat bangun dan hilang secara spontan setelah
beberapa waktu
2) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi rencana
pengobatan b/d kurang pengetahuan / daya ingat d/d menyatakan
masalah, meminta informasi.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi (Perencanaan) adalah proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menghilangkan atau
mengurangi masalah pasien (Aziz Alimul. 2009 : h 106)
Perencanaan keperawatan pada pasien dengan hipertensi menurut
(Dongoes et al 2007) adalah :
1) Diagnosa Keperawatan 1
Nyeri (akut), sakit kepala b/d peningkatan tekanan vaskuler selebral d/d
melaporkan tentang nyeri berdenyut yang terletak pada regium
suboksipital. Terjadi pada saat bangun dan hilang secara spontan setelah
beberapa waktu.
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital
Kaji skala nyeri
Anjurkan teknik distraksi dan relaksasi
Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
Anjurkan pasien diet makanan rendah kalori, rendah garam
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
Rasionalisasi :
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
Untuk mengehtahui itensitas skala nyeri
Untuk mengurangi rasa nyeri
Untuk mempercepat proses penyembuhan
Untuk menstabilkan tekanan darah pada pasien
Untuk membantu dalam proses mengurangi rasa nyeri
2) Diagnosa keperawatan 2
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi rencana
pengobatan b/d pengetahuan / daya ingatt, menerima informasi
Intervensi :
Kaji tingkat pengetahuan pasien
Berikan penkes kepada pasien tentang penyakit hipertensi
Melakukan evaluasi :
- Tanyakan kembali tentang definisi hipertensi
- Tanyakan kembali tentang klasifikasi hipertensi
- Tanyakan kembali tentang etiologi hipertensi
- Tanyakan kemabali tentang tanda dan gejala hipertensi
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai
strategis keperawatan (tindakan keperawatan) yaitu telah direncanakan. (Aziz
Alimuml. 2008 : h 11)
Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan pencegahan
penyakit. Pemulihan kesehatan dan mempasilitas koping perencanaan
tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik. Jika klien
mempunyai keinginan untuk berpatisipasi dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan selama tahap pelaksanaan perawat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih tindakan perawatan yang paling sesuai
dengan kebutuhan klien tindakan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap terakhir proses keperawatan dengan cara menilai
sejauh mana tujuan diri rencana keperawatan tercapai atau tidak. (Aziz
Alimul. 2009 : h 12)
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai
tujuan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan
klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan
sehingga perawat dapat mengambil keputusan :
1) Mengakhiri tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang
ditetapkan)
2) Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mencapai tujuan) (lyer, at al, 2008)
C. Konsep Penyakit
A. PENGERTIAN
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetic dan
klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat. ( Price and Wilson, 2000 )
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi( Smeltzer and
Bare,2000)
B. ETIOLOGI
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
a. Faktor genetic
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu
predisposisi / kecenderungan genetic ke arah terjadinya DM tipe 1.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-
olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa adalah sebagai berikut :
1. Diabetes mellitus
a. DM tipe 1 (tergantung insulin)
b. DM tipe 2 (tidak tergantung insulin)
- Gemuk
- Tidak gemuk
c. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom
tertentu
- Penyakit pancreas
- Hormonal
- Obat atau bahan kimia
- Kelainan reseptor
- kelainan genital dan lain-lain
2. Toleransi glukosa terganggu
3. Diabetes Gestasional
(Suyono, et al 2001)
D. PATHOFISIOLOGI DAN PATHWAYS
Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin, asupan glukosa / produksi
glukosa yang melebihi kebutuhan kalori akan di simpan sebagai glikogen
dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses glikogenesis ini mencegah
hiperglikemia ( kadar glukosa darah > 110 mg / dl ). Jika terdapat defisit
insulin, empat perubahan metabolic terjadi menimbulkan hiperglikemi.
Empat perubahan itu adalah :
1. Transport glukosa yang melintasi membran sel berkurang
2. Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam
darah
3. Glikolisis meningkat sehingga dadangan glikogen berkurang dan
glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi
kebutuhan.
4. Glukoneogenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang
tercurah ke dalam darah dari pemecahan asam amino dan lemak
(Long ,1996 )
Gejala klasik :
Poliuri
Polidipsi
Polifagi
Penurunan Berat Badan
Lemah
Kesemutan, rasa baal
Bisul / luka yang lama tidak sembuh
Keluhan impotensi pada laki-laki
Keputihan
Infeksi saluran kemih
(Suyono, et al 2001)
F. KOMPLIKASI
1. Akut
a. Ketoasidosis diabetik
b. Hipoglikemi
c. Koma non ketotik hiperglikemi hiperosmolar
d. Efek Somogyi ( penurunan kadar glukosa darah pada malam hari
diikuti peningkatan rebound pada pagi hari )
e. Fenomena fajar / down phenomenon ( hiperglikemi pada pagi hari
antara jam 5-9 pagi yang tampaknya disebabkan peningkatan
sikardian kadar glukosa pada pagi hari )
2. Komplikasi jangka panjang
a. Makroangiopati
Penyakit arteri koroner ( aterosklerosis )
Penyakit vaskuler perifer
Stroke
b. Mikroangiopati
Retinopati
Nefropati
Neuropati diabetik
(Price and Wilson, 2000)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan kadar serum glukosa
a. Gula darah puasa : glukosa lebih dari 120 mg/dl pada 2x tes
b. Gula darah 2 jam pp : 200 mg / dl
c. Gula darah sewaktu : lebih dari 200 mg / dl
2. Tes toleransi glukosa
Nilai darah diagnostik : kurang dari 140 mg/dl dan hasil 2 jam serta
satu nilai lain lebih dari 200 mg/ dlsetelah beban glukosa 75 gr
3. HbA1C
> 8% mengindikasikan DM yang tidak terkontrol
(Carpenito, 2011)
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktifitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadi
komplikasi vaskuler serta neuropatik.Tujuan terapetik pada setiap tipe DM
adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadi hipoglikemia
dan gangguan serius pada pola aktifitas pasien. Ada 5 komponen dalam
penatalaksanaan DM yaitu diet, latihan,
pemantauan, terapi dan pendidikan kesehatan.
1. Penatalaksanaan diet
Prinsip umum :diet dan pengndalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan DM.
3. Pemantauan
Pemantauan glukosa dan keton secara mandiri untuk deteksi dan
pencegahan hipoglikemi serta hiperglikemia.
4. Terapi
a. Insulin
Dosis yang diperlukan ditentukan oleh kadar glukosa darah
5. Pendidikan kesehatan
Informasi yang harus diajarkan pada pasien antara lain :
2. Sirkulasi ;
Adanya riwayat hipertensi, MCI
3. Integritas ego;
Stres, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan
dengan kondisi
4. Eliminasi ;
Poliuri, nokturia, disuria, sulit brkemih, ISK baru atau berulang
Urin encer, pucat, kuning, atau berkabut dan berbau bila ada infeksi
5. Makanan / cairan ;
Anoreksia, mual, muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan masukan
glukosa / karbohidrat
Kulit kering bersisik, turgor kulit jelek, bau halitosis / manis, bau buah
(nafas aseton ).
6. Neurosensori :
Pusing, pening, sakit kepala
7. Nyeri / kenyamanan ;
Abdomen tegang/nyeri, wajah meringis, palpitasi
8. Pernafasan ;
Batuk, dan ada purulen, jika terjadi infeksi
9. Keamanan ;
Kulit kering, gatal, ulkus kulit, kulit rusak, lesi, ulserasi, menurunnya
kekuatan umum / rentang gerak, parestesia/ paralysis otot, termasuk
otot-otot pernafasan,( jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam)
,demam, diaphoresis
10. Seksualitas ;
Cenderung infeksi pada vagina.
Kriteria hasil:
BB stabil
BB mengalami penambahan ke arah normal
Intervensi :
Mandiri :
Timbang BB setiap hari sesuai indikasi
Tentukan program diet dan pola makan klien
Auskultasi bising usus, catat adanay nyeri , mual muntah
Berikan makanan oral yang mengandung nutrient dan elektrolit
sesuai indikasi
Observasi tanda – tanda hipoglikemi
Kolaborasi :
Pantau kadar gula darah secara berkala
Kolaborasi ahli diet untuk menentukan diet pasien
Pemberian insulin / obat anti diabetik
Kriteria Hasil :
Mandiri
Kaji riwayat muntah dan diuresis berlebihan
Monitor TTV, catat adanya perubahan TD ortostatik
Kaji frekunsi, kwalitas dan dan pola pernafasan, catat adnya
penggunaan otot Bantu, periode apnea, sianosis,
Kaji suhu, kelembapan, warna kulit
Monitor nadi perifer, turgor kulit dan membran mukosa
Monitor intake dan output cairan, catat BJ urin
Kolaborasi
Pemeriksaan Hb, Ht, BUN, Na, K, Gula Darah
Pemberian terapi cairan yang sesuai (Nacl, RL, Albumin)
Mandiri
Observasi tanda – tanda infeksi seperti panas, kemerahan,
keluar nanah, sputum purulen
Tingkatkan upaya pencegahan dengan cucui tanganyang baik
pada semua orang yang berhubungan dengan klien, termasuk
klien sendiri
Pertahankan tehnik aseptic pada setiap prosedur invasif
Lakukan perawatan perineal dengan baikdan anjurkan klien
wanita untuk membersihkan daerah perineal dengan dari depan
ke belakang
Berikan perawatan kulit secara teratur, masase daerah yang
tertekan , jaga kulit tetap kering
Auskultasi bunyi nafas dan atur posisi tidur semi fowler
Lakukan perubahan posisi dan anjurkan klien untuk batuk
efektif / nafas dalam bila klien sadar / kooperatif
Bantu klien melakukan oral hygiene
Anjurkan makan dan minum adekuat
Kolaborasi
Pemeriksaan kultur dan sensitivity test
Pemberian antibiotik yang sesuai
Intervensi :
Mandiri :
Orientasikan klien terhadap orang, tempat dan waktu
Pantau TTV dan status mental
Pelihara aktifitas rutin klien sekonsisten mungkin, dorong untuk
melakukan kegiatan sehari-hari
Jadwalkan intervensi keperawatan yang tidak mengganggu
istirahat klien
Lindungi dari cedera, pasang pagar tempat tidur, dan bantal pada
pagar
Evaluasi lapang pandang penglihatan
Kaji keluhan parestesia, nyeri / kehilangan sensori pada kaki,
kaji danya ulkus, kehilangan denyut nadi perifer
Bantu klien dalam ambulasi / perubahan posisi
Kolaborasi
Pemeriksaan laboratorium : gula darah, osmolalitas darah,
Hb,Ht, ureum kreatinin
Pemberian obat-obatan yang sesuai
Kriteria hasil :
Mandiri
Diskusikan topik utama seperti tanda dan gejala, penyebab,
proses penyakit serta komplikasiyang sesuai dengan tipe DM
klien
Diskusikan rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat, dan
manajemen diet
Buat jadwal aktifitas yang teratur, kaitkan dengan penggunaan
insulin
Identifikasi gejal hipoglikemi, jelaskan penyebab dan
penanganannya
Anjurkan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan bebas
Diskusiakn tentang pentingnya kontro untuk pemeriksaan gula
darah, program pengobatan dan diet secara teratur
Diskusikan tentang perlunya program latihan
Berikan informasi tentang perawatan sehari-hari missal
perawatan kaki
DAFTAR PUSTAKA