Anda di halaman 1dari 19

1.

Si Bangau dan Si Parto | Balas Budi Si Burung Bangau

Dahulu kala di suatu desa di tepi hutan, hidup seorang pemuda bernama Si Parto. Kerjanya mengambil
kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan.

Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat
sesuatu yang menggelepar di atas hujan.

Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Si
Parto segera melepaskan perangkap itu.

Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Si Parto beberapa kali sebelum terbang ke
angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya di rumah, Si Parto segera menyalakan tungku
api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya
dipenuhi dengan hujan. “Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku,”
ujar Si Parto. “Nona mau pergi kemana sebenarnya ?”, Tanya Si Parto. “Aku bermaksud mengunjungi
temanku, tetapi karena hujan turun dengan lebat, aku jadi tersesat.” “Bolehkah aku menginap di sini
malam ini ?” “Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan.”, kata Si Parto.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap”. Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan
memasak makanan yang enak.

Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Si Parto berpikir bahwa gadis itu
akan segera pergi, ia merasa kesepian. Hujan masih turun dengan lebatnya. “Tinggallah disini sampai
hujan reda.” Setelah lima hari berlalu hujan mereda. Gadis itu berkata kepada Si Parto, “Jadikan aku
sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini.” Si Parto merasa bahagia menerima
permintaan itu. “Mulai hari ini panggillah aku Parti”, ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Si Parto, Parti
mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Parti meminta suaminya, Si Parto,
membelikannya benang karena ia ingin menenun.

Parti mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat
tempat Parti menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Parti keluar.
Kain tenunannya sudah selesai. “Ini tenunannya Pak. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan
harga mahal. Si Parto sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup
mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. “Berkat kamu, aku
mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota
menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. “Baiklah akan aku buatkan”, ujar Parti. Kain itu selesai
pada hari keempat setelah Parti menenun. Tetapi tampak Parti tidak sehat, dan tubuhnya menjadi
kurus. Parti meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.
Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Si
Parto akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Si Parto pada istrinya. “Baiklah akan ku buatkan lagi,
tetapi hanya satu helai ya”, kata Parti.

Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Si Parto
berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam
ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain.
Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang
diperhatikan oleh Si Parto, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Parti. “Akhirnya kau
melihatnya juga”, ujar Parti.

“Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong”, untuk membalas budi aku
berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini,” ujar Parti. “Berarti sudah saatnya aku berpisah
denganmu”, lanjut Parti. “Maafkan aku, kumohon jangan pergi,” kata Si Parto. Parti akhirnya berubah
kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng keluar dari rumah
ke angkasa. Tinggallah Si Parto sendiri yang menyesali perbuatannya.

2. Ikan Emas Ajaib dan Si Nenek Serakah

Dahulu kala, di suatu desa terpencil, tinggalah sepasang kakek dan nenek yang miskin. Pekerjaan si
kakek adalah mencari ikan di laut. Meski hampir setiap hari kakek pergi menjala ikan, namun hasil yang
didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Bahkan tidak jarang si kakek pulang dengan tangan
hampa, namun itu semua dijalani si kakek dengan sabar.

Suatu hari ketika si kakek sedang menjala ikan, tiba-tiba jalanya terasa sangat berat. Seperti ada ikan
raksasa yang tersangkut di jalanya. “Ah, pasti ikan yang sangat besar,” pikir si kakek. Dengan sekuat
tenaga si kakek menarik jalanya. Namun ternyata tidak ada apapun kecuali seekor ikan kecil yang
tersangkut di jalanya. Rupanya ikan kecil itu bukan ikan biasa, badannya berkilau seperti emas dan bisa
berbicara seperti layaknya manusia.

“Kakek, tolong lepaskan aku. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu!” kata si ikan emas. Si kakek
berpikir sejenak, lalu katanya, “aku tidak memerlukan apapun darimu, tapi aku akan melepaskanmu.
Pergilah!”. Kakek melepaskan ikan emas itu kembali ke laut, lalu dia pun kembali pulang. Sesampainya di
rumah, nenek menanyakan hasil tangkapan kakek.

“Hari ini aku hanya mendapatkan satu ekor ikan emas, dan itupun sudah aku lepas kembali,” kata kakek,
“aku yakin kalau itu adalah ikan ajaib, karena dia bisa berbicara. Katanya dia akan memberiku imbalan
jika aku mau melepaskannya.”

“Lalu apa yang kau minta,” tanya nenek. “Tidak ada,” kata kakek.

“Oh, alangkah bodohnya!” seru nenek.


“Setidaknya kau bisa meminta roti untuk kita makan. Pergilah dan minta padanya!” Maka dengan segan
kakek kembali ke tepi pantai dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…

Kabulkan keinginan kami!

Tiba-tiba si ikan emas muncul di permukaan laut. “Apa yang kau inginkan, kek?” katanya. “Istriku marah
padaku, berikan aku roti untuk makan malam, maka dia akan memaafkanku!” pinta si kakek. “Pulanglah!
Aku telah mengirimkan roti yang banyak ke rumahmu.” kata si ikan.

Maka pulanglah si kakek. Setibanya di rumah, didapatinya meja makan telah penuh dengan roti. Tapi
istrinya masih tampak marah padanya, katanya: “Kita telah punya banyak roti, tapi meja kita rusak, aku
tidak bisa meletakkan roti-roti ini di meja.

Pergilah kembali ke laut, dan mintalah ikan ajaib memberikan kita meja yang baru!” kata nenek.
Terpaksa si kakek kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…

Kabulkan keinginan kami!

“Uuuups!” ikan emas muncul, “Apa lagi yang kau inginkan, kek?” “Nenek menyuruhku memintamu agar
memberikan kami meja yang baru,” pinta kakek.

“Baiklah,” kata ikan. “Kau boleh memiliki meja baru juga.”

Si kakek pun kembali pulang. Belum lagi menginjak halaman, si nenek sudah menghadangnya. “Pergilah
lagi! Mintalah pada si ikan emas untuk membuatkan kita sebuah rumah baru. Kita tidak bisa tinggal di
sini terus, rumah ini sudah hampir roboh. ”Maka si kakek pun kembali ke tepi laut dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…

Kabulkan keinginan kami!

Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?”
“Buatkanlah kami rumah baru!” pinta kakek, “istriku sangat marah, dia tidak ingin tinggal di rumah kami
yang lama karena rumah itu sudah hampir roboh.” “Tenanglah kek! Pulanglah! Keinginanmu sudah
kukabulkan.”
Kakek pun pulang. Sesampainya di rumah, dilihatnya bahwa rumahnya telah menjadi baru. Rumah yang
indah dan terbuat dari kayu yang kuat. Dan di depan pintu rumah itu, nenek sedang menunggunya
dengan wajah yang tampak jauh lebih marah dari sebelumnya. “Dasar kakek bodoh! Jangan kira aku
akan merasa puas hanya dengan membuatkanku rumah baru ini. Pergilah kembali, dan mintalah pada
ikan emas itu bahwa aku tidak mau menjadi istri nelayan. Aku ingin menjadi nyonya bangsawan.
Sehingga orang lain akan menuruti keinginanku dan menghormatiku!” Untuk kesekian kalinya, si kakek
kembali ke tepi laut dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…

Kabulkan keinginan kami!

Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?” “Istriku
tidak bisa membuatku tenang. Dia bahkan semakin marah. Katanya dia sudah lelah menjadi istri nelayan
dan ingin menjadi nyonya bangsawan” pinta kakek. “Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah
dikabulkan!” kata ikan emas.

Alangkah terkejutnya si kakek ketika kembali ternyata kini rumahnya telah berubah menjadi sebuah
rumah yang megah. Terbuat dari batu yang kuat, tiga lantai tingginya, dengan banyak sekali pelayan di
dalamnya. Si kakek melihat istrinya sedang duduk di sebuah kursi tinggi sibuk memberi perintah kepada
para pelayan.

“Hallooo istriku,” sapa si kakek. “Betapa tidak sopannya,” kata si nenek. “Berani sekali kau mengaku
sebagai suamiku. Pelayan! Bawa dia ke gudang dan beri dia 40 cambukan!” Segera saja beberapa
pelayan menyeret si kakek ke gudang dan mencambuknya sampai si kakek hampir tidak bisa berdiri. Hari
berikutnya istrinya memerintahkan kakek untuk bekerja sebagai tukang kebun. Tugasnya adalah
menyapu halaman dan merawat kebun. “Dasar perempuan jahat!” pikir si kakek. “Aku sudah
memberikan dia keberuntungan tapi dia bahkan tidak mau mengakuiku sebagai suaminya.”

Lama kelamaan si nenek bosan menjadi nyonya bangsawan, maka dia kembali memanggil si kakek: “Hai
lelaki tua, pergilah kembali kepada ikan emasmu dan katakan ini padanya: aku tidak mau lagi menjadi
nyonya bangsawan, aku mau menjadi ratu.” Maka kembalilah si kakek ke tepi laut dan berseru”

Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…

Kabulkan keinginan kami!

Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?” “Istriku
semakin keterlaluan. Dia tidak ingin lagi menjadi nyonya bangsawan, tapi ingin menjadi ratu.”
“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata ikan emas.

Sesampainya kakek di tempat dulu rumahnya berdiri, kini tampak olehnya sebuah istana beratap emas
dengan para penjaga berlalu lalang. Istrinya yang kini berpakainan layaknya seorang ratu berdiri di
balkon dikelilingi para jendral dan gubernur. Dan begitu dia mengangkat tangannya, drum akan berbunyi
diiringi musik dan para tentara akan bersorak sorai.

Setelah sekian lama, si nenek kembali bosan menjadi seorang ratu. Maka dia memerintahkan para
jendral untuk menemukan si kakek dan membawanya ke hadapannya. Seluruh istana sibuk mencari si
kakek. Akhirnya mereka menemukan kakek di kebun dan membawanya menghadap ratu.

“Dengar lelaki tua! Kau harus pergi menemui ikan emasmu! Katakan padanya bahwa aku tidak mau lagi
menjadi ratu. Aku mau menjadi dewi laut sehingga semua laut dan ikan-ikan di seluruh dunia menuruti
perintahku.”

Kakek terkejut mendengar permintaan istrinya, dia mencoba menolaknya. Tapi apa daya nyawanya
adalah taruhannya, maka dia terpaksa kembali ke tepi laut dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…

Kabulkan keinginan kami!

Kali ini si ikan emas tidak muncul di hadapannya. Kakek mencoba memanggil lagi, namun si ikan emas
tetap tidak mau muncul di hadapannya. Dia mencoba memanggil untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba laut
mulai bergolak dan bergemuruh. Dan ketika mulai mereda muncullah si ikan emas, “apa yang kau
inginkan lagi, kakek?”

“Istriku benar-benar telah menjadi gila,” kata kakek. “Dia tidak mau lagi menjadi ratu tapi ingin menjadi
dewi laut yang bisa mengatur lautan dan memerintah semua ikan.”

Si ikan emas terdiam dan tanpa mengatakan apapun dia kembali menghilang ke dalam laut. Si kakek pun
terpaksa kembali pulang. Dia hampir tidak percaya pada penglihatannya ketika menyadari bahwa istana
yang megah dan semua isinya telah hilang. Kini di tempat itu, berdiri sebuah gubuk reot yang dulu
ditinggalinya. Dan di dalamnya duduklah si nenek dengan pakaiannya yang compang-camping. Mereka
kembali hidup seperti dulu. Kakek kembali melaut. Namun seberapa kerasnya pun dia bekerja. hasil
yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.

3. Kisah Burung Pipit Berlidah Pendek

Pada Zaman dahulu kala, di suatu desa kecil di Negara Jepang tinggalah sepasang kakek dan nenek.
Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang
penggerutu dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka
menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang. Mereka tidak dikaruniai
anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi
nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan
membuka kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain,
berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.

Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah
menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di
atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume,
sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras nenek. Saat si nenek
kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya, Suzume terbang menghampiri nenek. Dia
membungkuk memberi hormat lalu kicaunya: “Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya
pikir itu adalah makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit……!”

Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah menyukai
Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek
untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek.

Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong lidahnya
hingga putus. “Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini kamu memakan
bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!” Suzume hanya bisa
menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.

Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume untuk
mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah
dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah
membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya: “Kemana Suzume? Kau
pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak tahu dimana dia. Aku tidak
melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya
dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat menyayanginya.” Kakek tentu saja tidak percaya
dengan perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah
mengusir Suzume dan memotong lidahnya.

Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek. “Kenapa kau begitu kejam?” kata kakek. Dia
sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak
bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita. “Betapa malangnya Suzume. Dia
pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa berkicau lagi,” pikir kakek. Dia bertekad
untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.

Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia pergi ke
bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai
memanggilnya:
“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,

Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi sejak pagi.
Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai memanggil lagi:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,

Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi hormat
pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah Suzume telah tumbuh
lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk mampir ke rumahnya. Ternyata
Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah rumah seperti layaknya manusia.

“Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek. Kakek mengikuti Suzume memasuki rumpunan bambu.
Rumah Suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya
sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya
sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman
yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada
seluruh anggota keluarga Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah
merawat Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam
terhadap Suzume.

Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan berterima kasih
atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek menginap satu atau dua
malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek
berjanji akan sering-sering mengunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang Suzume memaksa kakek
untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil
dan satu lagi besar. Kakek memilih kotak kecil. “Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan
kuat jika harus membawa kotak yang besar.”

Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali lagi
membungkukan kepalanya memberi hormat.

Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya: “Kemana saja seharian? Kenapa begitu malam baru
pulang?” tanyanya. Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak yang didapatnya dari
Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume. “Baiklah!” kata nenek. “Sekarang
cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa
terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang
sangat indah. Kakek mengucap syukur berkali-kali atas anugerah itu. Tapi nenek yang serakah malah
memarahi kakek karena tidak memilih kotak yang besar. “Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak
ini apalagi kotak yang besar,” teriaknya.
Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi dengan
penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati bukit dan masuk
ke dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun mulai memanggil:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah nenek. Tanpa
membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata:

“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang kemarin
ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.” Suzume memberikan kotak yang diminta, dan tanpa
mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu. Kotak itu sangat berat. Dengan
terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi ribuan
batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin
mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya.
Wuuuuush……!!! Dari dalam kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek
yang langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau
putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang dialaminya. “Itulah hukuman bagi orang yang serakah,”
kata kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.” Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi
mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua hidup
bahagia selamanya.

4. Monyet dan Babi Hutan

Di suatu hutan rimba hidup seekor Babi hutan yang pemurung. Ia mempunyai tetangga seekor Monyet
yang mempunyai sifat sebaliknya. Monyet itu periang, banyak memiliki sahabat, serta pintar memberi
nasihat. Karena senantiasa sedih dan murung, suatu hari Babi hutan pergi ke rumah Monyet.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh, akhirnya Babi hutan sampai di rumah Monyet.
Saat itu terlihat Monyet sedang berbaring sambil bersiul di serambi rumahnya. Babi hutan berkata,
“Monyet, kudengar kau binatang paling bijaksana di rimba belantara. Benarkah itu?” Sahut monyet,
“Kata warga rimba, memang demikian.”, kata Babi Hutan. “Bolehkah aku meminta nasihat padamu?”
kata Babi hutan lebih lanjut.

“Oh silahkan, memangnya kamu ada masalah apa, aku lihat kamu baik-baik saja”, kata Monyet. “Begini,
Monyet. Aku tidak pernah merasa bahagia dalam hidup ini. Apa gerangan sebabnya?” Apakah aku
terkena kutukan dari dewa? Tanya Babi hutan kemudian.
Monyet berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Ohoooo…. Babi hutan, kamu tidak terkena kutukan. Aku
ada nasihat kepadamu, pergilah cari pohon Bonga. Buahnya berwarna hitam. Petiklah buahnya, lalu
makanlah. Dengan memakan sebuah Bonga saja kau akan merasakan bahagia seumur hidupmu.”

“Buah Bonga? Aku baru mendengar sekarang. Di mana terdapat pohon buah itu?” Semudah itukah
untuk merasakan bahagia?” Tanya Babi hutan. “Sudahlah, ikuti saja petunjukku.” Jawab Monyet. “Pergi
saja kamu dan bertanyalah kepada penduduk hutan ini dimana tempatnya pohon Bonga berada”, kata
Monyet kemudian. Babi hutan menjawab, “ Baiklah Monyet, akan aku ikuti nasihatmu.”

Esoknya Babi hutan bergegas pergi berkelana di hutan belantara untuk mencari buah kebahagiaan itu.
Kesana kemari babi hutan mencari buah itu, dia bertanya kepada para penghuni hutan untuk minta tahu
dimana gerangan pohon Bonga berada.

Pada suatu sore menjelang malam di tepi danau Babi hutan bertemu dengan Kerbau. “Hai Kerbau yang
baik hati, tahukah kamu dimana pohon Bonga berada?” Tanya Babi hutan. “Pohon Bonga?” aku belum
pernah mendengarnya.” Jawab Kerbau. Mereka berdua terlibat pembicaraan mengenai pohon Bonga.
Sampai akhirnya matahari hampir tenggelam Kerbau mengajak Babi hutan untuk bermalan di rumahnya.
Akhirnya malam itu Babi hutan menginap di rumah Kerbau, sampai larut malam mereka berdiskusi
tentang pohon Bonga sampai tanpa terasa keduanya tertidur pulas.

Pagi-pagi sekali Babi hutan segera berpamitan kepada Kerbau untuk melanjutkan perjalanannya mencari
pohon Bonga. Demikianlah seterusnya tanpa menyerah Babi hutan berkelana mencari keberadaan
pohon Bonga.

Sampai tak terasa sudah satu tahun Babi hutan berkelana dan akhirnya ia tiba di rimba tempat ia lahir.
Monyet menyambut kedatangan babi hutan, yang kini wajahnya segar dan ceria. Tanya monyet,
“sudahkah kau temukan buah Bonga?”

Babi hutan menjawab, “belum, Monyet. Tetapi, aku sudah menemukan kebahagiaan itu. Kini aku sangsi,
benarkah ada pohon Bonga itu? Seluruh pelosok dunia telah kujelajahi. Tidak seorang pun tahu tentang
buah ajaib itu.”

Sambil menyungging senyum, menjawablah monyet, “Benar dugaanmu, Babi hutan. Buah Bonga hanya
karanganku belaka. Tentu saja kau tidak bisa menemukannya. Tetapi ngomong-ngomong, bagaimana
cara kau memperoleh kebahagiaan itu?”

Babi hutan menjawab, “Aku menikmati perjalanan itu. Di mana mana aku menjalin persahabatan. Setiap
hari ada hal hal baru yang kulihat. Nah, ternyata dengan banyak bersahabat dan melihat luasnya dunia,
hati kita menjadi bahagia.” Monyet mengangguk angguk mengiyakan. SEKIAN.
5. Si Kancil dan Sekawanan Gajah

Dongeng Si Kancil: Suatu hari di Hutan Pakis, Si Kancil tengah berjalan-jalan di tepian danau. Sambil
bersiul dan berdendang keasyikan sambil makan buah mentimun kesukaannya. “Blusukkkk krik krik
krik….byuuurrr!!!!” Sang Kancil tiba-tiba terperosok ke dalam sebuah sumur tua tatkala sedang berada
di tepi hutan saat dalam perjalanan menuju Pantai Samas. Kabut masih tebal saat itu sehingga sumur
tersebut tidak terlihat oleh Sang Kancil. Rupanya itu adalah sumur peninggalan Tarzan yang telah lama
meninggalkan tempat itu untuk menjadi Tarzan Kota.

“Aduh biyuuungg, kakiku sakit buangeeet!” teriak Sang Kancil yang tubuhnya hanya kelihatan kepalanya
karena terendam air — sambil mulutnya nyengir-nyengir menahan sakit. Meskipun dirinya terjatuh di
air, karena air sumur tak seberapa dalam maka kakinya terasa nyeri yang hebat akibat benturan. Lalu
dengan terpincang-pincang Sang Kancil berenang menepi dan duduk di batu besar yang menyembul di
tepi sumur.

Sang Kancil termenung memikirkan nasibnya. Sumur ini ada di tepi hutan. Jarang sekali ada binatang
yang berani bepergian sampai ke tepi hutan. Paling-paling sekawanan Gajah yang sedang menjajaki rute
baru, kawanan Babi Hutan yang hendak mencari jagung atau Serigala yang sedang mencari-cari
makanan tambahan karena sudah bosan dengan makanan yang ada di dalam hutan. Itu artinya dirinya
harus lama menunggu sampai ada binatang yang menemukan dirinya di dalam sumur.

dongeng binatang dongeng si kancil dan gajahSetelah tiga hari tiga malam terjebak, pada hari keempat
barulah muncul sekawanan Babi Hutan yang melongok dari bibir sumur. Mereka kehausan dan sedang
mencari-cari sumber air minum yang memang jarang ada di tepi hutan itu. Sang Kancil berteriak
kegirangan melihat Babi Hutan.

“Woooiiii beib, bantu aku keluar dari sini duuuuuuung!!!” teriaknya sekuat tenaga.

Tapi alih-alih menolong Sang Kancil, para Babi Hutan malahan lari terbirit-birit mendengar suara
menggelegar dari dasar sumur. Dikiranya ada monster penunggu sumur yang akan memakan mereka.

Sang Kancil kesal bukan main. Dianggapnya para Babi Hutan itu sungguh terlalu takut pada bayangan
monster dalam pikiran mereka sendiri. Mereka terlalu percaya pada cerita-cerita monster sehingga apa
saja yang aneh dan menakutkan langsung dianggap monster.

Pada hari kelima muncul lagi seekor binatang lain. Kali ini datang seekor keledai yang baru saja
meloloskan diri dari majikannya. Dengan hati riang senang-senang dia bersiul-siul menyusuri tepi hutan.
Sampailah dia di bibir sumur tempat Sang Kancil terperosok. Tentu saja dia haus dan penasaran, apakah
bisa minum dari sumur tersebut. Belajar dari pengalaman ketakutan para Babi Hutan, kali ini Sang Kancil
tidak berteriak. Dia hanya menyapa pelan pada Keledai yang tengah melongokkan kepala.

“Wahai teman, Tolonglah aku. Aku terperosok di dalam sumur tanpa bisa keluar lagi” kata Sang Kancil.
Keledai melihat sejenak ke dalam sumur dan terheran-heran mendengar suara dari dalam sumur.
Kemudian dia mengamat-amati dasar sumur, barulah dilihatnya Sang Kancil yang sedang duduk lemas di
atas batu. Tiba-tiba Keledai tertawa terbahak-bahak. Si Keledai tertawa terpingkal-pingkal sampai-
sampai berguling-guling di atas tanah.

“Hohohoho…bukankah kamu itu Kancil yang terkenal cerdik itu??. Gunakan otakmu yang katanya hebat
itu! Atau kecerdasanmu itu berita bohong belaka sehingga kamu masih butuh bantuanku? Uruslah
sendiri nasibmu!. Aku tak punya banyak waktu untuk menolongmu!. Lagipula waktu aku jadi peliharaan
majikanku, tak ada seorang pun yang peduli. Kini giliranmu dicuekin….Hahahahahaha. Sorry yah!” kata
Keledai sambil berlalu dengan masih ketawa ngikik.

Sang Kancil kembali ditinggal seorang diri di dalam sumur. Pada hari keenam muncullah sekelompok
orang membawa pedati yang beristirahat di tempat itu. Mereka mendirikan tenda-tenda dan mulai
memasak. Nampaknya mereka adalah kafilah pedagang yang sedang mampir beristirahat.

Saat terdengar suara-suara orang berteriak-teriak gaduh karena berhasil menangkap seekor keledai
yang lepas, tahulah Sang Kancil bahwa keledai yang kemarin menertawakan dirinya itu masih
berkeliaran di sekitar sumur dan tertangkap kembali oleh tuannya. Sungguh malang nasibnya.

Sang Kancil menyadari bahwa dirinya juga harus menghindar dari tangkapan mereka. Maka cepat-
cepatlah dia masuk ke sebuah rongga yang ada di dinding sumur dan bersembunyi di situ karena takut
ditangkap dan dijadikan sate kancil yang tersohor kegurihannya.

Untunglah para pedagang itu jarang melongok ke dalam sumur sehingga tidak memergoki Sang Kancil.
Mereka hanya sesekali saja pergi ke sumur itu untuk mengambil air dengan ember yang diikat dengan
tali. Air itu dipergunakan untuk memasak, mencuci dan mandi. Keesokan harinya mereka telah
meninggalkan tempat itu. Dari suara-suara mereka, tahulah Sang Kancil bahwa para pedagang itu
membuang ember bertali di dekat sumur karena dianggapnya sudah usang.

Pada hari ketujuh muncullah sekelompok gajah yang melintas di dekat sumur. Mereka meneliti dasar
sumur karena kehausan. Tak sengaja terlihat oleh mereka Sang Kancil tengah tertidur di sana. Para
Gajah itu saling berbisik membicarakan binatang yang tengah terbaring di dasar sumur. Kemudian
mereka berteriak memanggil Sang Kancil.

Sang Kancil kaget oleh teriakan para Gajah dan terbangun. Dilihatnya ada beberapa kepala gajah
menyembul di bibir sumur. Diam-diam dia sedang berpikir keras cara minta bantuan mereka untuk
keluar dari sumur. Akhirnya dia memutuskan untuk membantu para Gajah, baru kemudian minta tolong
pada mereka. Memberi dulu baru kemudian menerima pertolongan.
“Wahai Gajah kita adalah sobat yang harus tolong menolong” kata Kancil. Para Gajah mengangguk-
angguk sambil bergumam tanda setuju. Mereka tak sadar jika Sang Kancil berada di dalam sumur karena
terjatuh.

“Aku tahu kalian kehausan. Aku akan membantu kalian mengambil air dari dalam sumur. Coba lihat
adakah ember dan tali yang diletakkan di dekat sumur. Kemarin kudengar para kafilah membuang
ember beserta talinya karena sudah punya ember baru. Walaupun butut ember itu masih berguna bagi
kalian. Turunkan ember ke dalam sumur, pegang ujung talinya. Aku akan membantumu menciduk air
sumur” teriak Sang Kancil.

Para Gajah yang tengah kehausan dengan antusias mencari-cari barang yang disebutkan Sang Kancil.
Sampai akhirnya mereka menemukan tak jauh dari bibir sumur tergeletak ember butut yang diikat
dengan tali yang tak kalah bututnya dan penuh sambungan. Kemudian mereka menurunkan ember ke
dalam sumur. Sang Kancil membantu menciduk air dan menyuruh gajah menarik ember yang sudah
terisi air ke atas.

Begitulah berulang kali air diambil dari dasar sumur. Dengan girangnya para Gajah bergantian minum
dan mandi dari air dalam ember yang diambil dari dalam sumur. Maklum sudah dari kemarin mereka
kesulitan mencari sumber air. Setelah semua Gajah selesai mandi, barulah Sang Kancil berteriak untuk
minta dikeluarkan dari dasar sumur.

Merasa Sang Kancil telah membantu mereka mendapatkan air, para Gajah dengan senang hati
membantu Sang Kancil keluar dari dasar sumur. Sang Kancil berpegangan erat pada ember saat dia
ditarik keluar dari dasar sumur.

Para Gajah serta merta mengerumuninya dan bertanya-tanya mengapa Sang Kancil bisa berada di dasar
sumur. Tadinya mereka mengira Sang Kancil sengaja berdiam diri di sana. Kemudian Gajah-gajah itu
membawakan berbagai macam pucuk daun muda dan buah-buahan untuk Sang Kancil yang terlihat
begitu lemah sehingga sulit berjalan.

Setelah satu malam menginap di tempat itu dengan dijaga para Gajah, Sang Kancil merasa dirinya cukup
kuat untuk melanjutkan perjalanan menuju pantai selatan samas untuk bertemu dengan keluarga Paus
biru. Keluarga mamalia laut raksasa itu mengundang Sang Kancil untuk mengajari mereka tentang
perubahan angin, cuaca dan iklim di Samudera Hindia agar mereka tidak terdampar di pantai yang
dangkal karena kesalahan memperkirakan sifat-sifat lautan.

Kancil berterimakasih pada para Gajah yang telah membantunya. Para Gajah juga merasa sangat
berhutang budi pada Sang Kancil yang telah memberi tahu teknik sederhana mengambil air dari dalam
sumur. Sengaja mereka membawa ember butut bertali ke rumah mereka di tengah hutan. Di sana
terdapat sumur yang tidak pernah dimanfaatkan karena para Gajah tidak tahu cara mengambil air dari
sumur yang dalam. (SELESAI).
6. Cerita Fabel Babi dan Domba

Pada suatu desa yang cukup jauh dari kota, ada beberapa keluarga yang tinggal di dalamnya. Tepatnya
ada di suatu lembah hijau disertai dengan pepohonan yang sangat rimbun. Keluarga yang tinggal
tersebut mempunyai peliharaan babi dan juga domba yang snagat terkenal. Mereka mempekerjakan
beberapa pekerja yang tinggal di sekitar lembah untuk memberi makan babi dan domba.

Selain memberi makan, mereka juga harus membersihkan keduanya. Jika bulu dombanya sudah lebat,
maka para pekerja harus memotongnya dan menjual bulu tersebut ke pasar. Begitu pula dengan babi,
jika beratnya sudah cukup para pekerja harus menjualnya ke kota. Jumlah dari domba dan babi di sana
cukup banyak sehingga itu menarik minat para pembeli.

Dan konon katanya, pada masa itu binatang bisa berbicara satu sama lain yang tidak dimengerti oleh
bahasa manusia. Kebetulan babi dan domba tersebut letak kandangnya berdekatan sehingga mereka
bisa berbicara satu sama lain.

Sehari-hari, kadang suara babi dan domba ribut dan itu tidak diketahui oleh manusia bahwa mereka
sedang berbicara. Saat hari jualan babi tiba, biasanya babi dengan ukuran yang besar ditimbang dan
diserahkan kepada para pembeli.

Suatu hari, seekor babi yang masih muda dan ukurannya cukup besar akan dijual. Namun ia sulit saat
hendak ditangkap. Namun, para pekerja akhirnya berhasil menangkap dan mengikat dua pasang kaki
babi tersebut.

Babi muda tersebut berteriak dan meronta. Melihat hal itu, kawanan domba pun berteriak.

“Dasar penakut”

Kemudian salah satu dari kawanan domba menambahkan “mengapa kamu menangis dan teriak denga
gaduh. Padahal temanmu yang lain jarang melakukan sesuatu yang sama. Mereka pasrah dengan nasib
sekalipun harus disembelih”
Mendengar hal tersebut, salah satu babi dewasa berkata “Hai domba sok bijak, kamu bisa berkata
begitu karena tidak mengalami apa yang kami alami. Kamu hanya dicukur bulunya tanpa harus
disembelih. Namun lihat kami, kami diambil dan tak lama lagi nyawa kami hilang. Hidup kami tentulah
tidak senikmat hidup kalian. Begitu tegakah engkau mengejek anak babi yang sedang diujung
kematian?”

Sejak saat itu, kandang domba menjadi sunyi dan senyap. Mereka merenungkan apa yang sudah
disampaikan oleh salah satu babi tersebut. Dan akhirnya merekapun sadar bahwa mereka lebih
beruntung dari pada babi. Lalu merekapun meminta maaf kepada babi dewasa yang tadi.

7. Cerita Fabel Seekor Rubah dan Bangau

Pada suatu hari ada seekor rubah tengah jalan-jalan di sekitar hutan. Ia kemudian berfikir bahwa hari ini
cuaca cerah dan ia bisa pergi memancing. Kemudian, ia pun mempersiapkan alat untuk memancing dan
segera bergegas menuju telaga yang ada di tengah hutan.

Saat tiba di telaga, ia mendapati ada burung bangau di sana sedang seberang. Ia pun menyapa sembari
mengeluarkan pancingnya, “Hai bangau, apa yang sedang kau lakukan?” Rubahpun membayangkan
bahwa ia akan memperoleh ikan yang banyak untuk makan malamnya.

Bangau pun menjawab, “Aku sedang berenang sambil menikmati air telaha yang sejuk membasahi
buluku” Jawab bangau sembari menggepakkan sayapnya.

Rubah pun mulai memancing danj tak lapa kemudian pancingnya bergetar. Ia pun bergegas menarik
pancingnya dan menyaksikan seekor ikan di sana. Dengan penuh suka cita ia berkata, “Asyik aku akan
pesta besar nanti malam. Bangau, apakah kamu mau makan malam di tempatku?” Tanya rubah sambil
membereskan alat memancingnya.

Bangau pun mengiyakan ajakan rubah. Dan tepat di waktu makan malam, bangau datang ke rumah
rubah, “Tok…tok…tok!!”
Sembari membuka pintu rumahnya, rubah berkata “Silahkan masuk!”. Mereka pun duduk di meja
makan yang sudah tertata rapi. Bangau merasa amat lapar karena aroma masakan yang mengundang
selera. “Baunya sangat harum, tentu saja rasanya enak”.

Akhirnya makanan dihidangkan. Tubah memasak sup ikan dan meletakkannya di mangkuk kecil.
Menyaksikan hal tersebut, bangau sedih karena paruhnya yang panjang tentu saja ia tidak bisa
memakan sup di mangkuk kecil tersebut.

Akhirnya, sang bangau hanya metatap dan berdiam. Melihat hal itu, rubah bertanya, “Bangau kenapa
kamu tidak makan? Kamu tidak suka?”

“Paruhku panjang sehingga tidak bisa dipakai untuk memakan sup di mangkuk kecil tersebut” Jawab
bangau.

Rubah pun menjawab, “Maafkan aku bangau, namun yang ku punya hanya mangkuk kecil ini. Tapi kamu
tidak perlu bersedih karena aku sudah menemukan jalan keluar.”

Akhirnya, rubahpun mengambil sebuah rantang dan mengisinya dengan sup sampai penuh. “Ini bawalah
rantangnya pulang dan kamu bisa menikmati makan malam di rumahmu.” Ujar rubah. Kemudian,
bangau pun menjawab, “Terima kasih rubah, kamu baik sekali. Besok giliran aku yang akan
mengundangmu makan malam di rumah”.

8. Cerita Fabel Semut dan Belalang

Di suatu tempat, tepatnya di tengah hutan hidup seekor semut yang rajin. Ia selalu mencari makanan
dan menyimpan di lumbungnya. Ia sangat semangat sekalipun harus diguyur hujan dan disengat
teriknya matahari.

Suatu hari saat ia tengah membawa makanan untuk disimpan pada lumbung, ia bertemu dengan seekor
belalang yang bermalas-malasan sambil berjemur. Belalang itu bertanya, “Hai semut, apa yang sedang
kau lakukan?”
“Aku tengah bersusah payah mengumpulkan makanan di lumbung” Jawab semut. Mendengar itu,
belalang pun menimpal, “Buat apa susah payah mengumpulkan makanan, di hutan ini banyak makanan
yang bisa disantap”.

Semut pun menjawab, “Ia benar lang, namun aku menyimpan makanan sebagai persiapan musim dingin
nanti”. Belalangpun kembali menertawakan semut, “Musim dingin masih lama. Untuk apa susah
payahnya sekarang. Lebih baik senang-senang dulu”.

Namun semut sama sekali tidak peduli dengan ejekan belakang yang malas. Ia tetap saja sibuk
menyiapkan makanan di lumbungnya. Keesokan harinya saat hendak pergi mencari makanan, ia kembali
melihat belalang yang malas dan menertawakannya kembali.

Sepanjang hari, semut selalu sibuk mengumpulkan makanan. Sedangkan belalang hanya asik bermain
sambil bersenang-senang. Akhirnya lumbung makanan semut hampir penuh. Namun itu tidak
membuatnya merasa puas dan ia tetap mencari makanan untuk disimpan.

Akhirnya, tibalah musim dingin. Semut dengan santai duduk di rumahnya sambil menikmati
makanannya yang banyak. Sementara belalang hanya menyimpan makanan dalam jumlah sedikit karena
ia fikir musim dingin akan segera berakhir.

Tak terasa musim dingin sudah berlalu selama satu bulan. Persediaan makanan yang dimiliki oleh sang
belalang pun habis. Sedangkan semut masih duduk santai sambil menikmati makanannya. Belalang
mencoba mencari makanan namun sama sekali tidak berhasil.

Akhirnya ia pun mengetuk pintu rumah semut dan semut pun membuka pintu. “Ada apa lang?” Tanya
semut. “Tolong berikanlah kepadaku sedikit saja persediaan makananmu. Karena aku kelaparan dan
persediaanku sudah habis” Jawab belalang.

“Enak aja kau. Ketika aku susah mengumpulkan makanan engkau malah mengejek dan
menertawakanku. Dan sekarang mau minta persediaan makananku. Pergilah sana, cari sendiri
makananmu!” Jawab semut geram.
Akhirnya belalang meninggalkan rumah semut guna menemukan makanannya namun sama sekali tidak
menemukan apapun. Saat belalang hampir mati lantaran kedinginan, akhirnya semut datang menolong
dan mengajaknya ke rumah untuk menikmati makanan.

9. Cerita Fabel Semut dan Merpati

Pada suatu ketika di musim panas, ada gerombolan semut yang berjalan dan membawa makanan di atas
kepala meeka. Mereka terlihat sangatlah kompak. Pemimpin mereka memberkan aba-aba ketika harus
melangkah dan berbelok. Semut tersebut selalu mengikuti petunjuk sang pemimpin hingga tibalah
mereka di sarangnya.

Sesudah meletakkan hasil bawaaan, mereka berpisah untuk menjalankan tugas lain. Ada salah satu
semut yang masih muda. Ia penasaran dengan dunia yang ada di luar sarangnya. Ia pun akhirnya izin
kepada pemimpin untuk pergi dan melihat-lihat dunia luar. Pemimpin pun menjawab,

“Anakku, apabila engkau hendak pergi untuk jalan-jalan, boleh saja. Namun engkau harus hati-hati
karena di luar sarang ini dunia amat luas dan juga kejam” Pesan pemimpin tersebut.

Sesudah menyiapkan bekal, semutpun pamit kepada pemimpin, “Pak pemimpin, aku akan pergi
sekarang juga”. Pemimpin menjawab, “Hati-hati di jalan dan cepatlah pulang”.

Tak jauh dari sarang, ada sungai yang airnya sangat jernih. Karena ingin tahu, semut muda pun berjalan
menelusuri lembah. Ia memanjat pohon dan juga rerumputan berkali-kali. Ia berjalan dengan tak kenal
lelah. Ia pun melihat mata air jernih dan mendatanginya untuk minum.

Ketika dekat dengan mata air tersebut, ia bingung karena letak mata airnya lebih tinggi dibandingkan
tanah tempat ia berpijak. Ia pun naik ke atas batang rumput. Saat hampir berhasil, ia terpeleset dan
jatuh ke dalam mata air.

Ketika ia sedang kesulitan bangun, ada seekor merpati yang hendak menyelamatkannya. Merpati
tersebut mengambil daun di pohon sampai jatuh di dekat semut muda. Dengan susah payah, semut
muda segera naik ke atas daun. Ia pun berterima kasih kepada burung merpati.
“Hai burung merpati, aku berterima kasih karena engkau telah menyelamatkanku” Kata semut muda.
Merpati pun menjawab, “Iya sama sama semut, apa yang sedang engkau lakukan di sini?”

“Aku tengah jalan-jalan untuk melihat dunia di luar sarang semutku” Jawa semut.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba ada bahaya yang tengah mengintai. Ada seorang
pemburu yang hendak menembak merpati. Merpati pun langsung bergegas terbang dan meninggalkan
semut sendirian.

Menyaksikan kejadikan itu, akhirnya semutpun berlari kea rah pemburu dan menggigit kakinya.
Akhirnya, penburu tersebut merintih kesakitan. Merpati berkata,”Terima kasih semut karena engkau
sudah menyelamatkanku”.

“Sama-sama burung merpati, engkau tadi juga menyelamatkan nyawaku” jawab semut. Akhirnya
mereka pun segera berpisah.

Ingin Jadi Pengusaha ? Kamu Harus Miliki 16 Karakter Wirausaha Ini !

10. Cerita Fabel Rusa dan Kura-Kura

Pada zaman dahulu, hidup seekor rusa yang amat pemarah dan juga sombong. Ia bahkan kerap
meremehkan kemampuan hewan yang lain. Suatu ketika sang rusa berjalan di pinggir danau. Ia tidak
senjaga berjumpa dengan kura-kura yang tampak mondar mandir saja. Melihat hal itu, sang rusa pun
bertanya, “Kura kura, apa yang tengah engkau lakukan?”

Mendengar itu, sang rusa tiba-tiba marah, “Kau jangan berlagak. Kau hanya mondar mandir dan
berlagak mencari sumber kehidupan”.
Kura-kura pun berupaya untuk menjelaskan akan tetapi rusa tetap saja marah. Rusa juga mengancam
akan menginjak tubuh kura-kura. Akhirnya, kura kura merasa jengkel dan menantang rusa untuk adu
kekuatan dari betis kaki mereka.

Mendengar tantangan tersebut, tentu saja rusa amat marah. Akhirnya, ia minta kepada kura-kura untuk
menendang betisnya terlebih dahulu. Namun, kura-kura tidak mau dan menjawab, “Apabila aku yang
menendang betismu lebih dulu, tentu saja engkau akan jatuh dan tidak sanggup membalasku”.

Akhirnya, rusa semakin marah dan melakukan ancang-ancang untuk menendang kura kura. Namun,
kura-kura segera memasukkan kaki-kakinya ke dalam tempurung. Akhirnya, rusa menginjak tempurung
dengan kuat dan itu menyebabkan kura-kura tertimbun di tanah.

Kura-kura pun berusaha keluar. Dan sesudah seminggu berlalu, ia berhasil keluar dari tanag dan mencari
rusa. “Bersiaplah rusa, kini aku yang saatnya menendang”. Mendengar itu,rusa hanya memandang
remeh kemampuan yang dimiliki oleh kura-kura. “Kerahkan saja semua kemampuan yang engkau miliki
untuk menendang betisku. Ayolah jangan ragu”.

Kura-kura pun bersiap dan mengambil ancang-ancang tempat tinggi. Kemudian, ia pun
menggelindingkan tubuhnya. Dan ketika sudah hampir mendekati tubuh rusa, ia pun menaikkan
tubuhnya sampai melaayng. Ternyata kura-kura mengincar hidung sang rusa. Dengan sangat keras,
akhirnya tempurung kura ura berhasil menyebabkan hidung sang rusa putus. Dan akhirnya ia pun mati.

Anda mungkin juga menyukai