Anda di halaman 1dari 14

SI BANGAU DAN SI PARTO | BALAS BUDI SI BURUNG BANGAU

Dahulu kala di suatu desa di tepi hutan, hidup seorang pemuda bernama Si Parto. Kerjanya
mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya
makanan.

Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia
melihat sesuatu yang menggelepar di atas hujan.

Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-
ronta. Si Parto segera melepaskan perangkap itu.

Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Si Parto beberapa kali sebelum
terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya di rumah, Si Parto segera
menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu
di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu.
Kepalanya dipenuhi dengan hujan. “Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan
badanmu dekat tungku,” ujar Si Parto. “Nona mau pergi kemana sebenarnya ?”, Tanya Si Parto.
“Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena hujan turun dengan lebat, aku jadi
tersesat.” “Bolehkah aku menginap di sini malam ini ?” “Boleh saja Nona, tapi aku ini orang
miskin, tak punya kasur dan makanan.”, kata Si Parto. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin
diperbolehkan menginap”. Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan
yang enak.

Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Si Parto berpikir bahwa
gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Hujan masih turun dengan lebatnya.
“Tinggallah disini sampai hujan reda.” Setelah lima hari berlalu hujan mereda. Gadis itu
berkata kepada Si Parto, “Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah
ini.” Si Parto merasa bahagia menerima permintaan itu. “Mulai hari ini panggillah aku Parti”,
ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Si Parto, Parti mengerjakan pekerjaan rumah dengan
sungguh-sungguh. Suatu hari, Parti meminta suaminya, Si Parto, membelikannya benang
karena ia ingin menenun.

Parti mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam
penyekat tempat Parti menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan
minum, Parti keluar. Kain tenunannya sudah selesai. “Ini tenunannya Pak. Kalau dibawa ke
kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Si Parto sangat senang karena kain tenunannya
dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam
barang untuk dibawa pulang. “Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih
istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak
lagi. “Baiklah akan aku buatkan”, ujar Parti. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Parti
menenun. Tetapi tampak Parti tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Parti meminta
suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi.
Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada
maka Si Parto akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Si Parto pada istrinya. “Baiklah
akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya”, kata Parti.

Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Si
Parto berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang
dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk
ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu
akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Si Parto, bangau itu pun berubah wujud
kembali menjadi Parti. “Akhirnya kau melihatnya juga”, ujar Parti.

“Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong”, untuk membalas budi
aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini,” ujar Parti. “Berarti sudah saatnya
aku berpisah denganmu”, lanjut Parti. “Maafkan aku, kumohon jangan pergi,” kata Si Parto.
Parti akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan
sayapnya terabng keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Si Parto sendiri yang menyesali
perbuatannya.
IKAN EMAS AJAIB DAN SI NENEK SERAKAH

Dahulu kala, di suatu desa terpencil, tinggalah sepasang kakek dan nenek yang miskin.
Pekerjaan si kakek adalah mencari ikan di laut. Meski hampir setiap hari kakek pergi menjala
ikan, namun hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Bahkan tidak jarang
si kakek pulang dengan tangan hampa, namun itu semua dijalani si kakek dengan sabar.

Suatu hari ketika si kakek sedang menjala ikan, tiba-tiba jalanya terasa sangat berat. Seperti
ada ikan raksasa yang tersangkut di jalanya. “Ah, pasti ikan yang sangat besar,” pikir si kakek.
Dengan sekuat tenaga si kakek menarik jalanya. Namun ternyata tidak ada apapun kecuali
seekor ikan kecil yang tersangkut di jalanya. Rupanya ikan kecil itu bukan ikan biasa, badannya
berkilau seperti emas dan bisa berbicara seperti layaknya manusia.

“Kakek, tolong lepaskan aku. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu!” kata si ikan
emas. Si kakek berpikir sejenak, lalu katanya, “aku tidak memerlukan apapun darimu, tapi aku
akan melepaskanmu. Pergilah!”. Kakek melepaskan ikan emas itu kembali ke laut, lalu dia pun
kembali pulang. Sesampainya di rumah, nenek menanyakan hasil tangkapan kakek.

“Hari ini aku hanya mendapatkan satu ekor ikan emas, dan itupun sudah aku lepas kembali,”
kata kakek, “aku yakin kalau itu adalah ikan ajaib, karena dia bisa berbicara. Katanya dia
akan memberiku imbalan jika aku mau melepaskannya.”
“Lalu apa yang kau minta,” tanya nenek. “Tidak ada,” kata kakek.
“Oh, alangkah bodohnya!” seru nenek.

“Setidaknya kau bisa meminta roti untuk kita makan. Pergilah dan minta padanya!” Maka
dengan segan kakek kembali ke tepi pantai dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,


Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
Tiba-tiba si ikan emas muncul di permukaan laut. “Apa yang kau inginkan, kek?” katanya.
“Istriku marah padaku, berikan aku roti untuk makan malam, maka dia akan memaafkanku!”
pinta si kakek. “Pulanglah! Aku telah mengirimkan roti yang banyak ke rumahmu.” kata si
ikan.

Maka pulanglah si kakek. Setibanya di rumah, didapatinya meja makan telah penuh dengan
roti. Tapi istrinya masih tampak marah padanya, katanya: “Kita telah punya banyak roti, tapi
meja kita rusak, aku tidak bisa meletakkan roti-roti ini di meja.

Pergilah kembali ke laut, dan mintalah ikan ajaib memberikan kita meja yang baru!” kata
nenek. Terpaksa si kakek kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai ikan emas ajaib,

Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
“Uuuups!” ikan emas muncul, “Apa lagi yang kau inginkan, kek?” “Nenek menyuruhku
memintamu agar memberikan kami meja yang baru,” pinta kakek.
“Baiklah,” kata ikan. “Kau boleh memiliki meja baru juga.”
Si kakek pun kembali pulang. Belum lagi menginjak halaman, si nenek sudah
menghadangnya. “Pergilah lagi! Mintalah pada si ikan emas untuk membuatkan kita sebuah
rumah baru. Kita tidak bisa tinggal di sini terus, rumah ini sudah hampir roboh. ”Maka si
kakek pun kembali ke tepi laut dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,


Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi,
kakek?” “Buatkanlah kami rumah baru!” pinta kakek, “istriku sangat marah, dia tidak ingin
tinggal di rumah kami yang lama karena rumah itu sudah hampir roboh.” “Tenanglah kek!
Pulanglah! Keinginanmu sudah kukabulkan.”

Kakek pun pulang. Sesampainya di rumah, dilihatnya bahwa rumahnya telah menjadi baru.
Rumah yang indah dan terbuat dari kayu yang kuat. Dan di depan pintu rumah itu, nenek
sedang menunggunya dengan wajah yang tampak jauh lebih marah dari sebelumnya. “Dasar
kakek bodoh! Jangan kira aku akan merasa puas hanya dengan membuatkanku rumah baru
ini. Pergilah kembali, dan mintalah pada ikan emas itu bahwa aku tidak mau menjadi istri
nelayan. Aku ingin menjadi nyonya bangsawan. Sehingga orang lain akan menuruti
keinginanku dan menghormatiku!” Untuk kesekian kalinya, si kakek kembali ke tepi laut dan
berseru:

Wahai ikan emas ajaib,


Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi,
kakek?” “Istriku tidak bisa membuatku tenang. Dia bahkan semakin marah. Katanya dia
sudah lelah menjadi istri nelayan dan ingin menjadi nyonya bangsawan” pinta kakek.
“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata ikan emas.

Alangkah terkejutnya si kakek ketika kembali ternyata kini rumahnya telah berubah menjadi
sebuah rumah yang megah. Terbuat dari batu yang kuat, tiga lantai tingginya, dengan banyak
sekali pelayan di dalamnya. Si kakek melihat istrinya sedang duduk di sebuah kursi tinggi
sibuk memberi perintah kepada para pelayan.

“Hallooo istriku,” sapa si kakek. “Betapa tidak sopannya,” kata si nenek. “Berani sekali kau
mengaku sebagai suamiku. Pelayan! Bawa dia ke gudang dan beri dia 40 cambukan!” Segera
saja beberapa pelayan menyeret si kakek ke gudang dan mencambuknya sampai si kakek
hampir tidak bisa berdiri. Hari berikutnya istrinya memerintahkan kakek untuk bekerja
sebagai tukang kebun. Tugasnya adalah menyapu halaman dan merawat kebun. “Dasar
perempuan jahat!” pikir si kakek. “Aku sudah memberikan dia keberuntungan tapi dia
bahkan tidak mau mengakuiku sebagai suaminya.”

Lama kelamaan si nenek bosan menjadi nyonya bangsawan, maka dia kembali memanggil si
kakek: “Hai lelaki tua, pergilah kembali kepada ikan emasmu dan katakan ini padanya: aku
tidak mau lagi menjadi nyonya bangsawan, aku mau menjadi ratu.” Maka kembalilah si kakek
ke tepi laut dan berseru”
Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau inginkan lagi,
kakek?” “Istriku semakin keterlaluan. Dia tidak ingin lagi menjadi nyonya bangsawan, tapi
ingin menjadi ratu.”

“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata ikan emas.

Sesampainya kakek di tempat dulu rumahnya berdiri, kini tampak olehnya sebuah istana
beratap emas dengan para penjaga berlalu lalang. Istrinya yang kini berpakainan layaknya
seorang ratu berdiri di balkon dikelilingi para jendral dan gubernur. Dan begitu dia mengangkat
tangannya, drum akan berbunyi diiringi musik dan para tentara akan bersorak sorai.

Setelah sekian lama, si nenek kembali bosan menjadi seorang ratu. Maka dia memerintahkan
para jendral untuk menemukan si kakek dan membawanya ke hadapannya. Seluruh istana sibuk
mencari si kakek. Akhirnya mereka menemukan kakek di kebun dan membawanya menghadap
ratu.

“Dengar lelaki tua! Kau harus pergi menemui ikan emasmu! Katakan padanya bahwa aku
tidak mau lagi menjadi ratu. Aku mau menjadi dewi laut sehingga semua laut dan ikan-ikan
di seluruh dunia menuruti perintahku.”
Kakek terkejut mendengar permintaan istrinya, dia mencoba menolaknya. Tapi apa daya
nyawanya adalah taruhannya, maka dia terpaksa kembali ke tepi laut dan berseru:

Wahai ikan emas ajaib,


Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
Kali ini si ikan emas tidak muncul di hadapannya. Kakek mencoba memanggil lagi, namun si
ikan emas tetap tidak mau muncul di hadapannya. Dia mencoba memanggil untuk ketiga
kalinya. Tiba-tiba laut mulai bergolak dan bergemuruh. Dan ketika mulai mereda muncullah
si ikan emas, “apa yang kau inginkan lagi, kakek?”
“Istriku benar-benar telah menjadi gila,” kata kakek. “Dia tidak mau lagi menjadi ratu tapi
ingin menjadi dewi laut yang bisa mengatur lautan dan memerintah semua ikan.”

Si ikan emas terdiam dan tanpa mengatakan apapun dia kembali menghilang ke dalam laut. Si
kakek pun terpaksa kembali pulang. Dia hampir tidak percaya pada penglihatannya ketika
menyadari bahwa istana yang megah dan semua isinya telah hilang. Kini di tempat itu, berdiri
sebuah gubuk reot yang dulu ditinggalinya. Dan di dalamnya duduklah si nenek dengan
pakaiannya yang compang-camping. Mereka kembali hidup seperti dulu. Kakek kembali
melaut. Namun seberapa kerasnya pun dia bekerja. hasil yang didapat hanya cukup untuk
makan sehari-hari saja.
KISAH BURUNG PIPIT BERLIDAH PENDEK

Pada Zaman dahulu kala, di suatu desa kecil di Negara Jepang tinggalah sepasang kakek dan
nenek. Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah
seorang penggerutu dan senang mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya
kakek lebih suka menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang.
Mereka tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu
menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat menyayanginya.
Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka kandang Suzume,
membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya bermain, berbicara, dan
mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.

Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin nenek sudah
menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang sudah dicuci. Bubur itu
disimpannya di atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya telah kosong. Rupanya kakek lupa
menutup kandang Suzume, sehingga dia terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur
tepung beras nenek. Saat si nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya,
Suzume terbang menghampiri nenek. Dia membungkuk memberi hormat lalu kicaunya:
“Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah makanan untukku.
Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit……!”
Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek tidak pernah
menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori rumah saja. Ini adalah
kesempatan si nenek untuk melampiaskan kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut
nenek.

Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang dan memotong
lidahnya hingga putus. “Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek, “karena dengan lidah ini
kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu
lagi!” Suzume hanya bisa menangis menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.

Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri kandang Suzume
untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah kosong. Dicarinya Suzume di
sekeliling rumah dan dipangilnya, namun Suzume tidak juga muncul. Kakek merasa yakin
bahwa neneklah yang telah membuat Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan
bertanya: “Kemana Suzume? Kau pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku
tidak tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis burung
yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali meskipun kau sangat
menyayanginya.” Kakek tentu saja tidak percaya dengan perkataan nenek. Dia memaksanya
untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek mengaku telah mengusir Suzume dan memotong
lidahnya.

Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek. “Kenapa kau begitu kejam?” kata
kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk menghukum istrinya yang
kejam. Namun dia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita.
“Betapa malangnya Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa
berkicau lagi,” pikir kakek. Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu besok pagi.
Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk mencari Suzume. Dia
pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan bambu yang ditemuinya, dia akan
berhenti dan mulai memanggilnya:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,


Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”
Kakek terus mencari Suzume tanpa kenal lelah. Dia bahkan lupa kalau perutnya belum diisi
sejak pagi. Sore harinya, sampailah kakek di rumpunan bambu yang rimbun. Dia pun mulai
memanggil lagi:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang,


Dimana oh dimana burung pipitku yang malang”

Dari rimbunan bambu tersebut, keluarlah Suzume. Dia membungkukan kepalanya, memberi
hormat pada kakek. Kakek senang sekali bisa menemukan Suzume, apalagi ternyata lidah
Suzume telah tumbuh lagi sehingga dia tetap bisa berkicau. Suzume mengajak kakek untuk
mampir ke rumahnya. Ternyata Suzume memiliki keluarga dan mereka tinggal di sebuah
rumah seperti layaknya manusia.

“Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek. Kakek mengikuti Suzume memasuki
rumpunan bambu. Rumah Suzume ternyata sangat indah. Dindingnya terbuat dari bambu
berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang didudukinya sangat empuk dan
dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang
cantik. Kakek disuguhi berbagai makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung
pipit yang sangat menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga
Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat Suzume dengan
baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan istrinya yang kejam terhadap
Suzume.

Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta diri dan
berterima kasih atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume memohon supaya kakek
menginap satu atau dua malam, namun kakek bersikeras untuk pulang karena pasti nenek
kebingungan mencarinya. Kakek berjanji akan sering-sering mengunjungi suzume lain waktu.
Sebelum pulang Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya
pulang. Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek memilih
kotak kecil. “Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat jika harus membawa
kotak yang besar.”
Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan bambu dan sekali
lagi membungkukan kepalanya memberi hormat.

Setibanya di rumah, nenek langsung mencecarnya: “Kemana saja seharian? Kenapa begitu
malam baru pulang?” tanyanya. Kakek mencoba menenangkannya dan memperlihatkan kotak
yang didapatnya dari Suzume. Kakek juga menceritakan pertemuannya dengan Suzume.
“Baiklah!” kata nenek. “Sekarang cepat buka kotak itu! Kita lihat apa isinya.” Maka mereka
lalu membuka kotak itu bersama-sama. Betapa terkejutnya mereka, ternyata kotak itu penuh
berisi uang emas, perak dan perhiasan-perhiasan yang sangat indah. Kakek mengucap syukur
berkali-kali atas anugerah itu. Tapi nenek yang serakah malah memarahi kakek karena tidak
memilih kotak yang besar. “Kalau kotak yang kecil saja isinya bisa sebayak ini apalagi kotak
yang besar,” teriaknya.
Esok paginya setelah memaksa kakek untuk menunjukkan jalan ke tempat Suzume, nenek pergi
dengan penuh semangat. Kakek mencoba melarangnya, namun sia-sia saja. Setelah melewati
bukit dan masuk ke dalam hutan, sampailah si nenek di tepi rimbunan bambu, maka dia pun
mulai memanggil:

“Dimana oh dimana burung pipitku yang malang, Dimana oh dimana burung pipitku yang
malang” Suzume pun keluar dari rimbunan bambu dan membungkukan kepalanya ke arah
nenek. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu nenek berkata:

“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta kotak yang
kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.” Suzume memberikan kotak yang
diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek segera meninggalkan tempat itu. Kotak
itu sangat berat. Dengan terseok-seok nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin
berat, seolah-olah berisi ribuan batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,”
pikir nenek. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan
kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wuuuuush……!!! Dari dalam kotak itu
keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang langsung lari terbirit-
birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski jantungnya serasa mau putus. Kepada
kakek dia menceritakan apa yang dialaminya. “Itulah hukuman bagi orang yang serakah,” kata
kakek. “Semoga ini menjadi pelajaran buatmu.” Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi
mengeluarkan kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua
hidup bahagia selamanya.
MONYET DAN BABI HUTAN

Di suatu hutan rimba hidup seekor Babi hutan yang pemurung. Ia mempunyai tetangga seekor
Monyet yang mempunyai sifat sebaliknya. Monyet itu periang, banyak memiliki sahabat, serta
pintar memberi nasihat. Karena senantiasa sedih dan murung, suatu hari Babi hutan pergi ke
rumah Monyet.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh, akhirnya Babi hutan sampai di rumah
Monyet. Saat itu terlihat Monyet sedang berbaring sambil bersiul di serambi rumahnya. Babi
hutan berkata, “Monyet, kudengar kau binatang paling bijaksana di rimba belantara. Benarkah
itu?” Sahut monyet, “Kata warga rimba, memang demikian.”, kata Babi Hutan. “Bolehkah aku
meminta nasihat padamu?” kata Babi hutan lebih lanjut.

“Oh silahkan, memangnya kamu ada masalah apa, aku lihat kamu baik-baik saja”, kata Monyet.
“Begini, Monyet. Aku tidak pernah merasa bahagia dalam hidup ini. Apa gerangan sebabnya?”
Apakah aku terkena kutukan dari dewa? Tanya Babi hutan kemudian.

Monyet berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Ohoooo…. Babi hutan, kamu tidak terkena
kutukan. Aku ada nasihat kepadamu, pergilah cari pohon Bonga. Buahnya berwarna hitam.
Petiklah buahnya, lalu makanlah. Dengan memakan sebuah Bonga saja kau akan merasakan
bahagia seumur hidupmu.”

“Buah Bonga? Aku baru mendengar sekarang. Di mana terdapat pohon buah itu?” Semudah
itukah untuk merasakan bahagia?” Tanya Babi hutan. “Sudahlah, ikuti saja petunjukku.” Jawab
Monyet. “Pergi saja kamu dan bertanyalah kepada penduduk hutan ini dimana tempatnya
pohon Bonga berada”, kata Monyet kemudian. Babi hutan menjawab, “ Baiklah Monyet, akan
aku ikuti nasihatmu.”

Esoknya Babi hutan bergegas pergi berkelana di hutan belantara untuk mencari buah
kebahagiaan itu. Kesana kemari babi hutan mencari buah itu, dia bertanya kepada para
penghuni hutan untuk minta tahu dimana gerangan pohon Bonga berada.

Pada suatu sore menjelang malam di tepi danau Babi hutan bertemu dengan Kerbau. “Hai
Kerbau yang baik hati, tahukah kamu dimana pohon Bonga berada?” Tanya Babi hutan.
“Pohon Bonga?” aku belum pernah mendengarnya.” Jawab Kerbau. Mereka berdua terlibat
pembicaraan mengenai pohon Bonga. Sampai akhirnya matahari hampir tenggelam Kerbau
mengajak Babi hutan untuk bermalan di rumahnya. Akhirnya malam itu Babi hutan menginap
di rumah Kerbau, sampai larut malam mereka berdiskusi tentang pohon Bonga sampai tanpa
terasa keduanya tertidur pulas.

Pagi-pagi sekali Babi hutan segera berpamitan kepada Kerbau untuk melanjutkan
perjalanannya mencari pohon Bonga. Demikianlah seterusnya tanpa menyerah Babi hutan
berkelana mencari keberadaan pohon Bonga.

Sampai tak terasa sudah satu tahun Babi hutan berkelana dan akhirnya ia tiba di rimba tempat
ia lahir. Monyet menyambut kedatangan babi hutan, yang kini wajahnya segar dan ceria. Tanya
monyet, “sudahkah kau temukan buah Bonga?”
Babi hutan menjawab, “belum, Monyet. Tetapi, aku sudah menemukan kebahagiaan itu. Kini
aku sangsi, benarkah ada pohon Bonga itu? Seluruh pelosok dunia telah kujelajahi. Tidak
seorang pun tahu tentang buah ajaib itu.”

Sambil menyungging senyum, menjawablah monyet, “Benar dugaanmu, Babi hutan. Buah
Bonga hanya karanganku belaka. Tentu saja kau tidak bisa menemukannya. Tetapi ngomong-
ngomong, bagaimana cara kau memperoleh kebahagiaan itu?”

Babi hutan menjawab, “Aku menikmati perjalanan itu. Di mana mana aku menjalin
persahabatan. Setiap hari ada hal hal baru yang kulihat. Nah, ternyata dengan banyak
bersahabat dan melihat luasnya dunia, hati kita menjadi bahagia.” Monyet mengangguk angguk
mengiyakan. SEKIAN.
SI KANCIL DAN SEKAWANAN GAJAH

Dongeng Si Kancil: Suatu hari di Hutan Pakis, Si Kancil tengah berjalan-jalan di tepian danau.
Sambil bersiul dan berdendang keasyikan sambil makan buah mentimun kesukaannya.
“Blusukkkk krik krik krik….byuuurrr!!!!” Sang Kancil tiba-tiba terperosok ke dalam sebuah
sumur tua tatkala sedang berada di tepi hutan saat dalam perjalanan menuju Pantai Samas.
Kabut masih tebal saat itu sehingga sumur tersebut tidak terlihat oleh Sang Kancil. Rupanya
itu adalah sumur peninggalan Tarzan yang telah lama meninggalkan tempat itu untuk menjadi
Tarzan Kota.

“Aduh biyuuungg, kakiku sakit buangeeet!” teriak Sang Kancil yang tubuhnya hanya kelihatan
kepalanya karena terendam air — sambil mulutnya nyengir-nyengir menahan sakit. Meskipun
dirinya terjatuh di air, karena air sumur tak seberapa dalam maka kakinya terasa nyeri yang
hebat akibat benturan. Lalu dengan terpincang-pincang Sang Kancil berenang menepi dan
duduk di batu besar yang menyembul di tepi sumur.

Sang Kancil termenung memikirkan nasibnya. Sumur ini ada di tepi hutan. Jarang sekali ada
binatang yang berani bepergian sampai ke tepi hutan. Paling-paling sekawanan Gajah yang
sedang menjajaki rute baru, kawanan Babi Hutan yang hendak mencari jagung atau Serigala
yang sedang mencari-cari makanan tambahan karena sudah bosan dengan makanan yang ada
di dalam hutan. Itu artinya dirinya harus lama menunggu sampai ada binatang yang
menemukan dirinya di dalam sumur.

dongeng binatang dongeng si kancil dan gajahSetelah tiga hari tiga malam terjebak, pada hari
keempat barulah muncul sekawanan Babi Hutan yang melongok dari bibir sumur. Mereka
kehausan dan sedang mencari-cari sumber air minum yang memang jarang ada di tepi hutan
itu. Sang Kancil berteriak kegirangan melihat Babi Hutan.

“Woooiiii beib, bantu aku keluar dari sini duuuuuuung!!!” teriaknya sekuat tenaga.

Tapi alih-alih menolong Sang Kancil, para Babi Hutan malahan lari terbirit-birit mendengar
suara menggelegar dari dasar sumur. Dikiranya ada monster penunggu sumur yang akan
memakan mereka.

Sang Kancil kesal bukan main. Dianggapnya para Babi Hutan itu sungguh terlalu takut pada
bayangan monster dalam pikiran mereka sendiri. Mereka terlalu percaya pada cerita-
cerita monster sehingga apa saja yang aneh dan menakutkan langsung dianggap monster.
Pada hari kelima muncul lagi seekor binatang lain. Kali ini datang seekor keledai yang baru
saja meloloskan diri dari majikannya. Dengan hati riang senang-senang dia bersiul-siul
menyusuri tepi hutan. Sampailah dia di bibir sumur tempat Sang Kancil terperosok. Tentu saja
dia haus dan penasaran, apakah bisa minum dari sumur tersebut. Belajar dari pengalaman
ketakutan para Babi Hutan, kali ini Sang Kancil tidak berteriak. Dia hanya menyapa pelan pada
Keledai yang tengah melongokkan kepala.

“Wahai teman, Tolonglah aku. Aku terperosok di dalam sumur tanpa bisa keluar lagi” kata
Sang Kancil.
Keledai melihat sejenak ke dalam sumur dan terheran-heran mendengar suara dari dalam
sumur. Kemudian dia mengamat-amati dasar sumur, barulah dilihatnya Sang Kancil yang
sedang duduk lemas di atas batu. Tiba-tiba Keledai tertawa terbahak-bahak. Si Keledai tertawa
terpingkal-pingkal sampai-sampai berguling-guling di atas tanah.

“Hohohoho…bukankah kamu itu Kancil yang terkenal cerdik itu??. Gunakan otakmu yang
katanya hebat itu! Atau kecerdasanmu itu berita bohong belaka sehingga kamu masih butuh
bantuanku? Uruslah sendiri nasibmu!. Aku tak punya banyak waktu untuk menolongmu!.
Lagipula waktu aku jadi peliharaan majikanku, tak ada seorang pun yang peduli. Kini giliranmu
dicuekin….Hahahahahaha. Sorry yah!” kata Keledai sambil berlalu dengan masih ketawa
ngikik.

Sang Kancil kembali ditinggal seorang diri di dalam sumur. Pada hari keenam muncullah
sekelompok orang membawa pedati yang beristirahat di tempat itu. Mereka mendirikan tenda-
tenda dan mulai memasak. Nampaknya mereka adalah kafilah pedagang yang sedang mampir
beristirahat.

Saat terdengar suara-suara orang berteriak-teriak gaduh karena berhasil menangkap seekor
keledai yang lepas, tahulah Sang Kancil bahwa keledai yang kemarin menertawakan dirinya
itu masih berkeliaran di sekitar sumur dan tertangkap kembali oleh tuannya. Sungguh malang
nasibnya.

Sang Kancil menyadari bahwa dirinya juga harus menghindar dari tangkapan mereka. Maka
cepat-cepatlah dia masuk ke sebuah rongga yang ada di dinding sumur dan bersembunyi di situ
karena takut ditangkap dan dijadikan sate kancil yang tersohor kegurihannya.

Untunglah para pedagang itu jarang melongok ke dalam sumur sehingga tidak memergoki Sang
Kancil. Mereka hanya sesekali saja pergi ke sumur itu untuk mengambil air dengan ember yang
diikat dengan tali. Air itu dipergunakan untuk memasak, mencuci dan mandi. Keesokan harinya
mereka telah meninggalkan tempat itu. Dari suara-suara mereka, tahulah Sang Kancil bahwa
para pedagang itu membuang ember bertali di dekat sumur karena dianggapnya sudah usang.

Pada hari ketujuh muncullah sekelompok gajah yang melintas di dekat sumur. Mereka meneliti
dasar sumur karena kehausan. Tak sengaja terlihat oleh mereka Sang Kancil tengah tertidur di
sana. Para Gajah itu saling berbisik membicarakan binatang yang tengah terbaring di dasar
sumur. Kemudian mereka berteriak memanggil Sang Kancil.

Sang Kancil kaget oleh teriakan para Gajah dan terbangun. Dilihatnya ada beberapa kepala
gajah menyembul di bibir sumur. Diam-diam dia sedang berpikir keras cara minta bantuan
mereka untuk keluar dari sumur. Akhirnya dia memutuskan untuk membantu para Gajah, baru
kemudian minta tolong pada mereka. Memberi dulu baru kemudian menerima pertolongan.

“Wahai Gajah kita adalah sobat yang harus tolong menolong” kata Kancil. Para Gajah
mengangguk-angguk sambil bergumam tanda setuju. Mereka tak sadar jika Sang Kancil berada
di dalam sumur karena terjatuh.

“Aku tahu kalian kehausan. Aku akan membantu kalian mengambil air dari dalam sumur. Coba
lihat adakah ember dan tali yang diletakkan di dekat sumur. Kemarin kudengar para kafilah
membuang ember beserta talinya karena sudah punya ember baru. Walaupun butut ember itu
masih berguna bagi kalian. Turunkan ember ke dalam sumur, pegang ujung talinya. Aku akan
membantumu menciduk air sumur” teriak Sang Kancil.

Para Gajah yang tengah kehausan dengan antusias mencari-cari barang yang disebutkan Sang
Kancil. Sampai akhirnya mereka menemukan tak jauh dari bibir sumur tergeletak ember butut
yang diikat dengan tali yang tak kalah bututnya dan penuh sambungan. Kemudian mereka
menurunkan ember ke dalam sumur. Sang Kancil membantu menciduk air dan menyuruh gajah
menarik ember yang sudah terisi air ke atas.

Begitulah berulang kali air diambil dari dasar sumur. Dengan girangnya para Gajah bergantian
minum dan mandi dari air dalam ember yang diambil dari dalam sumur. Maklum sudah dari
kemarin mereka kesulitan mencari sumber air. Setelah semua Gajah selesai mandi, barulah
Sang Kancil berteriak untuk minta dikeluarkan dari dasar sumur.

Merasa Sang Kancil telah membantu mereka mendapatkan air, para Gajah dengan senang hati
membantu Sang Kancil keluar dari dasar sumur. Sang Kancil berpegangan erat pada ember
saat dia ditarik keluar dari dasar sumur.

Para Gajah serta merta mengerumuninya dan bertanya-tanya mengapa Sang Kancil bisa berada
di dasar sumur. Tadinya mereka mengira Sang Kancil sengaja berdiam diri di sana. Kemudian
Gajah-gajah itu membawakan berbagai macam pucuk daun muda dan buah-buahan untuk Sang
Kancil yang terlihat begitu lemah sehingga sulit berjalan.

Setelah satu malam menginap di tempat itu dengan dijaga para Gajah, Sang Kancil merasa
dirinya cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan menuju pantai selatan samas untuk bertemu
dengan keluarga Paus biru. Keluarga mamalia laut raksasa itu mengundang Sang Kancil untuk
mengajari mereka tentang perubahan angin, cuaca dan iklim di Samudera Hindia agar mereka
tidak terdampar di pantai yang dangkal karena kesalahan memperkirakan sifat-sifat lautan.

Kancil berterimakasih pada para Gajah yang telah membantunya. Para Gajah juga merasa
sangat berhutang budi pada Sang Kancil yang telah memberi tahu teknik sederhana mengambil
air dari dalam sumur. Sengaja mereka membawa ember butut bertali ke rumah mereka di
tengah hutan. Di sana terdapat sumur yang tidak pernah dimanfaatkan karena para Gajah tidak
tahu cara mengambil air dari sumur yang dalam. (SELESAI).
BURUNG BANGAU DAN SEEKOR ANJING

Anda mungkin juga menyukai