Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA


SEDANG (CKS) DI RUANG 17 RUMAH SAKIT DAERAH dr. SAIFUL
ANWAR MALANG

Oleh:
Vivin Riskiyana, S.Kep
NIM 192311101102

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Tugas Program Profesi Ners Stase Keperawatan Bedah yang disusun
oleh:

Nama : Vivin Riskiyana


NIM : 192311101102
Judul : Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Kepala Sedang (CKS) +
di Ruang 17 RSD dr. Saiful Anwar Malang

telah diperiksa dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :

Malang, Januari 2020

Mahasiswa

Vivin Riskiyana
NIM 192311101102

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Menurut Penyakit


1. Review Anatomi Fisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Fungsi meningen diantaranya yaitu melindungi struktur saraf halus
yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan
memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
a. Durameter (Lapisan sebelah luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang
berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak, terdiri dari
selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Kedua
lapisan ini terpisah di dalam kanalis vertebralis. Pada tempat tertentu
durameter mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, yang
dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer
otak.
b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah) merupakan selaput halus yang
memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong
atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
c. Piameter (Lapisan sebelah dalam) merupakan selaput tipis yang terdapat pada
permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui
struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri
membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum
dengan serebellum (Pearce, EC.,2008).

2. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital
ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation of
America, 2006). Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala
adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala
adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak
yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi
(Price, 2005).
Menurut Mansjoer (2000), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat
berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) yang terdiri dari:
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia pasca trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang
f) Kehilangan kesadaran 10 - 15 menit
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
d) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam
e) Disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania
f) Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh
darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup).
Akibat benturan yang keras di kepala maka akan menimbulak beberapa
komplikasi seperti Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah Epidural
hematoma (EDH) adalah salah satu jenis perdarahan intracranial

Gambar. Epidural Hematoma2

yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh
tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang
berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.
Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan
terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan
pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan
dura,ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi
dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal
dengan sebutan epidural hematom.
EDH adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik (
trauma kepala). Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanen.
4. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan EDH
dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
EDH hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat. Orang yang
beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan
sering jatuh. 60 % penderita EDH adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang
terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian
meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun.
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan
4;1
Trauma fasial disebut juga trauma maksilofacial adalah trauma akibat
ruda paksa terhadap wajah. Trauma maksilofacial terjadi sekitar 6% dari seluruh
trauma. Lebih dari 3 juta trauma fasial terjadi di Amerika Serikat setiap tahun.
Trauma fasial menyebabkan fraktur fasial yang banyak terjadi. Pada 2001,
sebanyak 24.298 penderita memerlukan pembedahan maksilofacial untuk trauma
pada wajah dan rahang. Trauma maksilofacial pada tahun 2011 di Royal
Brisbane Hospital (Queensland) meningkat 28% pada periode 10 bulan yang
sama dibandingkan pada tahun 2010.1,2 Kecelakaan kendaraan bermotor
bertanggung jawab untuk 60% fraktur fasial, serta sisanya adalah penyerangan
24%, jatuh 9%, kecelakaan industri 4%, olahraga 2%, dan tembakan senjata 2%

5. Etiologi
EDH dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala
pada kecelakaan motor. EDH terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.

6. Patofisiologi
Cedera disebabkan oleh laserasi arteri meningea media atau sinus dura,
dengan atau tanpa disertai fraktur tengkorak. Perdarahan dari EDH dapat
menyebabkan kompresi, pergeseran, dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital.
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os temporale.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat
ini terdapat nuklei saraf cranial ketiga (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
Babinsky positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucid interval.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH.
Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau
epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena
pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
Sumber perdarahan :
a. Arteri meningea media ( lucid interval : 2 – 3 jam )
b. Sinus duramatis
c. Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a.diploica
1. dan v.diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah


saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada
sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah
herniasi trans dan infra tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma
kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif
memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.

7. Gambaran Klinis

Pasien dengan EDH mengalami hilang kesadaran singkat setelah trauma


kepala, di ikuti interval lusid dan kemunduran neurologik.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung
atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan
teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.
a. Gejala yang sering tampak :

1. Penurunan kesadaran hingga koma


2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
7. Mual
8. Pusing
9. Berkeringat
10. Pucat
11. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak.

a. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan: untuk
mengetahui adanya infark atau iskemia jangan dilekukan pada 24-72 jam
setelah injuri
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. Analisa gas darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Batticaca, 2008).

b. Penatalaksanaan
a. Penanganan darurat :
1. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
2. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
b. Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b) Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol per infus
untuk menarik air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular
untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Manitol digunakan
untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial pada cidera kepala
c) Barbiturat, digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen
juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun
suplai oksigen berkurang.
c. Operasi di lakukan bila terdapat :
1. Volume hamatom > 30 ml
2. Keadaan pasien memburuk
3. Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan
kedalaman >1 cm
4. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang
5. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg (Sidharta, 2005)
Clinical Pathway

Trauma tumpul, Cedera Otak Fraktur tulang


tembus,
deselarisasi

Terputusnya Ruftur pembuluh darah Terputusnya jaringan


kontinuitas tulang otot, kulit dan
vaskuler
Pelepasan prostaglandin, Subdural Hematom
bradikinin, leukotrien, Gangguan suplai
histamin darah ke otak
Perubahan sirkulasi CSS
Iskemi
Penuruanan Kapasitas
Adaptif Intrakranial Hipoksia

Bradikinin merangsang
nosisepr Mual
Penurunan Risiko perfusi
kesadaran cerebral tidak efektif
Penurunan nafsu
Nyeri Akut makan
Tirah baring Peningkatan
lama pernapasan
Nutrisi tidak adekuat
Kelemahan otot
Penumpukan Penggunaan otot
sekret bantu
Penurunan berat badan pernapasan
Tidak bisa
melakukan Pola nafas tidak
Bersihan jalan nafas tidak
perawatan efektif
efektif
mandiri

Defisit perawatan diri: mandi, Defisit Nutrisi


makan, berpakaian,

Gangguan Mobilitas Fisik


B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, umur, agama, pendidikan, status, perkawinan
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Pada umumnya klien mengalami penurunan kesadaran baik biasanya
mengeluh sakit atau nyeri kepala, pusing, mual muntah.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Kaji penyebab trauma : biasanya karena kecelakaan lalu lintas atau sebab
lain tanyakan kapan dimana apa penyebab serta bagaimana proses
terjadinya trauma. Apakah saat trauma pingsan, disertai muntah
perdarahan atau tidak. Riwayat amnesia setelah cedera kepala
menunjukkan derajat kerusakan otak.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM,
penyakit jantung anemia, stroke, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota keluarga yang dapat memicu timbulnya
penyakit yang sama.
Apakah ada salah satu anggota keluarga yang mengalami penyakit
hipertensi jantung dan sebagainya.
5. Riwayat psikososial
Bagaimana mekanisme klien terhadap penyakit dan perubahan perannya,
pola persepsi dan konsep diri sebagairasa tidak berdaya tidak ada harapan,
mudah marah dantidak kooperatif, kondisi ekonomi klien seperti dampak
biaya perawatan dan pengobatan yang besar.
6. Primary Survey
a) Airway apakah ada sumbatan jalan nafas seperti darah secret lidah
dan benda sing lainnya, suara nafas normal/tidak, apakah ada
kesulitan bernafas
b) Breathing : pola nafas teratur, observasi keadaan umumdengan
metode : look : liat pergerakan dada pasien,teratur, cepat dalam atau
tidak. Listen : dengarkan aliranudara yang keluar dari hidung pasien.
Feel : rasakanaliran udara yang keluar dari hidung pasien
c) Sirkulasi : akral hangat atau dingin, sianosis atau tidak,nadi teraba
apakah ada.
d) Disability apakah terjadi penurunan kesadaran, nilai GCS, pupil
isokor, nilai kekuatan otot, kemampuan ROM.
e) Eksposure ada atau tidaknya trauma kepala ada atau tidaknya luka
lecet ditangan atau dikaki. Fareinhead ada atau tidaknya trauma
didaerah kepala, ada tau tidaknya peningkatan suhu yang mendadak,
demam.
c. Pemeriksaan Fisik Keperawatan
1. Keadaan umum
Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum biasanya mengelami
penurunan kesadaran
2. Kesadaran
Pada cidera berat, tidak sadar lebih dari 24 jam. Perubahan kesadaran
sampai koma.
Penilaian GCS:
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:


a) Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya
dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan
baik.
b) Apatis (nilai GCS 13-12), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan
dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c) Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak
gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
d) Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang
berhenti akan tertidur kembali.
e) Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang
mengantuk yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
f) Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan
sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi
refleks kornea dan pupil masih baik.
g) Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan
tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
3. Tanda-tanda vital
Tekanan darah hipertensi bila ada peningkatan Tekanan Intrakranial dan
bisa normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi bisa terjadi bradicardi,
tachicardi.
4. Kepala
Kulit kepala: pada trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan
nyeritekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan perdarahan
5. Wajah
Pada cedera kepala sedang, cedera kepala berat yang terjadi contusion
cerebri, terjadi mati rasa pada wajah
6. Mata
Terjadi penurunan fungsi penglihatan, reflek cahayamenurun, keterbatasan
lapang pandang. Dapat terjadi perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah.
7. Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran,drainase cairan spinal
pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya perdarahan dari tulang
telinga.
8. Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang merupakan
tempat interprestassi penciuman dapat terjadi penurunan fungsi
penciuman.
9. Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekan reflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.
10. Leher
Dapat terjadi gangguan pergerakan pada cedera kepala sedang dan berat
yang menekan pusat motorik, kemungkinan didapatkan kaku kuduk.
11. Dada.
Inspeksi : biasanya bentuk simetris, terjadi perubahan irama, frekuensi dan
kedalaman pernafasan terdapat retraksi dinding dada
Palpasi : biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi traumac.
Perkusi : bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi : biasanya bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi apabila
terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak, perubahan
frekuensi dan irama
12. Abdomen
Jika terdapat trauma maka akan timbul jejas ataupun perdarahan
intraabdomen
13. Ekstremitas
Perubahan pada tonus otot ataupun fraktur, hemiparase, hemiplegi
14. Pemeriksaan neurologi:
a) Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Gangguan nervus cranial yang biasanya
terjadi pada pasien dengan stroke hemoragik adalah:
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Mata pasien terpejam dan
letakkan bahan-bahan aromatic
dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II: Optikus Penglihatan Akuitas visual kasar dinilai
dengan menyuruh pasien
membaca tulisan cetak.
Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus
diperhatikan.
III: Gerak mata; hilangnya akomodasi, pupil
Okulomotorius kontriksi pupil; mengecil
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Terbatas
V: Trigeminus Sensasi umum Saraf trigeminal mempunyai 3
wajah, kulit kepala, bagian: optalmikus, maksilaris,
dan gigi; gerak dan madibularis. Bagian sensori
mengunyah dari saraf ini mengontrol sensori
pada wajah dan kornea. Bagian
motorik mengontrol otot
mengunyah. Saraf ini secara
parsial dinilai dengan menilai
reflak kornea; jika itu baik
pasien akan berkedip ketika
kornea diusap kapas secara
halus. Kemampuan untuk
mengunyah dan mengatup
rahang harus diamati.
VI: Abdusen Gerak mata Terbatas
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Bagian sensori saraf ini
umum pada platum berkenaan dengan pengecapan
dan telinga luar; pada dua pertiga anterior lidah.
sekresi kelenjar Bagian motorik dari saraf ini
lakrimalis, mengontrol otot ekspresi wajah.
submandibula dan Tipe yang paling umum dari
sublingual; ekspresi paralisis fasial perifer adalah
wajah bell’s palsi.
VIII: Pendengaran; Tuli; tinnitus (berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris (gerakan bola mata yg cepat di
luar kemampuan)
IX: Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan
Glosofaringeus umum pada faring pada sepertiga posterior lidah;
dan telinga; anestesi pada farings; mulut
mengangkat kering sebagian
palatum; sekresi
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada farings, suara parau; Ketidak mampuan
laring dan telinga; untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan; fonasi; menelan dan suara serak dapat
parasimpatis untuk merupakan pertanda adanya
jantung dan visera kerusakan saraf ini.
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan Suara parau; kelemahan otot
Spinal kepala; leher dan kepala, leher dan bahu
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
a) Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
b) Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.
c) Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahuli dengan refleks patologis.
Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal
a) Kaku kuduk:
Cara: Pasien tidur telentang tanpa
bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kemudian kepala ditekukan (
fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan
diperhatikan adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai
dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal. Adanya rigiditas leher
dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk
b) Brudzinski I
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.

c) Kernig :
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka
dikatakan kernig sign positif.

d) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang
difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada
sendi panggul.
Hasil Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Penuruanan Kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan dengan suplai darah
ke otak menurun
2. Risiko perfusi cerebral tidak efektif berhubungan dengan suplai darah ke otak
menurun
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera biologis
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
6. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan ketrampilan
motorik, penurunan rentang gerak, kesulitan membolak balik posisi, gerakan
tidak terkoordinasi, intoleran aktivitas, penurunan kekuatan otot, penurunan
ketahanan tubuh
7. Defisit Nutrisi berhubungan dengan gangguan sensasi rasa, ketidakmampuan
memakan makanan, tonus otot menurun
8. Defisist perawatan diri ketidakmampuan menjangkau kamar mandi,
ketidakmampuan mengenakan dan melepaskan atribut pakaian,
ketidakmampuan memasukkan makan kemulut, ketidakmampuan eliminasi
3. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1. Penuruanan Kapasitas Status Neurologi 1. Kaji sirkulasi perifer secara komprehensif (nadi
Adaptif Intrakranial Setelah dilakukan tindakan keperawatan perifer, edema, CRT, warna, dan suhu
selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak ekstremitas)
membaik dengan kriteria hasil: 2. Hindarkan cedera pada area dengan perfusi yang
1. Kesadaran membaik minimal
2. Mampu mengontrol motorik sentral 3. Hindarkan klien dari posisi trendelenberg yang
3. mampu melakukan fungsi sensorik meningkatkan TIK
dan motorik cranial 4. Hindarkan adanya penekanan pada area cedera
4. Komunkasi yang tepat dengan 5. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai
situasi program
6. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa
2. Risiko perfusi cerebral Status Neurologi Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Tekanan Intrakranial
selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak Monitor Neurologi
membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor tingkat kesadaran
5. Kesadaran membaik 2. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah,
6. Mampu mengontrol motorik sentral denyut nadi, dan respirasi
7. mampu melakukan fungsi sensorik 3. Monitor kesimetrisan wajah
dan motorik kranial 4. Monitor karakteristik berbicara : kelancaran,
8. Komunkasi yang tepat dengan adaya aphasia, atau kesulitan menemukan kata
situasi 5. Monitor respon terhadap stimulasi : verbal, taktil,
dan (respon) bahaya
6. Monitor paresthesia : mati rasa dan kesemutan
3. Pola nafas tidak efektif Status pernafasan Manajemen jalan nafas
Status pernafasan: ventilasi 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Status pernafasan (kepatenan jalan 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
nafas) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan respirasi
selama 3x24 jam, pola nafas pasien 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
kembali efektif dengan kriteria hasil: kesulitan bernafas
1. Frekuensi nafas normal (16-20 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
x/menit) penggunaan otot bantu nafas
2. Irama pernafasan reguler 6. Monitor suara nafas
3. Tidak menggunakan otot bantu 7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
pernafasan hiperventilasi, kusmaul)
4. Retraksi dinding dada 8. Monitor saturasi oksigen
5. Tidak terdapat pernafasan bibir Monitor tanda-tanda vital
6. Tidak terdapat sianosis 9. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
7. Tidak terdapat suara nafas tambahan pernafasan dengan tepat
4. Bersihan jalan nafas tidak Status pernafasan Manajemen Ventilasi Mekanik
efektif Status pernafasan: ventilasi Pengaturan Posisi
Status pernafasan (kepatenan jalan Penghisapan Jalan Nafas
nafas) Latihan Batuk Efektif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas
selama 3x24 jam, pola nafas pasien 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
kembali efektif dengan kriteria hasil: 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi
8. Frekuensi nafas normal (16-20 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
x/menit) Pemantauan respirasi
9. Irama pernafasan reguler 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
10. Tidak menggunakan otot bantu kesulitan bernafas
pernafasan 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
11. Tidak terdapat suara nafas tambahan penggunaan otot bantu nafas
6. Monitor suara nafas
7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, kusmaul)
8. Monitor saturasi oksigen
5. Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri
Tingkat nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
selama 3x24 jam, nyeri akut pasien 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
kembali normal dengan kriteria hasil: 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri Terapi relaksasi
terjadi 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
2. Pasien mampu menyampaikan faktor nafas dalam dan musik
penyebab nyeri 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
3. Mampu menyampaikan tanda dan Pemberian analgesik
gejala nyeri 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
4. Penurunan skala nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan 8. Cek adanya riwayat alergi obat
meringis kesakitan 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
6. Nyeri terkontrol frekuensi obat analgesik yang diresepkan
Kompres Dingin atau hangat
Latihan Pernapasan
Edukasi Teknik Napas
Teknik Distraksi
Terapi Musik
Terapi Relaksasi
Terapi Sentuhan
Terapi Pemijatan
6. Defisit Nutrisi Status nutrisi Manajemen nutrisi
Status nutrisi: asupan nutrisi 1. Monitor intake makanan dan cairan pasien
Nafsu makan 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
selama 3x24 jam, intake nutrisi pasien yang menyengat)
adekuat dengan kriteria hasil: 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
1. Asupan makanan secara oral favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
meningkat (porsi makan habis) kesehatan pasien)
2. Asupan cairan secara oral meningkat 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
3. Nafsu makan meningkat 5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
4. Ekspresi wajah tidak meringis perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
7. Kolaborasi pemberian obat
Monitor nutrisi
8. Timbang berat badan pasien
9. Monitor turgor kulit dan mobilitas
10. Monitor adanya mual dan muntah
7. Gangguan Mobilitas Fisik Koordinasi pergerakan Pemantauan Neurologis
setelah dilakukan perwatan selama 3 x Dukungan Ambulasi
24 jam mobilitas fisik pasien membanik Dukungan Mobilisasi
dengan kriteria hasil: Manajamen Program Latihan
1. Dapat mengontrol kontraksi 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
pergerakkan mobilisasi sesuai indikasi
2. Dapat melakukan kemantapan 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
pergerakkan penyebab nyeri otot atau sendi
3. Dapat menahan keseimbangan 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
pergerakkan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
sesuai indiksi
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan
4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau
tidaknya faktor resiko
7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
8. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa
beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar
sudah di pelajari
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi
9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah program
latihan
11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan
latihan ROM pasif, dan aktif
13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan
8. Defisist perawatan diri Perawatan diri: mandi Dukungan Perawatan Diri
Perawatan diri: kebersihan Dukungan perawatan diri: mandi/kebersihan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
selama 2x24 jam diharapkan perawatan tepat
diri pasien: mandi tidak mengalami 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
gangguan dengan kriteria hasil: 3. Monitor kebersihan kuku
1. Keluarga mampu melakukan 4. Monitor integritas kulit
2. Mencuci tangan pasien 5. Jaga kebersihan secara berkala
3. Membersihkan telinga 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
4. Menjaga kebersihan untuk mempertahankan kebersihan dengan tepat
kemudahan bernafas Dukungan Perawatan Diri: BAB/BAK
5. Mempertahankan kebersihan mulut Dukungan Perawatan Diri: Makan/Minum
6. Memperhatikan kuku jari tangan Dukungan Perawatan Diri: Berapakian
7. Memperhatikan kuku jari kaki
Mempertahankan kebersihan tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Awaloei, A. C., Mallo, N. T., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof Dr. e-CliniC, 4(2).

Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC

Fountain, D. M., Kolias, A. G., Lecky, F. E., Bouamra, O., Lawrence, T., Adams,
H., ... & Hutchinson, P. J. (2017). Survival Trends After Surgery for Acute
Subdural Hematoma in Adults Over a 20-year Period. Annals of surgery,
265(3), 590.

Karibe, H., HayasHi, T., Hirano, T., KaMeyaMa, M., Nakagawa, A., &
Tominaga, T. (2014). Surgical management of traumatic acute subdural
hematoma in adults: a review. Neurologia medico-chirurgica, 54(11), 887-76
894.

Lonto, A. K., Loho, E., Mamesah, Y. P., & Timban, J. F. (2015). Gambaran Ct
Scan Pada Penderita Perdarahan Subdural Di Rsup Prof. Dr. R. D Kandou
Manado Periode Januari 2011-Oktober 2014. e-CliniC, 3(1).

Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar


Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Diagnosis


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Intervnesi


Keperawatan Indonsesi (SDKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2017. Standar Luaran Keperawatan


Indonsesi (SLKI). Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Sastrodiningrat, A Gofar. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada


PerdarahanSubdural Akut. Volume 39 No 3.Medan : Majalah Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai