PENDAHULUAN
Seksio Cesarea adalah proses persalinan dengan membuat insisi pada bagian
uterus melalui dinding abdomen dengan tujuan untuk meminimalkan risiko ibu dan
janin yang timbul selama kehamilan atau dalam persalinan serta mempertahankan
kehidupan atau kesehatan ibu dan janinnya. (Operasi Caesar, Yusmiati Dewi, 2007).
Total seksio cesarea di Amerika Serikat pada periode tahun 1989-2003 meningkat
dari 23 menjadi 27 per 100 kelahiran. Rata-rata persalinan seksio cesarea secara
internasional pada tahun 2002 dapat digambarkan oleh insidensi di beberapa negara
seperti Amerika Serikat sebesar 26%, Australia sebesar 28%, Inggris sebesar 23% dan
Skotlandia sebesar 24%. Seksio Cesarea di Indonesia pada tahun 2005 mencapai
31,9% sedangkan tahun 2006 sebesar 31,6% (Sub. Bagian Data dan Informasi –
Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik, Depkes RI, 2007).
Menurut World Health Organization (WHO) (2014) negara tersebut diantaranya
adalah Australia (32%), Brazil (54%), dan Colombia (43%). Angka kejadian SC di
Indonesia tahun 2005 sampai dengan 2011 rata-rata sebesar 7 % dari jumlah semua
kelahiran, sedangkan pada pada tahun 2006 sampai dengan 2012 rata-rata kejadian SC
meningkat menjadi sebesar 12% (WHO, 2013 & 2014).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan kelahiran
bedah sesar sebesar 9,8 % dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan
terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%).
World Health Organization(WHO) menyatakan bahwa persalinan dengan Seksio
Cesarea di dunia tahun 2008 sekitar 33 % dari semua proses persalinan dan di negara
– negara berkembang sekitar 10 % - 15 % ( Manuaba, 2009 ).
Pelaksanaan operasi Seksio Cesarea berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat
risiko mortalitas ibu dibandingkan pada persalinan pervaginam. Angka kematian pada
operasi caesar adalah 40 – 80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan
risiko 25 kali lebih besar di banding persalinan pervaginam.
Padahal WHO menganjurkan operasi caesarea hanya sekitar 10-15% dari
jumlah kelahiran namun pada kenyataannya persalinan seksio sesarea justru
mengalami peningkatan di Indonesia, pada tahun 2005 jumlah persalinan dengan
seksio sesarea sebanyak 8% dari seluruh persalinan, tahun 2006 15% dan tahun 2007
sebanyak 21%.
Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan karena adanya cedera atau
pembedahan (Agustina, 2009). Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen
jaringan dimana secara spesifik terdapat subtansi jaringan yang rusak atau hilang (
Widhiastuti, 2008).
Lama penyembuhan luka berdasarkan fase penyembuhan luka adalah fase
inflamasi (berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4), fase proliferasi (berlangsung
3-24 hari), fase maturasi dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan
memerlukan waktu lebih dari 1 tahun (Perry & Potter, 2006).
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas : Fase
koagulasi : setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka yang diikuti
dengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk klot hematoma. Proses
ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.
Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu
menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh
bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot
hematom mengalami degranulasi, melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet
derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor ß(βTGF), granulocyte
colony stimulating factor (G-CSF), C5a, TNFα, IL-1 dan IL-8. Leukosit bermigrasi
menuju daerah luka. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses penutupan
luka. Proses ini terjadi pada hari 2-4.
Fase proliperatif : Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah trauma.
Keratinosit disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan
desmosomal antara keratinosit pada membran basal menyebabkan sel keratin
bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks
protein ekstraselular (fibronectin,vitronectin dan kolagen tipe I). Faktor proangiogenik
dilepaskan oleh makrofag, vascular endothelial growth factor (VEGF) sehingga
terjadi neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi.
Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses
penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi luka,
akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang memberikan
kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling
kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi matriks
metalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada masa 3
minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan
normal (Hunt,2003; Mann ,dkk;2001, Ting,dkk;2008).
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan
Diploma IV Keperawatan di Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang
Oleh :
INEKE NOVIANA
NIM : P172111750006
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM SRUDI DIPLOMA IV KEPERAWATAN MALANG
ALIH JENJANG TAHUN 2017