Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gangguan Jiwa


2.1.1 Pengertian
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sejahtera secara fisik, sosial dan
mental yang lengkap dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau
kecacatan. Atau dapat dikatakan bahwa individu dikatakan sehat jiwa
apabila berada dalam kondisi fisik, mental dan sosial yang terbebas dari
gangguan (penyakit) atau tidak dalam kondisi tertekan sehingga dapat
mengendalikan stress yang timbul. Sehingga memungkinkan individu
untuk hidup produktif, dan mampu melakukan hubungan sosial yang
memuaskan (Nurhalimah, 2016).
Kesehatan jiwa adalah berbagai karasteristik positif yang
menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadiannya (Menururt WHO). Kesehatan
jiwa adalah kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan
mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari
stress yang serius. Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisisk, intelektual, emosi secara optimal dari seseorang, dan
perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain (UU Kesehatan Jiwa
No. 3 Tahun 1966) (Kusumawati, dan Hartono, 2012).
Gangguan jiwa menurut American Psychiatric Assocication (APA)
tahun 1994 adalah suatu syndrome atau pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang yang dikaitkan dengan
adanya distress atau disabilitas atau disertai peningkatan resiko kematian
yang menyakitkan, nyeri, atau sangat kehilangan kebebasan (Videbeck,
2008). Gangguan jiwa adalah pada fungsi mental yang meliputi emosi,

6
7

pikiran, prilaku, perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya tarik diri,


dan persepsi sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat
(Nasir & Munith, 2011).
Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab. Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan
penyakit tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya ditandai adanya
penyimpangan yang fundamental, karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Yusuf, 2015).

2.1.2 Penyebab gangguan jiwa


Manusia bereaksi secara keseluruhan—somato-psiko-sosial. Dalam
mencari penyebab gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala
gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan
menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Yusuf, 2015).
1. Faktor somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada
neuroanatomi, neurofsiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat
kematangan dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan
perinatal.
2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan
anak, peranan ayah, persaingan antarsaudara kandung, hubungan dalam
keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor
intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi
juga akan memengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah.
Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat mengakibatkan
kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan.
3. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola
mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok
minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan
kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan keagamaan
8

2.1.3 Klasifikasi Gangguan Jiwa


Secara umum, klasifkasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa
berat/kelompok psikosa dan (2) gangguan jiwa ringan meliputi semua
gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, panik, gangguan
alam perasaan, dan sebagainya. Untuk skizofrenia masuk dalam kelompok
gangguan jiwa berat. Klasifkasi diagnosis keperawatan pada pasien
gangguan jiwa dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North
American Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing
Intervention Classifcation) NOC (Nursing Outcame Criteria). Untuk di
Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah
keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Pada penelitian
tahun 2000, didapatkan tujuh masalah keperawatan utama yang paling
sering terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu (Yusuf, 2015):
1. Perilaku kekerasan;
2. Halusinasi;
3. Menarik diri;
4. Waham;
5. Bunuh diri;
6. Defsit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri, makan,
aktivitas sehari-hari, buang air)
7. Harga diri rendah.
Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh
diagnosis keperawatan terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah
sakit jiwa di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Perilaku kekerasan.
2. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan,
verbal).
9

3. Gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran, penglihatan,


pengecap, peraba, penciuman).
4. Gangguan proses pikir.
5. Kerusakan komunikasi verbal.
6. Risiko bunuh diri.
7. Isolasi sosial.
8. Kerusakan interaksi sosial.
9. Defsit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi).
10. Harga diri rendah kronis.
Dari seluruh klasifikasi diagnosis keperawatan yang paling sering
ditemukan di rumah sakit jiwa ini, telah dibuat standar rencana tindakan
yang dapat digunakan acuan perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan kesehatan jiwa.

2.1.4 Keperawatan Jiwa


Menurut American Nurses Association (ANA). Keperawatan jiwa
adalah area khusus dalam praktik keperawatan yang menggunakan ilmu
tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara
terapeutik dalam meningkatkan, mempertahankan, serta memulihkan
kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat di mana klien
berada. Fokusnya adalah penggunaan diri sendiri secara terapeutik, artinya
perawat jiwa membutuhkan alat dan media untuk melakukan perawatan.
Alat yang digunakan selain keterampilan teknik dan alat-alat klinik, yang
terpenting adalah menggunakan dirinya sendiri (use self therapeutic).
Sebagai contoh gerak tubuh (posture), mimic wajah (face
expression),bahasa (language), tatapan mata (eye), pendengaran (listening),
sentuhan (touching), nada suara (vocalization), daan sebagainya
(Kusumawati dan hartono, 2012).
10

2.1.5 Peran Perawat Jiwa


Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi
dan spesifik (Prabowo, 2014). Aspek dari peran tersebut meliputi
kemandirian dan kolaborasi diantaranya adalah yang pertama yaitu sebagai
pelaksana asuhan keperawatan, yaitu perawat memberikan pelayanan dan
asuhan keperawatan jiwa kepada individu, keluarga dan komunitas. Dalam
menjalankan perannya, perawat menggunakan konsep perilaku manusia,
perkembangan kepribadian dan konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada individu, keluarga dan
komunitas. Perawat melaksanakan asuhan keperawatan secara
komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan jiwa, yaitu
pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan tindakan
keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan serta evaluasi
terhadap tindakan tersebut.
Menurut Clinton dan Nelson, perawat jiwa berusaha menemukan dan
memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu seperti kebutuhan fisik
(psysiologis needs), kebutuhan rasa aman (safety needs), kebutuhan
mencintai dan disayangi (belonging loving needs), kebutuhan harga diri
(self esteem) dan kebutuhan aktualisasi (actualization needs). Klien
gangguan jiwa umumnya mengalami gangguan selain fisiologis sebagai
keluhan utama, tetapi selanjutnya seluruh kebutuhan menjadi terganggu
sebagai dampak terganggunya kebutuhan psikologis. Sebagai contoh
banyak klien gangguan jiwa yang merasa tidak aman atau tidak diterima
oleh lingkungan, hilangnya rasa cinta akibat ditinggal mati oleh orang yang
berarti, terganggunya harga diri akibat PHK, atau tergangguanya
aktualisasi diri akibat gagal dalam sekolah. Perawat berupaya memenuhi
kebutuhan kebutuhan tersebut dengan menjalin rasa percaya (trust), dan
11

berusaha memahami apa yang dirasakan oleh kliennya (empathy)


(Kusumawati dan Hartono, 2012).

2.2 Konsep Waham


2.2.1 Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai
dengan fakta dan keyakinan itu mmungkin “aneh” (missal, mata saya
adalah computer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa juga “tidak
aneh” (hanya sangat tidak mungkin, misal, “FBI mengikuti saya”) dan
tetap dipertahankan meski telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas
untuk mengoreksinya (Tomb, 2013).
Menurut Yusuf (2015) waham adalah suatu keyakinan yang salah
yang dipertahankan secara kuat atau terusmenerus, tapi tidak sesuai
dengan kenyataan. Waham adalah termasuk gangguan isi pikiran.
Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di dalam isi
pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifk sering ditemukan pada penderita
skizofrenia.
Myers dalam Sutejo (2018) menyatakan bahwa waham adalah
keyakinan atau persepsi palsu yang tetap tidak dapat diubah meskipun
ada bukti yang membantahnya. Waham merupakan suatu keyakinan
yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terusmenerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
Waham merupakan gejala spesifik psikosis. Psikosis sendiri
merupakan gangguan jiwa yang berhubungan dengan ketidakmampuan
seseorang dalam menilai realita dan fantasi yang ada di dalam dirinya.
12

2.2.2 Proses Terjadinya Waham


Proses terjadinya waham menurut Yusuf (2015) adalah sebagai
berikut :
1. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need).
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik
secara fsik maupun psikis. Secara fsik, pasien dengan waham dapat
terjadi pada orang dengan status social dan ekonomi sangat terbatas.
Biasanya pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Hal itu terjadi karena adanya kesenjangan
antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki finansial yang cukup
dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki berbagai
kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami
perasaan menderita, malu, dan tidak berharga.
3. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and
external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang
ia yakini atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi
kekurangan, dan tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi
kenyataan bagi pasien adalah sesuatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, dianggap penting, dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, sebab kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
13

dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan


menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi
tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alas an pengakuan
pasien tidak merugikan orang lain.
4. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien
dalam lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-
kelamaan pasien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Oleh
karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi
perasaan dosa saat berbohong.
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering
menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
5. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi,
keyakinan yang salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham
sering berkaitan dengan kejadian traumatic masa lalu atau berbagai
kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain.

2.2.3 Tanda dan gejala


Tanda dan gejala waham menurut Kusumawati dan Hartono
(2012) adalah sebagai berikut :
14

1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)


Cara berfikir magis dan primitive, perhatian, isi pikir, bentuk dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumstansial).
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek tumpul-- kurang respon emosional, afek datar, afek tidak
sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen.
4. Fungsi motorik
Imfulsif --gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik--
gerakan yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi
stimulus yang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial kesepian
Isolasisosial, menarik diri dan harga diri rendah.
6. Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologist yang sering
muncul adalag gangguan isi pikir : waham dan PSP : halusinasi

2.2.4 Klasifikasi Waham


Klasifikasi waham menurut Prabowo (2014) adalah sebagai berikut :
1. Waham kebesaran.
Penderita merasa dirinya orang besar, berpangkat tinggi, orang yang
pandai sekali, orang kaya.
2. Waham dosa
Timbul perasaan bersalah yang luar biasa dan merasakan suatu dosa
yang besar. Penderita percaya sudah selayaknya ia dihukum berat.
3. Waham kejaran
Individu merasa dirirnya senantiasa dikejar-kejar oleh oranng lain
atau sekelompok orangyang bermaksud berbuat jahat padanya.
15

4. Waham curiga.
Individu merasa selalu disindir oleh orang-oeang disekitarnya.
Individu curiga terhadap sekitarnya. Biasanya individu yang
mempunyai waham ini mencari-cari hubungan antara dirinya dengan
orang lain di sekitarnya, yang bermaksud menyindirnya atau
menuduh hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya. Dalam bentuk
yang lebih ringan, kita kenal “ideas of reference” yaitu ide atau
perasaan bahwa peristiwa tertentu atau perbuatan-perbuatan tertentu
dari orang lain (senyuman, gerak-gerik tangan, nyanyian dan
sebagainya) mempunyai hubungan dengan dirinya.
5. Waham cemburu
Selalu cemburu pada orang lain.
6. Waham somatic atau hipokondria
Keyakinan tentang berbagai penyakit yang berada pada tubuhnya
seperti ususnya yang membusuk otak yang mencair.
7. Waham agama
Waham yang keyakinan dan pembicaraan selalu tentang agama.
8. Waham nihilistic
Keyakinan bahwa dunia ini sudah hancur atau dirinya sendiri sudah
meninggal.
9. Waham pengaruh
Yaitu pikiran, emosi dan perbuatannya diawasi atau dipengaruhi oleh
orang lain atau kekuatan.

2.2.5 Etiologi (Yosep, 2009)


1. Faktor predisposisi
a. Genetik, faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam
perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki
16

anggota keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara


kandung, sanak saudara lain).
b. Neurobiologis, adanya gangguan pada kosteks pre frontal dan
korteks limbic.
c. Neurotransmiter : abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan
glutamate.
d. Virus : paparan virus influenza pada trimester III.
e. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan.
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.

2.2.6 Rentang Respon Waham


Rentang Respon Waham

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Pikiran kadang Gangguan proses


Persepsi akurat menyimpang Ilusi pikir: waham
Emosi konsisten reaksi emosional Halusinasi
dengan pengalaman berlebihan atau Kesulitan
Perilaku sesuai kurang memproses emosi
berhubungan s esuai Ilusi prilaku aneh Ketidakteraturan dalam
atau tak lazim prilaku isolasi sosial
Menarik diri
17

2.2.7 Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada
penatalaksanaan skizofrenia secara umum menurut Townsend
(1998), Kusumawati dan Hartono (2012) antara lain :
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan
mengurangi gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis
awal : 3×25 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya
optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan
psikotik menarik diri. Dosis awal : 3×1 mg, dan bertahap
dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik,
psikosis,dan mania. Dosis awal : 3×0,5 mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi
gangguan waham. Pada kondisi gawat darurat, klien yang
teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara
intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon
dengan obat pada dosis yang cukup dalam waktu 6
minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan.
Penyebab kegagalan pengobatan yang paling sering adalah
ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus
diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi
18

yang berhasil dapat ditandai adanya suatu penyesuaian


sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane), untuk semua bentuk
parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15
mg/hari
Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3) Anti Depresan
Amitriptylin, untuk gejala depresi, depresi oleh karena
ansietas, dan keluhan somatik. Dosis : 75-300 mg/hari.
Imipramin, untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan
depresi neurotik. Dosis awal : 25 mg/hari, dosis pemeliharaan :
50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan
somatroform, kelainan disosiatif, kelainan kejang, dan untuk
meringankan sementara gejala-gejala insomnia dan ansietas.
Obat- obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
Fenobarbital : 16-320 mg/hari
Meprobamat : 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari
b. Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan
hubungan saling percaya. Terapi individu lebih efektif dari pada
terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun
menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan
19

tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat


perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah
hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan
yang berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan
klien, karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi.
Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu
kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan
wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman
internal klien, dan harus mampu menampung semua ungkapan
perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda pasti merasa
sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui
setiap mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya
ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien
memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang
kaku, perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai
depresi, dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan
kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah
ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat dilakukan.
c. Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga
klien, sebagai sekutu dalam proses pengobatan. Keluarga akan
memperoleh manfaat dalam membantu ahli terapi dan membantu
perawatan klien.
20

2.2.8 Prinsip Dalam Merawat Pasien Waham


a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Bina hubungan saling percaya.
a) Mengucapkan salam terapeutik.
b) Berjabat tangan.
c) Menjelaskan tujuan interaksi.
d) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
2) Bantu orientasi realitas.
a) Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
b) Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
c) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
d) Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya,
dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal
sampai pasien berhenti membicarakannya.
e) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai
dengan realitas.
3) Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan
marah.
a) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fsik
dan emosional pasien.
b) Berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki
c) Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
d) Berdiskusi tentang obat yang diminum.
e) Melatih minum obat yang benar.
21

b. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1) Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami
pasien.
2) Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut.
a) Cara merawat pasien waham di rumah.
b) Follow up dan keteraturan pengobatan.
c) Lingkungan yang tepat untuk pasien.
3) Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama
obat, dosis, frekuensi, efek samping, akibat penghentian
obat).
4) Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang
memerlukan konsultasi seger

2.2.9 Asuhan Keperawatan Waham


1. Pengkajian
Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham, yaitu pasien
menyatakan dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan,
pendidikan, atau kekayaan luar biasa, serta pasien menyatakan
perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau sekelompok orang. Selain
itu, pasien menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada dalam
tubuhnya, menarik diri dan isolasi, sulit menjalin hubungan
interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang berlebihan,
kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara
memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau menangis
sendiri, rasa tidak percaya kepada orang lain, dan gelisah.
Menurut Kusumawati dan Hartono (2012) beberapa hal yang
harus dikaji antara lain sebagai berikut :
22

a. Status mental
2) Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang
sangat normal, kecuali bila ada sistem waham abnormal yang
jelas.
3) Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
4) Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
5) Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang
peningkatan identitas diri dan mempunyai hubungan khusus
dengan orang yang terkenal.
6) Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan
adanya kualitas depresi ringan.
7) Pasien dengan waham tidak memiliki halusinasi yang
menonjol/menetap kecuali pada pasien dengan waham raba
atau cium. Pada beberapa pasien kemungkinan ditemukan
halusinasi dengar.
b. Sensorium dan kognisi (Kusumawati dan Hartono, 2012)
1) Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali
yang memiliki waham spesifk tentang waktu, tempat, dan
situasi.
2) Daya ingat dan proses kognitif pasien dengan utuh (intact).
3) Pasien waham hampir seluruh memiliki daya tilik diri (insight)
yang jelek.
4) Pasien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika
membahayakan dirinya, keputusan yang terbaik bagi pemeriksa
dalam menentukan kondisi pasien adalah dengan menilai
perilaku masa lalu, masa sekarang, dan yang direncanakan.
23

Tanda dan gejala waham dapat juga dikelompokkan sebagai berikut.


a. Kognitif
1) Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
2) Individu sangat percaya pada keyakinannya.
3) Sulit berpikir realita.
4) Tidak mampu mengambil keputusan.
b. Afektif
1) Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) Afek tumpul.
c. Perilaku dan hubungan social
2) Hipersensitif
3) Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
4) Depresif
5) Ragu-ragu
6) Mengancam secara verbal
7) Aktivitas tidak tepat
8) Streotif
9) Impulsif
10) Curiga
d. Fisik
1) Kebersihan kurang
2) Muka pucat
3) Sering menguap
4) Berat badan menurun
5) Nafsu makan berkurang dan sulit tidur
24

2. Diagnosis
Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan bahwa diagnosis
keperawatan waham adalah (Stuart dalam Sutejo, 2018):

GANGGUAN PROSES PIKIR: WAHAM


Gambar. Pohon Masalah Diagnosis Gangguan Proses Pikir: Waham

Risiko kerusakan kamunikasi


verbal

Perubahan proses piker: waham

Gangguan konsep diri: harga


diri rendah kronis

a. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.


b. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri
rendah
3. Intervensi
Diagnosa utama
Risiko mencederai diri/ orang lain/ lingkungan b.d waham
Tujuan umum
Klien mampu mengontrol perilakunya sehingga tidak mencederai
diri/orang lain/ lingkungan.
Tujuan khusus
a. Klien mampu membina hubungan saling percaya
b. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
c. Klien mampu mengidentifikasi kebutuhan yang tidak mampu
dipenuhi
d. Klien mampu behubungan dengan realitas
e. Klien mampu mendapatkan dukungan keluarga
25

f. Klien mampu memanfaatkan obat.


4. Evaluasi
Sejauh mana klien dan keluarga mampu melakukan hal-hal sebagai
berikut :
a. Mengontrol perilaku sehari-hari terkait waham dan
kekambuhannya.
b. Memanfaatkan obat yang teratur dan sesuai program, alasan,
frekuensi dan efek obat.
c. Berperan aktif merawat klien di RS, persiapan pulang dan di
rumah.
d. Memanfaatkan sumber-sumber komunikasi/ masyarakat.
5. Evaluasi
e. Pasien mampu melakukan hal berikut.
1) Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
2) Berkomunikasi sesuai kenyataan.
3) Menggunakan obat dengan benar dan patuh.
f. Keluarga mampu melakukan hal berikut.
1) Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai
kenyataan.
2) Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan pasien.
3) Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai
efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam,
yaitu (1) evaluasi proses atau evaluasi formatif, yang dilakukan setiap
selesai melaksanakan tindakan, dan (2) evaluasi hasil atau sumatif,
yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan
26

khusus dan umum yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dengan


pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut :
S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data
yang kontradiksi terhadap masalah yang ada.
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
2. Rencana dimodifkasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan
semua tindakan tetapi hasil belum memuaskan).
3. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak
belakang dengan masalah yang ada).
27

2.2.10 Strategi Pelaksanaan Waham


1. Kondisi Klien :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang
agama, kebesaran, curiga, keadaan dirinya) berulang kali secara
berlebihan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Klien tampak tidak
mempercayai orang lain, curiga, bermusuhan. Takut, kadang panik.
Tidak tepat menilai lingkungan / realitas. Ekspresi tegang, mudah
tersinggung
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan proses pikir : waham
3. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap
b. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar
c. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
d. Pasien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar
4. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham, saudara
harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar
pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
saudara. Tindakan yang harus saudara lakukan dalam rangka
membina hubungan saling percaya adalah:
1) Mengucapkan salam terapeutik
2) Berjabat tangan
3) Menjelaskan tujuan interaksi
4) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali
bertemu pasien.
28

b. Bantu orientasi realita


1) Tidak mendukung atau membantah waham pasien
2) Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
3) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
4) Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya
dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal
sampai pasien berhenti membicarakannya
5) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai
dengan realitas.
6) Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak
terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut dan
marah.
7) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional pasien
8) Berdikusi tentang kemampuan positif yang dimiliki
9) Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki
10) Berdiskusi tentang obat yang diminum
11) Melatih minum obat yang benar
5. Strategi Tindakan
SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan cara memenuhi kebutuhan;
mempraktekkan pemenuhan kebutuhan yang tidak terpenuhi
SP 2 Pasien : Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu
mempraktekkannya
SP 3 Pasien : Mengajarkan dan melatih cara minum obat

Anda mungkin juga menyukai