Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ILMIAH

ABORTUS HABITUALIS

Oleh :
Vidi Aditya Pamori W. P. (G99141103)
Andreas Peter Patar B. S. (G99141110)
Afrizal Tri Heriyadi (G99142074)

Pembimbing: H. Eka Budi Wahyana, dr., Sp.OG, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN/ SMF OBSTETRI GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD SOEDIRAN M. S.
WONOGIRI
2015

1
PENDAHULUAN

Abortus (keguguran) merupakan salah satu penyebab perdarahan yang


terjadi pada kehamilan trimester pertama dan kedua. Perdarahan ini dapat
menyebabkan berakhirnya kehamilan atau kehamilan terus berlanjut. Secara
klinis, 10 15% kehamilan yang terdiagnosis berakhir dengan abortus
(Wiknjosastro, 2006).

Kasus abortus sebenarnya angkanya lebih besar daripada yang disebutkan


di atas, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak tercatat, dan tidak
diketahui. Seorang wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia
hamil. Abortus bisa juga tidak diketahui karena hanya dianggap sebagai
menstruasi yang terlambat (siklus memanjang), dan insiden abortus kriminalis
yang pada umumnya tidak dilaporkan.

Abortus dapat diklasifikasikan menjadi abortus aspontan dan provokasi


salah satunya adalah abortus habitualis yang merupakan abortus spontan yang
terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-turut (Standar Pelayanan Medik Obstetri
dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2006).

Prevalensi abortus habitualis diperkirakan terjadi pada 1-3% kehamilan.


Faktor umur dan keberhasilan kehamilan sebelumnya merupakan faktor
independen yang dapat menyebabkan terjadinya abortus habitualis.

Abortus dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan dapat


menimbulkan syok, perforasi, infeksi, dan kerusakan faal ginjal (renal failure)
sehingga mengancam keselamatan ibu. Kematian dapat terjadi apabila
pertolongan tidak diberikan secara cepat dan tepat.

2
ABORTUS

A. DEFINISI
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum
janin mampu bertahan hidup pada usia kehamilan sebelum 20 minggu
didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir atau berat janin
kurang dari 500 gram (Obstetri Williams, 2006).
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang
terkecil, yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat
badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang
dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka
abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai
berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Sarwono, 2009).

B. ETIOLOGI
Penyebab abortus dapat dibagi menjadi 3 faktor yaitu:
1. Faktor janin : kelainan genetik, ini terjadi pada 50%-60% kasus abortus.
2. Faktor ibu :
a. Kelainan endokrin (hormonal) misalnya kekurangan tiroid, kencing
manis.
b. Faktor kekebalan (imunologi), misalnya pada penyakit lupus,
Antiphospholipid syndrome.
c. Infeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman,
toksoplasma , herpes, klamidia.
d. Kelemahan otot leher rahim
e. Kelainan bentuk rahim.
3. Faktor Ayah : kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat
menyebabkan abortus.

3
Selain 3 faktor di atas, faktor penyebab lain dari kehamilan abortus adalah:
1. Faktor genetik
Sekitar 5% abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering
ditemukannya kromosom trisomi dengan trisomi 16. Penyebab yang paling
sering menimbulkan abortus spontan adalah abnormalitas kromosom pada
janin. Lebih dari 60% abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama
menunjukkan beberapa tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik
yang paling sering terjadi adalah aneuploidi (abnormalitas komposisi
kromosom) yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan. Poliploidi
menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi akibat
kelainan kromosom.
2. Faktor anatomi
Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul pada 10%-
15% wanita dengan abortus spontan yang rekuren.
a Lesi anatomi kogenital yaitu kelainan Duktus Mullerian (uterus
bersepta). Duktus mullerian biasanya ditemukan pada abortus trimester
kedua.
b Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah
endometrium.
c Kelainan yang didapat, misalnya adhesi intrauterin (synechia),
leimioma, dan endometriosis. Abnormalitas anatomi maternal yang
dihubungkan dengan kejadian abortus spontan yang berulang termasuk
inkompetensi serviks, kongenital dan defek uterus yang didapatkan
(acquired).
3. Faktor endokrin
Faktor endokrin berpotensial menyebabkan aborsi pada sekitar 10-20 %
kasus.
a Insufisiensi fase luteal ( fungsi corpus luteum yang abnormal dengan
tidak cukupnya produksi progesteron).

4
b Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidismus,
diabetes melitus dan defisisensi progesteron. Pengendalian glukosa
yang tidak adekuat dapat menaikkan insiden abortus (Sutherland dan
Pritchard, 1986). Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi
hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan
dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi
mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis
akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian
turut berperan dalam peristiwa kematiannya.
4. Faktor infeksi
Termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC (Toksoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin sering dihubungkan
dengan abortus spontan berulang.
5. Faktor imunologi
Terdapat antibodi kardiolipid yang mengakibatkan pembekuan darah di
belakang plasenta sehingga mengakibatkan kematian janin karena
kurangnya aliran darah dari plasenta tersebut. Faktor imunologis yang
telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan yang
berulang antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan antibodi
kardiolipid. Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi
antigen antibodi dapat menyebabkan abortus habitualis, karena pelepasan
histamin mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler.
6. Faktor Nutrisi
Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar
menjadi predisposisi abortus.
7. Obat-obat rekreasional dan toksin lingkungan
8. Faktor psikologis
Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus yang berulang dengan
keadaan mental. Yang peka terhadap terjadinya abortus ialah wanita yang
belum matang secara emosional dan sangat penting dalam menyelamatkan
kehamilan.

5
C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau
seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua.
Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan
secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam
cavum uteri atau di kanalis servikalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat
proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme di atas juga terjadi atau
diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan
pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum
uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih
melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan
pervaginam yang banyak.
Pada kehamilan minggu ke 14 – 22, janin biasanya sudah dikeluarkan
dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-
kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan
gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak.
Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya
perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo, 2002).

D. KLASIFIKASI ABORTUS
1. Abortus Spontan
Terjadi tanpa intervensi dari luar dan hanya disebabkan oleh faktor-faktor
alamiah. Berdasarkan aspek klinis, abortus spontan dibagi menjadi :
a Abortus iminens

6
merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan.
b Abortus insipiens
adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi
masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.
c Abortus kompletus
adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.
d Abortus inkompletus
adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih
ada yang tertinggal.
e Abortus tertunda (missed abortion)
Abortus tertunda adalah keadaan di mana janin sudah mati, tetapi tetap
berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih.
Pada abortus tertunda akan dijimpai amenorea, yaitu perdarahan
sedikit-sedikit yang berulang pada permulaannya, serta selama
observasi fundus tidak bertambah tinggi, malahan tambah rendah. Pada
pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan ada darah sedikit (Mochtar,
2002).
f Abortus habitualis (recurrent abortion)
Menurut Mochtar (2002), abortus habitualis merupakan abortus yang
terjadi tiga kali berturut-turut atau lebih.
g Abortus infeksius
Abortus infeksius ialah abortus yang disertai infeksi pada alat
genitalia.
h Abortus septik
Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan
penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau

7
peritoneum. bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik adalah
seperti Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Proteus vulgaris,
Hemolytic streptococci dan Staphylococci (Mochtar, 2002; Dulay,
2010).
2. Abortus Provokatus
Tindakan abortus yang sengaja dilakukan. Dibedakan menjadi dua, yaitu :
a Abortus Provokatus Medisinalis
Abortus yang dilakukan atas dasar indikasi vital. Tindakan itu harus
disetujui oleh tiga orang dokter yang merawat ibu hamil, yaitu :
(1) Dokter yang sesuai dengan indikasi penyakitnya
(2) Dokter anestesi
(3) Dokter ahli Obstetri dan Ginekologi
Indikasi vital yang dimaksudkan adalah :
(1) Penyakit ginjal
(2) Penyakit jantung
(3) Penyakit paru berat
(4) Diabetes mellitus berat
(5) Karsinoma
Indikasi sosial diantaranya :
(1) Kegagalan pemakaian KB
(2) Grandemultipara
(3) Kehamilan IQ rendah
(4) Kehamilan akibat perkosaan
(5) Kehamilan dengan penyakit jiwa
b Abortus Provokatus Kriminalis
Abortus yang dilakukan pada kehamilan yang tidak diinginkan.
Dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih sehingga sering
menimbulkan ‘trias’ komplikasi yaitu perdarahan, trauma alat
genitalia/jalan lahir, infeksi hingga syok sepsis.

8
Tipe abortus yang dapat diperhatikan :

Gambar Abortus iminens Gambar Abortus insipiens

Gambar Abortus kompletus Gambar Abortus inkompletus

Gambar Abortus tertunda (missed abortion)

(Manuaba et al, 2010)

9
E. ABORTUS HABITUALIS
1. Definisi
Abortus habitualis didefinisikan sebagai abortus spontan yang
terjadi tiga kali atau lebih secara berturut-turut (Standar Pelayanan Medik
Obstetri dan Ginekologi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia,
2006).
Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan
urutan, tetapi definisi yang paling luas diterima adalah abortus spontan
berturut- turut selama tiga kali atau lebih (Cunningham, 2005).
2. Etiologi
a Kelainan zigot
Agar bisa terjadi kehamilan, dan kehamilan itu dapat berlangsung terus
dengan selamat, perlu adanya penyatuan antara spermatozoon yang
normal dengan ovum yang normal pula. Kelainan genetik pada suami
atau istri dapat menjadi sebab kelainan pada zigot dengan akibat
terjadinya abortus.
b Gangguan hormonal
Luteal phase deficiency (LPD) adalah gangguan fase luteal yang bisa
menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu
cepat, mobilitas uterus yang berlebihan, dan kesukaran nidasi karena
endometrium tidak dipersiapkan dengan baik. Penderita dengan LPD
mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek, interval post
ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan recurrent
early losses.
c Gangguan nutrisi
Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit menahun dan lain-
lain dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga mengganggu persediaan
berbagai zat makanan untuk janin yang sedang tumbuh.
d Penyakit infeksi
Infeksi Toksoplasma, virus Rubela, Cytomegalo dan herpes merupakan
penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu dicurigai sebagai

10
penyebab abortus melalui mekanisme terjadinya plasentitis.
Mycoplasma, Lysteria dan Chlamydia juga merupakan agen yang
infeksius dan dapat menyebabkan abortus habitualis.
e Autoimmune disorder
Penyakit pembuluh darah kolagen lupus eritematosus sistemik (SLE)
dapat menyebabkan abortus, kemungkinan disebabkan oleh adanya
gangguan aliran darah. APS dikenal juga dengan nama Hughes
syndrome merupakan penyakit autoimun yang pada dekade akhir ini
makin dikenal sebagai salah satu penyebab abortus habitualis. Tipe
APS ada dua, yakni ”primer” bila tidak disertai dengan penyakit pokok
yang mendasari dan ”sekunder” bila APS ini berhubungan dengan
adanya SLE, penyakit autoimun lain, infeksi dan neoplasma.
f Kelainan pada serviks dan uterus
Abortus juga dapat disebabkan oleh kelainan anatomik bawaan,
laserasi uterus yang luas, serviks inkompeten yang membuka tanpa
rasa nyeri, sehingga ketuban menonjol dan pecah. Di mioma uteri
submukus terjadi gangguan implantasi ovum yang dibuahi atau
gangguan pertumbuhan dalam kavum uteri.
Kelainan bawaan dapat menjadi sebab abortus habitualis, antara
lain hipoplasia uteri, uterus subseptus, uterus bikornis, dan sebagainya.
g Faktor Psikologis
Yang peka terhadap terjadinya abortus ialah wanita yang belum
matang secara emosional, dan sangat mengkhawatirkan risiko
kehamilan, begitu pula wanita yang sehari-hari bergaul dalam dunia
pria dan menganggap kehamilan suatu beban yang berat.
3. Patofisiologi
Saat kehamilan, sistem pertahanan tubuh ibu berhadapan dengan
hasil konsepsi berupa host-defense reaction berdasar pada pengenalan dari
antigen fetal dan placental. Untuk menghindari rejeksi dari semi-allogenic
konseptus, sistem pertahanan tubuh ibu terdepresi dalam kehamilan yang
normal.

11
Abortus habitualis dipostulasikan terjadi oleh karena:
a Human Leucocyte Antigen (HLA) sharing
Pengenalan antigen fetus terganggu dikarenakan adanya gen
polimorfik.

Gambar Expression of human leukocyte antigen (HLA) molecules during


pregnancy and interactions between HLA class Ib molecules, natural killer (NK)
receptors and cytokines at the feto–placental interface.

b Defisiensi dari blocking antibody


Fetus tidak dapat memicu adanya maternal blocking antibodies dan
terjadilah abortus. Produksi blocking antibodies penting untuk
mencegah terjadinya abortus.

c Mekanisme yang melibatkan mediator imun dan sel suppresor


Peningkatan dari aktivitas sel sitotoksik terjadi dari aktivasi natural
killer cells, leukosit, limfosit dan makrofag yang ditemukan pada
wanita dengan abortus habitualis. Makrofag dapat memproduksi
sitokin seperti IL-2, Tumor Necrosis Factor, Interferon, di mana

12
sitokin-sitokin tersebut terjadi peningkatan produksi pada materno-
fetal interface. Sitokin-sitokin tersebut menyebabkan terjadinya
aktivitas embriotoksik maupun perusakan pada trofoblas placenta.
d Antiphospolipid Antibodies

Gambar Proposed mechanism for the pathogenic effects of antiphospholipid


antibodies on tissue injury
Antiphospolipid antibodies mempunyai target pada sel trofoblas
plasenta di mana antibodi ini mengaktivasi kaskade komplemen, C3
teraktivasi dan kemudian C5 teraktivasi. C5a memanggil dan
mengaktivasi neutrofil dan monosit dan menstimulasi pelepasan
mediator inflamasi, meliputi oksidan reaktif, enzim proteolitik,
kemokin, sitokin. Kelanjutan dari kejadian tersebut adalah terjadinya
kerusakan sel, dan kematian dari fetus.

Gambar. Mekanisme trombosis yang dipicu oleh antibodi antifosfolipid

13
Kemungkinan mekanisme trombosis yang dipicu oleh antibodi antifosfolipid :
(1) Sel endotel secara normal mengubah asam arakidonat membran plasma
menjadi prostasiklin, yang dibebaskan ke dalam sirkulasi dan mencegah
agregasi trombosit. Antibodi antifosfolipid mungkin mempermudah
terjadinya trombosis dengan menghambat sel endotel untuk menghasilkan
prostasiklin.
(2) Trombosit normalnya mengubah asam arakidonat membran plasma
menjadi tromboksan, yang kemudian dibebaskan dan memicu agregasi
trombosit. Antibodi antifosfolipid mungkin meningkatkan trombosis
dengan memperbanyak pembebasan tromboksan.
(3) Saat pembekuan, trombin membentuk kompleks di permukaan yaitu
trombomodulin dan protein S. Keberadaan Antibodi antifosfolipid ini
menghambat aktivasi dari protein S. Dengan adanya Antibodi
antifosfolipid juga menyebabkan faktor Va dan factor VIIIa inaktif
akibatnya koagulasi meningkat.

4. Diagnosis
Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan
anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia
yang menunjukkan gambaran klinik yang khas yaitu dalam kehamilan
trimester kedua terjadi pembukaan serviks tanpa rasa mulas, ketuban
menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mulas yang
selanjutnya diikuti dengan pengeluaran janin yang biasanya masih hidup
dan normal. Apabila penderita datang dalam trimester pertama, maka
gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan pemeriksaan vaginal tiap
minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak
lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten
dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium uteri internum melebar
>8 mm.

14
Riwayat perdarahan per vaginam merupakan keluhan yang paling
sering diungkapkan. Nyeri perut juga seringkali menyertai kondisi ini.
Gejala klasik yang biasanya menyertai setiap tipe abortus adalah kontraksi
uterus, perdarahan uterus, dilatasi serviks, dan presentasi atau ekspulsi
seluruh atau sebagian hasil konsepsi.
Dugaan abortus diperlukan beberapa kriteria sebagai berikut :
a Terlambat datang bulan
b Terjadi perdarahan
c Sakit perut
d Dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi
e Pemeriksaan hasil tes kehamilan dapat masih positif atau sudah negatif
Tanda-tanda vital harus diukur untuk menyingkirkan
ketidakstabilan hemodinamik. Pemeriksaan panggul bermanfaat untuk
memperkirakan usia gestasi. Pemeriksaan spekulum harus dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lokal perdarahan per vaginam dan
untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lokal perdarahan per
vaginam dan untuk menyingkirkan kemungkinan dikeluarkannya produk
konsepsi.
Hasil pemeriksaan fisik terhadap penderita bervariasi :
a Pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah perdarahan.
b Pemeriksaan fundus uteri :
(1) Tinggi dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan
(2) Tinggi dan besarnya sudah mengecil
(3) Fundus uteri tidak teraba di atas simfisis.
c Pemeriksaan dalam :
(1) Serviks uteri masih tertutup
(2) Serviks sudah terbuka dan teraba ketuban dan hasil konsepsi dalam
kavum uteri atau pada kanalis servikalis
(3) Besarnya rahim (uterus) sudah mengecil
(4) Konsistensinya lunak

15
Selain anamnesis rutin dan pemeriksaan fisik, hal-hal berikut
penting dilakukan:
(1) Siapkan silsilah tiga generasi kedua pasangan dan lengkapi riwayat
reproduksi menyeluruh (termasuk informasi patologis dan kariotipe
dari abortus sebelumnya).
(2) Lakukan pemeriksaan kariotipe kedua orangtua.
(3) Kerjakan histerosalfingogram, histereskopi atau laparoskopi untuk
menyingkirkan diagnosis kelainan anatomis saluran reproduksi.
(4) Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk T3, T4, TSH, skrining
kelainan glukosa (1 atau 2 jam setelah makan), SMA dan antibodi
antinuklear atau antibodi DNA rantai ganda.
(5) Rencanakan pemeriksaan skrining imunoligis untuk edua orangtua.
Dewasa ini meliputi pencitraan HLA-A, HLA-B dan transferin C.
konsultasi imunolgis juga mungkin berguna.
(6) Kerjakan biopsi endometrium dalam fase luteal atau dapatkan kadar
progesteron serum untuk menilai korpus luteum atau lakukan
keduanya.
(7) Lakukan skrinning terhadap adanya infeksi serviks atau jaringan
endometrium dengan biakan Listeria monositogenes, Klamidia,
Mikoplasma, U. Urealitikum, Neisseria gonorrheae, sitomegalovirus,
herpes simpleks dan titer serum untuk Treponema pallidum, Brusela
abortus dan Toksoplasma gondii.
5. Penatalaksanaan
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui.
Oleh karena itu, penanganannya cukup terdiri atas : memperbaiki keadaan
umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup,
larangan koitus saat hamil dan olah raga. Terapi dengan hormon
progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya
mempunyai pengaruh psikologis. Risiko perdarahan pervaginam yang
hebat maka perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik
yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika pasien hipotensi, diberikan

16
secara intravena-bolus salin normal (NS) untuk stabilisasi hemodinamik,
memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit
untuk diperiksa.
Pada serviks inkompeten, apabila penderita telah hamil maka
operasi untuk menguatkan ostium uteri internum sebaiknya dilakukan pada
kehamilan 12 minggu. Dasar operasi ialah memperkuat jaringan serviks
yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan
benang sutra atau dakron yang tebal. Bila terjadi gejala dan tanda abortus
insipiens, maka benang harus segera diputuskan, agar pengeluaran janin
tidak terhalang.
Tindakan untuk mengatasi inkompetensi serviks yaitu dengan
penjahitan mulut rahim yang dikenal dengan teknik Shirodkar Suture atau
dikenal juga dengan cervical cerclage atau pengikatan mulut lahir. Cara
ini bisa menghindari ancaman janin lahir prematur. Faktor keberhasilannya
hingga 85-90%. Tindakan ini biasanya dilakukan sebelum kehamilan
mencapai usia 20 minggu dengan mengikat mulut rahim agar tertutup
kembali sampai masa kehamilan berakhir dan janin siap untuk dilahirkan.
Tindakan pengikatan mulut rahim dilakukan dengan pembiusan lokal dan
menggunakan benang berdiameter 0,5 cm, yang bersifat tidak dapat
diserap oleh tubuh. Jahitan ini akan dilepas pada saat kehamilan mencapai
usia 36-37 minggu, atau saat bayi sudah siap dilahirkan. Agar tindakan
pengikatan berfungsi optimal. Pasien tidak boleh berhubungan seksual
dengan pasangan selama 1-2 minggu sampai ikatan cukup stabil.
Pengikatan ini umumnya akan dibuka setelah kehamilan mencapai 37
minggu, kehamilan cukup bulan sekitar 7 bulan, atau bila ada tanda-tanda
melahirkan.
Terapi harus dipandu oleh pemeriksaan diagnostik :
a Kesalahan genetik. Prtimbangkan inseminasi buatan dengan donor atau
fertilisasi in vitro dengan donor sel telur atau sperma

17
b Kelainan anatomis sistem reproduksi. Kerjakan operasi uterus (misal,
prosedur Jones, Tompkins, Strassman, Miomektomi), pemasangan
cincin serviks (abdominal atau vaginal) atau rekonstruksi serviks.
c Kelainan hormonal. Jika terjadi defisiensi hormon, berikan tiroid,
progesteron, klomifen sitrat.
d Infeksi. Berikan antibiotika yang tepat.
e Faktor imunologis. Nilai kebutuhan pemberian limfosit ayah yang
perifikasi untuk mengatasi antibodi penghambat (hanya dikerjakan di
pusat kesehatan yang secara teratur menggunakan terapi ini)
f Obat kelainan sistemik dengan tepat menggunakan terapi spesifik
untuk penyakit. Pemeriksaan kuantitatif gonadotropin korionik
manusia (HCG) serum, hitung darah lengkap, dan penentuan golongan
darah harus dilakukan. Berikut skema pengelolaan abortus habitualis.

18
F. Komplikasi
a Perdarahan
Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan.
Perdarahan dapat disebabkan oleh abortus yang tidak lengkap atau
cedera organ panggul atau usus. Perdarahan dapat diatasi dengan
pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu
pemberian transfusi darah. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak
tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit serta
keterlambatan pertolongan yang diberikan.
b Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri
yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu
staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma,
Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas
vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci,
staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp.,
Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa,
infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri
tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan
peritonium. Organisme-organisme yang paling sering mengakibatkan
infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus,
Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus
hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang
dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan
Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh
karena dapat membentuk gas.
c Sepsis
d Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dan karena infeksi berat
G. Prognosis

19
Wanita yang mengalami peristiwa abortus habitualis, umumnya
tidak mendapat kesulitan untuk hamil, akan tetapi kehamilannya tidak
dapat berlangsung terus dan terhenti sebelum waktunya, biasanya pada
trimester pertama tetapi kadang-kadang pada kehamilan yang lebih tua.
Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten,
“angka kesembuhan” setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara
70-85 %, apapun terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi,
dibandingkan dengan kehamilan secara umum. Warburton dan Fraser
(1964) mengungkapkan bahkan kemungkinan abortus habitualis adalah
25-30% berapapun jumlah abortus sebelumnya. Poland et al (1977)
mencatat bahwa apabila seorang wanita pernah melahirkan bayi hidup,
risiko untuk setiap abortus habitualis adalah 30%. Namun, apabila wanita
belum pernah melhairkan bayi hidup dan pernah mengalami paling sedikit
satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46%. Wanita dengan
abortus spontan tiga kali atau lebih berisiko lebih besar mengalami
kelahiran preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi
janin pada kehamilan berikutnya (Thom et al, 1992).

20
DAFTAR PUSTAKA

Backos M, Regan L. 2006. Recurrent Miscarriage. High Risk Pregnancy


Management Options. 3rd Edition. Ed: James,et.al. Philadelphia: Elsevier
Saunders, pp: 160-182.
Benson RC. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Ed. 9. Jakarta : EGC.
Bernstein PS, Rosenfield A (1998). Abortion and maternal health. Int J Gynaecol
Obstet, 63(1): 115-22.

Prawirohardjo, S. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Penerbit Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham et al. 2010. Recurrent Miscarriage. Abortion. Williams Obstetrics.


23rd Edition. New York: McGraw-Hil Companies Inc.

Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap L, Wenstrom KD.
2005. Williams Obstetrics 22nd ed. United States of America: The
McGraw-Hill Companies Inc, pp: 56-44; 134-145. Mochtar, Rustam.
2002. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.

Dulay, AT. 2010. Spontaneous Abortion (Miscarriage). The Merck Manuals


Online Medical Library. Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/sec18/ch263/ch263m.html.
[Accessed Juni 2015].

Gynecology Clerkship A Student To Student Guide. Second Edition. New York:


McGraw-Hill Companies Inc, pp: 140-141.
Hanretty KP. 2004. Recurrent Miscarriage. Multiple Pregnancy and Other
Antenatal Complication. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Edinburgh:
Churchill Livingstone, pp: 220-221.
Hviid TVF (2006). HLA-G in human reproduction: aspects of genetics, function
and pregnancy complications. Hum. Reprod. Update, 12(3), pp: 209-232.

21
Kalalo LP, Darmadi S, Dachlan EG (2006). Laporan Kasus : Abortus Habitualis
pada Antiphospholipid Syndrome. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laborator. Vol. 12(2) : 82-87.
Manuaba Ida AC, Manuaba Ida BGF, Manuaba Ida BG. 2010. Buku Ajar
Penuntun Kuliah Ginekologi. Jakarta: Trans Info Media, pp: 250-278.

Norwitz ER, Schorge JO. 2008. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
Erlangga.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2006. Pelayanan Medik Obstetri
dan Ginekologi.

Pernoll ML. 2001. Habitual Abortion. Benson and Pernoll’s Handbook of


Obstetrics and Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies, pp:
305-307.
Qublan HS (2003). Habitual Abortion: Causes, Diagnosis and Treatment. Reviews
in Gynaecological Practice 3: 75–80.
Rayburn WF. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika.
Salmon JE et al (2007). The antiphospholipid syndrome as a disorder initiated by
inflammation: implications for the therapy of pregnant patients Nat Clin
Pract Rheumatol 3: 140–147.
Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF. 2005. Ilmu Kesehatan
Reproduksi: Obstetri Patologi. Ed. 2. Jakarta: EGC.
Stead GL. 2007. Recurrent Abortion. First Aid For The Obstetrics and
Tien JC, Tan TYT (2007). Non-surgical Interventions for Threatened and
Recurrent Miscarriages. Singapore Med J, 48(12): 1074.

22

Anda mungkin juga menyukai