Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HIPEREMESIS GRAVIDARUM

Pembimbing :
dr. Eka Budi Wahyana, Sp.OG

Disusun Oleh :
Aninda Dwi Anggraeni G99142028
Sheilla Elfira San P G99142107

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD Dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI
2015

PRAKATA

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah ini sebagai syarat selesainya stase Ilmu Kebidanan
dan Kandungan di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso, Wonogiri.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak

0
dapat kami sebutkan satu persatu yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini untuk kedepannya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang “Hiperemesis
Gravidarum” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan biasanya ditandai dengan adanya riwayat terlambat haid dan


keluhan mual muntah. Mual dan muntah dalam kehamilan dikenal dengan
morning sickness, dialami 80% wanita hamil. Mual dan muntah adalah gejala
yang umum dan wajar terjadi pada usia kehamilan trimester I . Mual biasanya
terjadi pada pagi hari, dapat juga timbul setiap saat dan pada malam hari. Gejala
ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir dan berlangsung ±
10 minggu. Derajat beratnya mual dan muntah yang terjadi pada kebanyakan
kehamilan sampai dengan gangguan yang berat dimana keluhan semakin
memburuk, menetap, hingga mengganggu aktivitas sehari-hari yang dikenal
dengan hiperemesis gravidarum (Prawirohardjo, 2007; Mochtar, 2012).
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal kehamilan
sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang begitu hebatnya
sehingga sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum, mengganggu pekerjaan
sehari-hari, berat badan menurun lebih dari 3 kg atau 5% berat badan, dehidrasi
dan terdapat aseton dalam urin, hipokalemia (Prawirohardjo, 2007; Mochtar,
2012).
Mual dan muntah mempengaruhi hingga 50% kehamilan, kebanyakan
perempuan mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet dan
simptom akan teratasi hingga akhir trimester I. Etiologinya belum diketahui
secara pasti, tetapi ada beberapa ahli yang menyatakan bahwa erat hubungannya
dengan endokrin, biokimia dan psikologis (Prawirohardjo, 2007; Mochtar, 2012).
Penelitian-penelitian memperkirakan bahwa mual dan muntah terjadi pada
50-90% dari kehamilan. Mual dan muntah terjadi pada 60-80% primigravida dan
40-60% multigravida. Dari seluruh kehamilan di USA 0,3-2% diantaranya
mengalami hiperemesis gravidarum. Mual dan muntah yang berkaitan dengan
kehamilan biasanya dimulai pada usia kehamilan 9-10 minggu, puncaknya pada
usia kehamilan 11-13 minggu, dan kebanyakan sembuh pada umur kehamilan 12-
14 minggu, 1-10% dapat berlanjut melampaui 20-22 minggu (Mochtar, 2012)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
A. Definisi Hiperemesis Gravidarum.
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal
kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang
begitu hebatnya sehingga segala apa yang dimakan dan diminum
dimuntahkan sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan
mengganggu pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi dan
terdapat aseton dalam urin (Prawirohardjo, 2007).
B. Insidensi
Di United States, hiperemesis gravidarum terjadi pada 0,5 – 2%
kehamilan. Dari penelitian ditemukan angka kejadian 0,8% untuk
hiperemesis gravidarum dan rata-rata 1,3% yang dirawat dirumah sakit
dengan rata-rata perawatan 2-4 hari. Sebelum ditemukan rehidrasi
intravena, hiperemesis adalah penyebab mayor kematian ibu, saat ini
kematian karena kasus ini sangat jarang. Hiperemesis adalah penyebab
kedua rawat inap dalam kehamilan setelah kehamilan preterm (Bottomley,
2009).
C. Etiologi
Mual dan muntah mempengaruhi hingga 50% kehamilan,
kebanyakan perempuan mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan
nutrisi dengan diet dan simptom akan teratasi hingga akhir trimester
pertama. Etiologinya belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa ahli
yang menyatakan bahwa erat hubungannya dengan endokrin, biokimia dan
psikologis (Prawirohardjo, 2007; Mochtar, 2012). Faktor-faktor yang
menjadi predisposisi diantaranya: (Tim Obsgin RSUD Ulin- FK UNLAM,
2008)
1. Sering terjadi pada primigravida, mola hidatidosa, diabetes dan
kehamilan ganda akibat peningkatan kadar hCG.
2. Faktor organik : masuknya vili khoriales dalam sirkulasi maternal
dan perubahan metabolik.
3. Faktor psikologik: keretakan rumah tangga, kehilangan pekerjaan,
rasa takut terhadap kahamilan dan persalinan, takut memikul
tanggung jawab dan sebagainya.
4. Faktor endokrin lainnya: hipertiroid, diabetes dan lain-lain.
D. Patogenesis

3
Etiologi hiperemesis gravidarum masih belum diketahui dengan
jelas meskipun beberapa faktor biologi, psikologi, dan sosio kultural yang
dapat berkontribusi sebagai penyebab. Teori lain juga mengatakan bahwa
muntah dan mual dalam kehamilan mungkin merupakan sebuah evolusi
adaptasi untuk mencegah intake makanan yang berpotensial memiliki
racun. Seperti substansi berbahaya berupa mikroorganisme dalam daging
atau toxin dalam sayur-sayuran. Dengan menghindari terkonsumsinya
komponen toksik tersebut, maka dianggap embrio terlindung dari
keguguran. Namun, hipotesis mengenai faktor endokrin adalah penyebab
primer yang paling sering dikutip (Jueckstock et al., 2010; Gunawan et al.,
2011; Verberg et al., 2005; Cunningham et al., 2005).
hCG adalah faktor endokrin yang berpengaruh pada hiperemesis
gravidarum. Kesimpulan ini berdasarkan hubungan antara produksi hCG
(pada pasien mola dan gemeli) dan fakta bahwa insiden hiperemesis paling
tinggi terjadi pada saat puncak produksi hCG selama kehamilan (sekitar 9
minggu). Bagaimana hCG dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum
masih belum jelas, namun diperkirakan mekanisme termasuk efek
merangsang proses sekresi pada saluran pencernaan bagian atas (GIT)
atau dengan menstimulasi fungsi tiroid karena kesamaan struktural dengan
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) (Verberg et al., 2005). Menurut teori
terbaru, peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (hCG) akan
menginduksi ovarium untuk memproduksi estrogen, yang dapat
merangsang mual dan muntah (Niebyl JR, 2010).
Estrogen memiliki efek pada beberapa mekanisme yaitu dapat
memodulasi beberapa faktor penyebab hiperemesis. Tingkat estrogen yang
tinggi menyebabkan waktu transit usus dan pengosongan lambung lebih
lambat, dan mengakibatkan peningkatan akumulasi cairan yang
disebabkan oleh hormon steroid tinggi. Pergeseran pH dalam GIT dapat
menyebabkan manifestasi subklinis dari Infeksi Helicobacter pylori, yang
dapat berhubungan dengan gejala sistem pencernaan (Jueckstock et al.,
2010).

4
Progesteron juga diduga menyebabkan mual dan muntah dengan
cara menghambat motilitas lambung dan irama kontraksi otot-otot polos
lambung (Siddik D, 2008). Penurunan kadar thyrotropin-stimulating
hormone (TSH) pada awal kehamilan juga berhubungan dengan
hiperemesis gravidarum meskipun mekanismenya belum jelas (Siddik D,
2008; Cunningham et al., 2005). Hiperemesis gravidarum merefleksikan
perubahan hormonal yang lebih drastis dibandingkan kehamilan biasa.
Secara historis, muntah pada wanita hamil juga dianggap mewakili
berbagai konflik psikologi. Mual dan muntah diyakini sebagai hasil
penolakan terhadap kehamilan atau ketidaksiapan untuk menjadi seorang
ibu akibat kepribadian yang tidak dewasa, kecemasan dan tekanan yang
dialami selama kehamilan. Hipotesis lain mengemukakan bahwa
hiperemesi gravidarum digambarkan dengan gejala histeria atau depresi.
Hiperemesis gravidarum dapat menajdi hasil dari stres psikogenik,
kemiskinan dan konflik perkawinan (Prawirohardjo, 2007).
E. Diagnosis
1. Menegakkan Diagnosis Kehamilan dan Hiperemesis Gravidarum
Penegakkan diagnosis hiperemesis gravidarum dimulai
dengan menegakkan diagnosis kehamilan terlebih dahulu (Siddik
D, 2008; Quinlan et al., 2003) Pada anamnesis dapat ditemukan
keluhan dapat ditemukan keluhan amenorea, serta mual dan
muntah berat yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Pemeriksaan
obstetrik dapat dilakukan untuk menemukan tanda-tanda
kehamilan, yakni uterus yang besarnya sesuai usia kehamilan
dengan konsistensi lunak dan serviks yang livid. Pemeriksaan
penunjang kadar β-hCG dalam urin pagi hari dapat membantu
menegakkan diagnosis kehamilan (Gunawan et al., 2011).
Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan untuk
membedakan beberapa kondisi mual dan muntah dalam kehamilan
(Gunawan et al., 2011).
Emesis Gravidarum Hiperemesis Gravidarum
 Mual dan muntah dikeluhkan  Mual dan muntah

5
terus melewati 20 minggu mengganggu aktivitas
pertama kehamilan sehari-hari
 Tidak mengganggu aktivitas  Mual dan muntah tidak
sehari-hari menimbulkan komplikasi
 Tidak menimbulkan komplikasi (ketonuria, dehidrasi,
patologis hipokalemia, penurunan
berat badan).

2. Menyingkirkan Penyebab Hiperemesis Lain


Keluhan muntah yang berat dan persisten tidak selalu
menandakan hiperemesis gravidarum. Penyebab-penyebab lain
seperti penyakit gastrointestinal, pielonefritis dan penyakit
metabolik perlu dieksklusi (Jueckstock et al., 2010). Satu indikator
sederhana yang berguna adalah awitan mual dan muntah pada
hiperemesis gravidarum biasanya dimulai dalam delapan minggu
setelah hari pertama haid terakhir. Karena itu, awitan pada trimester
kedua atau ketiga menurunkan kemungkinan hiperemesis
gravidarum. Demam, nyeri perut atau sakit kepala juga bukan
merupakan gejala khas hiperemesis gravidarum. Pemeriksaan
ultrasonografi perlu dilakukan untuk mendeteksi kehamilan ganda
atau mola hidatidosa (Siddik D, 2008).
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum antara lain
ulkus peptikum, kolestasis obstetrik, perlemakan hati akut,
apendisitis akut, diare akut, hipertiroidisme dan infeksi
Helicobacter pylori. Ulkus peptikum pada ibu hamil biasanya
adalah penyakit ulkus peptikum kronik yang mengalami
eksaserbasi sehingga dalam anamnesis dapat ditemukan riwayat
sebelumnya. Gejala khas ulkus peptikum adalah nyeri epigastrium
yang berkurang dengan makanan atau antasid dan memberat
dengan alkohol, kopi atau obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
Nyeri tekan epigastrium, hematemesis dan melena dapat ditemukan
pada ulkus peptikum (Gunawan et al., 2011).

6
Pada kolestasis dapat ditemukan pruritus pada seluruh
tubuh tanpa adanya ruam. ikterus, warna urin gelap dan tinja
berwarna pucat disertai peningkatan kadar enzim hati dan bilirubin
(Jueckstock et al., 2010; Siddik D, 2008; Ogunyemi, 2010). Pada
perlemakan hati akut ditemukan gejala kegagalan fungsi hati
seperti hipoglikemia, gangguan pembekuan darah, dan perubahan
kesadaran sekunder akibat ensefalopati hepatik (Siddik D, 2008;
Ogunyemi, 2010). Keracunan parasetamol dan hepatitis virus akut
juga dapat menyebabkan gambaran klinis gagal hati.
Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami demam
dan nyeri perut kanan bawah. Nyeri dapat berupa nyeri tekan
maupun nyeri lepas dan lokasi nyeri dapat berpindah ke atas sesuai
usia kehamilan karena uterus yang semakin membesar. Apendisitis
akut pada kehamilan memiliki tanda-tanda yang khas, yaitu tanda
Bryan (timbul nyeri bila uterus digeser ke kanan) dan tanda Alder
(apabila pasien berbaring miring ke kiri, letak nyeri tidak berubah)
(Siddik D, 2008).
Meskipun jarang, penyakit Graves juga dapat menyebabkan
hiperemesis. Oleh karena itu, perlu dicari apakah terdapat
peningkatan FT4 atau penurunan TSH. Kadar FT4 dan TSH pada
pasien hiperemesis gravidarum dapat sama dengan pasien penyakit
Graves, tetapi pasien hiperemesis tidak memiliki antibodi tiroid
atau temuan klinis penyakit Graves, seperti proptosis dan
pembesaran kelenjar tiroid. Jika kadar FT4 meningkat tanpa
didapatkan bukti penyakit Graves, pemeriksaan tersebut perlu
diulang pada usia gestasi yang lebih lanjut, yaitu sekitar 20 minggu
usia gestasi, saat kadar FT4 dapat menjadi normal pada pasien
tanpa hipertiroidisme (Niebyl JR, 2010; Quinlan et al., 2003).
Pemberian propiltiourasil pada pasien hipertiroidisme dapat
meredakan gejala-gejala hipertiroidisme, tetapi tidak meredakan
mual dan muntah.

7
Sebuah studi lain yang menarik menemukan adanya
hubungan antara infeksi kronik Helicobacter pylori dengan
terjadinya hiperemesis gravidarum. Pada studi tersebut, sebanyak
61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum
menunjukkan hasil tes deteksi genom H. Pylori yang positif
(Niebyl JR, 2010), namun studi tersebut masih kontroversial.
Sebuah studi lain di Amerika Serikat mendapatkan tidak terdapat
hubungan antara hiperemesis gravidarum dengan infeksi H. Pylori
(Lee at.al., 2005)
3. Deteksi Komplikasi Hiperemesis Gravidarum
Muntah yang terus-menerus disertai dengan kurang minum
yang berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi. Jika terus
berlanjut, pasien dapat mengalami syok. Dehidrasi yang
berkepanjangan juga menghambat tumbuh kembang janin (Siddik
D, 2008). Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik harus dicari
apakah terdapat abnormalitas tanda-tanda vital, seperti peningkatan
frekuensi nadi (>100 kali per menit), penurunan tekanan darah,
kondisi subfebris, dan penurunan kesadaran. Selanjutnya dalam
pemeriksaan fisis lengkap dapat dicari tanda-tanda dehidrasi, kulit
tampak pucat dan sianosis, serta penurunan berat badan.
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi
dibedakan lagi menjadi dehidrasi ringan, sedang dan berat seperti :
Klasifikasi dehidrasi berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik
Gejala/tanda Ringan (3-5%) Sedang (6-9%) Berat (10% atau
lebih)
Tingkat kesadaran Sadar Letargi Tidak sadar
Pengisian kembali 2 detik 2-4 detik >4 detik
kapiler
Membran mukosa Normal Kering Sangat kering
Denyut Jntung Sedikit meningkat Meningkat Sangat meningkat
Laju pernapasan Normal Meningkat Meningkat dan
hiperapnea
Tekanan darah Normal Normal;ortostatik Menurun
Denyut nadi Normal Cepat dan lemah Sangat

8
lemah/samar atau
tidak teraba
Turgor kulit Kembali normal Kembali lambat Tidak segera
kembali
Mata Normal Cekung Agak cekung
Keluaran urin Menurun Oligouri Anuri
Berdasarkan elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi
menjadi :
a. Dehidrasi hiponatremi atau hipotoni
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium
yang relatif lebih besar daripada air, dengan kadar natrium
kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat kadar natrium serum
kurang dari 120 mEq/L, maka akan terjadi edema serebral
dengan segala akibatnya, seperti apatis, anoreksia, nausea,
muntah, agitasi, gangguan kesadaran, kejang dan koma (Garna,
dkk., 2000). Kehilangan natrium dapat dihitung dengan rumus :
Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam
L) (0,6 x berat badan dalam kg)
S Na bearti konsentrasi natrium serum yang terukur,
sedangkan 135 adalah nilai normal rendah natrium serum. Pada
dehidrasi hipotonik atau hiponatremik, cairan ekstraseluler
relatif hipotonik terhadap cairan intraseluler, sehingga air
bergerak dari kompartemen ekstraseluler ke intraseluler.
Kehilangan volume akibat kehilangan eksternal dalam bentuk
dehidrasi ini akan makin diperberat dengan perpindahan cairan
ekstraseluler ke kompartemen intraseluler. Hasil akhirnya adalah
penurunan volume ekstraseluler yang dapat mengakibatkan
kegagalan sirkulasi (Behrman et al, 2000). Dehidrasi
hiponatremik dapat disebabkan oleh penggantian kehilangan
cairan dengan cairan rendah solut (Graber, 2003).
b. Dehidrasi Isonatremi atau Isotonik
Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya
cairan sama dengan konsentrasi natrium dalam darah.
Kehilangan natrium dan air adalah sama jumlahnya/besarnya

9
dalam kompartemen cairan ekstravaskular maupun
intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-
150 mEq/L (Huang et al, 2009). Tidak ada perubahan
konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik (Latief,
dkk., 2005).
c. Dehidrasi Hipernatremik atau Hipertonik
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan
yang hilang mengandung lebih sedikit natrium daripada darah
(kehilangan cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150
mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit daripada air,
karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke
intravaskular meminimalisir penurunan volume intravaskular
(Huang et al, 2009). Dehidrasi hipertonik dapat terjadi karena
pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak daripada air (Dell,
1973 dalam Suharyono, 2008). Cairan rehidrasi oral yang pekat,
susu formula pekat, larutan gula garam yang tidak tepat takar
merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap kejadian
hipernatremia (Segeren, dkk., 2005). Terapi cairan untuk
dehidrasi hipernatremik dapat sukar karena hiperosmolalitas
berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan
perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural.
Jejas serebri ini dapat mengakibatkan defisit neurologis
menetap. Seringkali, kejang terjadi selama pengobatan
bersamaan dengan kembalinya natrium serum ke kadar normal.
Selama masa dehidrasi, kandungan natrium sel-sel otak
meningkat, osmol idiogenik intraselular, terutama taurine,
dihasilkan. Dengan penurunan cepat osmolalitas cairan
ekstraselular akibat perubahan natrium serum dan kadang-
kadang disertai penurunan konsentrasi subtansi lainnya yang
serasa osmotik aktif misalnya glukosa, dapat terjadi perpindahan
berlebihan air ke dalam sel otak selama rehidrasi dan
menimbulkan udem serebri. Pada beberapa penderita, udem otak

10
ini dapat ireversibel dan bersifat mematikan. Hal ini dapat tejadi
selama koreksi hipernatremia yang terlalu tergesa-gesa atau
dengan penggunaan larutan hidrasi awal yang tidak isotonis.
Terapi disesuaikan untuk mengembalikan kadar natrium serum
ke nilai normal tetapi tidak lebih cepat dari 10 mEq/L/24 jam
(Behrman et al, 2000).

Hiperemesis gravidarum yang berat juga dapat membuat


pasien tidak dapat makan atau minum sama sekali, sehingga
cadangan karbohidrat dalam tubuh ibu akan habis terpakai untuk
pemenuhan kebutuhan energi jaringan. Akibatnya, lemak akan
dioksidasi. Namun, lemak tidak dapat dioksidasi dengan sempurna
dan terjadi penumpukan asam aseton-asetik, asam hidroksibutirik,
dan aseton, sehingga menyebabkan ketosis. Salah satu gejalanya
adalah bau aseton (buah-buahan) pada napas (Quinlan et al., 2003;
Miller et al., 1998). Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan
hiperemesis gravidarum dapat diperoleh peningkatan relatif
hemoglobin dan hematokrit, hiponatremia dan hipokalemia, badan
keton dalam darah dan proteinuria (Miller et al., 1998).
Robekan pada selaput jaringan esofagus dan lambung dapat
terjadi bila muntah terlalu sering. Pada umumnya robekan yang
terjadi kecil dan ringan, dan perdarahan yang muncul dapat
berhenti sendiri. Tindakan operatif atau transfusi darah biasanya
tidak diperlukan (Lacasse et al., 2008; Niebyl JR, 2010). Pada otak
dapat ditemukan ensefalopati Wernicke yaitu dilatasi kapiler dan
perdarahan kecil didaerah korpora mamilaria ventrikel ketiga dan
keeempat.
Perempuan hamil dengan hiperemesis gravidarum dan
kenaikan berat badan dalam kehamilan yang kurang (<7 kg)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah, kecil untuk masa kehamilan, prematur,

11
dan nilai APGAR lima menit kurang dari tujuh (Gunawan et al.,
2011).
4. Menentukan Derajat Hiperemesis Gravidarum
Secara klinis hiperemesis gravidarum di bedakan atas 3

tingkatan, yaitu: (Prawirohardjo, 2007; Mochtar, 2012)


 Tingkat I : muntah yang terus menerus, timbul intoleransi
terhadap makanan dan minuman, berat badan menurun,
nyeri epigastrium, muntah pertama keluar makanan, lendir
dan sedikit cairan empedu, dan yang terakhir keluar darah.
Nadi meningkat sampai 100x/ menit dan tekanan darah
sistolik menurun. Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit
berkurang dan urin sedikit tetapi masih normal.
 Tingkat II : gejala lebih berat, segala yang dimakan dan
diminum dimuntahkan, haus hebat, subfebril, nadi cepat dan
> 100 – 140x/ menit,tekanan darah sistolik < 80 mmHg,
apatis, kulit pucat, lidah kotor, kadang ikterus, aseton,
bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat menurun.
 Tingkat III : terjadi gangguan kesadaran (delirium-koma),
muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus,
sianosis, nistagmus, gangguan jantung, bilirubin, dan
proteinuria.
F. Pencegahan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum perlu dilaksananakan
dengan jalan memberikan penerangan tentang kehamilan dan persalinan
sebagai suatu proses yang fisiologik, memberikan keyakinan bahwa mual
dan kadang-kadang muntah merupakan gejala yang fisiologik pada
kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan 4 bulan, menganjurkan
mengubah makanan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah kecil,
tetapi lebih sering. Makanan yang berminyak dan berbau lemak sebaiknya
dihindarkan. Defekasi yang teratur hendaknya dapat teratur
(Prawirohardjo, 2007; Mochtar, 2012).
G. Tatalaksana Hiperemesis Gravidarum

12
Pasien hiperemesis gravidarum dengan dehidrasi berat atau
ketonuria harus dirawat inap di rumah sakit dan dilakukan rehidrasi
dengan cairan natrium klorida atau ringer laktat, penghentian pemberian
makanan per oral selama 24-48 jam, serta pemberian antiemetik jika
dibutuhkan. Penambahan glukosa, multivitamin, magnesium, pyridoxine,
atau tiamin perlu dipertimbangkan (Niebyl JR, 2010; Jueckstock et al.,
2010) Cairan dekstrosa dapat menghentikan pemecahan lemak
(Ogunyemi, 2010). Untuk pasien dengan defisiensi vitamin, tiamin 100 mg
diberikan sebelum pemberian cairan dekstrosa. Penatalaksanaan
dilanjutkan sampai pasien dapat mentoleransi cairan per oral dan
didapatkan perbaikan hasil laboratorium (Kuscu et al., 2002; Edmonds et
al., 2007).
 Obat-obatan.
Apabila keluhan dan gejala tidak mengurang maka diperlukan
pengobatan. Sedativa yang sering diberikan adalah phenobarbital,
vitamin yang dianjurkan yaitu vitamin B1 dan B6, antihistamin juga
dianjurkan. Pada keadaan lebih berat diberikan antiemetik
(Prawirohardjo, 2007).
 Isolasi.
Dilakukan dalam kamar yang tenang, batasi pengunjung / tamu, hanya
dokter dan perawat yang boleh keluar masuk kamar sampai muntah
berhenti dan pasien mau makan. Catat cairan yang masuk dan keluar
dan tidak diberikan makan dan minum dan selama 24 jam. Kadang-
kadang dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang
tanpa pengobatan (Prawirohardjo, 2007).
 Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada penderita bahwa penyakit dapat
disembuhkan, hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan, kurangi
pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik, yang kiranya
dapat menjadi latar belakang penyakit ini (Prawirohardjo, 2007).
 Cairan parenteral
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat dan
protein dengan glukosa 5% dalam cairan fisiologis sebanyak 2-3 liter

13
sehari. Bila perlu dapat ditambah kalium dan vitamin, khususnya
vitamin B komplek dan vitamin C dan bila ada kekurangan protein,
dapat diberikan pula asam amino secara intra vena. Dibuat daftar
kontrol cairan yang masuk dan yang dikeluarkan. urin perlu diperiksa
sehari-hari terhadap protein, aseton, khlorida dan bilirubin. Suhu dan
nadi diperiksa setiap 4 jam dan tekanan darah 3 kali sehari. Dilakukan
pemeriksaan hematokrit pada permulaan dan seterusnya menurut
keperluan. Bila selama 24 jam penderita tidak muntah dan keadaan
umum bertambah baik dapat dicoba untuk diberikan minuman, dan
lambat laun minuman dapat ditambah dengan makanan yang tidak cair
(Prawirohardjo, 2007).
 Penghentian Kehamilan
Pada sebagian kecil kasus keadaan tidak menjadi baik, bahkan
mundur. Usahakan mengadakan pemeriksaan medik dan psikiatrik bila
keadaan memburuk. Delirium, kebutaan, takikardi, ikterus, anuria, dan
perdarahan merupakan manifestasi komplikasi organik. Dalam
keadaan demikian perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri
kehamilan. Keputusan untuk melakukan abortus terapeutik sering sulit
diambil, oleh karena di satu pihak tidak boleh dilakukan terlalu cepat,
tetapi dilain pihak tidak boleh menunggu sampai terjadi gejala
ireversibel pada organ vital (Prawirohardjo, 2007).
Pengaturan Diet
Pada pengaturan diet ibu hamil dengan hiperemesis gravidarum
disarankan untuk minum sedikit namun frekuensi sering. Selain itu
dianjurkan pula untuk mengubah makan sehari-hari dengan makanan
dalam jumlah kecil tetapi sering. Waktu bangun pagi disarankan makan
roti kering atau biskuit dengan teh hangat. Makanan yang berminyak dan
berbau lemak sebaiknya dihindarkan (Sheehan, 2007; DeCherney et al.,
2007).
Untuk pasien hiperemesis gravidarum tingkat III, diberikan diet
hiperemesis I. Makanan yang diberikan berupa roti kering dan buah-
buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam setelah

14
makan. Diet hiperemesis kurang mengandung zat gizi, kecuali vitamin C,
sehingga diberikan hanya selama beberapa hari (Siddik D, 2008).
Jika rasa mual dan muntah berkurang, pasien diberikan diet
hiperemesis II. Pemberian dilakukan secara bertahap untuk makanan yang
bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan. Diet
hiperemesis II rendah dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D
(Siddik D, 2008).
Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan
hiperemesis ringan. Pemberian minuman dapat diberikan bersama
makanan. Diet ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali kalsium (Siddik D,
2008).
Penatalaksanaan pada Kasus Refrakter
Jika muntah terus berlangsung (persisten) pada tatalaksana yang
maksimal, kita harus kembali ke proses diagnosis dan mencari adanya
penyebab lain seperti gastroenteritis, kolesistitis, pankreatitis, hepatitis,
ulkus peptikum, pielonefritis dan perlemakan hati. Nutrisi enteral harus
dipikirkan jika terdapat muntah yang berkepanjangan, namun harus diingat
bahwa total parenteral nutrition (TPN) selama kehamilan meningkatkan
risiko sepsis dan steatohepatitis, terutama akibat penggunaan emulsi lipid.
Oleh karena itu, TPN sebaiknya hanya diberikan pada pasien dengan
penurunan berat badan signifikan (>5% berat badan) yang tidak respon
dengan antiemetik dan tidak dapat ditatalaksana dengan nutrisi enteral
(Gunawan et al., 2011).
H. Prognosis
Pada sebagian besar kasus, mual dan muntah dalam kehamilan
akan sembuh dengan sendirinya setelah usia kehamilan 20 minggu.
Dengan penangan yang baik prognosisnya sangat memuaskan namun
dapat menjadi fatal bila terjadi deplesi elektrolit dan ketoasidosis yang
tidak dikoreksi dengan tepat dan cepat

15
DAFTAR PUSTAKA

Bottomley C, Bourne T. 2009. Management strategies for hyperemesis. Best Pract


Res Clin Obstet Gynaecol. 23(4):549-64.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spon CY. 2005.
Williams Obstetric. 23nd ed. USA: McGraw-Hill Companies
DeCherney HA, Nathan L, Goodwin M et al. 2007. Renal, Urinary Tract,
Gastrointestinal, & Dermatologic Disorders in Pregnancy. Dalam: Current
Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology.10th ed. The McGraw-
Hill Companies
Edmonds K. 2007. Miscellaneous Medical Disorders. Dalam: Dewhurst’s
Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th ed. Blackwell Publishing.
Gunawan K, Manengkei P, Ocviyanti D. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana
Hiperemesi Gravidarum. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan. 61(11):458-464
Kuscu NK, Koyuncu F. 2002. Hyperemesis Gravidarum: current concepts and
management. Journal by postgrad Med J. 78:76-79
Lacasse A, Rey E, Ferreira E, Morin C, Berard A. 2008. Nausea and vomiting of
pregnancy: what about quality of life? BJOG. 115:1484-93
Lee RH, Pan VL, Wing DA. 2005. The prevalence of Helicobacter pylori in the
hispanic population affected by hyperemesis gravidarum. Am J Obstet
Gynecol. 193:1024-7
Lord L, Pelletier K. 2008. Management of Hyperemesis Gravidarum with Enteral
Nutrition. Nutrition Issues in Gastroenterology. 63:15-31
Miller AWF, Hanretty KP. 1998. Vomiting in pregnancy. Dalam: Miller AWF,
Hanretty KP, editors. Obstetrics Illustrated. 5th Ed. London: Churchill
Livingstone. p. 102-3
Mochtar, R., Sofian, A. 2012. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Sinopsis Obstetri.
Jakarta: EGC. Hal 141-142.
Niebyl JR. 2010. Nausea and vomiting in pregnancy. N Engl J Med.363:1544-50
Ogunyemi DA, Fong A. 2010. Hyperemesis Gravidarum
Pearlman M, Tintinalli J, Dyne P. 2004. Problems During the First 20 Weeks of
Pregnancy. Dalam: Obstetric & Gynecologic Emergencies: Diagnosis and
Management. 1st ed. The McGraw-Hill Companies

16
Prawirohardjo S,Wiknjosastro H. 2007. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal
814-818.
Quinlan JD, Hill DA. 2003. Nausea and vomiting of pregnancy. Am Fam
Physician. 68(1):121-8
Sheehan P. 2007. Hyperemesis Gravidarum: assessment and management.
Australian Family Physician. 36(9):698-701
Siddik D. 2008. Kelainan gastrointestinal. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T,
Wiknjosastro GH, editors. Ilmu kebidanan. 4th Ed. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. p.814-28
Tim Obsgin RSUD Ulin- FK UNLAM. 2008. Hiperemesis Gravidarum. Dalam:
Kegawatdaruratan Obstetri dan Ginekologi. Banjarmasin: Bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi RSUD ULIN – FK UNLAM Banjarmasin. Hal 51-
52.
Verberg MFG, Gillott DJ, Al-Fardan N et al. 2005. Hyperemesis Gravidarum, a
literature review. Journal by Oxford university. 11(5): 527-539

17

Anda mungkin juga menyukai