Anda di halaman 1dari 47

KASUS I

BATUK
Seorang laki-laki berusia 45 tahun rawat jalan dengan keluhan batuk.
Hasil pengkajian batuk berlendir bercak darah, sesak, ada ronkhi, sakit
kepala dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab, tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 100 x/menit, frekuensi pernapasan 30
x/menit, dan suhu 38°C. Pasien dihimbau untuk menjalani pengobatan 6
bulan di puskesmas, akan tetapi pasien menolak karena tidak ada keluarga
yang menemani.

A. Klasifikasi Istilah-Istilah Penting


1. Rawat Jalan
Rawat jalan adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa
menginap di Rumah Sakit. (Menteri Kesehatan RI nomor
1165/MENKES/SK/2007/bab 1, pasal 1 ayat 4).
2. Sesak
Sesak adalah kesulitan bernapas atau dalam medis disebut sebagai
dispnea. Sesak napas dapat disebabkan oleh kondisi respirasi (saluran
napas dan paru-paru) atau sirkulasi (jantung dan pembuluh darah).
3. Ronkhi
Ronkhi merupakan suara napas tambahan yang bernada rendah yang
terjadi akibat adanya adanya penyumbatan jalan napas biasanya akibat
adanya lendir. Ronkhi dapat terjadi pada inspirasi (saat mengambil napas)
maupun ekspirasi. Ronkhi sendiri terdiri dari dua yaitu ronkhi basah dan
ronkhi kering (dr. Sylvia).
4. Tekanan darah
Tekanan Darah (TD) adalah ukuran seberapa kuatnya jantung
memompa darah keseluruh tubuh anda. Agar kinerja tubuh maksimal,
anda harus memiliki tekanan darah yang normal. Normalnya tekanan
darah 90/60 mmHg sampai 120/80 mmHg. Dikatakan hipertensi apabila
tekanan darah 130/80 mmHg dan dikatakan hipotensi apabila tekanan
darah <90/60 mmHg (Darmawan, 2012).
5. Denyut Nadi
Nadi adalah suatu gelombang yang teraba pada arteri bila darah
dipompa keluar jantung. Denyut ini bisa diraba disuatu tempat dimana ada
arteri melintas. Nilai normal denyut nadi pada manusia sekitar 60-100
x/menit (Sandi, 2016).
6. Pernapasan
Pernapasan merupakan proses ganda yaitu terjadinya pertukaran gas
di dalam jaringan (pernapasan dalam), dan yang terjadi di dalam paru-
paru disebut pernapasan luar. Pada pernapasan melalui paru-paru atau
pernapasan eksternal, oksigen (O2) dihirup melalui hidung dan mulut.
Pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui batang tenggorokan (trakea)
dan pipa bronchial ke alveoli, dan erat hubungannya dengan darah di
dalam kapiler pulmonaris. Normalnya 12-24 x/menit dan suara nafas
normal adalah vesikuler (Irianto, Koes, 2013).
7. Suhu Tubuh
Suhu adalah pengukuran keseimbangan antara panas yang dihasilkan
oleh tubuh dan panas yang hilang dari tubuh. Suhu tubuh mencerminkan
keseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas dari tubuh yang
diukur dalam unit panas yang disebut derajat (Kozier, 2011). Suhu tubuh
normal adalah berkisar 36-37OC. Suhu tubuh ini bervariasi dengan kisaran
0,5-1,0OC (Sodikin, 2012).
B. Kata Kunci
1. Batuk
2. Batuk berlendir dan ada bercak darah
3. Sesak
4. Ronkhi
5. Sakit kepala
6. Berkeringat pada malam hari
7. Tekanan Darah :110/80 mmHg
8. Nadi : 100 x/menit
9. Pernapasan : 30 x/menit
10. Suhu 38°C
11. Pengobatan 6 bulan
C. Mind Map

SESAK

Pneumonia CA Paru TB Paru

Definisi : Definisi : Definisi :


Pneumonia adalah peradangan paru-paruyang Cancer paru adalah pertumbuhan sel kanker Tuberculosis paru adalah suatu penyakit
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, maupun jamur yang tidak terkendali dalam jaringan paru paru menular langsung yang disebabkan oleh kuman
(Suryo, 2010). yang dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen Mycrobacterium Tuberculosis (Depkes, 2008).
lingkungan asap rokok (Suryo, 2010: 27).
Etiologi : Etiologi :
Pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, Etiologi : Mycobacterium tuberculosis
maupun jamur.Pneumonia juga disebabkan oleh iritasi Paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu
kimia atau fisik dari paru-paru atau sebagai akibat dari zat yang bersifat karsinogenik, kekebalan tubuh, Manifestasi Klinis :
penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau teralu genetic (Sudoyo, dkk, 2007). Demam, malaise, anoreksia, penurunan berat
banyak minum alcohol.Penyebab paling sering ialah badan, batuk ada atau tidak (berkembang secara
serangan bakteri Streptococcus pneumonia atau Manifestasi Klinis : perlahan selama berminggu-minggu sampai
pneumokokus (Suryo, 2010). Sesak napas, batuk yang tak kunjung berbulan-bulan), hemoptisis, peningkatan
sembuh (>2minggu), batuk berdarah, suara frekuensi pernapasan, ekspansi buruk pada
Manifestasi Klinis : menjadi serak atau kasar saat bernapas, tempat yang sakit, sesak, bunyi napas hilang dan
Batuk, sesak napas, nyeri dada dan hemoptisis penurunan bobot badan secara dratis, bengkak di ronkhi kasar, sakit kepala, pekak pada saat
(lebih banyak pada kelompok muda), ronkhi, hilangnya bagian leher dan wajah (Tim Cancer Helps, perkusi, diaphoresis, demam persisten, pucat,
nafsu makan, penurunan status fungsional, 2010:64). anemia, kelemahan, dan penurunan berat badan
inkontinensia urin (Sari, 2016) (Wong, 2008).
D. Tabel Persortiran
DIAGNOSA
NO MANIFESTASI KLINIS
TBC Ca Paru Pneumonia
1. Batuk   

2. Batuk berlendir bercak darah  



3. Sesak   

4. Ronkhi 

5. Sakit kepala 

6. Berkeringat pada malam hari 



7. TD : 110/80 mmHg 

8. Nadi : 100x/menit 

9. Pernafasan : 30x/menit   

10. Suhu : 38ᵒC  

E. Pertanyaan Penting dan Jawaban


1. Mengapa ditemukan batuk berlendir dengan bercak darah?
2. Apa yang menyebabkan sesak?
3. Mengapa berkeringat pada waktu malam hari?
4. Apa yang menyebabkan suhu tubuh meningkat?
5. Mengapa pengobatan TB Paru memerlukan waktu yang lama?

Jawaban:
1. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan
semula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada
kavitas, tetapi juga terjadi pada ulkus dinding bronkus (Sudoyo, dkk,
2009).
2. Sesak napas pada tuberculosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada
paru atau oleh penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi
TB paru. Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat
badan turun (Sudoyo, dkk, 2009).
3. Keringat malam bukan gejala yang patognomonis untuk penyakit
tuberculosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah
lanjut, kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam
dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan sakit kepala timbul bila ada
panas (Sudoyo, dkk, 2009).
4. Demam seringkali merupakan pertanda adanya infeksi atau proses
peradangan dalam tubuh, baik paru-paru atau infeksi yang lainnya.
Namun demam juga bisa disebabkan oleh kondisi seperti terlalu lama
berada dibawah terik matahari, hipertiroid, dan lain-lain. Pada penderita
TB paru suhu tubuh meningkat (demam) diakibatkan oleh proses
peradangan akibat infeksi bakteri pada paru. Sebagian orang dengan TB
paru tidak mengalami demam tinggi, melainkan demam “sumeng-
sumeng” yang disertai keluhan berkeringat saat malam (dr. Andika Surya
Atmaja)
5. Bakteri penyebab TBC, M. Tuberculosis, adalah jenis bakteri yang tahan
terhadap asam. Begitu masuk kedalam tubuh, bakteri ini bisa “tertidur”
lama alias berada di fase “dorman” mereka tetap ada di dalam tubuh,
namun tidak aktif berkembangbiak. Padahal, kebanyakan antibiotik justru
berfungsi saat bakteri ada di fase aktif. Fase dorman inilah yang diduga
membuat bakteri kebal terhadap efek obat antibiotik.
Memang, kebanyakan bakteri penyebab TB akan mati saat pengobatan
berjalan di minggu kedelapan, tapi beberapa bakteri yang masih “tertidur”
dan sudah kebal obat tetap memerlukan pengobatan lebih lanjut. Apabila
tidak diobati, kemungkinan penyakit TBC bisa kambuh, ditambah dengan
risiko kuman yang menyerang menjadi semakin kebal terhadap obat.
Oleh karena itu, pengobatan TB memerlukan waktu yang lama dengan
kombinasi beberapa macam antibiotic yang memiliki cara kerja berbeda.
Tujuannya adalah untuk membunuh bakteri yang aktif sekaligus yang
masih ‘tertidur” dan sudah resisten (Zulkifli, dkk, 2009).

F. Tujuan Pembelajaran Selanjutnya


Pada tujuan pembelajaran selanjutnya kami akan membahas tentang
bagaimana cara pelaksanaan utuk pengobatan mandiri pada penyakit TB paru
tanpa pengobatan meids dan menjelaskan manfaat pengobatan mandiri
tersebut.

G. Informasi Tambahan
Sebagai informasi tambahan untuk melengkapi data dengan pemeriksaan
penunjang pada kasus untuk mendeteksi penyakit TB paru, jurnal yang
meneliti tentang TB paru
“Psikoedukasi Menurunkan Tingkat Depresi, Stres Dan Kecemasan Pada
Pasien Tuberkulosis Paru” - SURYANI, EFRI WIDIANTI*, TATY
HERNAWATI*, AAT SRIATI* - 2016
Simpulan dari jurnal ini adalah terapi psikoedukasi terbukti efektif
menurunkan tingkat stres,cemas dan depresi pada TB paru. Pemberian
psikoedukasi haruslah mempertimbangkan latar belakang pendidikan dari
penderita. Umumnya penderita berpendidikan rendah dan miskin, karena itu
psikoedukasi baik pasif maupun aktif harus dilakukan menggunakan bahasa
awam bukan bahasa ilmiah.
H. Klasifikasi Informasi
PENDAHULUAN
Jumlah penderita TB paru di Indonesia cukup besar dan menduduki
peringkat kelima di dunia (WHO 2010), dengan jumlah penderita TBC
sebesar 429.000 orang. Angka kematian karena TB paru diperkirakan sebesar
27 per 100.000 penduduk per tahun. Dalam rangka mengatasi permasalahan
TB paru di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan
berbagai macam program yang terkait pengobatan dan pencegahan penularan
penyakit TB paru. Akhir–akhir ini pemerintah melakukan sebuah program
yang dikenal dengan Programmatic Managament of Drug resistance TB
(PMDT). PMDT tahun 2011-2014 bertujuan untuk melaksanakan secara
bertahap diagnosis dan pengobatan Multidrug Resistance Tuberculosis (TB
MDR)
Beberapa program yang telah dikembangkan dan dilakukan oleh
pemerintah belum ada program yang bertujuan untuk mengatasi masalah
psikososial yang dihadapi penderita TB paru, padahal dampak psikososial ini
sangat besar pengaruhnya terhadap kepatuhan berobat dan prognosa penyakit
penderitanya. Dampak psikososial menurut Jong (2011) antara lain adalah
adanya masalah emosional berhubungan dengan penyakitnya seperti merasa
bosan, kurang motivasi, sampai kepada gangguan jiwa yang cukup serius
seperti depresi berat. Masalah psikososial lainnya adalah adanya stigma di
masyarakat, merasa takut akan penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan,
merasa dikucilkan dan tidak percaya diri, serta masalah ekonomi (Aye´ et al.
2011). Bagi penderita yang mengalami depresi dan putus asa terhadap
penyakitnya, mereka tidak mau minum obat, resikonya adalah penderita tidak
sembuh dan tentu akan menularkan penyakit mereka pada orang lain
disekitarnya. Pada penelitian kami sebelumnya sudah ditemukan kebutuhan
psikososial penderita TB paru (Suryani et al. 2014), sehingga diperlukan upaya
intervensi untuk mengatasinya.
Psikoedukasi adalah pendidikan kesehatan pada pasien baik yang
mengalami penyakit fisik maupun gangguan jiwa yang bertujuan untuk
mengatasi masalah psikologis yang dialami mereka. Penyakit fisik disini bisa
berupa hipertensi, kanker, penyakit kulit, TBC dan sebagainya. Terapi
psikoedukasi ini bisa berupa pasif psikoedukasi seperti pemberian informasi
dengan leaflet atau melalui email atau website dan juga bisa berupa aktif
psikoedukasi berupa konseling atau pemberian pendidikan kesehatan secara
individu atau kelompok. Terapi psikoedukasi ini bisa berupa pasif psikoedukasi
seperti pemberian informasi dengan leaflet atau melalui email atau website
dan juga bisa berupa aktif psikoedukasi berupa konseling atau pemberian
pendidikan kesehatan secara individu atau kelompok. Hasil sistematic review
terhadap 9010 abstrak penelitian dari Cochrane, PsycInfo and PubMed
yang dilakukan oleh Donker et al. (2009) di Netherland menunjukkan
bahwa psikoedukasi pasif berupa pemberian leaflet pada penderita depresi
dan distress psikologi dapat menurunkan gejala tersebut secara signifikan.
Penelitian lain dengan metode randomized multicenter dari Bauml et al.
(2006) di Jerman yang meneliti tentang pengaruh psikoedukasi pada penderita
skizofrenia dan keluarganya menunjukkan bahwa terapi psikoedikasi bisa
menurunkan hospital rate dari 58% menjadi 41%. Berdasarkan latar belakang
masalah yang sudah diuraikan di atas, maka efektifitas intervensi psikoedukasi
dalam mengatasi masalah psikososial berupa depresi, cemas dan stress pada
penderita TB Paru belum dapat dijelaskan.
METODE
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling dengan metode consecutive sampling yaitu teknik
sampling dimana setiap responden yang datang dan memenuhi kriteria
pemilihan sampel dimasukkan dalapenelitian sampai jumlah subyek yang
diperlukan terpenuhi atau sampai waktu yang telah ditentukan (Dahlan
2011). Adapun kriteria khusus dalam pemilihan sampel ini antara lain:
Menderita Tuberkulosis Paru, termasuk kategori usia dewasa, masih dalam
proses pengobatan ke Puskesmas,dan bisa membaca dan menulis.
Psikoedukasi yang diberikan berupa psikoedukasi aktif dan pasif.
Psikoedukasi aktif yang dilakukan yaitu dengan konseling, sedangkan
psikoedukasi pasif dengan cara pemberian booklet kepada responden setelah
diberikan konseling. Pemberian psikoedukasi pasif dimaksudkan untuk
melengkapi psikoedukasi aktif atau konseling yang telah dilakukan, dengan
tujuan agar responden bisa mempelajari kembali apa yang suda h
didiskusikan di puskesmas. Pada penelitian ini analisis yang digunakan analisa
univariat dan bivariat. Teknik analisis univariat dilakukan untuk mengetahui
distribusi, frekuensi, dan persentase dari karakteristik responden yang
meliputi usia, jenis kelamin, dan pendidikan serta tingkat stres, cemas dan
depresi dgn kriteria: 0–29 = normal, 30–59 = tingkat stress ringan, 60–89 =
tingkat stress sedang, 90–112 = tingkat stress berat, dan > 120 = tingkat stress
sangat berat.
Analisis kedua adalah analisis bivariat. Pada penelitian ini, sebelum
dilakukan analisa bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Analisis
yang digunakan untuk pengujian skor stres pretest pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol menggunakan uji T Test karena data terdistribusi normal.
HASIL
Hasil pada tabel 1 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan psikoedukasi
sebagian besar responden (64,9 %) mengalami tingkat stres, cemas dan
depresi (yang diukur dengan DASS) tingkat ringan. Hampir setengahnya dari
responden (35,1%) mengalami .tingkat stres, cemas dan depresi tingkat
sedang. Setelah diberikan terapi psikoedukasi sebagian besar responden (75,7
%) mengalami tingkat stres, cemas dan depresi normal (dalam batas norma)
dan hanya sebagian kecil saja yang masih mengalami stres, cemas dan
depresi, itupun tingkat ringan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada pengukuran pertama sebagian besar
responden (62,2 %) mengalami tingkat stres, cemas dan depresi (yang diukur
dengan DASS) tingkat ringan dan hampir setengahnya dari responden (35,1%)
mengalami stres, cemas dan depresi tingkat sedang. Pada pengukuran kedua
sebagian besar responden (75,7 %) masih mengalami tingkat stres, cemas dan
depresi ringan, hanya sebagian kecil saja yang menjadi normal dan sebagian
yang lain malah tetap mengalami stres, cemas dan depresi tingkat sedang.
Hasil analisis menggunakan uji t diatas dapat kita ketahui bahwa tidak
terdapat perbedaan tingkat stress penderita TB paru sebelum diberikan terapi
psikoedukasi pada kelompok interverensi dan kelompok kontrol. Kemudian
ketika penderita TB paru diberikan terapi psikoedukasi dapat kita lihat bahwa
terdapat perbedaan tingkat stress penderita TB paru yang diberikan terapi
psikoedukasi (kelompok intervensi) dengan penderita TB paru yang tidak
diberikan terapi psikoedukasi (kelompok kontrol), dapat kita lihat pada hasil
perbandingan T hitung dengan T tabel juga selain itu dapat kita lihat dari nilai
mean tingkat stress penderita TB paru setelah diberikan terapi psikoedukasi
(kelompok intervensi) sebesar 27.05405405 sedangkan nilai mean penderita TB
paru yang tidak diberikan terapi psikoedukasi = 47.72972973, semakin kecil
nilai mean tingkat stress penderita TB paru maka semakin baik untuk kondisi
psikologis penderita TB paru. Jadi, pemberian terapi psikoedukasi memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat depresi, cemas dan stress pada
penderita TB paru sehingga pemberian terapi psikoedukasi sangat berguna
dan baik untuk diterapkan kepada penderita TB paru untuk mengurangi
tingkat depresi, cemas dan stress penderita.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa tingkat depresi,
cemas, dan stres, yang diukur dengan DASS, baik pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol sebagian besar mengalami tingkat ringan, dan
hampir setengahnya mengalami tingkat sedang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penderita TB paru mengalami masalah psikososial yang cukup
signifikan yang termanifestasi dalam bentuk stres, cemas dan depresi. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Padayatchi et al. (2010). di India yang menemukan bahwa sampai dua tahun
setelah terdiagnosa TB paru, penderita masih mengalami stres, cemas dan
depresi. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan dari Venkatraju &
Prasad (2013) di India yang menggali masalah psikososial yang dialami
penderita TB dengan menggunakan metode kualitatif. Salah satu hasil
penelitian penelitian mereka adalah bahwa penderita merasa cemas dan takut
dalam menjalani hidup dengan TB paru.
Pasien terdiagnosa TB paru mengalami banyak masalah psikososial.
Selama mereka mencari pertolongan atau berobat kepuskesmas, menurut hasil
penelitian tahap 1 (satu) kami, terdapat 5 aspek kebutuhan psikososial yang tidak
terpenuhi antara lain kebutuhan akan tenaga profesional kesehatan,
kebutuhan emosional dan spiritual, kebutuhan informasi, kebutuhan
dukungan jaringan dan kebutuhan praktis (Suryani et al. 2014). Sebagian
besar responden (62%) pada penelitian tahap satu menyatakan bahwa tidak
ada pelayanan pendukung yang dapat memberikan dukungan psikososial
bagi mereka. Sehingga masalah psikososial yang dialami mereka tidak pernah
teratasi. Karena itu pada penelitian tahap dua kami peneliti meneliti tentang
terapi yang kemungkinan besar bisa mengatasi masalah psikososial yang
mereka alami agar penderita mempunyai strategi koping yang konstruktif
sehingga dapat mengatasi berbagai masalah psikososial yang mereka alami
dan terbebas dari stres, cemas maupun depresi.
Hasil penelitian tahap dua menunjukkan bahwa psikoedukasi efektif dalam
menurunkan tingkat stres, cemas dan depresi yang dialami penderita TB paru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Donker et al. (2009) di Netherland yang menyimpulkan
bahwa terapi psikoedukasi pasif berupa pemberian leaflet efektif dalam
menurunkan gejala depresi dan stres. Hasil penelitian ini juga mendukung
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kaliakbarova et al. (2013) di
India yang menemukan bahwa terapi kelompok psikososial support yang
diberikan kepada pasien dapat menurunkan frekuensi putus obat pada pasien
TB.
Terapi psikoedukasi yang telah dilakukan kepada kelompok Intervensi berupa
gabungan dari psikoedukasi aktif dan psikoedukasi aktif. Pemberian terapi
gabungan (aktif dan pasif) ini didasarkan pada temuan sebelumnya oleh
Moult et al. (2004) bahwa informasi kesehatan yang diterima oleh seorang
pasien bisa terlupakan dalam beberapa menit setelah mereka mendapatkan
informasi, karena itu diperlukan booklet supaya penderita bisa mengulang di
rumah apa yang telah dibicarakan sebelumnya dengan perawat. Penderita TB
yang datang ke Puskesmas yang masuk kedalam kelompok intervensi
diberikan konseling tentang masalah psikososial yang mereka hadapi, kemudian
diberikan booklet yang berisi tentang cara–cara mengatasi masalah psikososial
yang biasa dialami penderita TB. Kombinasi kedua pendekatan psikoedukasi
(pasif dan aktif) ini sangatlah efektif dalam mengatasi masalah psikososial
penderita TB, terbukti dengan hasil penelitian yang signifikan dimana
terdapat perbedaan yang bermakna dari tingkat depresi, cemas dan stres
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

I. Analisa dan Sintesis Informasi


Seorang laki-laki berusia 45 tahun rawat jalan dengan keluhan batuk.
Hasil pengkajian batuk berlendir bercak darah, sesak, ada ronkhi, sakit kepala
110
dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab, tekanan darah /80mmHg,
frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernapasan 30x/menit, dan suhu 38oC.
pasien dihimbau untuk menjalani pengobatan 6 bulan di puskesmas, akan
tetapi pasien menolak karena tidak ada keluarga yang menemani.
Berdasarkan kasus diatas, kami menarik kesimpulan bahwa diagnosa
medis yang tepat adalah Tubercoulosis karena dari beberapa manifestasi
klinis mengarah ke diagnosa tersebut, diantaranya:
1. Batuk berlendir bercak darah
2. Sesak
3. Ada ronkhi
4. Sakit kepala
5. Berkeringat pada malam hari tanpa sebab
6. Tekanan darah 110/80 mmHg
7. Frekuensi nadi 100 x/menit
8. Frekuensi pernapasan 30 x/menit
9. Suhu 38oC.
BAB II
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari
paru dan organ di luar paru seperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus
serta ginjal yang sering disebut dengan ekstrapulmonal TBC (Chandra,2012).
Tuberkulosis (TB) paru penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (micobacterium tuberkulosis). Sebagian besar kuman menyerang
paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman TB berbentuk
batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang
disebut pula basil tahan asam (BTA).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
Mycobactterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh
organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan
saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak
melalui inhalasi droplet yang berasal dari organ yang terinfeksi bakteri
tersebut.

B. Etiologi
Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman TB (micobacterium
Tuberkulosis). Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada perwanaan, oleh karena itu disebut pula sebagai
basil tahan asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bnetuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Selama kuman TB masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penuluran dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap menular. Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh
mycobacterium tuberkulosis :
1. Herediter : resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan
secara genetik.
2. Jenis kelamin : pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka
kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan
3. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi
4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat
kemungkinan infeksi cukup tinggi karena diit yang tidak adekuat
5. Keadaan stress : situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang
nutrisi, setres emosional, kelelahan yang kronik)
6. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan
memudahkan utnuk penyebar luasan infeksi.
7. Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih
mudah
8. Nutrsi : status nutrisi kurang
9. Infeksi berulang : HIV, measles, pertusis.
10. Tidak mematuhi aturan pengobatan

C. Patofisologi
Ketika soeang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara
tak sengaja keluarlah dorplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat
lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet
nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan
pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam
droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat,
maka orang itu akan berpotensi terkena infeksi bakteri tuberkulosis.
Penularan bakteri lewat udara disebut dengan air-borne infektion.
Bakteri akan terhisap melewati peratahan mukosilier saluran pernafasan
dan masuk hinggal alveoli. Pada titik lokasi dimana terjadi implantasi bakteri,
bakteri akan menggadakan diri (multiplying). Bakteri tuberkulosis dan fokus
ini disebut fokus primer atau lesi primer (fokus Ghon). Rekasi juga terjadi
pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan fokus primer disebut
sebagai kompleks primer dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena
infeksi akan menjadi sensitif terhadap test tuberkulin atau test mantoux.
Berapngkal dari kompleks primer, infeksi dapat mneyebar ke seluruh tubuh
melalui berbagai jalan, yaitu :
1. Percabangan bronkhus
Dapat mengenai area paru atau melaluin sputum menyebar ke laring
(menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
2. Sistem saluran limfe
Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara
tak langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui duktus
limfatikus dan menimbulkan tuberculosis miler.

Aliran darah
Aliran pena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau
mengangkut material yang mengandung bakteri tuberculosis dan bakteri ini
mencapai berbagai organ melalui aliran darah, yaitu tulang, kelanjran adrenal,
otak dan meningen.

Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)


Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak
berkembang lebih jauh dan bakteri tuberculosis tak dapat berkembang biak
lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi inang
melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang melemahkan daya
tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberculosis yang dorman dapat aktif
kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi primer atau infeksi pasca-
primer. Infeksi ini daoat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi.
Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat diakibatkan oleh tuberculosis yang
baru masuk ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali.
Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer terutama berada
di daerah apeks paru.

Infeksi primer.
Tuberculosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat
seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Dorplet yang terhirup
sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahan mukosillier
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang baik dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru,
saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus
paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya
infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkullin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman
yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
tuberculosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang di[perlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberculosis pasca primer (post primary TB)
Tuberkulosis paca primer biasanya terjadi stelah beberapa bulan atau
tahun sesudan infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura.

Perjalan alamiah TB yang tidak diobati


Tanpa pengobatan, stelah 5 tahun, 50% dari penderita TB akan
meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan
25% sebagai kasus kronik yang tetap menular.

Pengaruh infeksi HIV


Infeksi Hiv mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti
tubeerkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularam TB
dimasyarakat akan meningkat pula.

D. Komplikasi
1. Gagal napas, adult respiratory distress syndrome
2. Hemoptisis (kadang masif)
3. Efusi pleura, empiema
4. Efusis pericardial
5. Laringitis
6. Asfergiloma
7. Fibrosis paru, korpulmonal
8. Kalsifikasi paru/pleura
9. Amiloidosis
10. Kolonisasi mycobacterium atifikal (misalnya M. malmoense)
E. Epistaksis
1. Darah menetes dari hidung
2. Batuk pelan kadang keluar
3. Darah berwarna merah segar
4. Darah bersifat alkalis
5. Anemia jarang terjadi
Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain
TBC. Oleh sebab itu orang yang datang dengan gejala diatas harus dianggap
sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain itu, semua
kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperkisa
dahaknya.

F. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua yaitu :
1. Fase intensif (2-3 bulan)
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membela
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dngan obat yang bersifat
bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi
menjadi non infeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB,
Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15
mg/kgBB.
2. Fase lanjutan (4-7 bulan)
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat
selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resitensi selektif.
Menurut The JointTubelrculosis Committee of thr British Thoracic
Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisisn untuk
tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan kepada
pasien dengan resitensi terhadap INH. Pada pasien yang pernah diobati
ada resiko terjadi resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat
untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal
sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih
efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat
tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuia dengan rekomendasi
WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Sterptomisin, dan
Etambutol. Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO
menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori
didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk it,
penderita dibagi dalam 4 kategori sebagai berikut :
a. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori 1 adalah kasus baru dengan sputum positif dan
penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis
dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negative
tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan
sebagainnya. Selama 2 bulan minum obat INH dan Rimfampisin tiga
kali dalam seminggu (tahap lanjutan).
b. Kategori II (HRZE/5H3R3E3)
Kategori 2 adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap
positif diberikan kepada :
1) Penderita kambuh
2) Penderita gagal terapi
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat
c. Kategori III (2HRZ/4H3R3)
Kategori 3 adalah kasus sputum negative tetapi kelianan
parunya tidak luas dan kasus TB diluar paru selain disebut dalam
katogeri 1.
d. Kategori IV
Kegori 4 adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan
rendah karena kemungkian keberhasilan rendah sekali.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan
pemeriksaan tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah di berikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat di kerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-
kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak
batuk atau batuk yang non produktif dalam hal ini di anjurkan 1 hari
sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2
liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga memberikan
tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan
garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit sputum dapat di
peroleh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau
bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari
sputum juga di dapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering di
kerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.
Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegera mungkin. Bila sputum
sudah di dapat kuman BTA pun kadang-kadang sulit di temukan. Kuman
dapat di temukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
keluar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum hasil pemeriksaan BTA
(basil tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerulkan kurang lebih
5.000 kuman per mil sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman (+)
pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50-100
kuman /mil sputum. Hasil kultur memerulkan waktu tidak kurang dan 6-8
minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Rekomndasi WHO skala IUATLD :
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandangan : negative
b. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
c. Ditemukan 10-99 BTA : 1+
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3±
2. Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, ujia tuberkulin merupakan pemeriksaan paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi mikobakterium
tuberkulosa dan sering digunakan dalam “screening TBC”. Efektivitas
dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari
90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif
uji tuberkulin positif 100%, umur 1-2 tahun 92%, 2-4 tahun 78%, 4-6
tahun 75%, dan umur 6-12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat
dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin, namun
sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada 1/2 bagian atas lengan bawah
kiri bagian depan, disuntikan intrakutan 48-72 jam setelah penyuntikan
dan di ukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
3. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada hasil pemeriksaan rontgen thorax, sering didapatkan adanya
suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum
pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan
rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran ksusus
mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di
sekitar hilus. Karakteristik kalainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-
garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak
jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga
sebagai pneumonial atau suatu proses eduktif, yang akan tampak lebih
jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi
hasil pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan
kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama
baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap sering
kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi
pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada
klien dengan penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap
berasal dari tingkat eksudatif yang besar.
3. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus
TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis
fibrotik iregular, pita parenkimal, kalsifikal nodul dan adenopati,
perubahan kelengkungan beras bronkhosvaskuler, bronkhiektaksis, dan
emifesema periskatriksial. Sebagaiman pemeriksan rontgen thorax,
penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada
temuan CT Scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan
dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap
saat. Pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaan untuk mendeteksi adanya
pembentukan kavasitas dan lebih dapat diandalkan dari pada
pemeriksaan rontgen thoraks biasa.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis tebaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan
kirobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies
Mycobacterium antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media,
perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan
kepekaan terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Pemeriksaan
darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang sensitif
adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan
LEDbiasanya disebabkan peningkatan immunoglobulin terutama IgG dan
IgA.

H. Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis dari sistem lama :
1. Pembagian secara patologis
a. Tuberkulosis primer (childhood tuberkulosis)
b. Tuberkulosis post-primer (adult tuberkulosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberkulosis paru (koch
pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang
menyembuh)
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberkulosis minimal
b. Moderateliy advanced tuberkulosis
c. Far advanced tuberculosis

Klasifikasi menurut american thoracic society :


1. Kategori 0 : tdak pernak terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negatif,test tuberculin negatif.
2. Kategori 1 : terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disisni
riwayat kontak positif, test tuberkulin negatif.
3. Kategori 2 : terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Test tuberkulis
positif, radiologis dan sputum negatif.
4. Kategori 3 : terinfeksi tuberkulosis dan sakit.

Klasifikasi di indonesia di pakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis,


dan makrobiologis :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
a. TB tersangka yang diobati : sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain
positif
b. TB tersangka yang tidak di obati : sputum BTA negatif dan tanda-
tanda lain juga meragukan.

Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi menjadi 4 kategori yaitu :


(Sudoyoaru)
1. Kategori 1, di tujukan terhadap :
a. Kasus batu dengan sputum positif
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori 2, di tujukan terhadap :
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, di tujukan terhadap :
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang luas
b. Kasus TB ekstra paru selain yang di sebut dalam kategori
4. Kategori 4, di tujukan terhadap : TB kronik.

I. Manifestasi klnis
Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3,
diantaranya :
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif
kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada
kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah ataub
darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena
pecahnya pembuluh darah. Berta ringannya batuk darah tergantung
dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas
atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
penumothorax, anmeia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan dipleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada
sore dan malam hari demam influenza, hilang timbul dan makin lama
makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan
berat badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam
beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai
gejala pneumonia.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis
tuberkulosa, meningitis tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.
4. Gejala klinis hemoptoe :
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan
cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Batuk darah
1) Darah dibatukkan dengan rasa panas ditenggorokan
2) Darah berbuih bercampur udara
3) Darah segar berwarna merah muda
4) Darah bersifat alkalis
5) Anmeia kadang-kadang terjadi
6) Benzidin test negatif
b. Muntah darah
1) Darah dimuntahkan dengan rasa mual
2) Darah bercampur sisa makanan
3) Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
4) Darah bersifat asam
5) Anemia sering terjadi
6) Benzidin test positif

J. Prognosis
Prognosis tuberkulosis (TB) tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan. Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang telah
buruk. Prognosis buruk terdapat pada penderita TB extra pulmonary,
gangguan kekebalan tubuh, lanjut usia, dan riwayat terkena TB sebelumnya.
Prognosis baik bila diagnosis dan pengobatannya dilakukan sedini mungkin.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identifikasi kebutuhan dasar yang mengalami gangguan

Kategori dan Subkategori Data Subjektif dan Objektif


Fisiologis Respirasi DO : - Pernafasan meningkat 30 x/m
- Takikardi
Sirkulasi DS : - Klien mengeluh batuk
DO : - Takipnea
- Ronkhi
- Dispnea
- Diaforesis
- Sputum berlebih
Nutrisi dan cairan Tidak terkaji
Eliminasi Tidak terkaji
Aktivitas dan Tidak terkaji
istirahat
Neurosensori DS : - Sakit kepala
DO : - Frekuensi nadi meningkat
Reproduksi dan Tidak terkaji
Seksualitas
Psikologis Nyeri dan DS :- Sakit kepala
Kenyamanan
Integritas ego Tidak terkaji
Pertumbuhan dan Tidak terkaji
perkembangan
Perilaku Kebersihan diri Tidak terkaji
Penyuluhan dan Tidak terkaji
pembelajaran
Relasional Interaksi sosial Tidak terkaji

Lingkungan Keamanan dan DS: -


proteksi DO: Suhu 380C

b. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 45 tahun
Agama : Tidak terkaji
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Tidak terkaji
Pendidikan : Tidak terkaji
Pekerjaan : Tidak terkaji
Suku Bangsa : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Tanggal Masuk : Tidak terkaji
Tanggal Pengkajian : Tidak terkaji
No. Register : Tidak terkaji
Diagnosa Medis : TB (Tuberculosis)
c. Identitas Penanggung Jawab
Nama : (Tidak ditemukan)
Umur : (Tidak ditemukan)
Hub. Dengan Klien : (Tidak ditemukan)
Alamat : (Tidak ditemukan)

1. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit dahulu
1) Penyakit yang pernah dialami : tidak terkaji
2) Pernah dirawat :tidak terkaji
3) Alergi :tidak terkaji
4) Kebiasaan (merokok/kopi/alkoho) :tidak terkaji
b. Riwayat penyakit sekarang
1) Keluhan Utama
a) Pasien mengeluh batuk
2) Alasan masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini
Pasien mengeluh batuk dan kemudian dari hasil pengkajian
didapatkan bahwa pasien batuk berlendir bercak merah,
dispnea, ronkhi, sakit kepala, berkeringat dingin di malam hari.
3) Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
(Tidak terkaji)
c. Riwayat penyakit keluarga
(tidak terkaji)
d. Diagnosa Medis
TB (Tuberculosis)
2. Pengkajian Fisik
a. Keadaan Umum : (Tidak ditemukan)
b. GCS
1) Verbal : (Tidak ditemukan)
2) Psikomotor : (Tidak ditemukan)
3) Mata : (Tidak ditemukan)
c. Tanda-tanda Vital
1) Nadi : 100 x/m
2) Suhu : 380C
3) TD : 110/80 mmHg
4) RR : 30 x/m
d. Keadaan Fisik
1) Kepala dan Leher : (Tidak ditemukan)
2) Dada
a) Paru-paru : (Tidak ditemukan)
b) Jantung : (Tidak ditemukan)
3) Payudara dan Ketiak (Tidak ditemukan)
4) Abdomen (Tidak ditemukan)
5) Genitalia : (Tidak ditemukan)
6) Integumen : (Tidak ditemukan)
7) Ekstremitas
a) Atas : (Tidak ditemukan)
b) Bawah : (Tidak ditemukan)
8) Neurologis
a) Status mental dan emosi : (Tidak ditemukan)
b) Pengkajian saraf cranial : (Tidak ditemukan)
c) Pemeriksaan reflex : (Tidak ditemukan)
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Data Laboratorium yang Berhubungan
a) Hemoglobin : g/dl (Tidak ditemukan)
b) Hematokrit: % (Tidak ditemukan)
c) Leukosit : /uL (Tidak ditemukan)
d) Trombosit : /uL (Tidak ditemukan)
e) Eritrosit : (Tidak ditemukan)
2) Pemeriksaan Radiologi : (Tidak ditemukan)
3) Hasil Konsultasi : (Tidak ditemukan)
4) Pemeriksaan Penunjang Diagnostic Lain : (Tidak ditemukan)

Analisis Data
Problem Etiologi Simptom
DS : Droplet yang mengandung Bersihan Jalan Nafas
mycobacterium tuberculosis
1. Klien mengeluh batuk Tidak Efektif
DO :
Mycobacterium tuberculosis terhirup
1. Batuk tidak efektif
masuk ke paru paru
2. Tidak mampu batuk
3. Dispnea
Menempel di bronkus dan alveolus
4. Sputum berlebih
5. Ronkhi
Fagositosis oleh makrofag
6. Frekuensi napas berubah
7. Takipnea
Infeksi primer

Sembuh dengan focus ghoun

Mycobacterium tuberculosis non aktif

Bakteri dorman

Respon Inflamasi

Produksi sputum meningkat

Secret sukar untuk dikeluarkan

Obstruksi jalan nafas

Ekspansi paru ↓

Suplai O2 yang
tidak adekuat

Respon batuk Dispnea

Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

DS : - Respon Inflamasi Hipertermia


DO :
1. suhu tubuh diatas normal Reseptor peradangan
2. takipne
3. takikardi Hypothalamus
Suhu tubuh meningkat

Hipertermia
DS: Infeksi Primer Ketidakpatuhan
1. Pasien menolak karena
tidak ada keluarga yang Petugas kesehatan menghimbau
menemani melakukan pengobatan 6 bulan

Pasien menolak karena keluarga


(pemberi asuhan) tidak menemani

Ketidakpatuhan

B. Diagnosa
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif (D.0001)
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Respirasi
2. Hipertermia (D.0130)
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan Proteksi
3. Ketidakpatuhan (D.0114)
Kategori : Perilaku
Subkategori : Penyuluhan dan Pembelajaran
C. Intervensi
NO SDKI SIKI SLKI RASIONAL
1 Bersihan jalan nafas tidak efektif Latihan Batuk Efektif Bersihan Jalan Napas Latihan Batuk Efektif
(D.0001) Definisi : Setelah dilakukan tindakan Observasi
melatih pasien yang tidak memiliki keperawatan selama 3x24 jam 1. Untuk mengetahui
Definisi : kemampuan batuk secara efektif diharapkan bersihan jalan napas kemampuan batuk
Ketidakmampuan membersihkan untuk membersihkan laring, trakhea meningkat. 2. Untuk mengetahui adanya
sekret atau obstruksi jalan napas dan bronkiolus dari sekret atau retensi sputum
untuk mempertahankan jalan napas benda asing di jalan napas. Kriteria Hasil : 3. Untuk mengetahui tanda
tetap paten 1. Batuk efektif cukup membaik dan gejala infeksi saluran
Tindakan : (4) napas
Penyebeb : Observasi : 2. Produksi sputum cukup
Fisiologis 1. Identifikasi kemampuan batuk menurun (4) Terapeutik
1. Spasme jalan napas 2. Monitor adanya retensi sputum 3. Dispnea cukup menurun (4) 1. Posisi semi-fowler akan
2. Hipersekresi jalan napas 3. Monitor tanda dan gejala infeksi 4. Frekuensi napas cukup mempermudah pasien
3. Benda asing dalam jalan saluran napas membaik (4) untuk bernapas
napas 5. Pola napas cukup membaik (4) 2. Untuk menjaga kebersihan
4. Sekresi yang tertahan Terapeutik : disekitar pasien, dan untuk
5. Proses infeki 1. Atur posisi semi-fowler atau menampung dahak
Gejala dan tanda mayor fowler Edukasi
Subjektif : - 2. Pasang perlak dan bengkok 1. Agar pasien mengetahui
dipangkuan pasien tujuan dan prosedur batuk
Objektif : 3. Buang secret pada tempat efektif
1. batuk tidak efektif sputum 2. Untuk memudahkan pasien
2. tidak mampu batuk mengeluarkan sputum
3. sputum berlebih/obstruksi Edukasi : 3. Agar ventilasi paru dan
dijalan napas/mekonium 1. Jelaskan tujuan dan prosedur meningkatkan oksigenasi
dijalan napas (pada neonatus) batuk efektif darah
4. ronkhi 2. Anjurkan tarik napas dalam 4. Agar sputum yang
melalui hidung selama 4 detik, menumpuk dapat
Gejala dan tanda minor ditahan selama 2 detik, dikeluarkan
Subjektif : kemudian keluarkan dari mulut
1. Dipnea dengan bibir mencucu Kolaborasi :
Objektif : (dibulatkan) selama 8 detik. 1. Untuk mengencerkan dahak
1. Frekuensi napas berubah 3. Anjurkan mengulangi tarik dan membantu
2. Pola napas berubah napas dalam hingga 3 kali mengeluarkan dahak dari
4. Anjurkan batuk dengan kuat saluran pernapasan
langsung setelah tarik napas
dalam yang ke-3 Pola Napas
Setelah dilakukan tindakan
Kolaborasi : keperawatan selama 3x24 jam
1. Kolaborasi pemberian mukolitik diharapkan pola napas tidak efektif
atau ekspektoran, jika perlu membaik.

Manajemen Jalan Nafas Kriteria Hasil :


Definisi: 1. Dipsnea cukup menurun (4)
Mengidentifikasi dan mengelola 2. Penggunaan otot bantu napas
kepatenan jalan nafas cukup menurun (4)
3. Frekuensi napas cukup
Observasi : membaik (4)
1. Monitor Pola nafas (frekuensi, 4. Kedalaman napas cukup
kedalaman, usaha nafas) membaik (4)
2.Monitor bunyi nafas tambahan
(mis. Mengi,wheezing dan ronkhi
kering)
3.Monitor sputum
(jumlah,warna,aroma)
Terapeutik
1.Pertahankan kepatenan jalan
2. berikan minum hangat
3. lakukan fisioterapi dada, jikaperlu
4. lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik

Edukasi
1. Ajarkan teknik batuk efektif
2. Hipertermia (D.0130) Manajemen Hipertermi Termoregulasi Manajemen Hipertermi
Definisi : Setelah dilakukan tindakan Observasi :
Definisi : mengidentifikasi dan mengelola keperawatan selama 3x24 jam 1. Untuk mengetahui
suhu tubuh meningkat di atas peningkatan suhu tubuh akibat diharapkan termoregulasi penyebab hipertermia (mis.
rentang normal tubuh disfungsi termoregulasi membaik. Dehidrasi, terpapar
lingkungan panas,
Penyebab : Tindakan Kriteria Hasil : pengguanaan inkubator)
1. Dehidrasi Observasi : 1. Takikardi cukup menurun (4) 2. Untuk mengetahui suhu
2. Proses penyakit (mis. Infeksi, 1. Identifikasi penyebab 2. Takipnea cukup menurun (4) tubuh dari pasien
kanker) hipertermia (mis. Dehidrasi, 3. Suhu tubuh cukup membaik (4) 3. Untuk mengetahui
terpapar lingkungan panas, 4. Suhu kulit cukup membaik (4) komplikasi akibat
Gejala dan tanda mayor pengguanaan inkubator) hipertermia yang bisa saja
Subjektif : - 2. Monitor suhu tubuh terjadi pada pasien
3. Monitor kadar elektrolit Terapeutik :
Objektif : - 1. Untuk mempermudah
Terapeutik :
1. Suhu tubuh di atas nilai normal penguapan panas Basahi
1. Longgarkan atau lepaskan
atau kipasi permukaan
pakaian
Gejala dan tanda minor tubuh
2. Basahi atau kipasi permukaan
Subjektif : - 2. Agar suhu tubuh pasien
tubuh
tidak bertambah
3. Berikan oksigen , jika perlu
Objektif : 3. Untuk memenuhi
1. Takikardi kebutuhan oksigen dari
Edukasi :
2. Takipnea pasien
1. Anjurkan tirah baring
Edukasi :
1. untuk mengurangi aktifitas
Kolaborasi :
tubuh yang dapat
1. Kolaborasi pemberian cairan
meningkatkan suhu tubuh
dan elektrolit intravena, jika
pasien
perlu
Kolaborasi :
1. untuk memenuhi kebutuhan
elektrolit pasien
3. Ketidakpatuhan Dukungan Kepatuhan Program Tingkat Kepatuhan Observasi
Pengobatan Setelah dilakukan tindakan 1. Agar pasien dapat mematuhi
Definisi : Definisi: keperawatan selama 3x24 jam menjalani program
perilaku individu dan/atau pemberi Memfasilitasi ketepatan dan diharapkan ketidakpatuhan pengobatan
asuhan tidak mengikuti rencana keteraturan menjalani program membaik.
perawatan/pengobatan yang pengobtan yang sudah ditentukan. Terapeutik
disepakati dengan tenaga Kriteria Hasil : 1. Agar pasien tidak menolak
kesehatan, sehingga menyebabkan Observasi 1. Mobilisasi kemauan cukup program pengobatan yang
hasil perawatan/pengobatan tidak 1. Identifikasi kepatuhan menjalani meningkat (4) diberikan dan berkomitmen
efektif program pengobatan 2. Memenuhi program perawatan menjalani program
atau pengobatan cukup pengobatan dengan baik
Penyebab: Terapeutik meningkat (4) 2. Agar keluarga dapat secara
1. Lingkungan tidak terapeutik 1. Buat komitmen menjalani 3. Verbalisasi mengikuti anjuran bergantian menemani pasien
2. Program terapi kompeks program pengobatan dengan baik cukup meningkat (4) selama menjalani program
dan/atau lama 2. Buat jadwal pendampingan 4. Resiko komplikasi pengobatan
3. Hambatan mengakses pelayanan keluarga untuk bergantian penyakit/masalah kesehatan 3. Agar proses pengobatan
kesehatan (mis. Gangguan menemani pasien selama cukup menurun (4) pasien dapat berjalan efektif
mobilisasi, masalah transportasi, menjalani program pengobatan, 5. Perilaku mengikuti program 4. Keluarga sangat berpengaruh
ketiadaan orang merawat anak jika perlu perawatan/pengobatan cukup bagi kesembuhan pasien
di rumah, cuaca tidak menentu) 3. Diskusikan hal hal yang dapat meningkat (4)
4. Ketidakadekuatan pemahaman mendukung atau menghambat 6. Perilaku menjalankan anjuran Edukasi
(sekunder akibat defisit kognitif, berjalannya program pengobatan cukup meningkat (4) 1. Agar paien mengetahui
kecemasan, gangguan 4. Libatkan keluarga untuk program pengobatan yang
penglihatan/pendengaran, mendukung program pengobatan diberikan
kelelahan, kurang motivasi) yang dijalani. 2. Agar pasien dapat
Gejala dan tanda mayor mengetahui manfaat yang
 Subjektif : Edukasi diperoleh jika teratur
1. Menolak menjalani 1. Informasikan program menjalani program
perawatan/pengobatan pengobatan yang harus dijalani pengobatan
2. Menolak mengikuti anjuran 2. Informasikan manfaat yang akan 3. Keluarga sangat
 Objektif diperoleh jika teratur menjalani berpengaruh dalam proses
1. Perilaku tidak mengikuti program pengobatan penyembuhan pasien
program perawtan/pengobatan 3. Anjurkan keluarga untuk
2. Perilaku tidak menjalankan mendampingi dan merawat
anjuran pasien selama menjalani program
Gejala dan tanda minor pengobatan
 Subjektif : (tidak tersedia)
 Objektif:
1. Tampak tanda/gejala
penyakit/masalah kesehatan
masih ada atau meningkat.
2. Tampak komplikasi
penyakit/masalah kesehatan
menetap atau meningkat

Kondisi Klinis Terkait:


1.Konsisi Penyakit Kronis
1.
D. Implementasi Dan Evaluasi

Hari /
No. NDx Jam Implementasi Evaluasi
Tanggal

Bersihan Jalan 1. Mengidentifikasi kemampuan batuk S : - Pasien mengeluh batuk


Nafas Tidak dengan hasil sebelumnya pasien tampak O : - Batuk berlendir bercak darah
Efektif (D.0001) batuk. - Pasien tampak sesak
2. Memonitor adanya retensi sputum - Adanya ronkhi
dengan kondisi sebelumnya terdapat - Tekanan darah 110/80mmHg
bercak merah pada sputum pasien. - Frekuensi nadi 100x/menit
3. Memonitor tanda dan gejala infeksi - Frekuensi pernapasan 30x/menit
saluran napas dan memonitor bunyi A : Masalah bersihan jalan napas belum
napas tambahan dengan kondisi teratasi
sebelumnya pasien tampak batuk, P : Lanjutkan intervensi
sesak, dan adanya ronkhi. - Identifikasi kemampuan batuk
4. Menjelaskan tujuan dan prosedur batuk - Monitor adanya retensi sputum
efektif dengan kondisi sebelumnya - Monitor tanda san gejala infeksi
klien belum mengetahui tujuan dan saluran napas
prosedur batuk efektif. - Melakukan fisioterapi dada
5. Berkolaborasi dalam pemberian
mukolitik atau ekspektoran dengan
kondisi sebelumnya klien belum pernah
mengkonsumsi mukolitik atau
ekspektoran.
6. Memberikan minuman hangat dengan
kondisi sebelumnya pasien belum
mengetahui bahwa minuman hangat
dapat mengencerkan sputum
7. Melakukan fisioterapi dada dengan
kondisi sebelumnya pasien tampak
sesak
Hipertermia 1. Mengidentifikasi penyebab hipertermia S : tidak terkaji
(D.0130) dan memonitor suhu tubuh dengan O :
kondisi sebelumnya suhu tubuh klien - Suhu 38oC
abnormal - Sakit kepala
2. Memonitor kadar elektrolit dengan - Diaphoresis
kondisi sebelumnya klien sakit kepala - Frekuensi nadi 100x/menit
3. Berkolaborasi pemberian cairan dan - Frekuensi pernapasan 30x/menit
elektrolit intravena untuk mengurangi A : Masalah hipetermia belum teratasi
suhu klien yang sebelumnya abnormal P : Lanjutkan intervensi
menjadi normal. - Monitor suhu tubuh
- Monitor kadar elektrolit
Ketidakpatuhan 1. Mengidentifikasi kepatuhan menjalani S : - Pasien menolak pengobatan selama
(D.0114) program pengobatan dengan kondisi 6 bulan
sebelumnya pasien menolak menjalani - Pasien mengatakan tidak ada
pengobatan keluarga yang menemani
2. Membuat komitmen menjalani O : tidak terkaji
program pengobatan dengan baik A: Masalah ketidakpatuhan belum
dengan kondisi sebelumnya pasien teratasi
tidak ingin melakukan pengobatan P: - Lanjutkan intervensi
yang diberikan - Buat komitmen menjalani program
3. Melibatkan keluarga untuk mendukung pengobatan dengan baik
program pengobatan yang dijalani - Libatkan keluarga untuk
dengan kondisi sebelumnya pasien mendukung program pengobatan
mengatakan tidak ada keluarga yang yan dijalani
menemani
4. Menginformasikan manfaat yang akan
diperoleh jika teratur menjalani
program pengobatan dengan kondisi
sebelumnya pasien belum mengetahui
manfaat dari pengobatan yang
diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli. & Bahar, Asril., 2009. Pengobatan Tuberkulosis mutakhir dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Chandra, T.J. 2012. Same day sputum smear microscopy approach for the
diagnosis of pulmonary tuberculosis in a microscopy centre at
Rajahmunndry. Indian Journal of Tuberculosis. (59) : 141-144

Darmawan, 2012. Waspadai Gejala Penyakit Mematikan. Jakarta Selatan : PT.


Suka Buku.

Dr. Andika Surya Atmadja. 2016. Demam Terus Menerus Akibat TBC.
https://www.alodokter.com/komunitas/topic/demam-terus-menerus-krn-tbc
(diakses tanggal 23 Oktober 2016 pukul 12.16 WITA)

Dr. Sylvia Djohan. 2017. Perbedaan Suara Wheezing dan Ronkhi.


https://www.alodokter.com/komunitas/topic/asma-86 (diakses tanggal 24
Oktober 2016 pukul 12.22 WITA)

Irianto, dan Koes, 2013, Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology), pp. 71-3,
Penerbit Alfabeta, Bandung

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta :


Depkes RI

Kusuma, Hardi dan Nurarif Amin. 2015. NANDA aplikasi Asuhan Keperawatan,
jilid 3. Yogyakarta : Mediaction

PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperatawan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperatawan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1 . Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperatawan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI

Sandi, N. I. 2016. Pengaruh Latihan Fisik terhadap Frekuensi Denyut Nadi.


Journal Sport and Fitnes. 4 (2).

Sodikin, 2012. Metologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta : Interna Publishing

Utama, Sakya Yudha Ardhi. 2018. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Sistem
Respirasi, Edisi 1. Yogyakarta : Deepublish

Warid health Organisation. 2012. global tuberculosis report. Indonesia

Anda mungkin juga menyukai