2.3.3 Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di
hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui
urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon
yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal
bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi nontoksik. Pada
dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.
2.3.4 Farmakodinamik
Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan
suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan
Fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan
penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan
pernapasan dan keseimbangan asam basa.
ASAM MEFENAMAT
asam mefenamat digunakan untuk meredakan nyeri dan rematik. Obat ini cukup
toksik terutama untuk anak-anak dan janin, karena sifat toksiknya, Asam
mefenamat tidak boleh dipakai selama lebih dari 1 minggu dan sebaiknya jangan
2.4.1 Farmakologi
dan juga kerja perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan
2.4.2 Farmakokinetik
dan diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan melalui
hati diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. konsentrasi
puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam. Pada manusia,
sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit 3-
hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan dalam feses sebagai
2.5 Toksisitas
Asam mefenamat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) yang banyak
digunakan oleh para pemakai, namun senyawa ini juga memiliki efek samping yang merugikan
bila dikonsumsi secara peroral seperti iritasi saluran cerna, mual, diare dan nyeri abdominal
sehingga konsumen tidak dapat meneruskan penggunaannya (Siswandono dan Sukarjo, 2000).
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang banyak mendapatkan paparan
dengan bahan-bahan yang merusak mukosanya. Kerusakan mukosa lambung paling banyak
disebabkan penggunaan obat anti inflamasi non steroid (NSAID). (Snell RS 2006 & Loho L,
2002).
Asam mefenamat merupakan anti inflamasi yang paling sering digunakan masyarakat.
Obat ini merupakan bahan yang dapat menembus barrier mukosa lambung sehingga sering
dilapor-kan asam mefenamat memberi efek iritasi terhadap mukosa lambung. Asam mefena-mat
dapat menyebabkan pengelupasan pada sel epitel permukaan dan mengurangi sekresi mukus
yang merupakan barrier protektif terhadap asam (Loho, 2002). Asam mefenamat bekerja dengan
cara menekan produksi prostaglandin. Efek iritasi pada mukosa lambung ini dapat menyebabkan
gastritis akut (Setiawan, 2010). Pada gambaran makroskopik gastritis akut terlihat hiperemia
serta edema yang sedang dan kadang-kadang disertai per-darahan. Gambaran mikroskopik
tampak edema lamina propria dan sebukan sel netrofil pada permukaan epitel atau dalam mukosa
Efek samping terhadap saluran cerna yang sering timbul misalnya dispepsia dan gejala
iritasi lain terhadap mukosa lambung. Efek samping lain seperti eriterm kulit, bronkokonstriksi
dan anemia hemolitik pernah dilaporkan. Dosis asam mefenamat 250-500 mg 2-3 kali sehari.
Asam mefenamat tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dengan usia dibawah 14 tahun
dan wanita hamil karena berefek toksik. Asam mefenamat diberikan tidak lebih dari 7 hari
(Tanu, 1995).