Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia tengah mengalami pergeseran pola penyakit, yaitu

adanya peningkatan penyakit degeneratif seperti diabetes (Handajani et

al., 2010). American Diabetes Association (ADA) (2013) menyebutkan

bahwa DM merupakan penyakit metabolik dengan etiologi

multifaktorial yaitu kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Penyakit

yang ditandai dengan hiperglikemia kronis ini disebabkan oleh adanya

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein karena defek

pada sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya (PERKENI,

2015).

Pada tahun 2035 jumlah penderita DM di dunia diperkirakan akan

meningkat menjadi 592 juta orang (IDF, 2013) . Mayoritas kasus DM

terjadi di negara-negara Asia yaitu 60% kasus dari seluruh dunia (Hu,

2011). Jumlah penyandang DM di Indonesia diprediksi mengalami

kenaikan dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 21,1 juta pada tahun

2035. International Diabetes Federation (IDF) (2017) menunjukkan

bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia dengan jumlah

diabetesi sebanyak 10,3 juta jiwa.

Data menunjukkan bahwa diabetes meningkatkan risiko terjadinya

infeksi saluran pernapasan bawah dan infeksi di tempat lain. Data WHO

menunjukkan bahwa DM akan meningkatkan risiko Infeksi

tuberkulosis (TB) tiga kali lebih besar dibandingkan populasi normal


dan meningkatkan risiko reaktivasi TB pada TB laten. Penderita TB

dengan diabetes juga lebih sering gagal dalam pengobatan dan lebih

sering kambuh dibandingkan penderita TB tanpa diabetes sehingga

meningkatkan risiko untuk terjadinya multi drug resistance (MDR)TB

(Chang et al, 2011).

WHO telah menetapkan target penurunan insiden TB sampai

dengan 1 kasus per 1 juta penduduk pada tahun 2050 yang sejalan

dengan keinginan Indonesia untuk bebas TB di tahun 2050, untuk itu

diperlukan upaya tambahan untuk meningkatkan deteksi TB dan

kesuksesan terapi melalui peninjauan pada populasi khusus dengan

faktor risiko TB salah satunya adalah DM (WHO, 2015).


BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 65 tahun
Tanggal Lahir : 1 Januari 1954
No. RM : 02099887
Alamat : Bogowonto no 209 RT 002/RW 008 Donan,-
Cilacap, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah
Pekerjaan : Nelayan
Tgl Masuk : 27 Mei 2019
Tgl Anamnesa : 4 Juni 2019
Bangsal : Asoka

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kaki kiri kebas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien baru dari poli Endokrin Metabolik dan Diabetes Melitus
RSMS dengan keluhan kaki kiri kebas. Kaki kiri kebas sudah dirasakan
sejak 1 minggu SMRS. Pasien mengaku awalnya kaki kiri terasa panas
dan kemudian timbul warna kehitaman pada kulit di ujung jari-jari kaki
kiri dan telapak kaki kiri. Semakin hari pasien mulai mengeluhkan timbul
rasa kebas dan warna kulit yang kehitaman pada ujung jari kaki yang
menjalar sampai ke betis, dan pada akhirnya kaki kiri pasien dirasa
dingin dan juga kebas. Keluhan dirasakan terus-terusan dan semakin
memberat. Pasien merasa keluhan ini mengganggu aktivitas. Akibatnya,
pasien selama seminggu SMRS tidak bisa berjalan normal dan harus
dibantu untuk berjalan. Pasien mengaku tidak ada faktor yang
memperberat dan memperingan. Pasien hanya mengoleskan minyak kayu
putih saat kaki kiri mulai terasa dingin dan kebas.
Pasien juga mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna putih
sejak 5 bulan yang lalu dan pasien merasa terkadang muncul sesak nafas
setelah batuk-batuk. Pasien mengaku setiap keluhan batuk muncul,
pasien hanya membeli obat batuk di warung tetapi keluhan tidak
membaik. Selain itu, pasien mengeluh demam, kembung, mual dan
tenggorokan sakit sejak 1 minggu SMRS. Keluhan lain yang dirasakan
oleh pasien adalah nyeri punggung bawah yang sudah dirasakan sejak 1
tahun terakhir ini. Pasien mengaku jika nyeri punggungnya akibat
kebiasaan pasien duduk terlalu lama saat bekerja sebagai nelayan.
Pasien mengaku sering kencing terutama di malam hari, sering
merasa lapar, haus dan juga terjadi penurunan berat badan sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien mengakui tidak pernah memeriksakan kadar gula
darahnya dan tidak pernah meminum obat diabetes. Pasien saat ini
sedang menjalani pengobatan TB minggu ke 2 dari RSUD Cilacap.
Sebelumnya pasien dirawat di RSUD Cilacap selama 4 hari dengan
spondilitis TB dan diabetes melitus. Pasien mengatakan jika baru
pertama kali ini dirawat di rumah sakit dan baru mengetahui jika
memiliki penyakit diabetes melitus dan juga tuberkulosis.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : diakui
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit TB : diakui
Riwayat konsumsi OAT : diakui
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat hepatitis : disangkal
Riwayat penyakit empedu : diakui
Riwayat alergi ` : disangakal
Riwayat operasi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit TB : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat hepatitis : disangkal
Riwayat penyakit empedu : disangkal
Riwayat alergi ` : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan. Hubungan antara pasien
dengan tetangga dan keluarga baik. Anggota kelurga yang tinggal dengan
pasien tidak memiliki keluhan serupa dengan pasien. Dalam satu rumah
terdiri dari 3 orang. Pasien tinggal dirumah bersama istri dan anak.
Rumah berdinding tembok, berlantai keramik, pencahayaan dan ventilasi
cukup baik. Pasien menuturkan tetangga pasien memelihara unggas.
Pasien adalah seorang nelayan. Pasien mengaku sering duduk lama
untuk membuat jaring ikan. Teman-teman kerja dan tetangga pasien tidak
ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Pasien mengaku
jika dirinya tidak pernah kontrol rutin untuk mengecek kesehatannya.
Pasien memiliki kebiasaan suka makan-makanan manis dan juga goreng-
gorengan. Psien mengakui jarang berolahraga.
Pasien merupakan perokok berat, pasien mengaku mulai merokok
sejak remaja dan baru berhenti 1 minggu ini setelah kakinya terasa sakit.
Pasien mengatakan orang sekitar rumah sehat tidak ada yang batuk-
batuk. Pasien dirawat di RSUD Margono Soekarjo dengan menggunakan
BPJS Non PBI.
C. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sakit Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis E4M6V5
3. Vital sign :
TD : 110/70 mmHg
N : 75 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,5 °C
Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala dan Leher
a. Bentuk kepala : Mesochepal
b. Rambut : Warna hitam dan terdistribusi merata
c. Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+) normal isokor (3 mm/3 mm)
d. Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
e. Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping
hidung (-)
f. Mulut : Bibir pucat (+), sianosis (-), atrofi papil lidah
g. Leher : Simetris, deviasi trakhea (-), pembesaran KGB (-)
2. Pemeriksaan Thoraks
a. Pulmo
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrelchest (-)
Palpasi :Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan
vertebre (-)
Palpasi :Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
b. Cor
Inspeksi : Tidak tampak denyutan Ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V línea mid clavícula sinistra
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
3. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi :Cembung, jaringan parut (-), distensi (-), venectasi (-),
caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba besar
Lien : Tidak teraba besar
4. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/+), akral hangat (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-
),CRT <2 detik
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-
),CRT >2 deti, gangrene regio plantar pedis meluas ke dorsalis pedis dan
cruris sinistra, sensorik function sinistra abnormal dari lutut ke bawah,
pulsasi a.dorsalis pedis (-).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium RSMS 27 Mei 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 9.7 (L) g/dL 11.7-15.5
Leukosit 28.240 (H) U/L 3.600-11.000
Hematokrit 28 (L) % 35-47
Eritrosit 3.2 (L) 106/uL 3.8-5.2
Trombosit 436.000 /uL 150.000– 440.000
MCV 87.5 fL 80-100
MCH 30.2 Pg/cell 26-34
MCHC 34.5 % 32 – 36
RDW 16.9 (H) % 11.5 – 14.5
MPV 9.3 L fL 9.4 – 12.3
Basofil 0.2 % 0–1
Eosinofil 0.1 L % 2–4
Batang 1.7 (L) % 3–5
Segmen 92.8 H % 50 – 70
Limfosit 3.2 (L) % 25 – 40
Monosit 2.0 % 2– 8
SGOT 65 H mg/dL
SGPT 27 mg/dL
Ureum darah 39.99 H mg/dL
Kreatinin 1.2 mg/dL
GDS 154 mg/dL
HbA1c 8.2 H
Albumin 2.62 L g/dL
Natrium 135 mEq/L
Kalium 3.4 L mEq/L
Klorida 103 mEq/L
Kalsium 7.9 L mEq/L
b. Pemeriksaan Urin Lengkap RSMS tanggal 28 Mei 2019

Fisis
Warna : kuning kemerahan
kekeruhan : agak keruh
bau : khas
kimia
urobilinogen : 0.1 mg/dl
keton : negative
berat jenis : 1.010
eritrosit : negative
PH : 6.0
Protein : negative
Nitrit : negative
Leukosit : negative
Sedimen
Eritrosit : 5-7
Leukosit : 2-3
Epitel : 5-7
Silinder hialin : negative
Silinder lilin : negative
Silinder eritrosit : negative
Silinder leukosit : negative
Granuler halus : negative
Granuler kasar : negative
Kristal : negative
Bakteri : 11-20
Trikomonas : negative
Jamur : negative
c. Pemeriksaan angiografi RSMS 31 Mei 2019

Kesan : Kontras tak mengisi muali dari a.iliaca kiri, letak obstruksi sulit
ditentukan
b. Pemeriksaan Rontgen Thorax 18 Mei 2019 di RSUD Cilacap:

Kesan :
Cor : Besar dan bentuk normal
Paru : Tampak fibro infiltrat di kedua lapang paru, Sinus phrenicocostalis
kanan kiri tajam
Kesimpulan : TB paru
c. Pemeriksaan Foto Thoracolumbosacral AP/Lateral 21 Mei 2019 RSUD
Cilacap

Kesimpulan :
Pyogenic spondylitis dengan Spondylosis VL 4 ke anterior terhadap VL 5 grade 1
E. DIAGNOSIS
DM tipe 2 dengan gangrene inferior sinistra, TB paru dalam
pengobatan minggu ke 3
F. PLANNING
1. Medikamentosa
a. IVFD Nacl 0,9 % 20 Tpm
b. Inj. Ceftriaxone 2x1 Gr
c. Inj. Ranitidin 2x50 Mg
d. Inj. Mecobalamin 2x1000 Mcg
e. Pletaal 1x100 Mg
f. Albumin 20% 100 Cc + Drip Kcl Extra 2 Fls
g. Salep Kalmicetine 2%
2. Non Medikamentosa
a. Diet rendah natrium
b. Pro Amputasi + Embolektomi Elektif Jika Ku Baik
c. Mengurangi asupan cairan
d. Diet rendah glukosa
e. Diet kaya serat
G. EDUKASI
1. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien.
2. Edukasi mengenai penyakit dan pengobatannya.
3. Hindari makanan asin, berlemak, kopi, dan minuman bersoda.
4. Edukasi kepada pasien untuk meningkatkan aktivitas seperti
berolahraga ringan.
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. DM

A. Definisi DM

DM merupakan penyakit metabolik dengan etiologi multifaktorial

yaitu kombinasi faktor genetik dan lingkungan (ADA, 2013). Pada DM

pankreas tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat

menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadi hiperglikemia yang

disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein (Kemenkes RI, 2014; PERKENI, 2015). Penyakit ini dapat

menyerang semua umur dengan gejala klinis yang khas yaitu “Triaspoli”

polidipsi (banyak minum), polifagia (banyak makan) dan poliuri (banyak

kencing) (Rismayanthi, 2011). Komplikasi yang dapat terjadi antara lain;

hipoglikemi, ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik jantung

iskemik, stroke, kelainan pembuluh darah perifer, retinopati, neuropati,

dan nefropati (Cryer, 2011; Setiawati et al., 2014).

B. Faktor resiko dan etiologi DM

Menurut Potter dan Perry (2010), penyakit DM dapat disebabkan

oleh beberapa hal yaitu :

1) DM tipe 1

Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM dari orang tua.

Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga


yang terkena juga. Selain faktor genetik, faktor-faktor yang

berkontribusi pada patogensis DM tipe 1 adalah lingkungan dan

imunologi yang akan merusak sel pankreas sehingga memicu

defisiensi insulin (Paschou et al., 2018).

2) DM tipe 2

Etiologi yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi

insulin pada diabetes melitus tipe 2 belum diketahui secara pasti.

Menurut Gustiawan (2016), orang yang gemuk dengan berat badan

melebihi 90 kg mempunyai kecenderungan lebih besar untuk terserang

DM dibandingkan dengan orang yang tidak gemuk. Mayoritas

penderita DM tipe 2 mengalami obesitas yang disebabkan oleh derajat

resistensi insulin dan tingkat aktifitas fisik yang rendah serta diet yang

tinggi menjadi faktor risiko utama (ADA, 2018; Zhang et al., 2013).

Faktor – faktor lainnya adalah usia (resistensi insulin cenderung

meningkat pada usia diatas 65 tahun), riwayat keluarga dan kelompok

etnik (Potter dan Perry, 2010).

C. Klasifikasi DM

Pada umumnya DM dibagi menjadi dua kategori utama berdasar

pada sekresi insulin endogen yaitu DM tipe 1 atau insulin dependent

diabetes mellitus (IDDM) dan DM tipe 2 atau non insulin dependent

diabetes mellitus (NIDDM) (Kemenkes RI, 2014). Menurut ADA (2018)

klasifikasi DM adalah sebagai berikut :


3) DM Tipe I/insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)

Adanya destruksi sel beta yang pada umumnya menjurus pada

defisiensi insulin absolut melalui proses imunologik atau idiopatik.

4) DM Tipe II/non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)

Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi

insulin bersama resistensi insulin.

5) DM Tipe Lain

Penyebab diabetes melitus tipe lain, yaitu :

1) Defek genetik fungsi sel beta

2) Defek genetik kerja insulin

3) Penyakit eksokrin pankreas

4) Endokrinopati

5) Karena obat atau zat kimia

6) Infeksi

7) Imunologi

8) Sindroma genetik lain

6) Diabetes Kehamilan

Adanya intoleransi dari glukosa pada kehamilan.

D. Penegakan Diagnosis DM

Menurut ADA (2018) diagnosis DM pada manusia dapat

ditegakkan apabila terdapat salah satu kriteria sebagai berikut:

7) Kadar glukosa darah puasa (GDP) ≥126 mg/dL dengan syarat puasa

adalah tidak ada diet kalori tambahan selama 8 jam.


8) Gejala klasik hiperglikemia (poliuria, polidipsia, dan penurunan BB)

dan kadar glukosa plasma ≥200 mg/dL.

9) Kadar glukosa plasma pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200

mg/dL. TTGO dilakukan dengan standar WHO, yaitu menggunakan

beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus

dilarutkan ke dalam air.

E. Patomekanisme DM

Pada DM tipe 1/IDDM kerusakan sel ß pankreas diperantarai oleh

proses autoimun sehingga menyebabkan tingginya kadar glukosa namun

tidak dapat digunakan secara optimal untuk pembentukan energi oleh

karena itu energi diperoleh dari peningkatan katabolisme lipid dan

protein. Pada DM tipe 2/ NIDDM disebabkan karena dua hal yaitu

penurunan respons jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut

dinamakan resistensi insulin, dan penurunan kemampuan sel sebagai

respons terhadap beban glukosa. Konsentrasi insulin yang tinggi

megakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri

dengan menurunkan jumlah reseptor. Hal ini membawa dampak pada

penurunan respons reseptornya dan lebih lanjut megakibatkan terjadinya

resistensi insulin (Wahyuni, 2011).

Resistensi insulin adalah suatu kondisi menurunnya sirkulasi

insulin terhadap jaringan target yaitu otot skeletal, jaringan adiposa dan

liver. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan

penurunan penggunaan glukosa sehingga megakibatkan peningkatan

kadar gula darah (hiperglikemia). Sensitivitas insulin yang menurun pada


DM tipe 2 disebabkan oleh disfungsi sel beta, mutasi reseptor insulin atau

faktor obesitas (Lopez et al., 2007). Sensitivitas insulin juga dipengaruhi

oleh berbagai lipid yang ada dalam sirkulasi seperti hipertrigliseridemia

dan meningkatnya FFAs (Yadav et al., 2007).

Keadaan hiperglikemia pada DM meningkatkan angka kesakitan

dan kematian di seluruh dunia karena megakibatkan kerusakan sistemik

yang luas pada tubuh. Hiperglikemia adalah kondisi kadar glukosa darah

lebih dari nilai normal (ADA, 2013). Hiperglikemia pada DM

meningkatkan radikal bebas dan menurunkan antioksidan darah

(Subandrate, 2016). Salah satu teori menyebutkan bahwa jalur yang

menyebabkan komplikasi makro dan mikroangiopati pada pasien DM

adalah melalui terbentuknya stres oksidatif (Hammami, 2012).

Stres oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan

jumlah radikal bebas (oksidan) dan antioksidan dalam tubuh

(Subandrate, 2016). Stres oksidatif yang berkelanjutan dapat

menyebabkan kerusakan tingkat sel hingga tingkat organ bahkan

menimbulkan penyakit (Okoduwa, 2013). Menurut Malik et al. (2015)

peningkatan stress oksidatif terjadi melalui berbagai aktivitas metabolik,

yaitu autooksidasi glukosa, aktivitas jalur poliol, pembentukan produk

akhir glikasi/Advanced glycation end products (AGEs), Protein Kinase C

(PKC), dan aktivitas jalur heksoamin

F. Hubungan DM dengan TB

Hubungan DM dengan TB pertamakali dilaporkan oleh Avicenna

pada abad ke XI yaitu TB merupakan penyebab kematian utama


penderita DM. Pada otopsi postmortem penderita DM ternyata

didapatkan 50% nya juga menderita TB. Pada awal abad 20 ketoasidosis

diabetikum dan TB dianggap menjadi penyebab kematian pada penderita

DM tapi setelah ditemukannya insulin maka terjadi penurunan angka

kematian akibat kedua penyakit tersebut. Peningkatan risiko terjadinya

TB aktif pada penderita DM diduga akibat gangguan sistem imun,

peningkatan daya lekat kuman M.tb pada sel penderita DM,

mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati (Sidibe & Sankale, 2007).

Pada diabetes imunitas seluler berkurang yang berdampak pada

berkurang limfosit Th1 termasuk produksi TNFα, IL 1β dan IL6.

Padahal marker ini memainkan peranan penting dalam pertahanan

terhadap kuman M.Tb.Terjadinya keadaan hiperglikemia menciptakan

lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya kuman

M.Tb. beberapa peneliti juga menyatakan bahwa fungsi perlindungan sel

yang berkurang meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi ditambah

meningkatnya kadar gliserol dan nitrogen yang menjadi faktor

pertumbuhan kuman M.Tb (Sen et al, 2009).

Penyebab lain meningkatnya risiko TB pada penderita DM adalah

disfungsi kelenjar pituitari yang menyebabkan berlebihnya produksi

hormon adrenokortikotropik sehingga meningkatkan kadar

kortikosteroid di dalam darah. Kortikosteroid merupakan antagonis

insulin sehinnga kadarnya yang berlebih akan mengakibatkan diabetes

insulin resisten. Netrofil pada penderita DM memiliki sifat kemotaksis

dan oksidatif yang berkurang.bebrapa peneliti menganggap hal ini


disebabkan olehkarena berkurangnya produksi IL1β, TNFα. Penelitian-

penelitian ini membuktikan bahwa pada DM terjadi gangguan fungsi

respons imun innate dan adaptive yang sangat penting menghambat

pertumbuhan kuman M.Tb (Harries et al, 2013).

Diabetes mellitus menjadi salah satu faktor risiko timbulnya TB

aktif selain HIV/AIDS, hal yang dapat menekan imunitas tubuh,

silikosis, malnutrisi, merokok, penyalahgunaan obat dan alkhol.

Frekuensi DM diantara penderita TB aktif berkisar 5,6%-14,8%. Pada

penderita tersebut 35-61% DM di diagnosis pertamakalinya setelah

diagnosis TB. Toleransi glukosa juga merupakan keadaan yang umum

ditemukan pada penderita TB. Beberapa penelitian juga menunjukkan

terdapatnya intoleransi glukosa tidak spesifik pada TB akan tetapi

banyak penelitian juga berhasil membuktikan hubungan antara DM

dengan TB aktif (Alisjahbana et al, 2007; Ottmani et al, 2010).

Pada beberapa penelitian menunjukkan risiko terjadinya TB

diantara DM adalah 2.2-2.52 kali. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor

yaitu usia, tipe DM, derajat keparahan DM, prevalens TB di di daerah

tersebut dan etnis.18 Restrepo1 menunjukkan odds ratio (OR) pasien TB

dengan DM sebesar 1,3 sampai 7,8 kali. Penelitian yang dilakukan

Alisjahbana dkk di Indonesia menunjukkan bahwa prevalens DM pada

penderita TB adalah 14,8% dibandingkan 3,2% pada populasi normal.

TB paru aktif akan lebih sering muncul pada pasien DM yang tergantung

insulin (insulin dependent diabetes mellitus/IDDM) dibandingkan


dengan pasien DM tidak tergantung insulin (non insulin dependent

DM/NIDDM) (Faurholt-Jepsen, 2011).

Penelitian dengan hasil serupa juga di dapatkan oleh Faurholt yang

melakukan penelitian di Tanzania. Kedua hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa ketergantungan terhadap insulin menjadi

prediktor meningkatnya resiko TB. Penelitian yang di lakukan di

Hongkong terhadap terhadap 4680 pasien DM usia tua di dapatkan hasil

bahwa pasien dengan nilai HbA1c >7 memiliki resiko 7 kali untuk

mendapatkan Tb aktif dibandingkan kelompok pasien dengan HbA1c<7

yang artinya kontrol gula darah yang buruk menjadi faktor risiko

timbulnya TB pada pasien DM (Dooley & Chaisson 2009; Niazi &

Kalra, 2012).

Kegagalan sistem imun merupakan penyebab meningkatnya faktor

risiko aktivasi TB laten. DM memiliki potensi untuk bermanifes dalam

bentuk klinis yang lebih berat. Respons imun seluler menjadi tergagnggu

pada pasien DM padahal respon imun ini merupakan respon imun yang

paling penting untuk membatasi infeksi TB. Aweis dkk menunjukkan

terdapatnya penurunan jumlah limfosit pada psien TB dengan DM

dibandingkan pasien TB tanpa DM. Di sisi lain terdapat peningkatan

kadar TNF-α dan IFN-γ pada pasien TB dan DM. Hal ini menunjukkan

bahwa respon imunitas selular menurun dan membutuhkan rangsangan

yang lebih tinggi untuk optimalisasi respons imun (Baghaei et al, 2013).
2. TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit yang menyerang

jaringan paru disebabkan infeksi basil Mycobacterium

tuberculosis.(Depkes RI, 2014). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

(PDPI) mendefinisikan TB Paru sebagai penyakit yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2011). Tuberkulosis

(TB) merupakan suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai

organ, terutama paru-paru (Kemenkes RI, 2015).

B. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) sampai sekarang ini masih menjadi persoalan yang

global, World Health Organization tahun 2011 menyatakan penyakit ini

setiap tahunnya menginfeksi sekitar 9.000.000 orang dan membunuh

hampir 1.400.000 orang di seluruh dunia. Di wilayah Asia Timur dan juga

Selatan merupakan penyumbang kasus terbesar yaitu 40% atau 3.500.000

kasus setiap tahunnya, dengan angka kematian yang cukup tinggi yaitu 26

orang per 100.000 penduduk.

C. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang

1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil

Tahan Asam (BTA). Kuman tuberculosis cepat mati dengan sinar

matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat


yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat atau

tertidur atau dormant lama dalam beberapa tahun(PDPI, 2011).

D. Cara Penularan

Penularan tuberkulosis paru adalah melalui percikan dahak

(droplet). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA (+),

namun bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil BTA (-) tidak

mengandung kuman di dalam dahaknya. Tingkat penularan pasien dengan

BTA (+) mencapai 65%, pasien BTA (-) dengan kultur dahak (+) adalah

26% dan pasien BTA (-) dengan kultur (-) dan foto toraks positif adalah

17%.

Pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin

menyebarkan kuman melalui udara. Dengan demikian, penularan penyakit

TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang

tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang

kerja yang sama. Penderita TB sering tidak tahu bahwa ia menderita

tuberkulosis. Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di

udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Secara umum penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan

dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah

percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman,

percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap

dan lembab. Orang lain dapat terinfeksi kala droplet tersebut terhirup ke

dalam saluran pernapasan.


E. Patogenesis

Perjalanan penyakit Tuberkulosis ini dibagi menjadi dua, yaitu

tuberkulosis primer dan tuberkulosis pasca primer (tuberkulosis sekunder)

(Depkes RI, 2014).

a. Tuberkulosis Primer

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau

dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.

Partikel infeksi dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,

tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang

buruk dan kelembapan. Dalam suasana lembap dan gelap kuman

dapat bertahan berhari hari sampai berbulan bulan. Bila partikel

infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran

napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar apabila

ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali

oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini

akan mati atau akan dibersihkan oleh makrofag keluar dari

percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.

Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam

sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh

lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk

sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau

afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi

di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura maka

terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran


gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi

limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan

menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan tulang. Bila

masuk ke arteri pulmonalis maka terjadilah penjalaran ke seluruh

bagian paru menjadi TB milier.

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening

menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar

getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis

lokal ditambah limfadenitis regional membentuk komplek primer

(Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Komplek

primer ini selanjutnya dapat menjadi (WHO, 2014):

a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang

banyak terjadi.

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis garis

fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaaan ini terdapat pada lesi

pneumonia yang luasnya >5 mm dan ± 10% di antaranya dapat

terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

c. Berkomplikasi dan menyebar secara a) per kontinuitatum,

yakni menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru

yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya, kuman dapat

juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke

usus, c) secara limfogen, ke organ organ tubuh lainnya, d)

secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.


b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi

tuberkulosis dewasa (TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas

reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena

imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna,

diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai

dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal

posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah

parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hilus paru.TB sekunder juga

dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi usia tua

(elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya

dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi (WHO, 2014):

a. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

b. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh

dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri

menjadi keras sehingga menimbulkan perkapuran. Sarang dini

yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan

jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami

nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila

jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas

ini mula mula berdinding tipis, lama lama dindingnya menebal

karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar,

sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya


perkejuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan

asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan

proses yang berlebihan sitokin dengan TNF- nya.

F. Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi tuberkulosis adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2014):

a. Berdasarkan letak anatomi penyakit


1) Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim

paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru

karena letak lesinya yang terletak dalam paru. Pasien yang

mengalami TB paru dan ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB

paru.

2) Tuberkulosis ekstraparu adalah TB yang mengenai organ

lainnya selain paru seperti pleura, kelenjer getah bening

(termasuk mediastinum dan atau hilus), abdomen, traktus

genitourinarius, kulit, sendi tulang dan selaput otak. Kasus TB

ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah

diupayakan semaksimal mungkin dengan konfrimasi

bakteriologis.

b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah

mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah

menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28


dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

pengobatan TB terakhir, yaitu:

a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini

didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar

kambuh atau karena reinfeksi).

b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien

TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada

pengobatan terakhir.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan

dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya

dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat

/default).

d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun

hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini be rdasarkan hasil uji

kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap

OAT dan dapat berupa :

1. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis

OAT lini pertama saja.


2. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis

OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan.

3. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid

(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

4. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua

jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

5. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang

terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau

metode fenotip (konvensional).

d. Berdasarkan status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB-HIV) :

adalah pasien TB dengan :

a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan

ART, atau

b) Hasil tes HIV positif saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif : adalah pasien TB dengan :

a) Hasil tesh HIV negatif sebelumnya, atau

b) Hasil tes HIV negatif saat diagnosis TB


G. Gejala Klinis

1. Gejala Respiratorik

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang

paling sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang

pada awalnya tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan

maka batuk akan menjadi produktif. Biasanya batuk ringan

sehingga dianggap batuk biasa. Apabila batuk telah berlangsung

lebih dari 2 minggu, maka harus dipikirkan adanya TB (PDPI,

2011).

b. Dahak

Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian

berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai

purulen. Dahak berubah menjadi kental apabila sudah terjadi

perlunakan (PDPI, 2011).

c. Batuk darah (hemoptysis)

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau

bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar

dalam jumlah sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya

aneurisma (Rasmussen’s aneurysm) pada pembuluh darah yang

berdilatasi di kavitas atau dari formasi aspergiloma pada kavitas

lama. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar atau

kecilnya pembuluh darah yang terkena (PDPI, 2011).


d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan

napasnya (PDPI, 2011).

e. Sesak napas

Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak

napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

2. Gejala Sistemik

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang

kadang panas badan dapat mencapai 40-41oc. Serangan demam

dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.

Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan

berat ringannya infeksi Tuberkulosis yang masuk(PDPI, 2011).

b. Malaise dan nafsu makan berkurang

Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa

tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan

makin kurus, sakit kepala dan mudah lelah (PDPI, 2011).

H. Diagnosis TB

Definisi pasien TB dapat dibagi berdasarkan hasil konfirmasi

pemeriksaan Bakteriologis dan berdasarkan diagnosis klinis (Depkes RI,

2014):
1) Berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis

Seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasarkan hasil

pemeriksaan contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis

langsung, biakan atau tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh

Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert). Termasuk dalam kelompok

pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif

c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik

dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan

yang terkena.

e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat

tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah

belum.

2) Berdasarkan diagnosis klinis

Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara

bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter,

dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks

mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun

laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian

terkonfirmasi bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah

memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB

terkonfirmasi bakteriologis.

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

 Anamnesis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan lain

berupa dahak berca,put darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas,

nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat

malam hari tanpa kegiatan fisis, demam meriang lebih dari satu

bulan. Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya perlu

ditanyakan beserta dengan riwayat pengobatannya. Adanya keluarga

atau tetangga yang memiliki keluhan yang sama dapat lebih

mengarahkan diagnosis sebagai TB. Perlu juga ditanyakan mengenai

pencahayaan dan sirkulasi udara dirumah (ventilasi).

 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin

didapatkan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,

demam, badan kurus dan berat badan turun. Tempat kelainan lesi TB
paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru.

Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan

perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan

didapatkan juga suara napas tambahan seperti ronkhi basah, kasar dan

nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara

napas menjadi vesikuler yang melemah. Bila terdapat kavitas yang

cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan

auskultasi memberikan suara amforik(Depkes RI, 2014).

Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup

atau pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak

terdengar pada posisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB

terlihat pembesaran kelenjar getah bening tersering didaerah leher

kadang didaerah ketiak. Pembesaran tersebut dapat menjadi cold

abscess (PDPI, 2011).

 Pemeriksaan Laboratorium

Beberapa penunjang laboratorium bisa membantu dalam

menegakkan diagnosis TB. Tetapi tidak semua pemeriksaan ini harus

dilakukan, sesuaikan dengan keperluan penunjang saja.

a. Darah

Pada saat TB paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit

yang sedikit meninggi, laju endap darah mulai meningkat. Hasil

pemeriksaan darah lain juga didapatkan :


1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer.

2. Gama globulin meningkat

3. Kadar natrium darah meningkat. Pemeriksaan tersebut tidak spesifik.

b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.

TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak

dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

c. Dahak / Sputum

Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan salah

satu pilihan utama, dengan beberapa alasan antara lain murah, objektif

dan spesifik. Teknik pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah

Ziehl Neelsen. Dibutuhkan tiga spesimen dahak untuk menegakkan

diagnosis TB. Untuk kenyamanan penderita, pengumpulan dahak

dilakukan dengan prinsip Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan

bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sedian langsung

dengan mikroskop biasa, mikroskop fluorensens atau biakan kuman

(Depkes RI, 2014).

1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,

menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi

penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis

dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa

dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2014):


a) S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB

datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat

pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk

menampung dahak pagi pada hari kedua.

b) P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua,

segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan

sendiri kepada petugas di fasyankes.

c) S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua,

saat menyerahkan dahak pagi.

2) Pemeriksaan biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium

tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti

TB pada pasien tertentu, seperti (Depkes RI, 2014).:

• Pasien TB ekstra paru.

• Pasien TB anak.

• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang

terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan

menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk

memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat

tersebut.

Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikrokopis.


Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari

tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila ke tiga spesimen

dahaknya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas selama 2

minggu. Apabila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap

mencurigakan TB dilakukan pengulangan pemeriksaan dahak SPS

dengan kriteria sebagai berikut (Depkes RI, 2014):

 Hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB

BTA positif.

 Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks


untuk mendukung diagnosis TB.

d.Tes Tuberkulin

Dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis

terutama pada anak anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni

dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.D.D (Prurified Protein

Derivative) intrakutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah

seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.

Tuberkulosis, M. Bovis, vaksinasi BCG dan mycobacteria patogen

lainnya. Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah

48-72 jam tuberkulin disuntikkan akan timbul reaksi berupa indurasi

kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi

persenyawaan antara antibodi seluler dengan antigen tuberkulin

(WHO, 2014).
e. Pemeriksaan Radiologis

Sebagian besar TB paru didiagnosis dengan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi

tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesui indikasi sebagai

berikut (PDPI, 2011):

- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Pemeriksaan foto toraks pada kasus ini diperlukan untuk mendukung

diagnosis TB paru BTA positif

- Ketiga spesimen dahak tetap negatif setelah pemeriksaan 3 spesimen

dahak SPS sebelumnya dan tidak ada perbaikan setelah pemberian

antibiotik non OAT

- Penderita tersebut diduga menderita kompilkasi sesak napas berat

yang memerlukan penanganan.

Pada pemeriksaan foto toraks tuberkulosis dapat memberikan

gambaran berbagai macam bentuk ( multiform). Berikut merupakan

gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

1.Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus

atas paru dan segmen superior lobus bawah.

2.Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan

atau nodular.

3.Bayangan bercak milier

4.Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (Jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah

sebagai berikut:
1. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

2. Kalsifikasi

3. Komplek ranke

4. Fibrotoraks/fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Gambar 2.1 Algoritma penegakan diagnosis tuberkulosis paru

(Depkes, RI, 2014).

I. Diagnosis TB Paru berdasarkan ISTC

International Standards for Tuberculosis Care merupakan

program dalam penanggulangan TB nasional yang awalnya

direkomendasikan oleh WHO. ISTC dimaksudkan bukan untuk

menggantikan berbagai pedoman (guideline) manajemen TB yang telah

disusun secara rinci oleh masing-masing organisasi profesi seperti Directly

Observed Treatment Short-course (DOTS), tetapi berperan sebagai rambu-


rambu minimal untuk tenaga medis yang mengelola kasus TB. ISTC memuat

hal-hal apa (what) yang seharusnya dilakukan dokter dalam mengelola pasien TB,

sedangkan pedoman organisasi profesi berisi panduan bagaimana mengelola pasien TB.

ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari 6 standar diagnosis, 7 standar

terapi, dan 4 standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi

komorbid lain serta 4 standar kesehatan masyarakat.

Standar diagnosis berdasarkan ISTC terdapat di standar 1 sampai

6, yaitu (Depkes RI, 2013):

1. Untuk menentukan diagnosis awal, petugas kesehatan harus

memperhatikan faktor risiko TB pada individu dan kelompok serta

melakukan evaluasi klinik dan uji diagnostik yang sesuai dengan

gejala dan temuan klinis lain sesuai TB.

2. Semua pasien, termasuk anak, yang mengalami batuk yang tidak

dapat dijelaskan dan berlangsung selama dua minggu atau lebih atau

temuan klinis lain pada pemeriksaan foto toraks yang dicurigai TB

harus dievaluasi sebagai TB.

3. Semua pasien, termasuk anak, yang dicurigai memiliki TB paru dan

mampu mengeluarkan dahak harus diambil setidaknya dua sediaan

dahak untuk pemeriksaan mikroskopik atau satu sediaan dahak untuk

pemeriksaan Xpert MTB/RIF di laboratorium yang terjamin

kualitasnya. Pasien dengan risiko tinggi resistens obat, yang berisiko

memiliki HIV atau mereka yang sakit berat harus diperiksakan Xpert

MTB/RIF sebagai alat uji diagnostik awal. Pemeriksaan serologi dan


interferon-gamma release assay (IGRA) tidak boleh digunakan untuk

mendiagnosis TB aktif.

4. Semua pasien, termasuk anak, yang dicurigai memiliki TB ekstra paru,

sediaan yang sesuai dengan lokasi yang dicurigai terinfeksi harus

diambil untuk pemeriksaan mikrobiologi dan histologi. Xpert

MTB/RIF direkomendasikan pemeriksaan awal meningitis TB sebagai

kebutuhan untuk diagnosis yang cepat.

5. Pasien yang dicurigai TB paru dengan sediaan BTA negatif, Xpert

MTB/RIF dan kultur harus dilakukan. Orang dengan pemeriksaan

mikroskopik dan Xpert MTB/RIF negatif dan klinis sesuai TB, OAT

harus dimulai setelah pemeriksaan sediaan untuk dikultur.

6. Untuk anak yang dicurigai memiliki TB intratoraks (seperti paru,

pleura, mediastinum, atau kelenjar getah bening hilus), konfirmasi

bakteriologis harus dilakukan melalui pemeriksaan sekret saluran

napas (ekspetorasi dahak, induksi sputum, dan bilas lambung) untuk

apusan mikroskopik, Xpert MTB/RIF, dan/atau kultur.

J. Penatalaksanaan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan penderita,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan, mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT,

melindungi keluarga dan komunitas penderita.2 Pengobatan TB dilakukan

dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (Depkes RI, 2014):


a. Tahap awal (intensif)

Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Pengobatan tahap

awal dimaksudkan untuk menurunkan jumlah bakteri dan meminimalisir

perngaruh dari sebagian bakteri yang mungkin sudah resisten sebelum

pasien mendapat pengobatan. Diberikan pada semua pasien baru selama 2

bulan. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara tepat, biasanya

penderita menular menjadi tidak menular dalam 2 minggu. Sebagian besar

penderita BTA positif akan menjadi negatif pada akhir pengobatan.

b. Tahap lanjutan

Merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa bekteri yang ada

dalam tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh

dan mencegah kekambuhan

c. Panduan OAT

WHO dan IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan paduan

OAT standar, yaitu :

1) Kategori 1 :

a. 2HRZE/4H3R(3)

b.2HRZE/4HR

c. 2HRZE/6HE

2) Kategori 2 :

a. 2HRZES/HRZE/5H3R3E(3)

b.2HRZES/HRZE/5HRE
3) Kategori 3 :

a. 2HRZ/4H3R3

b.2HRZ/4HR

c. 2HRZ/6HE

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan TB di Indonesia:

Gambar 3. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk

dewasa

1) Kategori 1 :

2(HRZE)/4(HR)3

atau 2(HRZE)/4(HR).

Paduan OAT ini

diberikan untuk
pasien baru:

a. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

b. Pasien TB paru terdiagnosis klinis.

c. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks


positif

d. Pasien TB ekstra paru.

Tabel 1. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1

(2(HRZE)/4(HR))
Tabel 2. Dosis Paduan OAT KDT

Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)

2) Kategori 2:

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.

Paduan OAT ini diberikan kepada :

a. Pasien kambuh.

b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan

OAT kategori 1 sebelumnya.

c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost

to follow-up).
Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2

{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2

{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)

3) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri

dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,

Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,

Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin,

Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta

OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.


Tabel 5. Perhitungan dosis OAT Resistan Obat
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek

samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.7

1. Evaluasi klinik

a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan

b. Respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya

komplikasi penyakit

c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

2. Evaluasi bakteriologik

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan &

evaluasi pemeriksaan mikroskopik dilakukan sebelum pengobatan dimulai,

setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan.

3. Evaluasi radiologik

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

a. Sebelum pengobatan

b. Setelah 2 bulan pengobatan

c. Pada akhir pengobatan

Indikasi mutlak operasi pada pasien tuberkulosis adalah sebagai berikut

(Depkes RI, 2014):

1. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif

2. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

3. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi

secara konservatif.

50
lndikasi relatif adalah sebagai berikut :

1. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

2. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

3. Sisa kaviti yang menetap

I. PROGNOSIS

Dubia tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi,

status imun, dan komorbiditas. Baik bila pasien patuh menelan obat, dalam waktu 6

bulan.

51
BAB IV

KESIMPULAN

Pasien datang ke RSMS dengan keluhan lemas seluruh bagian tubuh. Keluhan

lemas dirasakan sejak tiga hari yang lalu SMRS. Keluhan dirasakan terus-menerus

dan mengganggu aktivitas. Keluhan dirasa semakin memberat jika pasien

beraktivitas dan membaik saat pasien beristirahat. Keluhan lemas dirasakan antara

skala 1-10 ada di skala 8. Selain keluhan lemas, pasien mengeluhkan pusing dan

sesak nafas. BAK pasien dalam batas normal, warna kuning, lancar. BAB pasien

dalam batas nomal, tidak berwarna hitam atau berdarah. Pasien mengeluh nafsu

makan berkurang sehingga berat badan menurun.

Pada tanggal 14 Mei 2019 pasien sudah program untuk hemodialisa. Setelah

dilakukan cek laboratorium darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin pasien

adalah 6,7 mg/dl sehingga program hemodialisa pada pasien ditunda terlebih dahulu

untuk memperbaiki kondisi umum pasien. Pasien dirawat terlebih dahulu di bangsal

RSR atas untuk memperbaiki keadaan umum lalu direncanakan hemodialisa apabila

kondisi pasien sudah membaik dengan kadar hemoglobin yang mencukupi. Pasien

didiagnosis CKD, Anemia, Hipertensi dan Diabetes Melitus. Pasien diberi terapi

INF Kidmin 200 cc/24 jam, Inj Furosemid 1 Amp/8 jam, Kandesartan 1x8 mg,

Klonidin 2x1, Amlodipin 1x10 mg, Akarbose 1x100 mg, Ferous Sulfat 1x1,

Vipalbumin 1x1 , Asam Folat 3x1, Calos 3x1, Transfusi PRC 2 Kolf Premed lasik 1

Amp, Hemodialisa PRC 2 Kolf durante HD 4 Jam dialisa bicnat, Heparin standard

transfusi PRC 2 kolf durante HD.

52
DAFTAR PUSTAKA

Abou-Seif, M.A., Youssef A. 2014. Evaluation of some biochemical changes in diabetic


patients. Clinica Chimica Acta. 346(1): 161–70.

Alfarisi, S., Basuki W., Susantiningsih T. 2013. Perbedaan kadar kreatinin serum pasien
diabetes melitus tipe-2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H.
Abdul Moeloek bandar lampung tahun 2012. Majority. Vol. 2: 5, Hlm. 36-129.

Alfonso, A. A., Mongan, M. F., Memah. 2016. Gambaran kadar kreatinin serum pada pasien
penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialysis. e-Biomedik. 4(1): 178-183.

American Diabetes Association (ADA). 2013. Diagnosis and classification of diabetes


melitus. Diabetes Care. 36(1):64-71.

Ariputri, F.A. 2015. Efek Protektif Ekstrak Meniran terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal
Mencit atau Tikus yang Diinduksi Bermacam-Macam Radikal Bebas. Karya Tulis
Ilmiah. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.

Arora, R., Vig AP, Arora S. 2013. Lipid Peroxidation: A Possible Marker for Diabetes.
Journal of Diabetes and Metabolism. 11(1):1-6.

Atikawati D, Marhana I. 2015. Sequelae Tuberkulosis dengan Hemoptisis Rekurens. Jurnal


Respirasi.Surabaya 1(3);88-93.

Cintari, L. 2008. Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Daun Ceplikan (Ruellia tuberosa L)
terhadap Kadar Kreatinin dan Kreatinin dalam Serum serta Gambaran Histologis
Ginjal Tikus Putih (Rattus novergicus) Diabetes Melitus.Tesis. Program Studi Ilmu
dan Kesehatan Masyarakat.UGM, Yogyakarta.

Clevo M., R., Margareth T.H. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Badah Penyakit
Dalam.Yogyakarta: Nuha Medika.

Correa, E.M., L. Medina, J. Barros-Monteiro, N.O. Valle, R. Sales, A. Magalães, F.C.A. et


al., 2014. Nih-P The Intake of Fiber Mesocarp Passionfruit (Passiflora Edulis)
Lowers Levels of Triglyceride and Cholesterol Decreasing Principally Insulin and
Leptin. Aging Research & Clinical Practice. 3(1): 31–35.

Corwin, E.J., 2009. Handbook of Patophysiology (Terjemahan). Edisi 3. Jakarta: EGC

Cryer, PE. 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine Edisi 18. New York: Mc Graw
Hill: 1325 – 1329.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. 2014. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Panduan
tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk dokter praktik
swasta. Jakarta: Depkes RI, IDI

53
Desminarti, S., Rimbawan, Faisal, A., Adi, W. 2012. Efek Bubuk Tempe Instan Terhadap
Kadar Malonaldehid (Mda) Serum Tikus Hiperglikemik. Jurnal Kedokteran Hewan.
6(2): 72-74.

Gustiawan, A. 2016. Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Hasil Test TGT (Test glukosa
Tolerans) sebagai Screening Diabetes Melitus di Wilayah Puskesmas Kembaran I.
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Hammami, S., Mehri S., Hajem S., Koubaa N., Souid H., Hammami M. 2012. Prevalence of
diabetes mellitus among non institutionalized elderly in Monastir City. BMC
Endocrine Disorders.12 (15).

Handani, A.R., M. Nur S., Abdul H., Hamdani B., Zainuddin, Sugito. 2015. Pengaruh
Pemberian Kacang Panjang (Vigna Unguiculata) Terhadap Struktur Mikroskopis
Ginjal Mencit (Mus Musculus) yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Medika
Veterinaria. 9(1): 18-22.

Hu, F.B. 2011. Globalization of diabetes: The role of diet, lifestyle, and genes. Diabetes
Care. 34(6): 1249 – 1257.

Kemenkes RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. 2011. Terobosan menuju akses universal strategi nasional
pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.

Malik, M. I., Nasrul, E., Asterina. 2015. Hubungan Hiperglikemia dengan Prothrombin Time
pada Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Kesehatan Andalas.
4(1): 182-188.

Manaf, Asman. 2014. Insulin Resistance as a Predictor of Worsening of Glucose Tolerance in


Type 2 Diabetes Mellitus. Medicinus. 27(2): 3-8.

Murnah, Indranila K.S. 2014. Pengaruh Ekstrak Etanol Mengkudu (Morinda Citrifolia L)
Terhadap Diabetik Nefropati Pada Tikus Spraque Dawley yang Diinduksi
Streptozotocin (Stz). Journal of Nutrition and Health. 2(1): 1-15.

Nugroho, F.A., Riska M.S.G., Nurdiana. 2015. Kadar NF- Kβ Pankreas Tikus Model Type 2
Diabetes Mellitus dengan Pemberian Tepung Susu Sapi. Indonesian Journal of
Human Nutrition. 2(2): 91-100.

Okoduwa, S.I.R., Umar A., Ibrahim S., Bello F. 2013. Relationship of oxidative stress with
type 2 diabetes and hypertension. Journal of Diabetology. 1(1): 1-2.

Pardede, S.O. 2008. Nefropati Diabetik pada Anak. Sari Pediatri. 10(1): 8-17.

Paschou, S.A., Nektaria PM., George PC., Christina KG. 2018. On type 1 diabetes mellitus
pathogenesis. Endocrine Connections. 7(1): 38-46.

54
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

PERKENI. 2015. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2015.


Semarang: PB PERKENI.

Potter, P.A., Perry, A.G. 2010. Fundamental Keperawatan. Ed.7. terjemahan oleh Diah Nur
Fitri., Onny Tampubolon., Farah Diba. Jakarta: Salemba Medika

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Tuberkulosis: temukan, obati
sampai tuntas. [internet] Tersedia dari URL:
file:///C:/Users/User/Downloads/InfoDatin-2016-TB.pdf. Diakses pada tanggal 15 Mei
2019.
Rasjid R. Patofisiologi dan Diagnostik Tuberkulosis Paru. Dalam: Yusuf A, Tjokronegoro
A.2011. Tuberkulosis Paru Pedoman Penataan Diagnostik dan Terapi. Jakarta.Balai
penerbit FKUI; 1-11

Rismayanthi, C. 2011. Terapi Insulin sebagai Alternatif Pengobatan bagi Penderita


Diabetes. Diakses: 20 Juni 2018 dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Cerika%20Rismayanthi,%20S.Or./
terapi%20insulin%20sebagai%20alternatif %20pengobatan.pdf.

Rivandi, J., Ade Y. 2015. Hubungan Diabetes Melitus Dengan Kejadian Gagal Ginjal Kronik.
Journal of Majority. 4(9) : 27

Setiawan, B., Eko S. 2005. Stres Oksidatif dan Peran Antioksidan pada Diabetes Melitus.
Majalah Kedokteran Indonesia, 55(1): 86-91.

Subandrate. 2016. Hubungan Kadar Glukosa Darah dengan Peroksidasi Lipid pada Pasien
Diabetes Melitus tipe 2. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran-242. 43(7): 480-489.

Suharmiati. 2003. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Mellitus Tumbuhan Obat. Jurnal
Cermin Dunia Kedokteran. 140(1): 8-12.

Sulistyoningrum, E. 2014. Perubahan Seluler dan Molekuler pada Nefropati Diabetik.


Mandala of Health. 7(1): 514-520.

The ACCORD Study Group. 2010. Effects of intensive blood-pressure control in type 2
diabetes melitus. The New England Journal of Medicine. 362(17): 1575–1585.

Toto S., Abdul M. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: CV.Trans Info Media.

Wahyuni, E. 2011. Pengaruh Pemberian Folat terhadap Kadar Homosistein Serum dan
Malondialdehid Plasma Studi Eksperimental pada Tikus Rattus norvegicus yang
diinduksi Streptozotocin. Tesis. Magister Ilmu Biomedik dan Program Spesialis
PatologiKlinik. Universitas Diponegoro.

Wahyuni, E. 2011. Pengaruh Pemberian Folat terhadap Kadar Homosistein Serum dan
Malondialdehid Plasma Studi Eksperimental pada Tikus Rattus norvegicus yang
diinduksi Streptozotocin. Tesis. Magister Ilmu Biomedik dan Program Spesialis
PatologiKlinik. Universitas Diponegoro.

55
Wisudanti, D.D. 2016. Aplikasi Terapeutik Geraniin dari Ekstrak Kulit Rambutan
(Nephelium Lappaceum) sebagai Antihiperglikemik Melalui Aktivitasnya
Sebagaiantioksidan pada Diabetes Melitus Tipe 2. NurseLine Journal.1(1): 121-138.

World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report [internet] Tersedia dari URL:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr14_executive_summary.pdf.
Diakses pada tanggal 15 Mei 2019.

Yuliadi, E.P., Chaidir M. 2014 Hiperglikemia dan Hubungannya dengan Fungsi Ginjal pada
Pasien dengan Batu Ginjal. Naskah Ringkas. FK UI. Jakarta.

Yulinta, N.M.R., Ketut T.P.G., I Made K. 2013. Efek Toksisitas Ekstrak Daun Sirih Merah
Terhadap Gambaran Mikroskopis Ginjal Tikus Putih Diabetik yang Diinduksi
Aloksan. Buletin Veteriner Udayana. 5(2): 114-121.

Zhang, D.W., Fu M., GaoSH, Liu J.L. 2013. Curcumin and Diabetes: A Systemic Review.
Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine, article ID 63603.

56

Anda mungkin juga menyukai