Disusun oleh:
Shagnez Dwi Putri, S.Ked
04084821921142
Pembimbing:
dr. Yustina, Sp.B
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Bedah RSUD H. M. Rabain Muara
Enim dan RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang..
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas ridho dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Kolelitiasis dan kolesistitis akut”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Bedah RSUD H. M. Rabain Muara Enim dan RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yustina, Sp.B atas ilmu dan
bimbingannya selama penyusunan dan penulisan laporan kasus ini. Serta semua
pihak yang telah ikut serta dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam hasil dari penulisan
ini, kritik dan saran pembaca akan sangat membantu dalam memperbaiki
kekurangan kami.
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
Secara istilah kolelitiasis terdiri dari kata chole (hal-hal yang berkaitan
dengan empedu) dan lithos (batu), jadi kolelitiasis adalah suatu material yang
menyerupai batu yang ditemukan baik pada kandung empedu ataupun di dalam
saluran empedu, atau pada keduanya. Kolelitiasis biasanya di bentuk dari bahan-
bahan padat empedu. Dalam hal bentuk, ukuran, dan komposisinya ada dua jenis
utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh
yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol, yang merupakan bentuk paling
umum.1,2
Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan
kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,
insidens kolesistitis dan kolelitiasis relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesman
LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara Indonesia.27
5
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Alimin
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Tanggal lahir/Umur : 10 Oktober 1968 / 51 tahun
4. Alamat : Aska Agung, Tanjung Enim
5. Agama : Islam
6. Status perkawinan : Kawin
7. Tanggal MRS : 15 April 2019
8. Bangsal : Lematang 6
9. No. Rekmed : 243813
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama: Nyeri perut kanan atas
2. Riwayat perjalanan penyakit :
Os mengeluh nyeri perut kanan atas yang hilang timbul sejak ± 3 bulan
SMRS. 3 hari SMRS os mengeluh nyeri semakin hebat. Nyeri muncul
perlahan , semakin lama semakin hebat, terasa seperti tertusuk-tusuk dan
kadang menjalar hingga punggung. Nyeri biasanya muncul setelah os
makan disertai mual. Muntah (-).Terdapat riwayat demam dan menurun
setelah diberikan obat penurun panas. Os juga mengeluh mengalami
penurunan nafsu makan.
3. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat hiperkolestrol (+)
4. Riwayat keluarga: riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal
5. Riwayat pengobatan: rencana operasi ± 3 bulan SMRS namun dibatalkan
karena darah tinggi
6
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
a. Kesadaran : Compos mentis
b. Tekanan darah : 130/80 mmHg
c. Heart rate : 90 kali/menit
d. Respiratory rate : 20 kali/menit
e. Temperature : 37 oC
f. SpO2 : 98%
2. Keadaan spesifik
a. Kepala : Normocephali
1. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor
2. Mulut : Mukosa bibir baik
3. Telinga : Fungsi pendengaran baik
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thoraks
Paru Inspeksi : statis kanan = kiri simetris
Dinamis kanan = kiri normal
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri normal, krepitasi (-)
Perkusi : sonor (+/+), batas hepar-paru dalam batas normal.
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung normal
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, Buldging (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan atas (+) nyeri lepas (-),
tidak teraba massa , Murphy Sign (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
7
6. Tatalaksana
1. Pre operative
- Edukasi pasien dan keluarga pasien bahwa terapi definitif untuk
kolelithiasis simptomatik adalah kolesistektomi
- IVFD assering gtt xx/m
- Injeksi cefoperazone 2 x 1
2. Intra operative
- Laparotomi (kolesistektomi)
3. Post operative
- IVFD assering gtt xx/m
- Injeksi cefoperazone 2 x 1
- Injeksi Dexketoprofen 2 x 1
- Puasa sampai sadar penuh
7. Prognosis
a. Quo ad vitam : bonam
b. Quo ad functionam : bonam
c. Quo ad sanationam : bonam
8. Follow Up
S: Nyeri luka operasi berkurang, gatal (-), Mual (-), Muntah (-)
O:
Status Generalikus
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,3°C
9
9. Edukasi
1. Karena nafsu makan penderita menurun maka edukasi diberikan untuk
tetap diusahakan makan, dan edukasi ke keluarga untuk memantau
asupan dan pola makan penderita.
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier
2.1.1 Kandung Empedu
Kandung empedu adalah kantung berbentuk buah pir, panjangnya sekitar 4
sampai 6 cm, dengan kapasitas rata-rata 30 sampai 60 mL. Ketika terjadi
6,7
obstruksi, kantong empedu dapat melebar hingga berkapasitas 300 mL .
Kandung empedu terletak di fosa pada permukaan inferior dari hepar.
Kandung empedu dibagi menjadi empat bidang anatomi: fundus, korpus (tubuh),
infundibulum, dan leher. Fundus berbentuk bulat, buntu, yang biasanya dapat
meluas 1 sampai 2 cm diluar dari batas hepar. Korpus memanjang dari fundus dan
meruncing ke leher kandung empeu, berbentuk corong yang berhubungan dengan
duktus sistikus. Leher kandung empedu terletak pada bagian dalam dari fosa
kandung empedu dan meluas ke bagian bebas dari ligamentum
6,7,8
hepatoduodenal.
Bagian anterior kandung empedu : a = duktus hepatic kanan; b = duktus hepatic kiri; c = duktus
hepatic umum; d = vena portal; e = arteri hepatika; f = arteri gatroduodenal; g = arteri gastrika kiri;
h = duktus biliaris umum; i = fundus kandung empedu ; j = body of gallbladder; k = infundibulum;
l = duktus sistikus; m = arteri sistikus; n = arteri pancreaticoduodenal superior
11
(membran mukosa), sekitar 10 cm distal dari pilorus. Sfingter Oddi, lapisan tebal
dari otot polos yang melingkar, yang mengelilingi duktus biliaris komunis di
ampula Vateri. Sfingter Oddi mengontrol aliran empedu dan cairan pancreas ke
6,7,8
dalam duodenum.
2.1.3 Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 mL per hari. Di
luar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu
6
dan disini mengalami pemekatan sekitar 50% .
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan
puasa, empedu yang diproduksi akan dialihalirkan ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter berelaksasi, dan empedu
mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebu sewaktu-waktu seperti disemprotkan
karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada
2,9
tahanan sfingter .
2.2 Kolelitiasis
2.2.1 Definisi
Secara istilah kolelitiasis terdiri dari kata chole (hal-hal yang berkaitan
dengan empedu) dan lithos (batu), jadi kolelitiasis adalah batu pada kandung
empedu. Jika batu kandung empedu berpindah ke dalam saluran empedu
ekstrahepatik , disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder. Jika batu memang baru terbentuk di dalam saluran empedu, maka
1,2
disebut koledokolitiasis primer .
2.2.2 Epidemiologi
13
1. Batu empedu kolesterol yang berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan
mengandung > 70% kolesterol. Terbentuknya batu kolesterol diawali adanya
presipitasi kolesterol yang membentuk kristal kolesterol. Beberapa kondisi
yang menyebabkan terjadinya presipitasi kolesterol adalah absorpsi air,
absorpsi garam empedu dan fosfolipid, sekresi kolesterol yang berlebihan
pada empedu, adanya inflamasi pada epitel kandung empedu dan kegagalan
untuk mengosongkan isi kandung empedu, adanya ketidakseimbangan antara
sekresi kolesterol, fosfolipid dan asam empedu, peningkatan produksi musin
di kandung empedu dan penurunan kontraktilitas dari kandung empedu. Batu
kolesterol terbentuk ketika konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu
melebihi kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu pelarut,
kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya membentuk batu. Pembentukan
batu kolesterol melibatkan tiga proses yang panjang yaitu pembentukan
empedu yang sangat jenuh (supersaturasi), pembentukan kristal kolesterol dan
15
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
2,4,6
mukosa berwarna kuning .
3. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K
2,4,6
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal .
4. Kolesistitis Akut
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan tiga faktor yaitu :
a) inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan
distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu, b) inflamasi
kimiawi akibat pelepasan lesitin, c) inflamasi bakteri yang memegang peran pada
2,4,6
sebagian besar pasien dengan kolesititis akut .
2.2.7 Diagnosis
Anamnesis
Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam menggali keluhan pada pasien
18
dalam anamnesis yaitu apakah batu empedu tidak memiliki gejala yang berarti
(asimtomatik), apakah bergejala (simtomatik), atau apakahsudah terjadi
komplikasi. Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu bersifat
asimtomatik. Batu empedu asimtomatik biasanya baru ditemukan ketika
2,4,6
dilakukan pemeriksaan radiologi .
Pada koledokolitiasis : Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase
tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
2,4,6
saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis
Pada kolangitis biasanya yang terjadi adalah kolangitis bakterial nonpiogenik
19
yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam menggigil, nyeri di daerah hati,
dan ikterus. Pada kolangiolitis, biasanya yang terjadi adalah kolangitis piogenik
intrahepatik dimana akan timbul lima gejala Pentade dan Reynold : tiga gejala
2,4,6
Charcot ditambah syok dan penurunan kesadaran .
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium : Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya
tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium.Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkindisebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serumbiasanya meningkat sedang setiap
2,4,6
setiap kali terjadi seranganakut .
2.2.8 Penatalaksanaan
Non Bedah
1. Terapi Litosis Sistemik. Tera pi asam empedu oral yang dianjurkan adalah
kombinasi antara chenodeoxy cholic acid (CDCA) dan Ursodeoxycholic acid
(UDCA). Mekanisme kerja UDCA adalah mengurangi penyerapan kolesterol
intestinal sedangkan CDCA mengurangi sintesis hepatik. Kombinasi CDCA
dan UDCA 8-10 mg/kg/hari menurunkan kadar kolesterol empedu secara
bermakna tanpa gejala samping. Syarat untuk terapi litolisis oral meliputi
kepatuhan untuk berobat selama dua tahun, tipe batu kolesterol, kandung
empedu harus berfungsi pada kolesistografi oral, dan batu tidak terlalu
2,4,6
besar .
2. Litolisis Lokal.Methil ter-butyl ether (MTBE) adalah eter alkil yang berbentuk
liquid pada suhu badan dan mempunyai kapasitas tinggi untuk melarutkan
2,4,6
batu kolesterol .
Terapi bedah
1. Kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma
CBD perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas
pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun
angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
2,4,6
kematian mencapai 0,5 % .
2. Kolesistektomi Laparoskopi k
Laparoskopik. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih
minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering
adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan
tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan
koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa
perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus
2,4,6
biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering
2.2.9 Komplikasi
Batu empedu sendiri tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu
tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus kholedokhus. Bilamana batu itu
23
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
a. Empiema
b. Perikolesistitis
c. Perforasi
5. Kolesistitis kronis
a. Hidrop kandung empedu
b. Empiema kandung empedu
c. Fistel kolesistoenterik
d. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh adanya makanan mengakibatkan
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empeduterdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetapataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikussecara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bilaterjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema,biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alatalatperut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu
fistelkolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat jugaberakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapatmengakibatkan nekrosis
sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibatterjadinya peritonitis generalisata. Batu kandung empedu dapat masuk ke
24
dalam duktussistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat
terus sampai duktus koledokus kemudian menetapasimtomatis atau kadang dapat
menyebabkan kolik.Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterusobstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu
kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cernamelalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empeducukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna(ileum terminal) dan menimbulkan ileus
2,4,6
obstruksi .
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja 27
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya 17
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas
dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
28
2.3.6 Tatalaksana
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram
negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi 17.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat
mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat
tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain
yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai 17
kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih
sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi 29
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons
terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi
bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan29
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas
untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari
60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit
pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau
jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase
selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu 21
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di
Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat
bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari
seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut
33
Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam
mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan
dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan
ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut
kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif
mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan
angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di
rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada
wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua
trimester 12
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi
diantaranya adalah29:
Resiko tinggi terhadap anastesi umum
Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan
peritonitis
Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem
pembekuan darah
dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika
kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula
enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani
kolesistektomi 17
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin
memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah
menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada
pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus
koledokus dan penutupan saluran fistula 17
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada
katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.
Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris
sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi 17
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos
abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris
dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal
atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal).
Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang
lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya 17
2.9. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat
terlihat dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
36
didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki
angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah20
37
BAB IV
ANALISIS KASUS
KERANGKA KONSEP
Hipersaturated
substansi empedu
Mengalami kristalisasi
Terbentuk batu di
kantung empedu
Batu berpindah ke
duktus sistikus
Tatalaksana operatif
kolesistektomi
39
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta: EGC
Hill Companies
Jakarta : EGC
8. Paulsen F, Waschke J, 2012. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 23. Jakarta :
EGC
9. Guyton A C, Hall J E . 2014. Buku Ajar Fisiolgi Kedokteran Edisi 12. Jakarta:
EGC
10. Prof. Dr. dr. Sujono Hadi, 2013. Gastroenterologi. Edisi ke-1. Bandung: PT.
ALUMNI.
11. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep
2009;188(3):325-6.
12. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute
inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4.
40
13. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
14. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
15. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and
leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.
16. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
17. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip – Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa
Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
18. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC.
2009.
19. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings
of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-
Aug 2009;33(4):274-80.
20. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
21. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for
acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun
2009;41(6):539-46.
22. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006.
23. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute
cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.
24. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt
1):334-43.
41
25. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized
clinical trials. Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
26. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.
Jan 2008;170(1):25-31.
27. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
28. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not
associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.
29. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9.
30. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis.
2009;3:131-147.