Anda di halaman 1dari 41

KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS AKUT

Disusun oleh:
Shagnez Dwi Putri, S.Ked
04084821921142

Pembimbing:
dr. Yustina, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD H. M. RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2

2019

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Kolelitiasis dan Kolesistitis akut

Oleh:

Shagnez Dwi Putri, S.Ked


04084821921142

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Bedah RSUD H. M. Rabain Muara
Enim dan RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang..

Muara Enim, 7 Mei 2019

dr. Yustina, Sp.B


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas ridho dan karunianya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Kolelitiasis dan kolesistitis akut”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Bedah RSUD H. M. Rabain Muara Enim dan RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yustina, Sp.B atas ilmu dan
bimbingannya selama penyusunan dan penulisan laporan kasus ini. Serta semua
pihak yang telah ikut serta dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam hasil dari penulisan
ini, kritik dan saran pembaca akan sangat membantu dalam memperbaiki
kekurangan kami.

Muara Enim, Mei 2019

Penulis
4

BAB I

PENDAHULUAN

Secara istilah kolelitiasis terdiri dari kata chole (hal-hal yang berkaitan
dengan empedu) dan lithos (batu), jadi kolelitiasis adalah suatu material yang
menyerupai batu yang ditemukan baik pada kandung empedu ataupun di dalam
saluran empedu, atau pada keduanya. Kolelitiasis biasanya di bentuk dari bahan-
bahan padat empedu. Dalam hal bentuk, ukuran, dan komposisinya ada dua jenis
utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh
yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol, yang merupakan bentuk paling
umum.1,2
Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan
kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar
10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya
juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia
tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada
wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi
kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan
dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung
empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk,
insidens kolesistitis dan kolelitiasis relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesman
LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara Indonesia.27
5

BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Alimin
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Tanggal lahir/Umur : 10 Oktober 1968 / 51 tahun
4. Alamat : Aska Agung, Tanjung Enim
5. Agama : Islam
6. Status perkawinan : Kawin
7. Tanggal MRS : 15 April 2019
8. Bangsal : Lematang 6
9. No. Rekmed : 243813

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama: Nyeri perut kanan atas
2. Riwayat perjalanan penyakit :
Os mengeluh nyeri perut kanan atas yang hilang timbul sejak ± 3 bulan
SMRS. 3 hari SMRS os mengeluh nyeri semakin hebat. Nyeri muncul
perlahan , semakin lama semakin hebat, terasa seperti tertusuk-tusuk dan
kadang menjalar hingga punggung. Nyeri biasanya muncul setelah os
makan disertai mual. Muntah (-).Terdapat riwayat demam dan menurun
setelah diberikan obat penurun panas. Os juga mengeluh mengalami
penurunan nafsu makan.
3. Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat darah tinggi (+)
 Riwayat hiperkolestrol (+)
4. Riwayat keluarga: riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal
5. Riwayat pengobatan: rencana operasi ± 3 bulan SMRS namun dibatalkan
karena darah tinggi
6

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
a. Kesadaran : Compos mentis
b. Tekanan darah : 130/80 mmHg
c. Heart rate : 90 kali/menit
d. Respiratory rate : 20 kali/menit
e. Temperature : 37 oC
f. SpO2 : 98%
2. Keadaan spesifik
a. Kepala : Normocephali
1. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor
2. Mulut : Mukosa bibir baik
3. Telinga : Fungsi pendengaran baik
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thoraks
Paru  Inspeksi : statis kanan = kiri simetris
Dinamis kanan = kiri normal
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri normal, krepitasi (-)
Perkusi : sonor (+/+), batas hepar-paru dalam batas normal.
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung  Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung normal
d. Abdomen
Inspeksi : Datar, Buldging (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan atas (+) nyeri lepas (-),
tidak teraba massa , Murphy Sign (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
7

e. Genitalia dan anus : Dalam batas normal


f. Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), CRT <2 detik
4. Pemeriksaan Penunjang:
USG abdomen

Kesan : Multiple cholelithiasis disertari cholesystitis.

Pemeriksaan Laboratorium: hasil pemeriksaan hematologi (17-04-19)


a. Hb : 13.7 g/dL g. MCH : 26.3 pg
b. WBC : 7.55 x 103/ul h. MCHC : 33.3 g/dL
c. RBC : 5.20 x 106/ul i. PLT : 473 103/ul
d. HCT : 41.1 % j. Bleeding time : 3 menit
e. MCV : 79.0 fL k. Clothing time : 7 menit
f. Diff count : Neutrofil : 63.5 %
Lymp : 21.1 %
Monosit : 6.1 %
Eosinofil : 8.9%
Basofil : 0.4 %
8

5. Diagnosis kerja: Kolelitiasis + kolesistitis akut

6. Tatalaksana
1. Pre operative
- Edukasi pasien dan keluarga pasien bahwa terapi definitif untuk
kolelithiasis simptomatik adalah kolesistektomi
- IVFD assering gtt xx/m
- Injeksi cefoperazone 2 x 1
2. Intra operative
- Laparotomi (kolesistektomi)
3. Post operative
- IVFD assering gtt xx/m
- Injeksi cefoperazone 2 x 1
- Injeksi Dexketoprofen 2 x 1
- Puasa sampai sadar penuh

7. Prognosis
a. Quo ad vitam : bonam
b. Quo ad functionam : bonam
c. Quo ad sanationam : bonam

8. Follow Up
S: Nyeri luka operasi berkurang, gatal (-), Mual (-), Muntah (-)
O:
Status Generalikus
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,3°C
9

Status Lokalis Regio Abdomen


- Inspeksi : datar, tampak luka operasi tertutup kassa. Terpasang drain (produksi ± 5 cc,
hematoserous)
- Auskultasi : BU (+)
- Palpasi : lemas
- Perkusi : timpani
A: Kolelitiasis dengan kolesistitis akut
P:
 Injeksi Cefoperazone 500 mg 2x1
 Injeksi Dexketoprofen 50 mg 2x1

9. Edukasi
1. Karena nafsu makan penderita menurun maka edukasi diberikan untuk
tetap diusahakan makan, dan edukasi ke keluarga untuk memantau
asupan dan pola makan penderita.
10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Bilier
2.1.1 Kandung Empedu
Kandung empedu adalah kantung berbentuk buah pir, panjangnya sekitar 4
sampai 6 cm, dengan kapasitas rata-rata 30 sampai 60 mL. Ketika terjadi
6,7
obstruksi, kantong empedu dapat melebar hingga berkapasitas 300 mL .
Kandung empedu terletak di fosa pada permukaan inferior dari hepar.
Kandung empedu dibagi menjadi empat bidang anatomi: fundus, korpus (tubuh),
infundibulum, dan leher. Fundus berbentuk bulat, buntu, yang biasanya dapat
meluas 1 sampai 2 cm diluar dari batas hepar. Korpus memanjang dari fundus dan
meruncing ke leher kandung empeu, berbentuk corong yang berhubungan dengan
duktus sistikus. Leher kandung empedu terletak pada bagian dalam dari fosa
kandung empedu dan meluas ke bagian bebas dari ligamentum
6,7,8
hepatoduodenal.

Bagian anterior kandung empedu : a = duktus hepatic kanan; b = duktus hepatic kiri; c = duktus
hepatic umum; d = vena portal; e = arteri hepatika; f = arteri gatroduodenal; g = arteri gastrika kiri;
h = duktus biliaris umum; i = fundus kandung empedu ; j = body of gallbladder; k = infundibulum;
l = duktus sistikus; m = arteri sistikus; n = arteri pancreaticoduodenal superior
11

2.1.2 Duktus Biliaris


Saluran empedu ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatika kanan dan kiri,
duktus hepatik umum, duktus sistikus, dan duktus biliaris komunis (duktus
choledochus). Duktus biliaris komunis memasuki bagian kedua dari duodenum
melalui sfingter Oddi. Duktus hepatika kiri lebih panjang daripada sisi kanan dan
memiliki kecenderungan lebih besar untuk terjadinya dilatasi sebagai konsekuensi
dari obstruksi bagian distal. Kedua saluran bergabung untuk membentuk duktus
hepatika komunis. Duktus hepatika komunis memiliki panjang 1 sampai 4 cm dan
memiliki diameter sekitar 4 mm. Terletak di depan vena portal dan sebelah kanan
6,8
dari arteri hepatika.

Duktus biliaris komunis panjangnya sekitar 7 sampai 11 cm dan dengan


diameter 5 sampai 10 mm. Sepertiga bagian atas (bagian supraduodenal) melewati
penurunan pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenal, di sebelah kanan arteri
hepatika dan sebelah anterior vena portal. Sepertiga bagian tengah (bagian
retroduodenal) dari duktus biliaris komunis melewati belakang dari bagian
pertama dari duodenum dan menyimpang lateral dari vena portal dan arteri
hepatik. Sepertiga bagian bawah (bagian pankreas) melewati belakang dari corpus
pankreas, dan ke bagian kedua dari duodenum. Disana duktus pankreatikus
bergabung dengan duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis berjalan
miring ke bawah dinding duodenum 1 – 2 cm sebelum papilla ampula Vateri
12

(membran mukosa), sekitar 10 cm distal dari pilorus. Sfingter Oddi, lapisan tebal
dari otot polos yang melingkar, yang mengelilingi duktus biliaris komunis di
ampula Vateri. Sfingter Oddi mengontrol aliran empedu dan cairan pancreas ke
6,7,8
dalam duodenum.
2.1.3 Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 mL per hari. Di
luar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu
6
dan disini mengalami pemekatan sekitar 50% .
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan
puasa, empedu yang diproduksi akan dialihalirkan ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter berelaksasi, dan empedu
mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebu sewaktu-waktu seperti disemprotkan
karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada
2,9
tahanan sfingter .

Kolesistokinin (CCK) pada mukosa usus halus, dikeluarkan atas rangsangan


makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus. Hormon ini
merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Dengan
demikian, CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu
2,9
setelah makan .

2.2 Kolelitiasis
2.2.1 Definisi
Secara istilah kolelitiasis terdiri dari kata chole (hal-hal yang berkaitan
dengan empedu) dan lithos (batu), jadi kolelitiasis adalah batu pada kandung
empedu. Jika batu kandung empedu berpindah ke dalam saluran empedu
ekstrahepatik , disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder. Jika batu memang baru terbentuk di dalam saluran empedu, maka
1,2
disebut koledokolitiasis primer .

2.2.2 Epidemiologi
13

Kejadian kolelitiasis di negara-negara barat adalah 20% populasi dan


banyak menyerang orang dewasa dan lanjut usia. Di Amerika Serikat, terhitung
lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan dari hasil otopsi
menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan
8% pada laki-laki di atas usia empat puluh tahun3
Dalam 20% tersebut sebanyak 80% nya merupakan batu kolesterol,
namun meskipun begitu, angka kejadian batu pigmen mulai meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Sedangkan di negara-negara timur yang paling banyak
adalah batu pigmen. Di negara-negara ini juga banyak terjadi batu primer saluran
empedu (40-50%) jika dibandingkan dengan negara-negara barat (5%). Batu
2
empedu sering terjadi pada usia 40-50 tahun .
2.2.3 Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawahini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
2,4,6
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis, antara lain:
a. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan,
yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena
kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
b. Usia.Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya
BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga
mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung
empedu.
14

d. Makanan.Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti


setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia
dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai
resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik.Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko
terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih
sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus.Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis
adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama.Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan
kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada
makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya
batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.2.4 Klasifikasi Batu
Menurut ganbaran makroskopik dan komposisi kimianya, terdapat dua
2,4,6
golongan besar batu empedu .

1. Batu empedu kolesterol yang berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan
mengandung > 70% kolesterol. Terbentuknya batu kolesterol diawali adanya
presipitasi kolesterol yang membentuk kristal kolesterol. Beberapa kondisi
yang menyebabkan terjadinya presipitasi kolesterol adalah absorpsi air,
absorpsi garam empedu dan fosfolipid, sekresi kolesterol yang berlebihan
pada empedu, adanya inflamasi pada epitel kandung empedu dan kegagalan
untuk mengosongkan isi kandung empedu, adanya ketidakseimbangan antara
sekresi kolesterol, fosfolipid dan asam empedu, peningkatan produksi musin
di kandung empedu dan penurunan kontraktilitas dari kandung empedu. Batu
kolesterol terbentuk ketika konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu
melebihi kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu pelarut,
kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya membentuk batu. Pembentukan
batu kolesterol melibatkan tiga proses yang panjang yaitu pembentukan
empedu yang sangat jenuh (supersaturasi), pembentukan kristal kolesterol dan
15

agregasi serta proses pertumbuhan batu. Proses supersaturasi terjadi akibat


peningkatan sekresi kolesterol, penurunan sekresi garam empedu atau
keduanya.
2. Batu Bilirubin. Penampilan batu bilirubin yang sebenarnya berisi kalsium
bilirubinar dan disebut juga batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Batu ini
sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak,
warnanya bervariasi antara cokelat, kemerahan, sampai hitam. Batu pigmen
adalah batu empedu yang kadar kolesterolnya kurang dari 25 persen. Seperti
pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan dengan
bertambahnya usia, infeksi, dekonyugasi bilirubin, dan ekskresi kalsium.
Beberapa faktor yang juga disangka berperan adalah faktor geografi,
hemolisis, dan sirosis hepatik. Pada penderita batu bilirubin, tidak ditemukan
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol yang baik di dalam kandung
empedu maupun di hati. Pada penderita batu bilirubin, konsentrasi bilirubin
yang tidak terkonjugasi meningkat, baik di dalam kan`dung empedu maupun
di hati.
2.2.5 Patofisiologi
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batuyang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal,asam empedu, lesitin
dan fosfolipid membantu dalam menjagasolubilitas empedu. Bila empedu menjadi
bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol,
kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untukpembentukan
batu. Kristal yang yang terbentuk terjebak dalam kandung empedu, kemudian
terbentuk Kristal bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu.
Faktor motilitas kandung empedu, biliari stasis, dan kandungan empedu
2,4,6
merupakan predisposisi pembentukan batu empedu .
16

Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus


melalui duktus sistikus. Di dalam perjalannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet
sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang
melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan
2,4
sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus dan striktur .

2.2.6 Manifestasi Klinis


1. Kolik Billier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yapng menjalar ke
punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan
bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien
rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier
semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi,
bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan
17

menghambat pengembangan rongga dada2,4,6.

2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
2,4,6
mukosa berwarna kuning .

3. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K
2,4,6
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal .

4. Kolesistitis Akut
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan tiga faktor yaitu :
a) inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan
distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu, b) inflamasi
kimiawi akibat pelepasan lesitin, c) inflamasi bakteri yang memegang peran pada
2,4,6
sebagian besar pasien dengan kolesititis akut .

5. Koledokolitiasis dan Kolangitis


Batu kandung empedu dapat bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui
duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk
di dalam ssluran empedu (koledokolitiasis primer). Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruksif, kolangitis dan
pankreatitis.Tujuh puluh empat pasien dengan koledokolitiasis simtomatik
2,4,6
memperlihatkan bahwa nyeri dan ikterus merupakan gejala utama .

2.2.7 Diagnosis
Anamnesis
Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam menggali keluhan pada pasien
18

dalam anamnesis yaitu apakah batu empedu tidak memiliki gejala yang berarti
(asimtomatik), apakah bergejala (simtomatik), atau apakahsudah terjadi
komplikasi. Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu bersifat
asimtomatik. Batu empedu asimtomatik biasanya baru ditemukan ketika
2,4,6
dilakukan pemeriksaan radiologi .

a. Nyeri kolik bilier


b. Nyeri terlokalisasi ke kuadran kanan atas atau epigastrium dan bisa terasa
sampai ke ujung skapula kanan
c. Nyeri biasanya post-prandial, biasanya 1 jam setelah makan makanan
berlemak. Namun nyeri juga terkadang dapat timbul tiba- tiba.
d. Awal onset nyeri meningkat terus selama 10-20 menit lalu bertahap
berkurang.
Gejala tambahan :
a. Mual muntah
b. Dispepsia
c. Intoleransi lemak
d. Kembung, bersendawa
e. Dapat timbul keluhan mata atau badan kuning disertai urin berwarna gelap
yang hilang timbul.
Pemeriksaan Fisik
Pada kolelitiasis : pemeriksaan fisik akan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
2,4,6
berhenti menarik nafas .

Pada koledokolitiasis : Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase
tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan
2,4,6
saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis
Pada kolangitis biasanya yang terjadi adalah kolangitis bakterial nonpiogenik
19

yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam menggigil, nyeri di daerah hati,
dan ikterus. Pada kolangiolitis, biasanya yang terjadi adalah kolangitis piogenik
intrahepatik dimana akan timbul lima gejala Pentade dan Reynold : tiga gejala
2,4,6
Charcot ditambah syok dan penurunan kesadaran .

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium : Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya
tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium.Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkindisebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serumbiasanya meningkat sedang setiap
2,4,6
setiap kali terjadi seranganakut .

Gambar . Hasil USG pada kolelitiasis


Ultrasonografi :mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
2,4,6
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus .

Foto polos abdomen : biasanya tidak memberikan gambaranyang khas


karena hanya sekitar 10-15% batu kandungempedu yang bersifat
radioopak.Kadang kandung empeduyang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggidapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akutdengan
20

kandung empedu yang membesar atau hidrops,kandung empedu kadang terlihat


sebagai massa jaringanlunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaranudara
2,4,6
dalam usus besar, di fleksura hepatica .

Gambar. Hasil kolesistografi pada pasien kolelitiasis


Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada
keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2mg/dl, okstruksi
pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
2,4,6
fungsi kandung empedu .
21

ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography) yaitu sebuah


kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini
memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam
duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP
berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus
hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat
digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasienpasien yang
2,4,6
kandung empedunya sudah diangkat .

2.2.8 Penatalaksanaan
Non Bedah
1. Terapi Litosis Sistemik. Tera pi asam empedu oral yang dianjurkan adalah
kombinasi antara chenodeoxy cholic acid (CDCA) dan Ursodeoxycholic acid
(UDCA). Mekanisme kerja UDCA adalah mengurangi penyerapan kolesterol
intestinal sedangkan CDCA mengurangi sintesis hepatik. Kombinasi CDCA
dan UDCA 8-10 mg/kg/hari menurunkan kadar kolesterol empedu secara
bermakna tanpa gejala samping. Syarat untuk terapi litolisis oral meliputi
kepatuhan untuk berobat selama dua tahun, tipe batu kolesterol, kandung
empedu harus berfungsi pada kolesistografi oral, dan batu tidak terlalu
2,4,6
besar .

2. Litolisis Lokal.Methil ter-butyl ether (MTBE) adalah eter alkil yang berbentuk
liquid pada suhu badan dan mempunyai kapasitas tinggi untuk melarutkan
2,4,6
batu kolesterol .

3. Extracorporeal Shock-wave-lithotripsy (ESWL) Batu empedu dapat


dipecahkan dengan gelombang kejutan yang dihasilkan di luar badan oleh alat
elektrohidrolik, elektromagnetik atau elektrik-Pieza. Biasanya USG digunakan
untuk mengarahkan gelombang ke arah batu yang terletak di kandung
empedu. Gelombang akan melewati jaringan lunak dengan sedikit absorbsi
sedangkan batu akan menyerap enersi dan terpecahkan. Biasanya tehnik ini
disertai pemberian asam empedu oral CDCA atau UDCA.2,4,6
22

Terapi bedah
1. Kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma
CBD perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas
pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun
angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
2,4,6
kematian mencapai 0,5 % .

2. Kolesistektomi Laparoskopi k
Laparoskopik. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih
minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering
adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan
tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan
koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa
perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus
2,4,6
biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering
2.2.9 Komplikasi
Batu empedu sendiri tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu
tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus kholedokhus. Bilamana batu itu
23

masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan


penderita dan timbullah kholelitiasis akut.10Komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita kolelitiasisantara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis,
koledokolitiasis,pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abseshepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasitersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat
2,4,6
fatal .

1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
a. Empiema
b. Perikolesistitis
c. Perforasi
5. Kolesistitis kronis
a. Hidrop kandung empedu
b. Empiema kandung empedu
c. Fistel kolesistoenterik
d. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh adanya makanan mengakibatkan
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empeduterdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetapataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikussecara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bilaterjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema,biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alatalatperut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu
fistelkolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat jugaberakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapatmengakibatkan nekrosis
sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibatterjadinya peritonitis generalisata. Batu kandung empedu dapat masuk ke
24

dalam duktussistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat
terus sampai duktus koledokus kemudian menetapasimtomatis atau kadang dapat
menyebabkan kolik.Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterusobstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu
kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cernamelalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empeducukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna(ileum terminal) dan menimbulkan ileus
2,4,6
obstruksi .

2.3 Kolesistitis akut


2.3.1 Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut
dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini
masih belum jelas 9
2.3.2 Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus) 16
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu
menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia
dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme
pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat
mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa
dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. 14
25

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50


sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak
dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella,
Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin
yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan
hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya
menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu 13

Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut


Kolesistitis akut terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap
perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau
luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan
yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam
periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis,
adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi
kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira,
Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung
26

empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai


penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis,
tuberkulosis, aktinomises)17
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu
tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk
mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. 26

2.3.3. Tanda dan Gejala Klinis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang –
kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung
dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan
yang sembuh spontan 27
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan
penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami
anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan
gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan
fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan
membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan
atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy) 27
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan
peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas
sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus
paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen
biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20%
27

kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan
gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja 27
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan
dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun
sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien
sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut
yang jelas sebelumnya 17

2.3.4 Diagnosis Banding


Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang
dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus
dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah
terjadinya perburukan kondisi pasien. 27
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus
peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil
kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan
lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam
nyawa ibu dan bayi 30

2.3.5 Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas
dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas,
demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang
berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5
28

µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami


peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat).
Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan
kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada
kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.
Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta
leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu
dipertimbangkan 17.
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat
memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus
kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu 17.
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3).
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila
ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.
Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)
menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu28
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin
dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding
kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada
kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding
kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu
empedu membantu penegakkan diagnosis 23
29

Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu


berukuran kecil
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI
dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat
ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4
mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa
yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya
abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada
pemeriksaan USG 19

Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan


dinding kandung empedu.
30

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n


Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik
ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus
biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan
zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran
kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut 27.

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah


45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30
menit
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat
digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu
empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani
laparaskopi kolesistektomi 24
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti
pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran
kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel
inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang
disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat
ditemukan gangren dan perforasi 18
31

2.3.6 Tatalaksana
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis
akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit
sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki
status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian
antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti
peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum
terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram
negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi 17.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam
dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole
dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus
yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat
mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube.
Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien
dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat
tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain
yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang,
pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai 17

2.7.2. Terapi bedah


Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan,
apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu
setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 %
32

kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini
menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat
dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih
sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi 29
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi
kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada
kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons
terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi
menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani
kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi
bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien
yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan29
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar
pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas
untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk
kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari
60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit
pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau
jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase
selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat
dilakukan pada lain waktu 21
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di
Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat
bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari
seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut
33

Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam
mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan
dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan
ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut
kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif
mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan
angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di
rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008). Pada
wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua
trimester 12
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi
diantaranya adalah29:
 Resiko tinggi terhadap anastesi umum
 Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan
peritonitis
 Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
 Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem
pembekuan darah

2.8. Komplikasi kolesistitis


2.8.1.Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi
empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus.
Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga
menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam
tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan
umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis
gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai
perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai 15
34

Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan


berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam
keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami
peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang
dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba
massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan
atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap
asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi.
Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi
atau gangren 15.

2.8.2. Gangren dan perforasi


Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis
jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi
berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi
yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi
perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis
kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri
pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.
Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien
yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses 11.
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian
sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri
kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami
dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata 11.

2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu


Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung
empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula
35

dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika
kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula
enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi
kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani
kolesistektomi 17
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin
memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah
menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada
pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus
koledokus dan penutupan saluran fistula 17
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang
diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu
tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada
tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada
katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.
Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris
sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi 17
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi
kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos
abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris
dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal
atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal).
Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang
lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu
lainnya 17
2.9. Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat
terlihat dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan
36

didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal,
fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat
mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki
angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah20
37

BAB IV
ANALISIS KASUS

Penderita masuk RSUD H. M. Rabain Muara Enim sejak tanggal 15 april


2019, berdasarkan hasil anamnesis penderita menyatakan nyeri perut kanan atas
hilang timbul dirasakan sejak tiga bulan terakhir, tiga hari sebelum masuk rumah
sakit penderita merasakan nyeri yang semakin hebat. Nyeri muncul perlahan dan
semakin hebat, terasa seperti itusuk-tusuk dan tidak menjalar. Nyeri muncul
ketika penderita makan. Nafsu makan penderita menurun, mual (+), muntah (-),
demam (+), BAB (+) normal, flatus (+). Dari hasil anamnesis didapatkan gejala
Dari kolelitiasis yaitu nyeri pada kuadran kanan atas yang distimulasi oleh
makanan berlemak. Keluhan demam memunculkan kecurigaaan bahwa penderita
juga mengalami kolesistitis akut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada kuadran kanan atas
dan murphy sign (+). Hasil ini sesuai dengan gejala pada kolelitiasis dan
kolesistitis.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan hemotologi,
didapatkan nilai leukosit 7.550/uL, Bilirubin total 0,4, bilirubin direct 0,1 dan
bilirubin indirect 0,3. Tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan labratorium.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan pada pasien kolelitiasis jarang ditemukannya
kelainan pada hasil laboratorium. Namun, pada kolesistitis seharusnya ditemukan
peningkatan nilai atau CRP . Pada pemeriksaan penunjang USG abdomen
didapatkan kesan kolelitiasis disertai kolesistitis akut.
Dari seluruh hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang dapat ditegakkan diagnosis Kolelitiasis dengan kolesistitis akut.
Tatalaksana yang diberikan adalah terapi operative yaitu laparotomi
(kolesistektomi)
38

KERANGKA KONSEP

Hipersaturated
substansi empedu

Mengalami kristalisasi

Terbentuk batu di
kantung empedu

Batu berpindah ke
duktus sistikus

Nyeri RUQ, demam ,


mual, murphy sign (+) Reaksi inflamasi

Tatalaksana operatif
kolesistektomi
39

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland,2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed 31, Jakarta : EGC 


2. Sjamsuhidajat R, de Jong W, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 2. Jakarta : EGC


3. Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Principles of Surgery 6th edition.

Jakarta: EGC 


4. Fauci, Anthony S, Braunwald, Eugene, et al. 2008. Disease of the Gallbladder


and Bile Ducts. In Harrison’s Principles of Internal Medicine. The Mcgraw –

Hill Companies 


5. KKI. 2012. Standa Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Perpustakaan


Nasional
6. Brunicardi, F Charles, Andersen, Dana K, et al 2007. Gallbladder and
Extrahepatic Biliary System in : Schwartz Principles of Surgery 8th edition

The Mcgraw – Hill Companies 


7. Snell, Richard S, 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Ed 6.

Jakarta : EGC 


8. Paulsen F, Waschke J, 2012. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 23. Jakarta :

EGC 


9. Guyton A C, Hall J E . 2014. Buku Ajar Fisiolgi Kedokteran Edisi 12. Jakarta:

EGC 


10. Prof. Dr. dr. Sujono Hadi, 2013. Gastroenterologi. Edisi ke-1. Bandung: PT.
ALUMNI.
11. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep
2009;188(3):325-6.
12. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute
inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4.
40

13. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
14. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis.
Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97.
15. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and
leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7.
16. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
17. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
Prinsip – Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa
Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
18. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC.
2009.
19. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings
of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-
Aug 2009;33(4):274-80.
20. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis &
Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
21. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for
acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. Jun
2009;41(6):539-46.
22. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit.
EGC. Jakarta. 2006.
23. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute
cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.
24. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic
cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative
cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc. Mar 2009;49(3 Pt
1):334-43.
41

25. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopic
cholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomized
clinical trials. Am J Surg. Jan 2008;195(1):40-7.
26. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents
parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.
Jan 2008;170(1):25-31.
27. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
28. Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is not
associated with gallbladder carcinoma. Am Surg. Jan 2010;67(1):7-10.
29. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2):210-9.
30. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis.
2009;3:131-147.

Anda mungkin juga menyukai