Anda di halaman 1dari 7

BAB II

ANALISIS KASUS

Tn. YZ, laki-laki, 50 tahun, datang dibawa oleh ibunya ke IGD RS Ernaldi Bahar
Palembang pada tanggal 25 Januari 2020. Wawancara dan observasi dilakukan pada hari
kamis, 25 Januari 2020 pukul 22.00 WIB di IGD RS Ernaldi Bahar Palembang. Wawancara
yang dilakukan berupa alloanamnesis dan autoanamnesis. Pemeriksa dan pasien berhadapan
dengan pasien duduk di kursi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia
dan bahasa Palembang.
Berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis, diketahui sejak dua bulan yang lalu,
pasien dibawa ke panti jami’atusshalihin di pakjo Palembang. Pasien rutin dibawa ke RS
Ernaldi Bahar untuk kontrol ulang, pasien kontrol terakhir pada tanggal 9 januari 2020.
Pasien mengatakan mendapatkan 3 macam obat, yaitu cepezet, THP dan satu obat lagi
(pasien lupa nama). Selama di panti, tidak ada yang mengawasi pasien minum obat. Lalu,
sekitar satu minggu SMRS, Pasien dikatakan tidak bisa tidur, hanya tidur beberapa jam.
Ketika tidak tidur, pasien keluyuran keluar panti dan pulang menuju ke rumahnya. Saat
dirumah, pasien sering mengamuk, memarahi anggota keluarga, dan melempar-lempar
barang, pasien juga mengancam akan membunuh orang orang dirumah. Pasien tidak mau
mandi dan selalu mengenakan baju yang sama selama satu minggu ini. Lalu pasien
dipulangkan kembali ke panti. Kemudian, satu hari SMRS, pasien tiba tiba pulang ke rumah,
pasien merusak fasilitas listrik di rumah sehingga listrik padam. Lalu, pasien mengamuk dan
mengancam membunuh keluarga sembari berkata “kubunuh…kubunuh…”. Keluarga
akhirnya lari ketakutan. Pasien menganggap dirinya adalah seorang prajurit dalam grup yang
beranggotakan lima orang yang bergabung dalam CIA. Memiliki komandan bernama
“johnson” yang sedang dalam misi pengintaian dan menyuruhnya unuk membunuh orang
orang yang berdosa, pasien mengaku bahwa musuh-musuhnya akan datang mengejarnya
untuk melakukan perang dan membunuhnya. Kurang lebih tiga jam SMRS, pasien dibawa
kembali ke panti, kemudian, keluarga dan pihak panti berinisiatif membawa pasien ke IGD
RS.Ernaldi Bahar Palembang. Pasien mengaku diantar ke RS oleh istrinya diiringi pasukan
Nyi Roro Kidul. Pasien juga mengaku mendengar suara gamelan yang mengiringi.
Status internus dan neurologikus dalam batas normal. Pada status psikiatrikus, keadaan
umum ditemukan inisiatif kurang dan pasien cenderung marah. Pada keadaan khusus, afek tidak
sesuai dan disforik, emosi labil. Pada keadaan dan fungsi intelektual, daya ingat baik dan daya
1
konsentrasi kurang baik, discriminative judgement dan insight terganggu. Kelainan sensasi dan
persepsi ditemukan ada halusinasi. Pada keadaan proses berpikir, ditemukan asosiasi longgar,
isi pikiran ditemukan ada waham, kecurigaan, rasa pemusuhan, pemilikan pikiran dalam batas
normal, keadaan dorongan instinktual dan perbuatan ditemukan ada kegaduhan umum. Dan
RTA terganggu. Pemeriksaan lain tidak dilakukan pada pasien.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV) dan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III)
membagi gejala skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting yang dilampirkan pada
formulasi diagnosis, dimana pasien pada kasus memenuhi kriteria diagnosis Skizofrenia
paranoid (F20.0).1
Teori epidemiologi skizofrenia paranoid sesuai dengan pasien pada kasus saat pertama
terjadi berusia sekitar 17 tahun, saat pasien masih duduk di bangku SMA dimana onset untuk
laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Skizofrenia tipe paranoid
terjadinya lebih awal pada laki-laki dibandingkan perempuan.2
Diagnosis bandingnya meliputi gangguan waham menetap dan gangguan psikotik akut.
Gangguan waham menetap dapat disingkirkan karena pada pasien didapatkan halusinasi dan
gejala-gelaja skizofrenia yang sangat khas, dimana kedua kriteria itu tidak boleh ada dalam
penegakan diagnosis gangguan waham menetap.1

Tatalaksana farmakologis pada kasus skizofrenia yaitu obat antipsikotik, yang dibagi
menjadi :3
 Golongan tipikal (APG I) : Klorpromazin, Flufenazin, Tioridazin, Haloperidol dan lain-
lain
 Golongan atipikal (APG II) : Klozapin, Olanzapin, Risperidon, Quetapin, Aripiprazol
dan lain-lain
Antipsikotik atipikal dapat menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis namun, lebih
besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik, (pertambahan berat badan,
diabetes mellitus, atau sindroma metabolik).4 Penanggulangan memakai antipsikotik
diusahakan sesegera mungkin, bila memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik
akut melibatkan distress.5 Pemilihan farmakoterapi untuk pasien pada kasus yaitu clozapine 1
x 25 mg (PO) dan risperidone 2 x 2 gram (PO), keduanya termasuk APG I. Triheksifenidil
(THP) diberikan sebagai obat untuk mencegah terjadinya efek samping dari obat antipsikotik.5

2
Prognosis al, Event (AMPLE)penting untuk ditanyakan mengenai riwayat-riwayat
penyakit yang melibatkan fungsi jantung dan paru, penyakit ginjal, penyakit endokrin dan
metabolik, masalah pada muskuloskeletal dan anatomi jalan napas, serta respon dan reaksi
pasien terhadap anestesi sebelumnya.

Setelah dilakukan anamnesis lengkap, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk


mengkonfirmasi dan mendeteksi kemungkinan abnormalitas yang tidak didapatkan dari
anamnesis. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien sehat seperti pada kasus meliputi
pemeriksaan tanda vital seperti tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan dan suhu serta
pemeriksaan jalan napas, jantung, paru dan mukuloskeletal dengan teknik inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.

Khusus pada pasien dengan rencana dilakukan intubasi, evaluasi jalan napas wajib
dilakukan meliputi kelengkapan gigi geligi, abnormalitas anatomi wajah seperti makrognotia,
lidah besar, keterbatasan ROM pada sendi temporo-mandibular yang berpotensi menjadi
penyulit saat prosedur intubasi. Pemeriksaan laboratorium kurang direkomendasikan untuk
pasien dengan kondisi tubuh sehat namun dokter biasanya melakukan pemeriksaan darah rutin.
(Butterworth, Mackey dan Wasnick, 2018).

Pasien didiagnosis kista preaurikula dan direncanakan untuk tindakan ekstirpasi kista.
Berdasarkan evaluasi preoperatif pasien masuk dalam kategori ASA I. ASA Physical Status
Classification System digunakan untuk melakukan assessment pasien preanestesi. Klasifikasi
ini tidak dapat memprediksi risiko operasi, namun dapat digunakan untuk menentukan faktor-
faktor lainnya untuk membantu mempredikEvaluasi pre-operatif terdiri dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien
berdasarkan skala America Society of Anaesthesiology (ASA).7 Pada anamnesis, terdapat lima
poin penting untuk ditanyakan yaitu Alergi, Medikasi, Past Illness, Last Meal, Event
(AMPLE)penting untuk ditanyakan mengenai riwayat-riwayat penyakit yang melibatkan
fungsi jantung dan paru, penyakit ginjal, penyakit endokrin dan metabolik, masalah pada
muskuloskeletal dan anatomi jalan napas, serta respon dan reaksi pasien terhadap anestesi
sebelumnya.

3
Setelah dilakukan anamnesis lengkap, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk
mengkonfirmasi dan mendeteksi kemungkinan abnormalitas yang tidak didapatkan dari
anamnesis. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien sehat seperti pada kasus meliputi
pemeriksaan tanda vital seperti tekanan darah, denyut jantung, laju pernapasan dan suhu serta
pemeriksaan jalan napas, jantung, paru dan mukuloskeletal dengan teknik inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.

Khusus pada pasien dengan rencana dilakukan intubasi, evaluasi jalan napas wajib
dilakukan meliputi kelengkapan gigi geligi, abnormalitas anatomi wajah seperti makrognotia,
lidah besar, keterbatasan ROM pada sendi temporo-mandibular yang berpotensi menjadi
penyulit saat prosedur intubasi. Pemeriksaan laboratorium kurang direkomendasikan untuk
pasien dengan kondisi tubuh sehat namun dokter biasanya melakukan pemeriksaan darah rutin.
(Butterworth, Mackey dan Wasnick, 2018).

 Pasien didiagnosis kista preaurikula dan direncanakan untuk tindakan ekstirpasi kista.
Berdasarkan evaluasi preoperatif pasien masuk dalam kategori ASA I. ASA Physical
Status Classification System digunakan untuk melakukan assessment pasien
preanestesi. Klasifikasi ini tidak dapat memprediksi risiko operasi, namun dapat
digunakan untuk menentukan faktor-faktor lainnya untuk membantu
mempredikmenit, reguler, teraba kuat
 Pernafasan: 28x/menit
 Suhu: 36,30C
 Berat badan: 67,7 kg Tinggi badan: 160cm IMT: 26,4kg/m2
 Kulit: ada abses di punggung kanan bagian tengah dengan diameter 10cm, tidak berdarah.
 Mata: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor.
 Mulut: tidak dilakukan.
 Leher: JVP meningkat.
 Paru-paru: bunyi nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
 Jantung: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen: supel, bising usus (+) normal, asites (-)
 Ekstremitas: akral hangat, edema (-)

4
IV.Skor : 1 kriteria minor (bukan gagal jantung kongestif)
Skor Index Wayne untuk pasien ini:

No. Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Nilai


Berat

Sesak saat kerja +1 +1

Berdebar +2 +2

Kelelahan +3 +3

Suka udara panas -5 -5

Suka udara dingin +5

Keringat berlebihan +3 +3

Gugup +2 +2

Nafsu makan naik +3 +3

Nafsu makan turun -3

Berat badan naik -3

Berat badan turun +3 +3

No Tanda Ada Tidak

1. Tyroid Teraba +3 -3 -3

2. Bising Tyroid +2 -2 -2

3. Exoptalmus +2 - -

4. Kelopak Mata Tertinggal Gerak Bola +1 - -


Mata

5
5. Hiperkinetik +4 -2 -2

6. Tremor Jari +1 - -

7. Tangan Panas +2 -2 -2

8. Tangan Basah +1 -1 +1

9 Fibrilasi Atrial +4 - +4

10. Nadi Teratur

<80 x/menit - -3 +3

80-90 x/menit - -

>90 x/menit +3 -

Skor : 11 (eutiroid)

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (11 November 2019)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,8 g/dL 11.4-15

Leukosit 6,57 103/µL 4.73-10.89

Eritrosit 4,78 106/µL 4.0-5.7

Hematokrit 41,3 % 35-45

Trombosit 166 103/µL 150-450

RDW-CV 15,6 % 11-15

Hitung jenis
Basofil 0,3 0-1 Normal
Eosinofil 2,6 1-6 Normal
Neutrofil 64,1 50-70 Normal
Limfosit 26,2 20-40 Normal
Monosit 6,8 2-8 Normal
Children
6
Blood is frequently transfused in critically ill infants and children. In a recent survey,
14% of patients in pediatric ICUs received blood transfusion. 104 There have been four
clinical trials evaluating liberal versus restrictive transfusion thresholds in this
population 105 (see Table 10.4). One hundred hospitalized preterm infants with
birthweights between 500 and 1300 g were randomly assigned to two transfusion levels.
106 The transfusion protocol adjusted the hematocrit level that led to transfusion
depending on the respiratory status of the infant. A primary outcome was not
designated among the 15 clinical events evaluated. Infants in the restrictive group
received a median of two units less than the liberal group during the study, and the
mean difference in hemoglobin concentration was ∼2 g/dL. There were no differences
between the liberal and restrictive transfusion groups for most outcomes, including
survival, patent ductus arteriosus, retinopathy, or bronchopulmonary dysplasia. Infants
assigned to the restrictive group had more apneic events and more neurologic events
(combined parenchymal brain hemorrhage or periventricular leukomalacia). These
differences in outcomes should be interpreted as hypothesis-generating because the
composite neurologic outcomes were not designated a priori, 107 apnea was assessed by
an unblinded nurse 107 and the differences were small, and the large number of
outcomes increase the risk of false-positive results.

Anda mungkin juga menyukai